[Mas, sebelum berangkat ke restoran bisa mampir sebentar nggak? Soalnya Sabrina hari ini sudah diperbolehkan pulang, sebab keadaannya sudah mulai membaik.]Pagi-pagi sekali, saat pertama membuka ponsel terlihat Elfira mengirimkan pesan kepadaku.Aku menoleh ke arah Hanina yang sedang merapikan pakain salat, lalu menunjukkan pesan itu kepadanya."Kenapa selalu kirim pesannya ke Ayah sih? Kan bisa ke Bunda biar sama-sama enak. Apa dia nggak ngerti perasaan Bunda itu seperti apa? Seharusnya sebagai sesama wanita dia tahu dong?!" protesnya, padahal biasanya apa pun yang aku lakukan dia tidak akan pernah berkomentar, tetapi aku maklumi karena mungkin dia cemburu melihatku bersama Elfira."Yasudah kalau begitu kita jemput Sabrina bareng-bareng, soalnya mereka itu sudah diamanahkan ke Ayah!" ajakku kemudian."Oke, Bunda setuju."Semenjak saat itu Elfira sering sekali meminta bantuan tanpa kenal waktu, bahkan terkadang di tengah malam pun tidak jarang memintaku untuk datang, ketika Sabrina me
"Mas, kok malah bengong di sini. Ayo, kejar Mbak Hanin dan minta hak kita ke dia!" teriak Elfira membuyarkan lamunanku, apalagi dengan kasar ia menarik baju yang sedang aku pakai hingga terhuyung dan hampir saja terjerembap kalau tidak bisa menyeimbangkan diri."Kamu apa-apaan sih? Kenapa kasar banget? Kamu itu beda dari Hanin. Dia itu lemah lembut, baik, penurut, nggak kebanyakan nuntut kaya kamu!" protesku sambil menyingkirkan tangannya, merasa kesal luar biasa."Terus saja bandingin aku sama Mbak Hanin. Ya jelas kami berbeda!"Aku mendengkus, hendak kembali masuk ke dalam kamar namun Elfira kembali mencegah, menarik kaos yang melekat di badan hingga terdengar suara robekan."Kamu maunya apa hah?! Kenapa senang sekali membuat hidup Hanina menderita? Memangnya dia salah apa ke kamu, sampai sebenci itu terhadap dia, padahal selama ini dia itu selalu baik ke kamu dan Sabrina. Kamu sudah menghancurkan rumah tangga kami, dan sekarang masih saja banya
Perangai Elfira memang sangat berbeda dengan Hanina. Dia mudah sekali marah, tidak jarang juga berani berbuat kasar kepadaku maupun Sabrina, apalagi jika keinginannya tidak terpenuhi.Tidak seperti Hanina yang selalu menghormati aku, tidak pernah berkata dengan nada lebih tinggi, ketika marah akan memperbanyak istighfar sehingga anak-anak tidak menjadi korban juga pelampiasan.Ya Allah, ternyata memang benar kata Rendi. Nafsu telah menghancurkan segalanya. Imanku yang lemah telah membuat pernikahan pertamaku berada di ujung kehancuran, dan aku terancam kehilangan berlian karena berani menceburkan diri ke lumpur berisi kerikil nan tajam.Beranjak dari kursi, berniat langsung berangkat ke restoran tanpa terlebih dahulu menyantap sarapan yang sudah disiapkan, karena nafsu makanku hilang seketika jika hati tiba-tiba merindukan Hanina.Dosakah aku jika masih mencintai dia dan terus berharap bisa terus bersama, Tuhan? Sebab sejujurnya aku tidak sanggup
Acara walimatul aqiqah selesai tepat jam sembilan malam. Para tamu undangan satu persatu perlahan mulai pergi, tinggal kerabat terdekat saja yang masih duduk bercengkrama di teras rumah Zarina. Sambil mengumpulkan keberanian juga menebalkan wajah berjalan masuk ke rumah anak menantuku, menatap Hanina yang sedang duduk memangku cucu kami sambil mengajak bicara bayi berusia sepuluh hari itu.Bayangkan beberapa tahun silam kembali terangkai dalam otak, ketika Hanina baru saja melahirkan anak pertama kami. Senyum tidak henti-hentinya terkembang di bibir, ucap syukur terus saja diucapkan oleh istriku karena apa yang selalu ia impikan telah menjadi kenyataan, yaitu menjadi seorang ibu.Sekarang semuanya tinggal kenangan. Kebahagiaan yang selalu menyelimuti hari perlahan mulai terurai, berganti dengan air mata kecewa karena pengkhianatan yang aku lakukan."Bun?" Memanggil Hanina pelan, dan semua orang yang ada di dalam ruangan segera menoleh menatapku.
