Bab 11: Lupa Memencet Tombol
Beberapa saat aku terus berdiri di tepi jalan, memandangi mobil Ibu Joyce yang telah melaju dan semakin jauh meninggalkan aku. Ternyata Ibu Joyce tidak mempunyai kebun, dan sekali lagi dia berhasil menipuku mentah-mentah. Aku merasa sangat, sangat kecewa. Namun, aku berusaha membesarkan hatiku sendiri dengan mengingat-ingat bahwa,
“Kecewanya karena patah hati jauh lebih menyakitkan daripada ini.”
Aku menghela nafas sekali, masih berdiri dengan perasaan yang hampa. Aku mengulum bibirku sendiri dan menggigit-gigitinya sampai terasa sakit. Aku melakukan ini karena rasa kecewa akibat tingkah-polah Ibu Joyce tadi telah berubah menjadi sakit hati.
Bagaimana tidak?
Bab 12:Dang-ding-dong Dua hari kemudian…,Aku bangun subuh supaya tidak terlambat di hari pertamaku bekerja. Jarak antara rumah Alex dengan kompleks perkantoran tempatku bekerja memang cukup jauh. Aku sudah keluar dari rumah Alex ketika hari masih gelap, dan berjalan ke arah persimpangan jalan raya untuk menyetop angkot. Untuk ongkos, syukurlah, aku mendapat sedikit uang dari Tante Resmi ketika disuruh untuk menguras dan membersihkan kolam hias di depan rumahnya.Ketika mengerjakan itu, aku belum juga bertemu atau bahkan hanya melihat Resti, anak Tante Resmi yang menurut keterangan Alex sangat cantik, menyamai kecantikan semua artis Hollywood yang bernama Jennifer.“Belum rejeki kamu,” kata Alex.Biar saja. Toh, aku jatuh c
Bab 13:Onde-onde Ruangan yang sedang aku pandangi itu tidak mempunyai label. Namun, menurut keterangan Ibu Kemas itu adalah ruangan serbaguna, tempat para karyawan beristirahat, duduk-duduk, atau menggosipi para atasan yang menjengkelkan.Ruangan serbaguna itu sendiri ukurannya cukup besar. Dimensinya lebih dari satu setengah kali lapangan voli. Di pojok ada sebuah toilet untuk dua gender; ladies dan gentleman, dilengkapi dengan keran air untuk mengambil wudhu. Kemudian, ada sebuah mushola dengan garis batas suci yang jelas di lantainya, dan ditabiri dengan sebuah dinding lipat portabel yang terbuat dari anyaman rotan. Simpel, tetapi cantik.Berseberangan dengan itu, ada beberapa set meja kursi yang jika aku bayang-bayangkan kalau menduduki salah satun
Bab 14:Surat Peringatan Gawat! Aku sampai termangu mendengar penuturan Ibu Kemas. Bahwa kejadian di ruangan serbaguna tadi ternyata berbuntut panjang. Rutenya “mbulet-mbulet”, maksudku melingkar-lingkar, dan itu semua terjadi dalam waktu yang tak lebih dari dua jam saja.Ibu berambut coklat tadi ternyata tersinggung berat dengan kata-kataku. Dia lalu menemui seseorang, yang mungkin itu adalah pemilik kewenangan terkait pekerjaan outsourcing di perusahaan ini. Orang kedua itu kemudian menelepon Ibu Joyce, Ibu Joyce kemudian menelepon Ibu Kemas, Ibu Kemas langsung mencari aku, yang Ibu Kemas temui justru Danil, Ibu Kemas kemudian menyuruh Danil mencari aku, lalu sekarang…,“Kamu ngomong apa tadi sama Ibu Anne?”&
