Deru mesin mobil membawa orang-orang yang aku cintai pergi kian menjauh, meninggalkan luka di dinding dada. Luka yang kubuat atas sikap bodoh yang telah aku lakukan selama ini.
Zafran terlihat memegang kemudi, seolah ingin menunjukkan bahwa dia bisa menjadi pengganti diriku untuk melindungi ibu serta adiknya. Sementara Zafir, dia yang paling dekat denganku, aku pikir ia akan menoleh dan berbalik arah untuk memelukku, namun ternyata remaja berusia delapan belas tahun itu tetap masuk ke dalam mobil tanpa menghiraukan tatapan mengibaku.“Sabar!” Rendi berkata seraya berjalan menghampiri, mengusap bahuku sambil tersenyum prihatin.Tidak lama kemudian Revan berjalan ke arahku. Sungguh malu rasanya diri ini kala bersitatap dengan menantu, apalagi sekarang dia sudah tahu kelakuan buruk ayah mertua yang selalu dihormati juga disegani.Runtuh sudah harga diri yang kumiliki. Aku merasa tidak ubahnya seperti sampah saat ini, yang tidak ada harganya di mata s“Terus sekarang saya harus bagaimana, Ren?”“Bertobat, itu yang wajib kamu lakukan. Perbaiki hubungan dengan anak-anak, buktikan ke mereka kalau kamu itu benar-benar bisa berubah.”“Saya sudah berusaha melakukannya, Ren. Tetapi mereka tetap tidak bisa menerima saya!”“Bukannya tidak bisa, tetapi belum mau menerima. Kamu minta sama Allah supaya mengembalikan mereka ke kamu, insya Allah kalau kamu memohonnya dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengabulkan. Bukannya Allah itu Maha membolak-balikkan hati seseorang, Bi?”“Apa kamu bisa membantu saya untuk kembali mendekati Hanina? Sebab saya takut dia nekat mendaftarkan perceraian kami di pengadilan agama.”“Saya tidak bisa sering-sering berinteraksi dengan Mbak Hanin, takut jatuh cinta! Kamu tahu kan, wanita salihah seperti dia itu mudah sekali untuk dicintai?”Spontan aku menoleh menatap ke arah Rendi, dan sepertinya jawaban darinya bukan hanya sekedar candaan belaka.A
"Mas Abi yang sabar ya?" Elfira berkata seraya menghampiri lalu melingkarkan tangannya di pinggang.Aku terus meremas kertas tersebut, menangis tersedu karena merasa benar-benar telah gagal memperjuangkan pernikahanku dengan Hanina, tanpa memedulikan perasaan Elfira. Lagian dia tahu kalau aku tidak mencintainya, bersedia menikahi dia pun karena sudah terdesak sebab Pak RT terus memaksa dan mengancam akan memenjarakan aku jika terus menolak menikah dengan Elfira."Sabar, Mas. Mas Abi nggak harus menangis seperti ini, karena masih ada aku dan calon anak kita. Aku yang akan setia mendampingi Mas Abi sampai kapan pun, dan aku juga yang akan menjadi istri Mas bagaimana pun keadaan kamu nanti!" ucapnya lagi, tanpa melepas pelukannya.Sementara aku, hanya bisa menangis meratapi nasib. Membayangkan jika nanti benar-benar hidup tanpa Hanina, apalagi jika anak-anak semakin membenci diriku.Ya Allah, ya Rabbi, rasanya begitu berat cobaan yang Engkau berikan.
