"Pertanyaan saya belum kamu jawab loh, Ham?"
"Eh... yang mana, Ris?"
"Kamu sama Umi kenapa nggak jadi ikut ke pengajian? Tadi, saya emang sempet nanya ke pak kyai. Tapi, beliau justru hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ya jadinya, saya nggak berani mau nanya-nanya lagi," papar Haris, menatap Ilham dengan serius.
"Oalah, yang itu. Maaf-maaf, saya jadi lupa gara-gara kamu nepuk pundak saya tadi. Hehehe."
Ilham menarik napasnya dalam lalu mengembuskan dengan perlahan, "Siska ngamuk ke Umi, Ris. Kondisinya memang bener-bener lagi nggak baik, itu juga pasti karena dia masih syok dan belum bisa menerima kenyataan yang ada di hidupnya," jelas Ilham.
"Kenyataan? Kenyataan apa, Ham?" Haris semakin dibuat penasaran.
"Aduh, gimana ya, Ris? Saya jadi nggak enak ini mau bilang ke kamu, bingung juga sebenernya kamu udah tau apa belum."
"Ha
Mendengar pertanyaan dari Ayahnya itu kembali membuat Aqila sedikit merasa takut, ia langsung kembali tidur dan memeluk guling dengan erat. "Jangan ngomongin itu, Ayah. Nanti dia ke sini!" Deg! Degup jantung Ilham tak berdetak beberapa detik, ia menatap Haris tanpa berkedip. "Nggak akan ada yang berani dateng ke sini, Qila. Kan ada Om Haris," sahut Haris seraya memainkan alisnya dan juga menepuk-nepuk dadanya. "Ta-tapi, Qila ta-takut," ucap Qila terbata-bata dan masih menyembunyikan wajahnya di balik guling. "Emang ada si, Qila? Kok kamu sampe bener-bener ketakutan gitu." Haris mendekatkan wajahnya ke telinga Aqila. Gadis kecil itu justru terkejut dan langsung memukul Haris dengan guling yang sedari tadi ia peluk. "Loh, Sayang. Kok Om Haris dipukul? Jangan gitu, Sayang! Nggak sopan!" Ilham mengambil guling yang ada di dalam dekapan putrinya. Namun, Haris justru terkekeh seraya menggelengkan kepalanya. Ia tahu bahwa Aqila tak sengaja melakukan hal itu, gadis kecil itu
Siska menatap Ilham dengan iba, ternyata sekarang ini mantan suaminya itu tidak bahagia dengan istri barunya. Walau Ilham telah menyakiti dirinya demi Nabila, rasa kemanusiaan masih tetap ada.Sedangkan Nabila, wanita itu seolah sudah kehilangan hati nuraninya. Kini justru ia menatap Ilham dengan nyalang seraya berdiri dan mengepalkan kedua tangannya."Ya Mas pikir aja lah sendiri! Siapa coba yang seneng baru nikah suaminya udah nyusahin begini?! Yang ada justru bikin aku stres, Mas! Stres! " Nabila mencengkram erat kepalanya.Ilham langsung tertawa getir, "emangnya selama satu bulan di sini saya ada nyusahin kamu apa? Pernah kamu bantuin saya? Sekedar bantu saya naik kursi roda aja memangnya pernah?" Nada bicara mulai meninggi. Kalau bukan karena Pak Kyai dan juga Umi rasanya juga Ilham ingin segera menceraikan Nabila.Selama ini memang Nabila tidak pernah sekali pun mengurus Ilham atau pun melayani
Plak!Tamparan keras kembali mendarat di pipi Nabila. Tapi, kali ini bukan Siska yang menamparnya melainkan Uminya sendiri.Umi seolah dibuat naik darah oleh sikap anaknya itu, tak dapat lagi beliau bersabar. Memang seharusnya Nabila diberi pelajaran agar tak bicara dengan sembarang."Umi..." Kedua mata Nabila berkaca-kaca, tangannya memegang pipi kirinya yang terasa panas dan perih di sudut bibirnya itu."Puas kamu, Sis!" Nabila menghentakkan kakinya dengan kasar dan langsung berlari ke dalam rumah.Siska hanya mengeryitkan dahinya heran, bahkan ia benar-benar sangat keheranan dengan sikap Nabila yang terlihat seperti sikap anak-anak. Bahkan, putri kecilnya yang baru 3 tahun saja kalau marah tidak sampai seperti itu."Umi kok rasanya udah nggak sanggup menghadapi Nabila ya, Bah. Umi bener-bener penat, kepala Umi rasanya mau pecah ini, Bah. Astaghfirullah," k
