Share

Susahnya Jadi Mas Joko
Susahnya Jadi Mas Joko
Penulis: Ayusqie

Bab 1: Libero

Penulis: Ayusqie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bab 1: Libero

“Maaf, ini serius? Ini beneran? Asli?”

“Iya, Bu, itu memang nama saya.”

“Joko Aja?"

“Betul, Bu.”

Ibu Joyce, manajer perusahaan tempat aku melamar ini serentak mengalihkan pandangannya dari berkas lamaranku. Ia menatap wajahku seperti sedang berusaha mengenali seseorang.

“Saya kira nama kamu bakalan seperti Lee Min Ho, atau Kim Soo Hyun, begitu.”

Berarti Ibu Joyce ini hobi nonton drakor alias drama Korea, batinku.

“Atau, bakalan seperti Tom Cruise, atau Leonardo Dicaprio, begitu.”

Hobi nonton film Barat juga, batinku lagi.

“Atau paling tidak, seperti Shah Rukh Khan.”

Suka film India juga.

“Yah, minimal yang mirip-mirip dengan Mr. Sugimoto-lah.”

Mister Sugimoto, siapa lagi ini?

Menyadari aku yang hanya kikuk dan serba salah, Ibu Joyce kembali mencermati berkas lamaranku. Ia kemudian menggumam seakan tidak percaya dengan pandangannya.

“Joko Aja…, hemm, Joko Aja. Ngomong-ngomong, tinggi badan kamu berapa?”

“Seratus sembilan puluh senti, lebih kurang.”

“Tinggi badan kamu seratus sembilan puluh senti tapi nama kamu cuma tujuh huruf? Irit banget.”

“Maaf, Bu. Sebenarnya nama saya terdiri dari dua puluh lima huruf.”

“What?? Dua puluh lima?”

“Iya, Bu.”

“JOKO, itu empat huruf, Ko! AJA, itu cuma tiga.”

“Dua puluh lima, Bu.”

“Kamu dulu sekolah di mana sih?”

Aku diam.

“Nama kamu Joko aja, kan?”

“Yang benar Joko AJA, Bu. AJA-nya pakai huruf besar. Sebenarnya itu singkatan.”

Ibu Joyce yang berpostur sedikit tambun di depanku ini menempelkan punggung tapak tangannya ke kening sendiri. Dia pasti pening. Sama seperti aku yang dulu sering pening di saat ujian dan harus melingkari lembar jawaban komputer dengan pensil 2B. Namaku memang panjang, sepanjang…,

“Oke, oke, sekarang, sebutkan nama lengkap kamu.”

“Joko AJA. Lengkapnya…, Joko Adiguna Jalayuda Atmojo.”

“Beeeuh! Panjangnya!”

“Iya, Bu, memang panjang, sepanjang ke…,”

“Coba ulangi lagi.”

“Joko Adiguna Jalayuda Atmojo.”

“Bener, Ko, memang panjang, sepanjang tronton dua puluh lima ban.”

Padahal tadi aku mau bilang; sepanjang jalan kenangan. Ya sudah, sepanjang tronton juga tidak apa-apa, yang penting lamaranku diterima.

“Kamu orang apa, Ko?” Tanya Ibu Joyce lagi. Matanya ikut bertanya lewat lirikan yang melintasi frame kacamata silindrisnya.

“Orang Indonesia, Bu.”

“Heloouuw! Maksud saya, suku. Kamu suku apa?”

“Agak rumit saya menjelaskannya, Bu.”

“Nah, loh, kenapa begitu? Wong tinggal ngomong saja kok.”

“Bapak saya campuran antara Jawa dan Banjar, tapi dari Jawa ini juga ada keturunan dari Arab. Kalau dari Banjar-nya ada keturunan juga dari Tionghoa. Nah, kalau Ibu saya, campuran antara Melayu dan Bugis. Akan tetapi, darah Melayu ini juga ada persinggungan dengan keturunan Batak. Sementara dari Bugisnya-nya sendiri masih ada keturunan Sunda dan Bali.”

