Mendengar pertanyaan dari Ayahnya itu kembali membuat Aqila sedikit merasa takut, ia langsung kembali tidur dan memeluk guling dengan erat.
"Jangan ngomongin itu, Ayah. Nanti dia ke sini!"
Deg!
Degup jantung Ilham tak berdetak beberapa detik, ia menatap Haris tanpa berkedip.
"Nggak akan ada yang berani dateng ke sini, Qila. Kan ada Om Haris," sahut Haris seraya memainkan alisnya dan juga menepuk-nepuk dadanya.
"Ta-tapi, Qila ta-takut," ucap Qila terbata-bata dan masih menyembunyikan wajahnya di balik guling.
"Emang ada si, Qila? Kok kamu sampe bener-bener ketakutan gitu." Haris mendekatkan wajahnya ke telinga Aqila.
Gadis kecil itu justru terkejut dan langsung memukul Haris dengan guling yang sedari tadi ia peluk.
"Loh, Sayang. Kok Om Haris dipukul? Jangan gitu, Sayang! Nggak sopan!" Ilham mengambil guling yang ada di
Siska menatap Ilham dengan iba, ternyata sekarang ini mantan suaminya itu tidak bahagia dengan istri barunya. Walau Ilham telah menyakiti dirinya demi Nabila, rasa kemanusiaan masih tetap ada.Sedangkan Nabila, wanita itu seolah sudah kehilangan hati nuraninya. Kini justru ia menatap Ilham dengan nyalang seraya berdiri dan mengepalkan kedua tangannya."Ya Mas pikir aja lah sendiri! Siapa coba yang seneng baru nikah suaminya udah nyusahin begini?! Yang ada justru bikin aku stres, Mas! Stres! " Nabila mencengkram erat kepalanya.Ilham langsung tertawa getir, "emangnya selama satu bulan di sini saya ada nyusahin kamu apa? Pernah kamu bantuin saya? Sekedar bantu saya naik kursi roda aja memangnya pernah?" Nada bicara mulai meninggi. Kalau bukan karena Pak Kyai dan juga Umi rasanya juga Ilham ingin segera menceraikan Nabila.Selama ini memang Nabila tidak pernah sekali pun mengurus Ilham atau pun melayani
Plak!Tamparan keras kembali mendarat di pipi Nabila. Tapi, kali ini bukan Siska yang menamparnya melainkan Uminya sendiri.Umi seolah dibuat naik darah oleh sikap anaknya itu, tak dapat lagi beliau bersabar. Memang seharusnya Nabila diberi pelajaran agar tak bicara dengan sembarang."Umi..." Kedua mata Nabila berkaca-kaca, tangannya memegang pipi kirinya yang terasa panas dan perih di sudut bibirnya itu."Puas kamu, Sis!" Nabila menghentakkan kakinya dengan kasar dan langsung berlari ke dalam rumah.Siska hanya mengeryitkan dahinya heran, bahkan ia benar-benar sangat keheranan dengan sikap Nabila yang terlihat seperti sikap anak-anak. Bahkan, putri kecilnya yang baru 3 tahun saja kalau marah tidak sampai seperti itu."Umi kok rasanya udah nggak sanggup menghadapi Nabila ya, Bah. Umi bener-bener penat, kepala Umi rasanya mau pecah ini, Bah. Astaghfirullah," k
Nabila terdiam sesaat, kedua bola matanya mengarah atas. Ia berupa untuk mengingat kejadian semalam, seingatnya memang semalam ia tidur dan tak melakukan apa pun.Namun, memang sebelum ia benar-benar bisa tertidur lelap ia sempat mendengar rintihan orang yang minta tolong dari balik jendela kamarnya.-Flashback on-Lampu kamar sudah Nabila matikan, sejak kemarin malam kedua matanya belum terpejam. Ia begitu lelah karena isi kepala terus berputar mengingat perkataan Pak Kyai yang telah mengatakan bahwa ia bukan lah anak kandungnya.Pernyataan tersebut bagaikan petir yang mengabarkan dirinya di siang hari. Ia benar-benar tak percaya dengan semua itu.Karena ia sudah lelah menangis sepanjang hari, akhirnya malam ini ia pun bisa sedikit tenang dan mulai merasakan kantuk.Lalu, kemudian ia merebahkan tubuh dengan perlahan di atas kasur, menarik selimut dan memeluk
Siska benar-benar dibuat jengah oleh keadaan ricuh di rumah Pak Kyai. Tak akan lagi ia mengizinkan Ilham dan juga Haris untuk membawa Aqila menginap di sana. Apalagi segala ada sesuatu yang berbau mistis di sana. Ia hanya takut terjadi hal buruk kepada buah hatinya itu.Kini, hanya Aqila lah yang menjadi sumber semangat hidupnya. Jika terjadi apa-apa dengan putrinya itu, ia tak akan pernah bisa memanfaatkan dirinya sendiri.Kini Aqila dan Siska sedang duduk di dalam taksi. Mereka menuju rumah Fatya, sudah lama dari terakhir kali persidangan itu kedua sahabatnya itu bertemu.Memang sejak semalam Fatya terus mendesak Siska agar mau berkunjung ke rumahnya. Sahabat baiknya itu bilang ada kejutan untuk dirinya, yang sudah pasti ia kan menyukai sebuah kejutan itu.Walau Siska sudah menolaknya karena memang sudah janji duluan dengan putrinya agar ia menyusul di rumah Pak Kyai tapi tetap saja F