Deru mesin mobil membawa orang-orang yang aku cintai pergi kian menjauh, meninggalkan luka di dinding dada. Luka yang kubuat atas sikap bodoh yang telah aku lakukan selama ini.Zafran terlihat memegang kemudi, seolah ingin menunjukkan bahwa dia bisa menjadi pengganti diriku untuk melindungi ibu serta adiknya. Sementara Zafir, dia yang paling dekat denganku, aku pikir ia akan menoleh dan berbalik arah untuk memelukku, namun ternyata remaja berusia delapan belas tahun itu tetap masuk ke dalam mobil tanpa menghiraukan tatapan mengibaku.“Sabar!” Rendi berkata seraya berjalan menghampiri, mengusap bahuku sambil tersenyum prihatin.Tidak lama kemudian Revan berjalan ke arahku. Sungguh malu rasanya diri ini kala bersitatap dengan menantu, apalagi sekarang dia sudah tahu kelakuan buruk ayah mertua yang selalu dihormati juga disegani.Runtuh sudah harga diri yang kumiliki. Aku merasa tidak ubahnya seperti sampah saat ini, yang tidak ada harganya di mata s
“Terus sekarang saya harus bagaimana, Ren?”“Bertobat, itu yang wajib kamu lakukan. Perbaiki hubungan dengan anak-anak, buktikan ke mereka kalau kamu itu benar-benar bisa berubah.”“Saya sudah berusaha melakukannya, Ren. Tetapi mereka tetap tidak bisa menerima saya!”“Bukannya tidak bisa, tetapi belum mau menerima. Kamu minta sama Allah supaya mengembalikan mereka ke kamu, insya Allah kalau kamu memohonnya dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengabulkan. Bukannya Allah itu Maha membolak-balikkan hati seseorang, Bi?”“Apa kamu bisa membantu saya untuk kembali mendekati Hanina? Sebab saya takut dia nekat mendaftarkan perceraian kami di pengadilan agama.”“Saya tidak bisa sering-sering berinteraksi dengan Mbak Hanin, takut jatuh cinta! Kamu tahu kan, wanita salihah seperti dia itu mudah sekali untuk dicintai?”Spontan aku menoleh menatap ke arah Rendi, dan sepertinya jawaban darinya bukan hanya sekedar candaan belaka.A
"Mas Abi yang sabar ya?" Elfira berkata seraya menghampiri lalu melingkarkan tangannya di pinggang.Aku terus meremas kertas tersebut, menangis tersedu karena merasa benar-benar telah gagal memperjuangkan pernikahanku dengan Hanina, tanpa memedulikan perasaan Elfira. Lagian dia tahu kalau aku tidak mencintainya, bersedia menikahi dia pun karena sudah terdesak sebab Pak RT terus memaksa dan mengancam akan memenjarakan aku jika terus menolak menikah dengan Elfira."Sabar, Mas. Mas Abi nggak harus menangis seperti ini, karena masih ada aku dan calon anak kita. Aku yang akan setia mendampingi Mas Abi sampai kapan pun, dan aku juga yang akan menjadi istri Mas bagaimana pun keadaan kamu nanti!" ucapnya lagi, tanpa melepas pelukannya.Sementara aku, hanya bisa menangis meratapi nasib. Membayangkan jika nanti benar-benar hidup tanpa Hanina, apalagi jika anak-anak semakin membenci diriku.Ya Allah, ya Rabbi, rasanya begitu berat cobaan yang Engkau berikan.