"Bun?" panggilku lagi. Kini aku berdiri, hendak memeluk tubuh Hanina akan tetapi dengan cepat ia menghindari, bahkan beringsut menjauh hingga makanan yang sudah ia tata rapi di dalam boks tumpah berantakan.Sehina itukah aku di matanya, sehingga hendak menyentuhnya saja Hanina selalu menolak. Padahal kami masih berstatus suami istri, dan halal bagiku untuk sekedar mendekapnya, bahkan jika ingin melakukan lebih dari itu Allah tidak akan murka sebab dia masih halal untuk aku gauli."Tolong jangan ganggu saya lagi, Mas. Saya sudah bahagia bersama anak-anak, jadi sebaiknya mulai saat ini Mas jangan lagi menemui saya!" ucapnya, benar-benar telah melukai perasaan ini."Tapi, Bun?""Pintu keluarnya masih sama, ya Mas. Saya lagi sibuk, banyak pesanan, jadi silakan Mas pulang saja ke rumah istrinya, Mas. Nanti saya yang diteror dan dibilang mengganggu suami orang!""Ayah datang ke sini karena ingin memperbaiki hubungan kita, Bun. Tolong maafkan Ay
"Nanti saya tanya sama uminya anak-anak dulu, barangkali uminya anak-anak pegang," katanya lagi."Memangnya berapa harga mobilnya, Bi? Kalau internet banking Abi lagi bermasalah pakai punya saya dulu saja!" sambung Faza, putra pertama Mas Salim yang entah mengapa wajahnya paling tidak mirip dengan yang lainnya."Seratus tujuh puluh tiga juta, Mas!" jawab pria berhidung bangir itu sambil menatap anaknya."Yasudah, pakai uang saya dulu saja kalau Pak Abi memang sedang butuh!" Dia mengambil ponsel lalu meminta nomor rekeningku.Aku menyebut sepuluh digit angka, dan terlihat dia tengah mencatatnya."Atas nama Abimanyu, ya Pak?" tanya Faza sambil menatapku."Iya!""Alhamdulillah, sudah berhasil saya transfer, ya Pak?" Dia menunjukkan bukti transferannya.Aku segera mengecek mutasi rekening, tersenyum lebar ketika melihat saldo yang tertera. Sudah hampir satu tahun lebih di dalam rekeningku tidak pernah ada saldo samp
POV Hanin.‘Alhamdulillah, terima kasih, Habibi Qolbi kejutannya. Aku seneng banget. Nggak nyangka loh siang-siang seperti ini dapat kejutan dari suami tercinta.’Ada rasa panas menjalari hati ketika membaca status Elfira di sosial media berwarna hijau miliknya, apalagi di dalam story -nya dia mencantumkan foto sebuah sepeda motor baru, yang harganya bisa belasan juta.Benar-benar keterlaluan Mas Abi. Aku sudah tiga bulan tidak menerima uang setoran dari restoran dengan alasan uangnya terpakai untuk membayar hutang, sekarang malah dia mampu membelikan barang mahal untuk istri barunya. Sebenarnya apa arti permohonannya tadi pagi, yang katanya akan berubah, bahkan berjanji akan menceraikan Elfira jika aku mencabut gugatan cerai di pengadilan agama.Sekarang keputusanku semakin bulat, padahal hati hampir saja goyah karena permintaannya untuk kembali, apalagi ketika melihat ketulusan di matanya.Ternyata Mas Abi tidak ubahnya serigala berbulu domba. Dia begitu pandai memainkan peran seol
