Bab 6: Segelas Teh Manis
Hari sudah menjelang pukul delapan malam ketika Alex sampai di rumah. Ketukan yang ia lakukan di pintu membuatku kembali tertarik dari perenunganku akan masa lalu. Aku tak sempat berpikir bagaimana tadi aku tidak mendengar suara motornya ketika sampai dan diparkir di teras depan. Aku bahkan tidak ingat apa-apa saja yang aku tonton di televisi sedari tadi.
“Kamu sudah makan, Ko?” tanya Alex, begitu sosok kurus dengan rambut keritingnya muncul di ambang pintu.
“Sudah,” jawabku sembari mengecilkan volume televisi.
“Tumben kamu pulang malam. Lembur ya?” tanyaku pula.
“Iya.”
Alex menuju ke belakang. Aku menyusulnya, barangkali ada yang bisa aku bantu untuk sahabatku yang baru pulang kerja ini. Aku sering merasa tak enak hati dengan keadaan diriku yang tentu saja membebani kehidupan Alex. Untuk itulah, semua pekerjaan di rumah Alex ini aku yang mengerjakannya. Setiap hari aku menyapu, mengepel, memasak, dan bila ada pakaian Alex yang kotor aku juga yang selalu mencucinya. Meski sebenarnya, untuk hal yang terakhir itu dia sangat melarangnya.
“Astaghfirullah,” seru Alex tiba-tiba. Sosoknya mematung beberapa saat pada sebuah meja kecil di dapur. Ia kemudian berbalik dan menatapku.
“Beras kita habis ya?”
Karena segan, aku hanya menyahut dengan sebuah senyuman.
“Jadi, kamu tadi makan apa, Ko?”
“Mm, aku makan di rumah Tante Resmi.”
“Kapan?”
“Sekitar jam empat sore tadi.”
“Kok bisa kamu makan di situ?”
Aku ceritakan sekilas tentang bohlam lampu yang aku ganti di dapur Tante Resmi.
“Oh, begitu,” Alex mengangguk-angguk.
“Tidak ketemu dengan Resti?”
“Anak Tante Resmi itu?”
“Iya.”
Aku menggeleng. Jujur, sudah tiga bulan aku tinggal bersama Alex di rumahnya ini, tetapi belum sekali pun aku melihat anak Tante Resmi yang bernama Resti itu.
“Berarti kamu belum beruntung.” Alex mengambil handuk.
“Kenapa mesti beruntung kalau mau ketemu cewek saja?” tanyaku.
“Si Resti itu cantik, Ko.”
Tanganku menjangkau panci kecil yang tergantung di dinding, mengisinya dengan air dari dispenser dan menjerangnya di atas kompor. Aku akan membuat teh manis untuk Alex. Dia pasti letih setelah kerja lembur.
“Secantik apa sih?” lanjutku bertanya.
Alex membuka baju dan kaos singletnya, lalu masuk ke dalam kamar mandi yang berada persis di samping meja kompor. Beberapa saat kemudian aku mendengar suaranya yang sedang mandi.
“Kamu tahu Jennifer Aniston, Ko?” tanya Alex di sela-sela aktifitasnya mengguyur badan. Suaranya memang jelas kedengaran karena hanya terbatasi oleh dinding.
“Siapa tuh?” sahutku yang tetap berdiri di depan meja kompor.
“Jennifer Aniston, bintang film asal Amerika.”
“Enggak. Kenapa rupanya?”
“Jennifer Lawrence, kamu tahu?” tanya Alex lagi.
“Enggak. Kenapa?”
“Jennifer Lopez, kamu tahu?”
“Enggak.”
“Jennifer Hewitt?”
“Enggak.”
“Kalau, Jennifer Dunn?”
“Enggak juga. Ada apa sih? Segala Jennifer kamu tanyain?”
“Si Resti anak Tante Resmi itu sama cantiknya dengan semua Jennifer itu, Ko!”
********
Siapa pun orangnya, jika melihat Alex dengan segala sosok dan penampilannya, mereka pasti akan bilang; “gak nyambung!” Maksudku adalah, antara nama dengan orangnya.