"Bun?" panggilku lagi. Kini aku berdiri, hendak memeluk tubuh Hanina akan tetapi dengan cepat ia menghindari, bahkan beringsut menjauh hingga makanan yang sudah ia tata rapi di dalam boks tumpah berantakan.Sehina itukah aku di matanya, sehingga hendak menyentuhnya saja Hanina selalu menolak. Padahal kami masih berstatus suami istri, dan halal bagiku untuk sekedar mendekapnya, bahkan jika ingin melakukan lebih dari itu Allah tidak akan murka sebab dia masih halal untuk aku gauli."Tolong jangan ganggu saya lagi, Mas. Saya sudah bahagia bersama anak-anak, jadi sebaiknya mulai saat ini Mas jangan lagi menemui saya!" ucapnya, benar-benar telah melukai perasaan ini."Tapi, Bun?""Pintu keluarnya masih sama, ya Mas. Saya lagi sibuk, banyak pesanan, jadi silakan Mas pulang saja ke rumah istrinya, Mas. Nanti saya yang diteror dan dibilang mengganggu suami orang!""Ayah datang ke sini karena ingin memperbaiki hubungan kita, Bun. Tolong maafkan Ay
Esok harinya, aku kembali datang ke rumah sakit menyusul Zafran yang sejak kemarin masih setia menunggui Mas Abi, ditemani oleh Safania, karena aku berniat mengenalkan dia dengan calon ayah mertuanya sebagai bentuk ikhtiar, siapa tahu setelah melihat calon menantunya Mas Abi bisa memiliki semangat hidup kembali.“Tadi dokter baru saja memeriksa, dan kata dokter keadaan Ayah semakin bertambah parah, Bun. Dokter juga sudah angkat tangan,” ujar Zafran ketika aku baru saja sampai.“Innalillahi, ya Allah. Terus, apa kata dokter lagi?” tanyaku.“Tidak ada. Dokter hanya menyuruh kita untuk terus berdoa supaya ada keajaiban dari Allah,” jawab anakku, membuat dada ini terasa semakin sesak karenanya.Kupandangi wajah pucat Mas Abi, ekspresinya terlihat begitu sedih juga kelelahan.“Mas, saya minta maaf karena belum berhasil membuat anak-anak datang ke sini menjenguk Mas Abi. Tetapi lihat, saya bawa calon menantu kita. Namanya Safania. Dia adalah ca
Aku menatap lekat wajah Zafran yang tengah berdiri di sebelahku.“Maaf, Dokter. Saya tidak mau menandatangani surat pernyataan ini, karena saya yakin kalau ayah saya masih bisa sembuh,” tolak anakku kemudian.“Untuk masalah itu terserah Mas dan Ibu, karena keputusan mutlak ada di tangan kalian,” kata dokter lagi. “Tapi sebagai sesama muslim, saya hanya ingin mengingatkan supaya Bapak ditunggui, minimal oleh putra-putrinya jika memang beliau sudah bercerai dengan Ibu, karena di saat seperti ini Bapak juga butuh dukungan dari orang-orang terdekat. Dan jika pun beliau tidak panjang umur, beliau akan merasa bahagia karena ketika sedang sakaratul maut semua anaknya mendampingi dan mendoakan beliau,” imbuhnya, benar-benar mengena di hati.Sepertinya aku harus terus berusaha membujuk Zarina dan Zafir untuk menjenguk ayahnya, sebab takut kalau Mas Abi memang sudah hendak pergi, hanya saja merasa berat karena sedang menunggu mereka berdua.“Ya sudah, kalau