Aku segera memutuskan sambungan telepon setelah mengucap salam, merema* dada yang terasa begitu sesak setelah mendengar kabar bahwa sisa penjualan mobil sudah diterima oleh Mas Abi.Pantas saja dia bisa membelikan hadiah untuk Elfira, ternyata Mas Abi menggunakan uang yang seharusnya menjadi hak anak-anak. Bukannya aku terlalu serakah dan tidak mau berbagi dengan wanita itu, akan tetapi kendaraan tersebut dibeli menggunakan uang tabungan kami, dari hasil jerih payah kami berdua. Aku tidak pernah mempermasalahkan jika Mas Abi membelikan sesuatu untuk istri barunya, asalkan menggunakan uang penghasilan restoran saat ini, bukan dengan tabungan kami.Menyambar kunci mobil, dengan perasaan kesal luar biasa kupacu kendaraan roda empatku menuju rumah Elfira untuk menanyakan masalah uang tersebut.Dan walaupun sepanjang jalan aku mengucap istigfar, entah mengapa emosi di dalam hati terasa membumbung tinggi dan tidak bisa terkendali.Mungkin ini
"Bun, tolong kurangi nada bicara kamu. Jangan teriak-teriak, takut tetangga dengar dan mereka semua menyalahkan Fira dan tambah memandang dia sebelah mata!" ucap Mas Abi sambil menoleh ke arah pintu yang terbuka."Memang dia salah kan? Dia sudah menghancurkan rumah tangga orang, memangnya apa yang mau ditutupi lagi?!" Masih berbicara dengan nada meninggi."Bunda, ya Allah. Sabar, kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik. Jangan pake emosi." Mas Abi terus saja membujuk, membela pelakor yang katanya tidak dicintai itu."Dari kemarin saya selalu berbicara baik-baik ke kalian. Saya masih berusaha sabar, tetapi kalian justru selalu memancing emosi saya. Terlebih kamu, Mas. Tadi pagi datang memohon, selalu bilang tidak cinta sama Fira tapi semua yang kamu punya diberikan ke dia dan terus membela dia!" sungutku, semakin muntab."Ayah memang masih mencintai kamu, Bun. Ayah memang tidak mencintai Fira, akan tetapi tidak akan menceraikan dia juga selagi ka
Hampir setengah jam aku berhenti di pinggir jalan hanya untuk sekedar meluapkan amarah juga tangisan. Hingga terdengar suara dering ponsel yang sejak tadi aku tinggal di dalam mobil.Ada panggilan masuk dari Zafir, dan aku segera menghapus air mata, mengucap istighfar sambil terus berusaha menetralkan perasaan supaya tidak terdengar suara serak saat berbicara dengannya. "Assalamualaikum, Sayang?" sapaku setelah menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel di telinga."Waalaikumussalam. Bunda ada di mana? Kok tadi ada orang anterin motor baru dan katanya itu punya Bunda?" tanya si bungsu kemudian."Oh, iya. Bunda sengaja beli buat Bunda kalau pergi-pergi. Soalnya kan di rumah adanya motor gede dan Bunda tidak bisa mengemudikannya!" Terpaksa harus berdusta supaya anak-anak tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan ibunya."Terus, sekarang Bunda ada di mana?" "Lagi di jalan, sudah mau pulang!""Oh, yasudah kalau begitu ha
Esok harinya, aku kembali datang ke rumah sakit menyusul Zafran yang sejak kemarin masih setia menunggui Mas Abi, ditemani oleh Safania, karena aku berniat mengenalkan dia dengan calon ayah mertuanya sebagai bentuk ikhtiar, siapa tahu setelah melihat calon menantunya Mas Abi bisa memiliki semangat hidup kembali.“Tadi dokter baru saja memeriksa, dan kata dokter keadaan Ayah semakin bertambah parah, Bun. Dokter juga sudah angkat tangan,” ujar Zafran ketika aku baru saja sampai.“Innalillahi, ya Allah. Terus, apa kata dokter lagi?” tanyaku.“Tidak ada. Dokter hanya menyuruh kita untuk terus berdoa supaya ada keajaiban dari Allah,” jawab anakku, membuat dada ini terasa semakin sesak karenanya.Kupandangi wajah pucat Mas Abi, ekspresinya terlihat begitu sedih juga kelelahan.“Mas, saya minta maaf karena belum berhasil membuat anak-anak datang ke sini menjenguk Mas Abi. Tetapi lihat, saya bawa calon menantu kita. Namanya Safania. Dia adalah ca
