Bab 5: Pergulatan
Aku lupa, ketika itu sedang hari apa. Pastinya, itu adalah hari libur sekolah. Aku dimintai tolong oleh Bu Suratih untuk membetulkan genteng yang bocor di rumahnya. Aku senang sekali, sebab ada kemungkinan aku bisa melihat dan bertemu dengan Ningsih.
Di suatu kamar di bagian belakang rumah Pak Sadeli itu, aku naik ke atas plafon untuk mengecek kebocoran. Sampai di atas, aku merasa heran karena tidak menemukan tanda-tanda kebocoran di ruangan itu. Aku turun kembali dan bermaksud untuk memeriksa genteng dari luar.
Sampai di bawah, jejakan kakiku di lantai bersamaan dengan ceklek! Bu Suratih menutup pintu kamar. Ia bersedekap di depanku dengan kedua kaki yang sedikit direnggangkan.
“Tapi, di sini tidak ada yang bocor, Bu.” Kataku dengan tetap lugunya.
“Iyakah?”
“He-eh. Aku mau coba periksa di luar.”
“Tidak usah, Ko.”
Bu Suratih menghalangi maksudku yang ingin keluar. Ia bahkan menangkap tanganku yang hampir menyentuh handel pintu. Setelah itu, ia maju dan mendekatiku yang serentak mundur beberapa langkah.
“Bu, saya periksa dari luar ya? Saya mau naik ke atas genteng.”
“Tidak usah, Ko. Kamu naiknya di sini saja.”
Aku mulai blingsatan, karena ketika Bu Suratih mengatakan “di sini”, tangannya menunjuk dadanya sendiri.
Aku terus mundur ke belakang, Bu Suratih tetap mengejar. Aku berjalan mengitar, dan Bu Suratih tetap mengejar.
“Ayolah, Mas Joko,” kata Bu Suratih dengan nafas yang mulai memburu.
“Pak Sadeli tidak sada di rumah, Ko. Di pergi keluar kota, besok lusa baru pulang. Sementara Ningsih sekarang lagi nginep di rumah temennya.”
Aku semakin panik. Posisiku sudah berada di sudut kamar. Tak berkutik.
“Bu, maaf ya, Bu. Aku harus pulang sekarang. Aku mau nyemprot di kebun.”
“Tak usah, Ko. Kamu nyemprotnya di sini saja.”
Aku menelan ludah. Bu Suratih mulai mengurai simpul baju kimononya. Aku pun tak habis pikir, sejak kapan dia pakai baju kimono.
“Aduh, maaf banget, Bu. Aku tidak bisa.” Kataku dengan wajah memelas.
“Tidak bisa? Tidak bisa kenapa, Mas Joko?”
“Aku.., aku..,”
Bu Suratih mendekap tubuhku, memeluk erat dan…,
Oh, Ya Tuhan, aku tidak mau kisah hidupku seperti kisah novel stensilan. Aku berusaha melepaskan tangan Bu Suratih. Usahaku berhasil. Namun, ia kembali memeluk aku dari posisi yang berbeda, dan semakin gencar memberi aku umpan bola tiga, bola dua, bola satu, dan juga umpan cepat. Bahkan, ia juga mengajakku untuk berjungkir balik.
Brug! Aku terjatuh di kasur. Hei! Kenapa bisa semudah itu aku dijatuhkan Bu Suratih? Aku memang lebih tinggi darinya, namun tak kusangka ternyata Bu Suratih mempunyai tenaga yang lumayan besar.
Bu Suratih segera menubruk dan menindihku. Aku berusaha mendorongnya untuk lepas dari jebakan. Namun, ia bertahan, dan terus melancarkan serangan demi serangan. Ini bukan lagi mirip permainan voli, tetapi lebih mirip pertandingan gulat. Ada yang menyerang dan ada yang diserang. Ada yang mendesak dan ada yang didesak. Kelit berkelit, lepas berkait, luput pun bertaut, dan aku nyaris semaput.
Pada satu kesempatan, aku berhasil membalikkan keadaan. Sehingga aku yang selanjutya berada di atas, dengan kedua tangan yang aku tekankan pada tangan Bu Suratih supaya dia tidak bisa memberontak.