Nabila terdiam sesaat, kedua bola matanya mengarah atas. Ia berupa untuk mengingat kejadian semalam, seingatnya memang semalam ia tidur dan tak melakukan apa pun.Namun, memang sebelum ia benar-benar bisa tertidur lelap ia sempat mendengar rintihan orang yang minta tolong dari balik jendela kamarnya.-Flashback on-Lampu kamar sudah Nabila matikan, sejak kemarin malam kedua matanya belum terpejam. Ia begitu lelah karena isi kepala terus berputar mengingat perkataan Pak Kyai yang telah mengatakan bahwa ia bukan lah anak kandungnya.Pernyataan tersebut bagaikan petir yang mengabarkan dirinya di siang hari. Ia benar-benar tak percaya dengan semua itu.Karena ia sudah lelah menangis sepanjang hari, akhirnya malam ini ia pun bisa sedikit tenang dan mulai merasakan kantuk.Lalu, kemudian ia merebahkan tubuh dengan perlahan di atas kasur, menarik selimut dan memeluk
Siska benar-benar dibuat jengah oleh keadaan ricuh di rumah Pak Kyai. Tak akan lagi ia mengizinkan Ilham dan juga Haris untuk membawa Aqila menginap di sana. Apalagi segala ada sesuatu yang berbau mistis di sana. Ia hanya takut terjadi hal buruk kepada buah hatinya itu.Kini, hanya Aqila lah yang menjadi sumber semangat hidupnya. Jika terjadi apa-apa dengan putrinya itu, ia tak akan pernah bisa memanfaatkan dirinya sendiri.Kini Aqila dan Siska sedang duduk di dalam taksi. Mereka menuju rumah Fatya, sudah lama dari terakhir kali persidangan itu kedua sahabatnya itu bertemu.Memang sejak semalam Fatya terus mendesak Siska agar mau berkunjung ke rumahnya. Sahabat baiknya itu bilang ada kejutan untuk dirinya, yang sudah pasti ia kan menyukai sebuah kejutan itu.Walau Siska sudah menolaknya karena memang sudah janji duluan dengan putrinya agar ia menyusul di rumah Pak Kyai tapi tetap saja F
Akhirnya setelah segala kepenatan waktu telah memberikan bahagia yang tak akan pernah bisa dibeli dengan apa pun. Setidaknya, hari ini Siska bisa mencurahkan segala isi hati dan merasakan kebebasan saat bersama dengan sahabatnya.Mereka saling berbagi kasih dan sayang serta beberapa hal yang telah mereka lewati dalam beberapa tahun terakhir. Susah, senang mau pun duka, hingga tak terasa waktu begitu cepat berlalu.Hari mulai petang, Siska dan juga para sahabatnya yang lain harus segera kembali ke rumah masing. Tapi, malam ini Dewi ingin menginap di rumah Siska.Dewi benar-benar sangat merindukan Siska. Sebelum masa lajangnya berakhir, ia ingin menikmatinya terlebih dahulu dengan cara menghabiskan waktu bersama dengan sahabatnya.Sebenernya mereka berempat berencana liburan di luar kota untuk benar-benar quality time, tapi memang harus menunggu waktu yang sama-sama kosong baru bisa mewujudkan keingina