Aku menatap lekat wajah Zafran yang tengah berdiri di sebelahku.“Maaf, Dokter. Saya tidak mau menandatangani surat pernyataan ini, karena saya yakin kalau ayah saya masih bisa sembuh,” tolak anakku kemudian.“Untuk masalah itu terserah Mas dan Ibu, karena keputusan mutlak ada di tangan kalian,” kata dokter lagi. “Tapi sebagai sesama muslim, saya hanya ingin mengingatkan supaya Bapak ditunggui, minimal oleh putra-putrinya jika memang beliau sudah bercerai dengan Ibu, karena di saat seperti ini Bapak juga butuh dukungan dari orang-orang terdekat. Dan jika pun beliau tidak panjang umur, beliau akan merasa bahagia karena ketika sedang sakaratul maut semua anaknya mendampingi dan mendoakan beliau,” imbuhnya, benar-benar mengena di hati.Sepertinya aku harus terus berusaha membujuk Zarina dan Zafir untuk menjenguk ayahnya, sebab takut kalau Mas Abi memang sudah hendak pergi, hanya saja merasa berat karena sedang menunggu mereka berdua.“Ya sudah, kalau
Dua hari sudah berlalu setelah acara pertunangan Zafran dengan Safania, dan sekarang mereka sudah mulai mencicil barang-barang yang akan dijadikan seserahan.Sebagai seorang ibu aku menyarankan supaya Zafran membawa calon istrinya saat berbelanja barang yang akan dibawanya nanti, supaya menyesuaikan selera Safania dan tidak salah beli. Takut mubazir jika hanya kami yang berbelanja.“Calon istrinya Zafran cantik banget, ya Bunda Zarina. Anak orang kaya tapi kelihatan kalem, sopan, juga kelihatan sayang banget sama Bunda Zarina,” komentar salah seorang tetangga ketika tanpa sengaja bertemu di warung sayur.“Alhamdulillah, Bu. Doain ya, semoga pernikahan mereka berdua lancar nantinya. Jangan lupa juga nanti pada ikut ngebesan,” jawabku sambil mengukir senyum.“Iya. Omong-omong tapi kok Pak Abi nggak ikut nganter ya? Padahal kemarin sebelum kita jalan beliau ada loh, malah nanya ke saya ada acara apa, saya jawab ada acara lamaran, tapi habis itu
POV Hanina.“Fran, coba kamu lihat ke depan. Ayah sudah sampai apa belum?” Aku meminta anak keduaku untuk mencari Mas Abi di antara para tamu yang datang, karena sebentar lagi rombongan akan berangkat menuju rumah Pak Sadewa untuk melamar Safania putrinya.“Iya, Bun.” Zafran yang sudah terlihat gagah dengan kemeja berwarna abu-abu segera mengayunkan kaki ke depan, akan tetapi katanya tidak melihat sang ayah dan tidak ada tanda-tanda kedatangannya.Aku pun segera menghubungi nomor Mas Abi, akan tetapi nomor mantan suami malah sedang berada di luar jangkauan.Apa dia lupa kalau hari ini aku mengundangnya datang untuk mendampingi sang anak melamar pujaan hatinya?“Abi belum datang, Mbak?” tanya Mas Rendi sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.“Belum, Mas. Nomornya juga enggak aktif,” jawabku.“Ke mana dia kira-kira. Tapi Mbak Hanina udah kasih tahu kalau hari ini ada acara kan?” tanyanya lagi.