Dua hari sudah berlalu setelah acara pertunangan Zafran dengan Safania, dan sekarang mereka sudah mulai mencicil barang-barang yang akan dijadikan seserahan.Sebagai seorang ibu aku menyarankan supaya Zafran membawa calon istrinya saat berbelanja barang yang akan dibawanya nanti, supaya menyesuaikan selera Safania dan tidak salah beli. Takut mubazir jika hanya kami yang berbelanja.“Calon istrinya Zafran cantik banget, ya Bunda Zarina. Anak orang kaya tapi kelihatan kalem, sopan, juga kelihatan sayang banget sama Bunda Zarina,” komentar salah seorang tetangga ketika tanpa sengaja bertemu di warung sayur.“Alhamdulillah, Bu. Doain ya, semoga pernikahan mereka berdua lancar nantinya. Jangan lupa juga nanti pada ikut ngebesan,” jawabku sambil mengukir senyum.“Iya. Omong-omong tapi kok Pak Abi nggak ikut nganter ya? Padahal kemarin sebelum kita jalan beliau ada loh, malah nanya ke saya ada acara apa, saya jawab ada acara lamaran, tapi habis itu
POV Hanina.“Fran, coba kamu lihat ke depan. Ayah sudah sampai apa belum?” Aku meminta anak keduaku untuk mencari Mas Abi di antara para tamu yang datang, karena sebentar lagi rombongan akan berangkat menuju rumah Pak Sadewa untuk melamar Safania putrinya.“Iya, Bun.” Zafran yang sudah terlihat gagah dengan kemeja berwarna abu-abu segera mengayunkan kaki ke depan, akan tetapi katanya tidak melihat sang ayah dan tidak ada tanda-tanda kedatangannya.Aku pun segera menghubungi nomor Mas Abi, akan tetapi nomor mantan suami malah sedang berada di luar jangkauan.Apa dia lupa kalau hari ini aku mengundangnya datang untuk mendampingi sang anak melamar pujaan hatinya?“Abi belum datang, Mbak?” tanya Mas Rendi sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.“Belum, Mas. Nomornya juga enggak aktif,” jawabku.“Ke mana dia kira-kira. Tapi Mbak Hanina udah kasih tahu kalau hari ini ada acara kan?” tanyanya lagi.
Hari ini, aku datang menjenguk Elfira sekaligus membawakan makanan kesukaannya. Kupandangi dari kejauhan wajah cantiknya, karena semenjak menjadi pasien rumah sakit jiwa dia selalu berpenampilan rapi, selalu memoles wajahnya dengan make-up dan kata dokter yang menangani dia selalu mengatakan kalau saat ini sedang menunggu aku pulang dari restoran.“Kalau menurut saran dan pendapat saya, Pak. Sebaiknya Bapak merujuk Ibu, siapa tahu dengan cara kembali hidup bersama Bapak beliau memiliki semangat hidup, karena obat penyakit jiwa yang sesungguhnya adalah dukungan dari orang-orang terdekat. Soalnya kalau saya perhatikan, Ibu itu sangat mencintai Bapak, sementara Bapak setiap membesuk saja selalu bersembunyi, tidak mau menemui Ibu dengan alasan trauma dianiaya. Padahal, bisa jadi jika Bapak melakukan pendekatan, membantu kami tim medis untuk mengobatinya mungkin penyakit Bu Elfira tidak akan separah sekarang,” ujar dokter panjang lebar ketika aku hendak pamit setelah s
“Mas?” Aku yang sudah terpejam membuka mata secara perlahan karena mendengar Elfira memanggil namaku.“Apa kita sudah berada di surga? Tadi Bina ngajak aku ke surga loh?” racunnya sambil mengedarkan pandang.“Ini rumah sakit, bukan surga!” ketusku.“Kenapa aku ada di rumah sakit?” Wajah wanita itu terlihat kebingungan. Entah dia sedang bersandiwara dan berpura-pura, atau memang akibat dari halusinasi.“Kamu mencoba mengakhiri hidup dengan cara memotong nadi.”“Bunuh diri?” “Iya. Lihat tangan kamu, diperban kan? Tolong jangan bertingkah konyol, Fira. Jangan bikin Mas tambah susah. Lagian bunuh diri itu bukan jalan keluar dari semua masalah, tetapi justru malah menambah masalah baru. Memangnya dengan bunuh diri semuanya langsung selesai dan kamu bakalan masuk surga? Yang ada kamu bakalan jadi kerak di neraka untuk selamanya,” nasihatku panjang lebar, siapa tahu Elfira paham dengan apa yang tengah aku katakan.“A