“Mohon maaf, Bu, aku tidak bisa,” kataku dengan terengah-engah.
Tiba-tiba saja…, krieeet! Pintu kamar terbuka, lalu muncullah di ambang pintu seseorang yang serta-merta membuatku bagai tersengat listrik. Yaitu, Ningsih!
“Astaghfirullah!” pekiknya spontan.
Spontan pula aku bangkit dari tubuh ibu tirinya dan cepat melangkah mendekati Ningsih.
“Jangan salah paham, Ningsih. Aku tidak bermaksud jahat sama ibumu.”
Ningsih mundur selangkah demi selangkah untuk menjauhi aku. Wajahnya terperangah, kepalanya menggeleng, dan bibirnya terbuka seperti ada sejuta kata yang tersangkut di sana.
Bu Suratih menyusul bangkit, dan cepat ia membenahi baju kimononya. Namun, sungguh tak kuduga, sekonyong-konyong saja ia memaki aku.
“Kurang ajar kamu, Joko! Berani sekali kamu menyentuh saya!”
Tak cukup di situ, Bu Suratih juga menampar wajahku. Plak!
“Dasar kamu laki-laki tak bermoral!”
********
Begitu pandainya Bu Suratih bersandiwara. Begitu lihainya ia membalikkan keadaan. Hingga seterusnya, akulah yang terus terpojok oleh fitnah yang tak berkesudahan. Satu hal yang membuat aku tak bisa berkelit adalah, Ningsih yang melihatku sedang berada “di atas”, sehingga siapa pun orangnya pasti akan mengira bahwa akulah aktor utama dan juga inisiator dari drama “pergulatan” di dalam kamar itu.
Ningsih kemudian mengadukan perihal kejadian itu kepada Pak Sadeli. Sontak saja, ayahnya itu naik pitam dan mencari aku untuk membuat perhitungan. Desas-desus yang dulu kudengar tentang Pak Sadeli yang di masa mudanya adalah seorang berandalan ternyata benar. Karena ia telah bertekad untuk menghabisi aku, di mana pun, dan kapan pun bisa mendapatkan aku.
Aku terpaksa bersembunyi ke sana-sini, menumpang di rumah teman yang satu ke teman yang lain. Sementara Pak Sadeli terus saja mengejar dan memburu aku. Ia sampai menyatroni sebuah proyek bangunan di mana aku pernah bekerja sebagai kuli. Ia juga sampai menyisir perkebunan tempat biasa aku bekerja sebagai buruh harian.
“Kamu ada urusan apa dengan Pak Sadeli?” tanya seorang temanku.
Aku menelan ludah kecut.
“Dia mencari-cari kamu, sambil menenteng pentungan!”
Aku menelan ludah, semakin kecut. Sungguh, aku tidak punya kesempatan untuk membela diri dan menjelaskan segala duduk perkara dengan sebenar-benarnya. Aku pun tak tahu, entah bagaimana mulanya desas-desus di masyarakat itu menyebar, tentang diriku yang menggoda Bu Suratih, dan mencoba melakukan aksi pelecehan pula terhadapnya. Aku merasa semuanya seakan-akan telah berkonsprirasi untuk mencemarkan nama baikku.
Di suatu kesempatan, aku berhasil pulang ke rumahku sendiri. Aku masuk berjingkat-jingkat dari pintu belakang yang kebetulan tidak dikunci. Sampai di dalam, ternyata ibuku sedang mengadon tepung untuk membuat kue.
Ibu melihatku, anak kandungnya sendiri, seperti melihat najis. Beberapa saat ia terpaku dengan wajah yang sontak merah padam. Aku yang haus, aku yang lapar, sama sekali tak diberi kesempatan untuk minum atau makan. Bahkan, mengucapkan sepatah kata pun tidak.
“Dari mana saja kamu, Joko??” Sentak Ibu tiba-tiba.
Ia kemudian bangkit, dan dengan tangannya yang berlepotan tepung ia menampar wajahku. Plak!
“Untuk ini kamu sekolah?! Untuk ini kamu dididik dan dibesarkan??”
“Jawab, Joko, jawaaaab! Untuk ini kamu aku lahirkan??”
“Haah?? Untuk mencoreng aib di muka ibumu??”