"Duh ya gimana lagi? Ini berkasnya nggak ada. Udah sana kamu cepet print ulang dan segera suruh orang yang perlu tanda tangan untuk menandatanganinya!" suruh Haria dan tetap berupaya untuk mencari dimana berkas penting itu berada."Ta-tapi, Pak. Waktunya tinggal 1 jam lagi, dan beberapa Direktur juga ada yang belum berangkat.""Jam segini ngapain aja belum berangkat, memang ini kantor nenek moyangnya! Cepat hubungi suruh berangkat! Enak aja mau seenaknya di sini. Saya baru tau ini kalau mereka semena-mena gitu dateng ke kantor, mentang-mentang saya jarang datang gitu?!" Kedua mata Ilham mulai membara.Di pagi hari ini ada saja beberapa masalah yang sudah terhidangkan."Saya juga nggak tau, Pak. Kalau gitu saya permisi dulu, akan saya kerjakan semuanya," balas wanita itu lalu bergegas keluar."Argh, dasar ya mereka ini." Haris mengacak rambutnya frustasi. Ternyata selama ini ia ku
"Kaa! Dimana tempat pengawasan cctv, ya?" tanya Siska.Ika langsung mengangkat kepalanya menatap Siska sekilas. Hanya sekilas saja karena kedua pasang matanya kembali tertuju pada layar laptopnya."Di lantai bawah," balas Ika."Oke, makasih. Dan aku harap sikap dinginmu ini segera menghangat kembali, nggak enek begini terus kitanya, Kaa," seru Siska lalu beranjak pergi."Hahaha..."Mendengar suara tawa Ika yang mengudara sontak saja membuat Siska kembali menatap wanita itu, kedua matanya menyipit, ia menelisik wajah Ika."Kenapa?" Siska mengangkat bahunya."Gara-gara satu kesalahan wanita ini kita semua jadi kena semprot Pak Haris, temen-temen!" seru Ika dengan lantang dan ia pun kini sedang berdiri seraya menantang Siska.Siska tak percaya dengan apa yang ia dengar ini. Walau ia tahu memang ada sebuah kesalahan di si
Satu bulan sudah Ilham kembali ke Indonesia. Hampir setiap hari lelaki itu selalu mengunjungi putri kecilnya dan tak jarang pula mengajaknya pergi keluar. Sebenarnya ia juga sangat ingin kembali membangun kedekatan dan memperbaiki hubungannya dengan Siska. Namun, sayang sekali. Hal tersebut sama sekali tak mampu untuk Ilham wujudkan dan hanya menjadi sebuah angan belakang. Hampir setiap kali Ilham datang Siska tak pernah berada di rumah. Kalau pun sedang di rumah ia hanya akan menemui Ilham sebentar untuk memberikan minuman dan sebuah makanan ringan. Lalu, kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Sama halnya dengan sore hari ini. Siska dan Ibu tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sedangkan Bapak dan Aqila tengah duduk bersantai di teras rumah sembari menikmati secangkir kopi dan brownis basah buatan Siska. “Ayah...” panggil Aqila lirih seraya mendongakkan kepalanya. Menatap wajah sang Ayah yang kini tengah memangku tubu
Sebelum menjawabnya Siska terlebih dahulu menatap Ibunya, dan Ibunya tersebut menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa beliau menyetujuinya. Seketika itu juga Ilham langsung tersenyum dengan lebarnya, walau Siska sendiri belum memberikan jawaban. “Ya sudah, ayo kita pulang,” seru Ibu, beliau membalikan tubuh untuk mengambil tas yang masih berada di atas kursi taman. “Ibu sama Siska naik apa?” tanya Ilham lirih. “Taksi,” jawab Siska, ia hendak mengambil alih tubuh Aqila dari gendongan Ilham. Namun, ternyata putri kecilnya itu justru semakin erat memeluk leher Ayahnya. “Nggak, Bunda!” Aqila menggeleng pelan, “Qila mau sama Ayah aja,” lanjutnya. Ilham begitu senang dengan sikap manja putri manisnya ini. Bahkan posisi wajah mereka kini tengah berhadap-hadapan, hanya berjarak lima senti saja. Padahal sebelum pertemuan ini gadis kecilnya itu juga tak selengket ini kepadanya. Justru Aqila sediki