“Rumit, bener, Ko.”

“Iya, Bu, memang rumit.”

“Jadi, sebenarnya kamu ini orang apa sih?”

“Orang yang berjiwa Pancasila, Bu.”

“Hahaha!” Ibu Joyce tertawa tergelak-gelak.

Aku malah lebih suka jika dia diam, cantiknya jelas kelihatan, daripada tertawa yang ternyata sedikit menyeramkan.

“Kamu bisa ngelucu juga ya, Ko?”

Aku tersenyum saja. Bagaimana aku bisa melucu? Lha, nanti siang saja aku tidak tahu mau makan apa. Uangku yang tersisa cuma cukup untuk ongkos pulang ke kontrakan seorang teman, tempat aku menumpang selama beberapa waktu ini.

“Tapi, wajah kamu kok ada mirip-miripnya sama orang Korea ya?”

Maka dengan komentarnya itu, Ibu Joyce ini adalah orang yang kedua puluh sekian menyebut aku mirip orang Korea. Mudah-mudahan dia tidak bilang aku mirip Kim Jong Un yang konon punya rudal nuklir itu.

Perutku yang sejak pagi belum terisi apa-apa membuatku tak ingin lagi berbasa-basi, gono-gitu dan gini. Pertanyaan yang berikutnya ingin aku dengar juga yang semestinya berkaitan dengan pekerjaan yang aku lamar; gaji, atau posisi, atau mungkin training.

“Untuk ukuran cowok, kamu ini termasuk tinggi lho, Ko. Jauh di atas rata-rata. Seperti atlet saja.”

Aku menunduk. Perutku mulai terasa perih.

“Kamu bisa main basket, Ko?”

“Tidak bisa, Bu.” Jawabku lemah.

“Tinggi badan kamu jadi mubazir, Ko.”

Aku menelan ludah. “Tapi, aku bisa bermain voli, Bu.”

“Hahh?! Serius?” Ibu Joyce serentak mencondongkan tubuhnya ke arahku. Senyumnya merekah dan wajahnya pun sontak sumringah.

“Aduh, menyesalnya aku bilang bisa bermain voli,” batinku. Sebab aku sedang tidak ingin menceritakan tentang bagaimana tenarnya namaku di kota kelahiranku. Meski hanya ukuran kompetisi atau turnamen tarkam—antar kampung—akan tetapi aku adalah bintang di lapangan voli. Sebab itu pula aku digila-gilai oleh Arini, Qori, Siti dan Juminah.

“Iya, Bu. Sedikit.”

“Kamu bisa mukul? Bisa nye-mash?”

“Bisa, Bu. Memang itu spesialis-nya saya di permainan voli.”

“Hebat. Saya mau dong, di-smash sama kamu.”

Bleeeh..! Apa-apaan sih ini? Omelku dalam hati. Wawancara kerja kok begini?

“Maaf, maksud saya tadi, saya mau diajarin main voli sama kamu.”

“Dengan senang hati, Bu, kalau ada waktu dan kesempatan.”

“Sebagai penyerang, posisi kamu apa?”

“All round, Bu.”

“All round?”

“Iya, Bu.”

“Jadi, kamu bisa menyerang dari segala posisi?”

“Iya, Bu.”

“Kamu bisa menyerang dengan segala jenis umpan?”

“Hemm, yah, sedikit-sedikit kok Bu.”

“Wow, saya suka yang bisa segala posisi.”

Ya Allah, aku ingin mendengar keputusan kapan aku bisa bekerja, gajiku berapa dan nanti akan ditempatkan di mana. Bukan lucu-lucuan tentang voli!

“Umpan bola tiga, kamu bisa?”

“Bisa, Bu.”

“Bola dua?”

“Bisa, Bu.”

“Back attack, serangan belakang?”

“Bisa, Bu.”

“Bola cepat? Atau quicker?”

“Itu favorit saya, Bu.”

“Kenapa favorit?”

“Saya suka yang cepat dan tepat, Bu.”