Akhirnya setelah segala kepenatan waktu telah memberikan bahagia yang tak akan pernah bisa dibeli dengan apa pun. Setidaknya, hari ini Siska bisa mencurahkan segala isi hati dan merasakan kebebasan saat bersama dengan sahabatnya.Mereka saling berbagi kasih dan sayang serta beberapa hal yang telah mereka lewati dalam beberapa tahun terakhir. Susah, senang mau pun duka, hingga tak terasa waktu begitu cepat berlalu.Hari mulai petang, Siska dan juga para sahabatnya yang lain harus segera kembali ke rumah masing. Tapi, malam ini Dewi ingin menginap di rumah Siska.Dewi benar-benar sangat merindukan Siska. Sebelum masa lajangnya berakhir, ia ingin menikmatinya terlebih dahulu dengan cara menghabiskan waktu bersama dengan sahabatnya.Sebenernya mereka berempat berencana liburan di luar kota untuk benar-benar quality time, tapi memang harus menunggu waktu yang sama-sama kosong baru bisa mewujudkan keingina
"Duh ya gimana lagi? Ini berkasnya nggak ada. Udah sana kamu cepet print ulang dan segera suruh orang yang perlu tanda tangan untuk menandatanganinya!" suruh Haria dan tetap berupaya untuk mencari dimana berkas penting itu berada."Ta-tapi, Pak. Waktunya tinggal 1 jam lagi, dan beberapa Direktur juga ada yang belum berangkat.""Jam segini ngapain aja belum berangkat, memang ini kantor nenek moyangnya! Cepat hubungi suruh berangkat! Enak aja mau seenaknya di sini. Saya baru tau ini kalau mereka semena-mena gitu dateng ke kantor, mentang-mentang saya jarang datang gitu?!" Kedua mata Ilham mulai membara.Di pagi hari ini ada saja beberapa masalah yang sudah terhidangkan."Saya juga nggak tau, Pak. Kalau gitu saya permisi dulu, akan saya kerjakan semuanya," balas wanita itu lalu bergegas keluar."Argh, dasar ya mereka ini." Haris mengacak rambutnya frustasi. Ternyata selama ini ia ku
"Kaa! Dimana tempat pengawasan cctv, ya?" tanya Siska.Ika langsung mengangkat kepalanya menatap Siska sekilas. Hanya sekilas saja karena kedua pasang matanya kembali tertuju pada layar laptopnya."Di lantai bawah," balas Ika."Oke, makasih. Dan aku harap sikap dinginmu ini segera menghangat kembali, nggak enek begini terus kitanya, Kaa," seru Siska lalu beranjak pergi."Hahaha..."Mendengar suara tawa Ika yang mengudara sontak saja membuat Siska kembali menatap wanita itu, kedua matanya menyipit, ia menelisik wajah Ika."Kenapa?" Siska mengangkat bahunya."Gara-gara satu kesalahan wanita ini kita semua jadi kena semprot Pak Haris, temen-temen!" seru Ika dengan lantang dan ia pun kini sedang berdiri seraya menantang Siska.Siska tak percaya dengan apa yang ia dengar ini. Walau ia tahu memang ada sebuah kesalahan di si
"Sebentar ya, saya mau angkat telepon dulu," pamit Siska lalu melangkah keluar karena memang di dalam kantornya sedang sangat ramai hingga tak akan bisa mendengar suara yang keluar dari speaker ponselnya.Lalu, Siska menatap layar ponselnya, ada rasa takut dan canggung ketika hendak mengangkatnya. Tapi, dengan berat hati ia tetap memaksa dirinya untuk mengangkat panggilan telepon Haris itu."Assalamualaikum," sapa Haris dari seberang."Waalaikumsalam," balas Siska lesu."Kamu kemana? Kenapa nggak ada di kantor?""Saya pulang, Pak. Maaf kalau kerja saya nggak becus, emang sepertinya saya nggak pantas kerja di perusahaan Pak Haris. Sekali lagi saya minta maaf, Pak," ungkap Siska. Sebenarnya ia merasa sangat tidak enak karena kejadian semua ini, apalagi yang main tiba-tiba pergi saja dari kantor tanpa seizin Haris."Siapa yang ngizinin kamu pulang! Di sini kerja