Alex berpostur sedikit kurus, kulitnya sedikit gelap, dan rambutnya sedikit keriting. Semuanya memang serba sedikit, termasuk untuk ukuran—maaf—wajah. Aku pernah bilang tentang wajahku yang pantas dipampang di pintu belakang bak truk. Nah, wajah Alex ini pantasnya dipampang di sepakbor—sekali lagi, maaf. Namun, tentu saja aku tidak akan jujur untuk ukuran yang terakhir itu, apalagi jika harus mengatakannya langsung kepada yang bersangkutan.
Orang seperti Alex ini idealnya memang mempunyai nama yang berbau kampung, “ndeso”, atau udik, begitu. Waktu kecil dulu, bahkan sampai duduk di bangku SMA, pekerjaannya adalah menggembala sapi. Jika berdekatan dengannya, aku sering mencium aroma sapi dari tubuhnya itu. Pokoknya, terasa “kampung” sekali. Faktanya, nama dia yang sebenarnya memang sudah sangat cocok dengan penampilan udiknya itu. Yaitu—nanti saja aku sebutkan, supaya seru.
Kenapa bisa menjadi Alex? Nah, ini yang seru!
“Mulai detik ini, kamu panggil aku Alex, ya,” pintanya, ketika dia menjemputku di terminal kota Bandar Baru ini tiga bulan yang lalu.
“Alex?” tanyaku yang butuh penegasan.
“Iya.”
“Kenapa, Din?”
Seketika saja dia menoleh padaku dengan mata yang sedikit melotot.
“Dan-din, dan-din…, Alex!”
“Oh, iya, Din. Ups, maaf, iya, Alex. Kenapa, Lex?”
Dia tak menjawab, tetapi segera mengajakku keluar dari terminal menuju tempat motornya diparkir. Aku pun tak habis pikir, mengapa dia memakai nama “Alex” dan harus menanggalkan nama aslinya? Apakah ia juga menyandang status sebagai “buronan” seperti aku?
“Yah, supaya keren saja.” katanya enteng sembari menarik gas motornya, membawaku meninggalkan terminal.
Aku terpaksa mencondongkan tubuhku sedikit ke depan supaya bobot ransel yang kupakai tidak membuatnya kesulitan mengendalikan motornya. Sekaligus mendekatkan mulutku ke telinganya untuk meningkahi suara kesiuran angin dari jalan.
“Supaya keren?” tanyaku.
“Iya.”
“Memangnya nama asli kamu belum cukup keren, Din?”
“Dan-din, dan-din lagi!”
“Hahaha!” Aku tertawa. “Oh, maaf, maaf! Maafkan aku, Din! Eeeeh.., maafkan aku, Alex!”
Tak urung, Alex pun ikut tertawa.
“Jadi begini, Ko. Sekarang kita berada di kota Bandar Baru. Ini kota besar, Ko. Ibukota provinsi. Semua hal yang berbau modernitas ada di sini. Enggak seperti di kota kecamatan kita tempat aku dulu mandiin sapi.”
Di belakang kepala Alex, kepalaku manggut-manggut.
“Terus?”
“Yah, aku rasa-rasakan, nama asliku itu terdengar kampungan, Ko.”
“Itu nama pemberian dari orang tua kamu lho, Lex. Bisa kualat nanti kamu, Lex.”
Syukurlah, aku tidak keceplosan bilang “din” lagi.
“Memang betul, Ko. Aku tetap menghormati nama pemberian orang tuaku itu kok. Aku tidak menggantinya. Namaku yang ada di ijazah dan di KTP juga masih sama.”
“Terus, nama Alex?”
“Aku pakai nama itu hanya di kota Bandar Baru ini saja, Ko.”
“Supaya apa?”
“Hemm, yaah, supaya terdengar gaul saja.”
Baiklah, aku tidak akan mendebat Alex lagi supaya dia tidak tersinggung. Sangat tidak etis, pikirku. Karena, sejak dari hari itu dan sepertinya untuk beberapa waktu yang lama aku akan hidup menumpang dengannya.
Setelah selesai membasuh tubuh, Alex pun keluar dari kamar mandi. Aku segera menunjukkan segelas teh manis yang tadi aku buat dan telah aku letakkan di atas meja.
“Terima kasih,” katanya. Ia mengambil gelas teh dan meniup-niup sedikit sebelum menyeruputnya.