Ibu histeris, sementara aku sendiri sudah hampir tak mampu menahan tangis.
“Aku berani sumpah, Bu, aku tidak pernah mengganggu Bu Suratih.”
“Bikin malu saja kamu! Ini aib, Ko! Ini aib keluarga! Mau Ibu taruh di mana muka ini??”
“Demi Allah, Bu. Aku tidak pernah menggoda Bu Suratih.”
“Bohong kamu! Buktinya, Pak Sadeli dan Bu Suratih sendiri yang datang ke sini dan mengatakan semuanya pada Ibu!”
“Itu tidak betul, Bu. Itu tidak betul! Aku, aku..,”
“Pergi kamu dari rumah ini! Pergi yang jauh!”
“Bu, aku bersumpah…,”
“Aku bilang, pergiiiii…!”
Ke mana aku harus pergi? Ke mana aku akan membawa cinta suciku pada Ningsih ini? Juga, bagaimana aku bisa menceritakan tentang kebenaran yang sesungguhnya terjadi?
********
Bab 6: Segelas Teh Manis Hari sudah menjelang pukul delapan malam ketika Alex sampai di rumah. Ketukan yang ia lakukan di pintu membuatku kembali tertarik dari perenunganku akan masa lalu. Aku tak sempat berpikir bagaimana tadi aku tidak mendengar suara motornya ketika sampai dan diparkir di teras depan. Aku bahkan tidak ingat apa-apa saja yang aku tonton di televisi sedari tadi.“Kamu sudah makan, Ko?” tanya Alex, begitu sosok kurus dengan rambut keritingnya muncul di ambang pintu.“Sudah,” jawabku sembari mengecilkan volume televisi.“Tumben kamu pulang malam. Lembur ya?” tanyaku pula.“Iy
Bab 7:Hikayat Tentang Sapi Setelah mandi, Alex mengajakku keluar dengan motornya. Kami membeli sembako dan beberapa barang lain yang terkait kebutuhan dapur. Setelah sampai kembali di rumah, Alex memintaku memasak mie instan untuk kami berdua.“Jadi, bagaimana interview kerja kamu tadi siang, Ko?” tanya Alex sembari mengutak-atik ponselnya.“Agak aneh, Lex.”“Agak aneh? Aneh bagaimana?”Aku yang tengah merajang bawang dan cabai rawit, membagi konsentrasiku supaya bisa menceritakan perihal kejadian yang aku alami tadi siang bersama Bu Joyce.“Sampai begitu? Dia duduk di meja? Di
Bab 8:Foto ProfilAku ingat sekali. Dulu, beberapa hari sebelum ayahku meninggal dunia, di saat-saat sakitnya beliau pernah mengatakan sesuatu kepadaku.“Joko, Bapak titipkan dua orang wanita ke kamu.”“Yang pertama, ibu kamu. Hormati dia, sayangi dia, dan berbaktilah kamu padanya.”“Yang kedua, adik kamu. Sayangi dia, lindungi dia, dan jagalah kehormatannya.”Mungkin, ketika itu Bapak telah mendapat firasat bahwa ia akan pergi, sehingga ia pun menyampaikan amanah itu kepadaku. Aku diam saja, dan tidak tahu harus menjawab apa. Bapak selalu ingin menjadikan aku sebagai laki-laki yang “laki-laki”, berani, tegas, dan bertanggung-jawab. Untuk itulah, Bapak juga selalu menuntutku untuk menjawab pertanyaannya itu.“Kamu bersedia, Joko?”“Iya, Pak,&r
Bab 9:Muka Ganteng Besok-besok saja aku bayangkan lagi, akan bagaimana pertemuan Alex dengan gebetannya itu. Karena sekarang, hari ini, jam sebelas siang ini, aku harus memfokuskan perhatianku pada semua keterangan Ibu Joyce.Syukurlah, akhirnya aku diterima bekerja, bersama sekitar selusinan orang yang semuanya sedang duduk takzim di meeting room ini. Satu hari setelah obrolanku dengan Alex tentang Lo Rena yang ia kenal dari facxbook itu, aku mendapat telepon dari seseorang bernama Ibu Dewi, yang mengaku sebagai asisten Ibu Joyce. Ia memberitahuku untuk bisa hadir pada pertemuan ini, ya hari ini, ya saat ini, ya malangnya aku ini karena terlambat setengah jam dari waktu yang telah ditentukan.Kelihatan sekali wajah Ibu Joyce segera masam begitu melihat sosokku