“Mantap euy. Saya juga suka sama laki-laki yang cepat dan tepat.”

Semakin ke sini, aku pun semakin penasaran. Ibu Manajer ini tahu banyak tentang olah raga voli. Namun, mengingat postur tubuhnya yang sedikit tambun, sedikit gemuk dan pendek, apakah dia juga bisa bermain voli?

“Ibu suka main voli juga?”

“Banget. Saya masih suka main voli, bareng ibu-ibu komplek.”

“Posisi Ibu apa?”

Pertanyaanku yang terakhir barusan aku tekan sekuat mungkin supaya gesture-ku tidak menyinggung posturnya yang tidak meyakinkan itu.

“Wow, kalau saya sih, kanan kiri oke. Mau di atas, saya bisa. Mau di bawah, saya juga bisa. Mau dari samping juga, hayo.”

Oh, yakinlah aku sekarang. Ibu ini pasti seorang libero, yaitu poisisi pemain yang bertugas khusus untuk bertahan.

“Dari belakang juga, saya suka.”

Nah, kan, benar. Seorang libero juga harus begitu, bisa bertahan di segala posisi. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, dia juga harus bisa jungkir balik.

“Mau dijungkir-balikkan juga saya mau kok.”

Apakah aku yang salah dalam memandang? Atau apakah aku yang salah dalam mengambil kesimpulan? Di sepanjang kata-katanya tadi, Ibu Manajer ini selalu menatapku, dengan sorot yang tidak bisa dikatakan wajar. Tadi dia menatap ke arah wajahku, lalu ke leherku, sebentar ke dada, lalu ke perut, lalu ke bawah, semakin ke bawah.

“Jadi begini ya, Joko. Kamu pasti tahu perusahaan apa yang sedang kamu lamar ini. Jadi soal gaji, kamu juga semestinya sudah tahu kan? Bonus, THR, uang lembur dan lain-lainnya nanti akan saya jelaskan kalau kamu sudah mendapat kepastian.”

“Tapi, saya jamin, Ko. Kamu pasti lolos. Kamu pasti diterima. Karena semua keputusan ada di tangan saya. ”

Ibu Joyce kemudian bangkit dari kursinya. Aku kira dia akan mengambil map, berkas, atau apa, begitu. Ternyata, dia hanya berpindah posisi duduk dari kursi, ke atas meja! Di depanku! Rok hitamnya yang pendek mengumbar semua bagian atas kakinya. Hingga aku bisa melihat sedikit pahanya yang putih dan—maaf—juga varisesnya.

Aku menelan ludah. Dasar apes, keluhku dalam hati. Ini pasti gara-gara susuk pengasih yang ada di tubuhku, yang dulu dipasang oleh seorang guru spiritual bernama Ki Ageng Gemblung!

********

Komen (3)
goodnovel comment avatar
asri Susilowati
suka ceritanya
goodnovel comment avatar
Ayusqie
hihihi.. gaklah kak
goodnovel comment avatar
Rosita
pakai susuk ya serem
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 2: Bohlam Lampu

    Bab 2: Bohlam Lampu “Sebelum melamar ke sini, kamu bekerja di mana, Ko?”“Di kampung, Bu.” “Bukan, bukan itu maksud saya. Tapi, di perusahaan apa?” “Di perusahaan perkebunan, Bu.” “Sebagai?”“Buruh harian lepas.”“Bisa diperjelas?”“Tukang semprot hama.”“Keren tuh.”Mungkin Ibu Joyce ini bermaksud “meninggikan” aku yang memang telah “rendah” ini. Jika benar begitu, maka pintar juga dia berbasa-basi.“Saya suka disemprot kok.” Katanya lagi, sembari menumpangkan sebelah kakinya ke kaki yang lain.Fiuhh, untung kursi yang aku duduki ini memiliki roda sehingga dengan sedikit dorongan menggunakan ujung kaki aku bisa menyelamatkan lututku yang sekarang persis berada di ujung sepatu si Ibu Manajer ini.“Ibu punya kebun juga?” tanyaku, sembari melirik ke arah jam dinding.“Punya, di perbatasan kota.”“Kebun apa, Bu?”“Kebunnya kosong, Ko. Tidak pernah dicocok-tanami lagi.”“Seberapa luas, Bu?”“Tidak terlalu luas sih. Sempit saja, k