Aku yang duduk di kursi, memperhatikan semua gerakan sahabatku yang baik hati ini dalam menikmati teh manisnya. Alex pun menyeruput teh manis, suaranya, “sluuurp”, terdengar nikmat sekali.
Tiba-tiba saja, Alex terkesiap, dan kedua matanya menyorot wajahku seperti ada yang aneh.
“Kok, tehnya pahit, Ko?” tanya dia.
“Iya, Lex.”
“Gak kamu kasih gula?”
Aku diam, dan wajahku tampak segan.
“Gula kita habis juga?”
Aku mengangguk dengan wajah yang semakin segan.
Tunggu! Apakah aku sudah menyebutkan nama asli Alex? Belum? Oh, berarti ceritaku ini nanti akan semakin seru! Ada manisnya, seperti harapan pada segelas teh manis. Juga ada pahitnya, seperti kenyataan segelas teh manis yang tak ada gulanya.
********
Bab 7:Hikayat Tentang Sapi Setelah mandi, Alex mengajakku keluar dengan motornya. Kami membeli sembako dan beberapa barang lain yang terkait kebutuhan dapur. Setelah sampai kembali di rumah, Alex memintaku memasak mie instan untuk kami berdua.“Jadi, bagaimana interview kerja kamu tadi siang, Ko?” tanya Alex sembari mengutak-atik ponselnya.“Agak aneh, Lex.”“Agak aneh? Aneh bagaimana?”Aku yang tengah merajang bawang dan cabai rawit, membagi konsentrasiku supaya bisa menceritakan perihal kejadian yang aku alami tadi siang bersama Bu Joyce.“Sampai begitu? Dia duduk di meja? Di
Bab 8:Foto ProfilAku ingat sekali. Dulu, beberapa hari sebelum ayahku meninggal dunia, di saat-saat sakitnya beliau pernah mengatakan sesuatu kepadaku.“Joko, Bapak titipkan dua orang wanita ke kamu.”“Yang pertama, ibu kamu. Hormati dia, sayangi dia, dan berbaktilah kamu padanya.”“Yang kedua, adik kamu. Sayangi dia, lindungi dia, dan jagalah kehormatannya.”Mungkin, ketika itu Bapak telah mendapat firasat bahwa ia akan pergi, sehingga ia pun menyampaikan amanah itu kepadaku. Aku diam saja, dan tidak tahu harus menjawab apa. Bapak selalu ingin menjadikan aku sebagai laki-laki yang “laki-laki”, berani, tegas, dan bertanggung-jawab. Untuk itulah, Bapak juga selalu menuntutku untuk menjawab pertanyaannya itu.“Kamu bersedia, Joko?”“Iya, Pak,&r
Bab 9:Muka Ganteng Besok-besok saja aku bayangkan lagi, akan bagaimana pertemuan Alex dengan gebetannya itu. Karena sekarang, hari ini, jam sebelas siang ini, aku harus memfokuskan perhatianku pada semua keterangan Ibu Joyce.Syukurlah, akhirnya aku diterima bekerja, bersama sekitar selusinan orang yang semuanya sedang duduk takzim di meeting room ini. Satu hari setelah obrolanku dengan Alex tentang Lo Rena yang ia kenal dari facxbook itu, aku mendapat telepon dari seseorang bernama Ibu Dewi, yang mengaku sebagai asisten Ibu Joyce. Ia memberitahuku untuk bisa hadir pada pertemuan ini, ya hari ini, ya saat ini, ya malangnya aku ini karena terlambat setengah jam dari waktu yang telah ditentukan.Kelihatan sekali wajah Ibu Joyce segera masam begitu melihat sosokku
Bab 10: Sebidang Kebun “Nasib baik kamu sekarang, saya masih punya hati. Kalau tidak, kamu sudah langsung saya pecat sekarang juga!” Aku mengangkat wajah pelan-pelan, memberanikan diri menatap wajah Ibu Joyce untuk menebak kesungguhan dari semua kata-katanya barusan. Sungguh, sikapnya sekarang ini bertolak belakang sekali dengan sikapnya beberapa hari yang lalu. Aku ingin mengatakan sesuatu. Namun, karena bingung, akhirnya mulutnya terbuka dan tertutup dengan sendirinya, seperti dumang, alias duyung mangap. “Hayo! Kamu mau ngomong apa??” sentak Bu Joyce. Akhirnya, aku menemukan cara untuk mendinginkan hati ibu manajer ini, dan mudah-mudahan ia tak pernah berpikir lagi untuk memecat aku. “Anu, Bu, eee,” “Anu, apa??” “Kalau Ibu masih kepengin saya smash…,”“Whaatt??”“Ups, maaf, maaf, Bu. Maksud saya, sebagai ucapan terima kasih karena Ibu telah menerima saya bekerja di perusahaan ini, maka saya bersedia meng