Bab 10: Sebidang Kebun “Nasib baik kamu sekarang, saya masih punya hati. Kalau tidak, kamu sudah langsung saya pecat sekarang juga!” Aku mengangkat wajah pelan-pelan, memberanikan diri menatap wajah Ibu Joyce untuk menebak kesungguhan dari semua kata-katanya barusan. Sungguh, sikapnya sekarang ini bertolak belakang sekali dengan sikapnya beberapa hari yang lalu. Aku ingin mengatakan sesuatu. Namun, karena bingung, akhirnya mulutnya terbuka dan tertutup dengan sendirinya, seperti dumang, alias duyung mangap. “Hayo! Kamu mau ngomong apa??” sentak Bu Joyce. Akhirnya, aku menemukan cara untuk mendinginkan hati ibu manajer ini, dan mudah-mudahan ia tak pernah berpikir lagi untuk memecat aku. “Anu, Bu, eee,” “Anu, apa??” “Kalau Ibu masih kepengin saya smash…,”“Whaatt??”“Ups, maaf, maaf, Bu. Maksud saya, sebagai ucapan terima kasih karena Ibu telah menerima saya bekerja di perusahaan ini, maka saya bersedia meng
Bab 11:Lupa Memencet Tombol Beberapa saat aku terus berdiri di tepi jalan, memandangi mobil Ibu Joyce yang telah melaju dan semakin jauh meninggalkan aku. Ternyata Ibu Joyce tidak mempunyai kebun, dan sekali lagi dia berhasil menipuku mentah-mentah. Aku merasa sangat, sangat kecewa. Namun, aku berusaha membesarkan hatiku sendiri dengan mengingat-ingat bahwa,“Kecewanya karena patah hati jauh lebih menyakitkan daripada ini.”Aku menghela nafas sekali, masih berdiri dengan perasaan yang hampa. Aku mengulum bibirku sendiri dan menggigit-gigitinya sampai terasa sakit. Aku melakukan ini karena rasa kecewa akibat tingkah-polah Ibu Joyce tadi telah berubah menjadi sakit hati.Bagaimana tidak?
Bab 12:Dang-ding-dong Dua hari kemudian…,Aku bangun subuh supaya tidak terlambat di hari pertamaku bekerja. Jarak antara rumah Alex dengan kompleks perkantoran tempatku bekerja memang cukup jauh. Aku sudah keluar dari rumah Alex ketika hari masih gelap, dan berjalan ke arah persimpangan jalan raya untuk menyetop angkot. Untuk ongkos, syukurlah, aku mendapat sedikit uang dari Tante Resmi ketika disuruh untuk menguras dan membersihkan kolam hias di depan rumahnya.Ketika mengerjakan itu, aku belum juga bertemu atau bahkan hanya melihat Resti, anak Tante Resmi yang menurut keterangan Alex sangat cantik, menyamai kecantikan semua artis Hollywood yang bernama Jennifer.“Belum rejeki kamu,” kata Alex.Biar saja. Toh, aku jatuh c
Bab 13:Onde-onde Ruangan yang sedang aku pandangi itu tidak mempunyai label. Namun, menurut keterangan Ibu Kemas itu adalah ruangan serbaguna, tempat para karyawan beristirahat, duduk-duduk, atau menggosipi para atasan yang menjengkelkan.Ruangan serbaguna itu sendiri ukurannya cukup besar. Dimensinya lebih dari satu setengah kali lapangan voli. Di pojok ada sebuah toilet untuk dua gender; ladies dan gentleman, dilengkapi dengan keran air untuk mengambil wudhu. Kemudian, ada sebuah mushola dengan garis batas suci yang jelas di lantainya, dan ditabiri dengan sebuah dinding lipat portabel yang terbuat dari anyaman rotan. Simpel, tetapi cantik.Berseberangan dengan itu, ada beberapa set meja kursi yang jika aku bayang-bayangkan kalau menduduki salah satun
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.