Mendengar namanya dipanggil lelaki itu pun menoleh ke kanan dengan wajah datarnya. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Aqila dan juga Siska. Senyumnya terukir dengan sangat lembutnya, bahkan saat ini kedua matanya mulai berbinar bersamaan dengan bibir yang bergetar pelan. “Qila Sayang,” ucapnya begitu lirih sembari mengusap pucuk kepala Aqila yang masih nampak kebingunan. Sedangkan Siska, kini wanita itu justru tampak terkesiap dengan apa yang kini tengah berada di hadapanya. Seolah tak percaya dan begitu ragu, benarkah yang saat ini sedang berdiri tepat di depannya ini adalah Ilham? Sang mantan suami yang sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah terlihat. “Ini beneran kamu, Mas?” ucap Nabila lagi, kedua matanya tampak terbelalak. Seolah begitu kagum dengan sosok lelaki yang juga berada di hadapannya ini. Namun, lagi-lagi tetap tak mendapatkan respon. Lelaki itu justru teta
Hari-hari berjalan dengan damai. Akhirnya setelah bertubi-tubi masalah selalu hadir 5 bulan Siska benar-benar bisa merasakan sebuah ketenangan. Ia tengah sibuk bekerja, mengembangkan tokonya dan melakukan promosi sebanyak-banyaknya. Perlengkapan di tokonya juga sudah semakin banyak lagi, serta bapak dan ibunya tidak perlu capek-capek untuk melayani para pembeli. Karena, Siska sudah mempekerjakan 3 orang di tokonya itu. Mungkin Ibu dan Bapak hanya sesekali saja ke sana untuk memantau. “Alhamdulillah ya, Nduk. Perlahan tokonya semakin ramai dan keuangan sudah kembali membaik. Maaf kalau Ibu sama Bapak cuma bisa nyusahin kamu aja, Nduk.” Ibu mengusap lembut punggung tangan Siska. Kini mereka tengah duduk di kursi taman. Memperhatikan Aqila yang tengah bermain-main dengan teman sebayanya di hari minggu ini. Siska menatap Ibu dengan lekat, “Ibu ini ngomong apa, sih? Nggak ada yang namanya nyusahin, Bu. Apa yang udah Siska lakuin sekarang ju
Tidak hanya Lestari, bahkan fatya pun juga cukup geram mendengarnya. Pasalnya mereka benar-benar menganggap perkataan Haris baru saja menerangkan bahwa lelaki itu menggunakan Siska sebagai umpan untuk menyeleksi para karyawannya. “Bener-bener ya kamu ini, Haris. Mana bisa kamu memperalat Siska kaya gitu, kamu nggak kasian sama dia? Hah?! Emang paling bener dia nggak perlu kerja di perusahaanmu lagi, ya. Di luar sana masih banyak kok yang bakalan nerima karyawan kompeten sepertinya. Nggak usah bertahan di perusahan toxicmu itu,” sentak Fatya yang sudah mulai tak bisa lagi menahan amarahnya. Sedari ia sudah berusaha untuk tenang dan sabar, tapi mendengar hal itu jelas saja emosinya langsung meledak. Dengan cepat Haris pun langsung menggelengkan kepalanya dan segera menjelaskan kesalapahaman itu, “tunggu-tunggu! Ini nggak seperti yang kalian pikirkan. Sumpah... saya nggak ada maksud untuk menjadikan Siska umpan. Saya suka sama dia makanya sa