Bab 11:Lupa Memencet Tombol Beberapa saat aku terus berdiri di tepi jalan, memandangi mobil Ibu Joyce yang telah melaju dan semakin jauh meninggalkan aku. Ternyata Ibu Joyce tidak mempunyai kebun, dan sekali lagi dia berhasil menipuku mentah-mentah. Aku merasa sangat, sangat kecewa. Namun, aku berusaha membesarkan hatiku sendiri dengan mengingat-ingat bahwa,“Kecewanya karena patah hati jauh lebih menyakitkan daripada ini.”Aku menghela nafas sekali, masih berdiri dengan perasaan yang hampa. Aku mengulum bibirku sendiri dan menggigit-gigitinya sampai terasa sakit. Aku melakukan ini karena rasa kecewa akibat tingkah-polah Ibu Joyce tadi telah berubah menjadi sakit hati.Bagaimana tidak?
Bab 12:Dang-ding-dong Dua hari kemudian…,Aku bangun subuh supaya tidak terlambat di hari pertamaku bekerja. Jarak antara rumah Alex dengan kompleks perkantoran tempatku bekerja memang cukup jauh. Aku sudah keluar dari rumah Alex ketika hari masih gelap, dan berjalan ke arah persimpangan jalan raya untuk menyetop angkot. Untuk ongkos, syukurlah, aku mendapat sedikit uang dari Tante Resmi ketika disuruh untuk menguras dan membersihkan kolam hias di depan rumahnya.Ketika mengerjakan itu, aku belum juga bertemu atau bahkan hanya melihat Resti, anak Tante Resmi yang menurut keterangan Alex sangat cantik, menyamai kecantikan semua artis Hollywood yang bernama Jennifer.“Belum rejeki kamu,” kata Alex.Biar saja. Toh, aku jatuh c
Bab 13:Onde-onde Ruangan yang sedang aku pandangi itu tidak mempunyai label. Namun, menurut keterangan Ibu Kemas itu adalah ruangan serbaguna, tempat para karyawan beristirahat, duduk-duduk, atau menggosipi para atasan yang menjengkelkan.Ruangan serbaguna itu sendiri ukurannya cukup besar. Dimensinya lebih dari satu setengah kali lapangan voli. Di pojok ada sebuah toilet untuk dua gender; ladies dan gentleman, dilengkapi dengan keran air untuk mengambil wudhu. Kemudian, ada sebuah mushola dengan garis batas suci yang jelas di lantainya, dan ditabiri dengan sebuah dinding lipat portabel yang terbuat dari anyaman rotan. Simpel, tetapi cantik.Berseberangan dengan itu, ada beberapa set meja kursi yang jika aku bayang-bayangkan kalau menduduki salah satun
Bab 14:Surat Peringatan Gawat! Aku sampai termangu mendengar penuturan Ibu Kemas. Bahwa kejadian di ruangan serbaguna tadi ternyata berbuntut panjang. Rutenya “mbulet-mbulet”, maksudku melingkar-lingkar, dan itu semua terjadi dalam waktu yang tak lebih dari dua jam saja.Ibu berambut coklat tadi ternyata tersinggung berat dengan kata-kataku. Dia lalu menemui seseorang, yang mungkin itu adalah pemilik kewenangan terkait pekerjaan outsourcing di perusahaan ini. Orang kedua itu kemudian menelepon Ibu Joyce, Ibu Joyce kemudian menelepon Ibu Kemas, Ibu Kemas langsung mencari aku, yang Ibu Kemas temui justru Danil, Ibu Kemas kemudian menyuruh Danil mencari aku, lalu sekarang…,“Kamu ngomong apa tadi sama Ibu Anne?”&
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.