Bab 15:Ternyata Itu Tato Menerima berkas yang kedua, mataku sontak membeliak. Alamak! Keluhku dalam hati. Apa pula ini? Barusan yang aku terima adalah Surat Peringatan Kesatu. Lalu sekarang, di tanganku ini adalah Surat Peringatan Kedua?? Dan aku mendapatkan itu di hari keduaku bekerja?? Instan sekali! Mimpi apa aku semalam? Aku yang sial atau memang kehidupan ini yang kejam?Aku menelan ludah, lalu dengan takut-takut aku mengangkat kepala. Berganti-gantian kemudian aku menatap wajah Ibu Kemas, Ibu Joyce dan Ibu Dewi dengan pandangan yang memelas.Dikelilingi oleh tiga wanita begini, yang kesemuanya adalah atasanku, aku merasa bagai dihadapkan oleh tiga orang Raden Ajeng Kartini sekaligus. Lalu aku, betapa tak becusnya aku sebagai manusia dan juga laki-laki karena menda
Bab 16:Ganteng Ini Membunuhku “Apakah saya perlu mengeluarkan Surat Peringatan Ketiga?? Supaya kamu bisa langsung get out dari PT Sinergi??” tanya Ibu Joyce dalam umpatannya.Oh, kalau aku bisa pingsan, aku ingin pingsan sekarang juga. Supaya Ibu-ibu para atasan yang terhormat lagi mulia ini bisa sedikit merasa iba. Tiba-tiba saja aku merasa kecil, kerdil, mini, liliput, dan aku tak ubahnya bagai tungau di selangkangan anak-anak kampung, yang dibasmi dengan cara disontek menggunakan ujung lidi. Tuing! Dan tak ada yang peduli.“Kamu menunduk lagi?? Kamu mau ngeliatin kaki saya lagi??”Aku tersentak, dan cepat-cepat kuangkat kembali wajahku. Ya Tuhan, apakah harus beg
Bab 17:Antara Munif dan Munaf Baik? Baik apanya? Seperti kuntilanak begitu dibilang baik? Iya, betul, baik, kalau dilihat menggunakan sedotan, dari puncak gunung Himalaya sana. Namun, tanda tanya yang tadi sempat membersit dalam benakku pun kembali mencuat; “apakah mereka berdua ini sedang bersandiwara?”Lalu, Ibu Joyce, apakah dia juga bersandiwara? Pada sesi wawancara dia bersikap genit dan mau menggodaku, apakah itu sandiwara? Ketika dia mencak-mencak di ruangan CS tadi, itu juga sandiwara?Aku yakin sekali, Ibu Joyce tadi tersenyum ketika melihatku yang memelas dan memohon-mohon supaya jangan dipecat. Benar, meskipun dia cepat-cepat menutupi senyumnya itu dengan tablet, tapi sorot mata yang geli masih sempat aku tangkap meski hanya sesaat.&nb
Bab 18:Rindu Pakai Banget “Untuk postur badan Bu Joyce yang sekarang ‘over’ begini, menurut aku agak sedikit lucu juga sih,” kata Danil kemudian.“Kenapa begitu?” tanyaku.“Setahu aku, ini setahu aku ya? Biasanya, perempuan kalau sudah bercerai dari suaminya malah semakin kelihatan cantik, semakin seksi, begitu. Kalau gemuk, akan semakin langsing. Kalau dia kulitnya kusam, akan semakin cerah. Kalau jerawatan, akan semakin mulus. Yah, lebih kurang seperti itulah. Tapi, Ibu Joyce malah kebalikannya. Setelah bercerai, dia malah gemuk begitu.”“Jadi, Bu Joyce itu.., janda?” tanyaku lagi yang tiba-tiba antusias.“Iya.”“Sudah lama?”“Apanya?”
Bab 19:Bertemu Gebetan Tunggu, apakah itu perempuan yang bernama Resti? Dia sedang berjongkok, menggulung selang air yang barusan tadi dia pakai untuk menyiram bunga di pekarangan. Dia membelakangi jalan, maka dia juga membelakangi aku.Aku sengaja melambatkan langkahku, sembari berharap dia akan berbalik supaya aku bisa melihat paras wajahnya. Ketika aku melewati depan rumah Tante Resmi, wanita itu masih juga belum selesai menggulung selang air. Aku langsung berjongkok dan berpura-pura membetulkan tali sepatuku.“Kalau memang kamu Resti, berbaliklah kamu!” harapku dalam hati.“Jangan takut, sayang. Aku tidak akan menggoda kamu.”&nbs
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.