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 3: Susuk Pemikat

    Bab 3: Susuk Pemikat Ini adalah sebuah anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa kepada diriku. Yaitu—aku ingin bilang ganteng, tetapi khawatir nanti disebut sombong. Baiklah, sebagai ilustrasi, begini saja; kalau aku tinggal di Jakarta, aku bisa menjadi artis sinetron meskipun tidak punya bakat akting. Wajahku memang pantas untuk dipampang di kalender atau papan reklame. Minimal, di pintu belakang bak truk. “Tapi, wajah kamu kok ada mirip-miripnya sama orang Korea ya?” Itu kata Bu Joyce, manajer di perusahaan penyalur tenaga kerja tadi siang.“Kalau diperhatikan, wajah kamu agak mirip orang India, Ko.” Itu kata Tante Resmi. Orang India? India dari Hongkong, komentarku dalam hati. “Kamu seperti aktor Hongkong, Mas.” Itu kata Arini, dulu, dulu sekali.“Kamu mirip Robert Pattinson, Mas.” Qori yang bilang.Robert Pattinson, pemeran utama di film Twilight?Oh, sudahlah. Singkatnya, di kota kelahiranku sana banyak gadis-gadis yang menyukai aku. Mereka semua punya penafsi

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 4: Balada Si Tukang Semprot

    Bab 4: Balada Si Tukang Semprot Sumpah mati aku jadi penasaran. Apakah susuk yang ada pada diriku ini ampuh untuk memikat Ningsih? “Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang bisa berlaku kecuali atas izin Tuhan.” Begitu kata Ki Ageng Gemblung padaku. “Jadi, mau pakai susuk ataupun tidak, berarti sama saja dong, Ki.” “Nah, ini, ini..,” Ki Ageng Gemblung menuding-nuding wajahku.“Ini yang salah kaprah.” “Maksudnya, Ki?” “Takdir, itu ketentuan Tuhan, Mas Joko!” Ki Ageng Gemblung memang sering meninggikan aku dengan panggilan “mas”. Namun, jari telunjuknya yang kemudian mendorong keningku seolah kembali merendahkan aku. “Kewajiban kita sebagai manusia hanyalah berusaha, berikhtiar, dan berdoa!” Aku mengangguk-angguk. “Masalah keinginan kita nanti dikabulkan oleh Tuhan, itu soal belakangan. Di situlah perlunya sikap tawakkal, yaitu berserah diri pada Tuhan.” “Lalu, bagaimana hukumn

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 5: Pergulatan

    Bab 5: Pergulatan Aku lupa, ketika itu sedang hari apa. Pastinya, itu adalah hari libur sekolah. Aku dimintai tolong oleh Bu Suratih untuk membetulkan genteng yang bocor di rumahnya. Aku senang sekali, sebab ada kemungkinan aku bisa melihat dan bertemu dengan Ningsih. Di suatu kamar di bagian belakang rumah Pak Sadeli itu, aku naik ke atas plafon untuk mengecek kebocoran. Sampai di atas, aku merasa heran karena tidak menemukan tanda-tanda kebocoran di ruangan itu. Aku turun kembali dan bermaksud untuk memeriksa genteng dari luar. Sampai di bawah, jejakan kakiku di lantai bersamaan dengan ceklek! Bu Suratih menutup pintu kamar. Ia bersedekap di depanku dengan kedua kaki yang sedikit direnggangkan. “Tapi, di sini tidak ada yang bocor, Bu.” Kataku dengan tetap lugunya. “Iyakah?” “He-eh. Aku mau coba periksa di luar.”“Tidak usah, Ko.”Bu Suratih menghalangi maksudku yang ingin keluar. Ia bahkan menangkap tanganku yang hampir menyent