"Teruslah sakiti perasaan Bunda sampai rasa benci semakin memenuhi rongga dada kami!" Aku terkesiap ketika mendengar suara Zafir, menoleh ke arahnya lalu berjalan menghampiri, hendak mengusap pipi anak yang teramat kurindukan namun dia malah menghindari sentuhanku.Remaja berusia sembilan belas tahun itu kemudian berjalan mengikuti ibunya, terlihat kepayahan saat melangkah karena dia masih harus menggunakan tongkat.Pun dengan Zarina. Anak perempuanku satu-satunya itu terus menatap penuh dengan kebencian, lalu segera bergabung bersama dengan yang lainnya.Dan herannya, mereka terlihat begitu menghormati Rendi, seolah sahabatku itu yang perlu mereka hargai, bukan aku yang notabene adalah ayah kandung mereka.Perlahan mobil yang dikemudikan oleh suaminya Zarina berjalan meninggalkan parkiran. Aku terus menatap kendaraan roda empat tersebut hingga menghilang di balik tikungan, kembali merema* dada yang terasa sesak seolah tidak ada lagi pas
“Ayah minta maaf, Fran. Ayah mengaku salah,” kataku penuh dengan penyesalan.Zafran kemudian kembali melajukan mobilnya karena di belakang banyak yang meneriaki juga menekan klakson berkali-kali, akan tetapi kali ini dia tetap fokus mengemudi, tidak lagi mau berbicara kepadaku seperti sebelumnya.Bodoh. Aku sudah merusak suasana yang sudah mulai mencair dengan pertanyaan konyol yang aku ajukan.Zafran menepikan mobilnya ketika kami sampai, akan tetapi dia menolak ketika aku ajak singgah. Pasti dia marah karena perkataanku tadi. Ya Allah ...“Saya pulang, semoga Ayah cepet sehat. Jangan lupa melakukan salat taubat, banyak-banyak beristigfar supaya hati Ayah terasa lapang!” pamit Zafran.“Kamu tidak mampir dulu, Fran?” Menatap wajah tampan anakku.“Lain kali saja. Assalamualaikum!”Tanpa menunggu aku menjawab salam, Zafran sudah terlebih dahulu menutup kaca mobil dan langsung pergi begitu saja.Bodoh. Aku memang b
Sepertinya ada yang sengaja memanfaatkan momen retaknya hubunganku dengan Hanina untuk mendekati dia, sebab jika dilihat-lihat, kayaknya ada perasaan spesial di hati Rendi, dan mungkin secepatnya dia akan menggantikan posisiku di tengah-tengah mereka.Ya Allah ... apa jadinya aku jika suatu saat nanti melihat Rendi bersanding dengan mantan istri? Pasti rasanya sakit sekali, jika melihat wanita yang masih begitu aku cintai harus melabuhkan cintanya kepada sahabatku sendiri.Kembali meletakkan ponsel, mengurungkan niat untuk meminta bantuan kepada Rendi, sebab takut dia semakin besar kepala juga semakin merasa begitu dibutuhkan. Aku tidak mau menjatuhkan harga diri di depannya.Tidak lama kemudian pintu kamar inapku terbuka, seiring munculnya dokter Umar dengan stetoskop menggantung di leher. Dokter muda dengan wajah penuh kharisma itu tersenyum sambil mengucapkan salam, lalu berjalan menghampiri dan menanyakan keadaanku saat ini.“Alhamdulillah sud