“Apa sudah lebih baik?” tanya Dewi, sembari mengusap lembut lengan kanan Siska. Sore ini setelah pulang bekerja, Dewi menyempatkan diri untuk kembali menengok sahabatnya itu. Sedangkan, Fatya dan juga Linda masih ada urusan sehingga mereka akan tiba saat malam nanti. Begitu juga dengan Ika, malam ini ia tidak bisa ikut menemani Siska di rumah sakit karena ada urusan mendadak. Siska tersenyum tipis seraya mengangguk pelan, “udah kok, Dew. Dokter bilang besok juga udah boleh pulang.” “Lalu, apa lagi kata dokternya? Nggak ada yang bahaya kan sama kepala kamu?” tanya Dewi tampak cemas. “Untuk sekarang masih belum diketahui, Dew. Mungkin satu minggu lagi hasilnya akan keluar.” “Masih pusing banget, enggak? Kalau emang masih pusing sebaiknya besok jangan pulang dulu ya, Sya. Urusan orangtua sama anak kamu biar kita yang urus. Tadi, sebelum ke sini juga aku sempetin mampir ke rumah orangtua kamu, kok,” ujar Dewi,
Malam ini di tengah rasa cemas, khawatir, dan bercampur bimbang Haris dengan terpaksa harus mengikuti keinginan Rosalinda untuk makan malam di luar bersama Syakira. Jangan anggap lelaki itu tidak menolaknya, sudah berulang kali Haris tidak mau, tetapi Sang Mama tetap saja memaksannya. Padahal malam ini ia ingin menemani Siska di rumah sakit, sekaligus menyelesaikan percakapan mereka yang ia anggap belum sepenuhnya selesai. Masih banyak hal yang ingin Haris katakan untuk membuat wanita itu mau memberinya kesempatan dan kepercayaan. Namun, sayangnya keadaan sama sekali tak mendukungnya. “Makan, Haris!” seru Rosalinda, sedari tadi wanita itu memperhatikan putranya yang terus sibuk dengan ponselnya tanpa memperdulikan dirinya dan juga Syakira. “Haris nggak lapar, Ma,” balas Haris lirih, lalu menghela napas panjang karena sedari tadi Siska tak mau mengangkat panggilan telepon atau pun membalas pesan-pesannya. Ingin rasanya saat ini juga ia k
Kalau diingat-ingat lagi, sebenarnya Ika sendiri sangat malu. Apalagi kenyataannya dia tak mempunyai hak untuk memiliki rasa cemburu itu, bahkan sekedar dekat dengan bosnya itu pun tidak. Lalu, kenapa dia harus marah dengan Ika waktu itu? Ahhh... Ika sendiri juga tak paham tentang persoalan rasa seperti ini. Sungguh rumit dan tak bisa dijelaskan. “Iya, Kaa. Aku juga udah jaga jarak banget sama Pak Haris setelah ditegur sama Bu Rosalinda, beliau ngelarang aku buat deketin anaknya. Padahal aku sendiri juga nggak ada fikiran sampai ke sana. Nggak tahu kenapa Bu Rosalinda dan Syakira justru beranggapan yang enggak-enggak tentang aku,” balas Siska, sedih rasanya kalau semakin banyak orang yang tak menyukai dirinya seperti ini. “Namanya juga manusia, Siska. Mereka pasti berasumsi sendiri-sendiri, karena para pembenci nggak akan peduli dengan semua kebaikan yang udah kamu berbuat. Di mata mereka apa yang kamu lakukan itu akan selalu buruh,” sambun
Drttt... Drttt... Drttt... Berulang kali ponsel Siska berdering, menandakan ada beberapa pesan WhatsApp yang masuk. Namun, wanita itu sengaja mengabaikannya dan justru memejamkan kedua matanya dalam posisinya yang masih duduk bersender. Ia tak mau memikirkan apapun yang akan membuat kepalanya semakin pusing. Hari ini sudah banyak sekali hal yang membuatnya penat, ingin sekali ia sejenak untuk beristirahat dari segala permasalahannya. Hingga beberapa saat kemudian Ika pun telah datang bersama dengan Fatya dan juga beberapa sahabat Siska yang lain. Wanita itu bahkan tak tahu jika Ika telah memberitahukan keadaannya yang sedang tidak baik-baik ini kepada mereka. “Assalamualikum....” ucap Ika pelan sembari berjalan ke arah Siska, namun kedua matanya justru fokus pada dua paper bag di atas nakas. “Waalaikumsalam,” balas Siska yang sudah kembali membuka kedua matanya setelah mendengar suara pintu yang terbuk