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 6: Segelas Teh Manis

    Bab 6: Segelas Teh Manis Hari sudah menjelang pukul delapan malam ketika Alex sampai di rumah. Ketukan yang ia lakukan di pintu membuatku kembali tertarik dari perenunganku akan masa lalu. Aku tak sempat berpikir bagaimana tadi aku tidak mendengar suara motornya ketika sampai dan diparkir di teras depan. Aku bahkan tidak ingat apa-apa saja yang aku tonton di televisi sedari tadi.“Kamu sudah makan, Ko?” tanya Alex, begitu sosok kurus dengan rambut keritingnya muncul di ambang pintu.“Sudah,” jawabku sembari mengecilkan volume televisi.“Tumben kamu pulang malam. Lembur ya?” tanyaku pula.“Iy

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 7: Hikayat Tentang Sapi

    Bab 7:Hikayat Tentang Sapi Setelah mandi, Alex mengajakku keluar dengan motornya. Kami membeli sembako dan beberapa barang lain yang terkait kebutuhan dapur. Setelah sampai kembali di rumah, Alex memintaku memasak mie instan untuk kami berdua.“Jadi, bagaimana interview kerja kamu tadi siang, Ko?” tanya Alex sembari mengutak-atik ponselnya.“Agak aneh, Lex.”“Agak aneh? Aneh bagaimana?”Aku yang tengah merajang bawang dan cabai rawit, membagi konsentrasiku supaya bisa menceritakan perihal kejadian yang aku alami tadi siang bersama Bu Joyce.“Sampai begitu? Dia duduk di meja? Di

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 8: Foto Profil

    Bab 8:Foto ProfilAku ingat sekali. Dulu, beberapa hari sebelum ayahku meninggal dunia, di saat-saat sakitnya beliau pernah mengatakan sesuatu kepadaku.“Joko, Bapak titipkan dua orang wanita ke kamu.”“Yang pertama, ibu kamu. Hormati dia, sayangi dia, dan berbaktilah kamu padanya.”“Yang kedua, adik kamu. Sayangi dia, lindungi dia, dan jagalah kehormatannya.”Mungkin, ketika itu Bapak telah mendapat firasat bahwa ia akan pergi, sehingga ia pun menyampaikan amanah itu kepadaku. Aku diam saja, dan tidak tahu harus menjawab apa. Bapak selalu ingin menjadikan aku sebagai laki-laki yang “laki-laki”, berani, tegas, dan bertanggung-jawab. Untuk itulah, Bapak juga selalu menuntutku untuk menjawab pertanyaannya itu.“Kamu bersedia, Joko?”“Iya, Pak,&r

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 9: Muka Ganteng

    Bab 9:Muka Ganteng Besok-besok saja aku bayangkan lagi, akan bagaimana pertemuan Alex dengan gebetannya itu. Karena sekarang, hari ini, jam sebelas siang ini, aku harus memfokuskan perhatianku pada semua keterangan Ibu Joyce.Syukurlah, akhirnya aku diterima bekerja, bersama sekitar selusinan orang yang semuanya sedang duduk takzim di meeting room ini. Satu hari setelah obrolanku dengan Alex tentang Lo Rena yang ia kenal dari facxbook itu, aku mendapat telepon dari seseorang bernama Ibu Dewi, yang mengaku sebagai asisten Ibu Joyce. Ia memberitahuku untuk bisa hadir pada pertemuan ini, ya hari ini, ya saat ini, ya malangnya aku ini karena terlambat setengah jam dari waktu yang telah ditentukan.Kelihatan sekali wajah Ibu Joyce segera masam begitu melihat sosokku

Bab terbaru

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 231: Sang Penari

    Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 230: Tamu Tak Diundang

    Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 229: Anak Menantu di Dalam Foto

    Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 228: Nama Asli Sahabat

    Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 227: Ampuni Aku, Ibu

    Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 226: Burung Bangau

    Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 225: Kabar dari Tetangga

    Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 224: Perbincangan di Jalan Tol

    Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 223: Tiket ke Surga

    Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.

DMCA.com Protection Status