Hari ini, aku datang menjenguk Elfira sekaligus membawakan makanan kesukaannya. Kupandangi dari kejauhan wajah cantiknya, karena semenjak menjadi pasien rumah sakit jiwa dia selalu berpenampilan rapi, selalu memoles wajahnya dengan make-up dan kata dokter yang menangani dia selalu mengatakan kalau saat ini sedang menunggu aku pulang dari restoran.“Kalau menurut saran dan pendapat saya, Pak. Sebaiknya Bapak merujuk Ibu, siapa tahu dengan cara kembali hidup bersama Bapak beliau memiliki semangat hidup, karena obat penyakit jiwa yang sesungguhnya adalah dukungan dari orang-orang terdekat. Soalnya kalau saya perhatikan, Ibu itu sangat mencintai Bapak, sementara Bapak setiap membesuk saja selalu bersembunyi, tidak mau menemui Ibu dengan alasan trauma dianiaya. Padahal, bisa jadi jika Bapak melakukan pendekatan, membantu kami tim medis untuk mengobatinya mungkin penyakit Bu Elfira tidak akan separah sekarang,” ujar dokter panjang lebar ketika aku hendak pamit setelah s
“Mas?” Aku yang sudah terpejam membuka mata secara perlahan karena mendengar Elfira memanggil namaku.“Apa kita sudah berada di surga? Tadi Bina ngajak aku ke surga loh?” racunnya sambil mengedarkan pandang.“Ini rumah sakit, bukan surga!” ketusku.“Kenapa aku ada di rumah sakit?” Wajah wanita itu terlihat kebingungan. Entah dia sedang bersandiwara dan berpura-pura, atau memang akibat dari halusinasi.“Kamu mencoba mengakhiri hidup dengan cara memotong nadi.”“Bunuh diri?” “Iya. Lihat tangan kamu, diperban kan? Tolong jangan bertingkah konyol, Fira. Jangan bikin Mas tambah susah. Lagian bunuh diri itu bukan jalan keluar dari semua masalah, tetapi justru malah menambah masalah baru. Memangnya dengan bunuh diri semuanya langsung selesai dan kamu bakalan masuk surga? Yang ada kamu bakalan jadi kerak di neraka untuk selamanya,” nasihatku panjang lebar, siapa tahu Elfira paham dengan apa yang tengah aku katakan.“A
"Teruslah sakiti perasaan Bunda sampai rasa benci semakin memenuhi rongga dada kami!" Aku terkesiap ketika mendengar suara Zafir, menoleh ke arahnya lalu berjalan menghampiri, hendak mengusap pipi anak yang teramat kurindukan namun dia malah menghindari sentuhanku.Remaja berusia sembilan belas tahun itu kemudian berjalan mengikuti ibunya, terlihat kepayahan saat melangkah karena dia masih harus menggunakan tongkat.Pun dengan Zarina. Anak perempuanku satu-satunya itu terus menatap penuh dengan kebencian, lalu segera bergabung bersama dengan yang lainnya.Dan herannya, mereka terlihat begitu menghormati Rendi, seolah sahabatku itu yang perlu mereka hargai, bukan aku yang notabene adalah ayah kandung mereka.Perlahan mobil yang dikemudikan oleh suaminya Zarina berjalan meninggalkan parkiran. Aku terus menatap kendaraan roda empat tersebut hingga menghilang di balik tikungan, kembali merema* dada yang terasa sesak seolah tidak ada lagi pas
“Ayah minta maaf, Fran. Ayah mengaku salah,” kataku penuh dengan penyesalan.Zafran kemudian kembali melajukan mobilnya karena di belakang banyak yang meneriaki juga menekan klakson berkali-kali, akan tetapi kali ini dia tetap fokus mengemudi, tidak lagi mau berbicara kepadaku seperti sebelumnya.Bodoh. Aku sudah merusak suasana yang sudah mulai mencair dengan pertanyaan konyol yang aku ajukan.Zafran menepikan mobilnya ketika kami sampai, akan tetapi dia menolak ketika aku ajak singgah. Pasti dia marah karena perkataanku tadi. Ya Allah ...“Saya pulang, semoga Ayah cepet sehat. Jangan lupa melakukan salat taubat, banyak-banyak beristigfar supaya hati Ayah terasa lapang!” pamit Zafran.“Kamu tidak mampir dulu, Fran?” Menatap wajah tampan anakku.“Lain kali saja. Assalamualaikum!”Tanpa menunggu aku menjawab salam, Zafran sudah terlebih dahulu menutup kaca mobil dan langsung pergi begitu saja.Bodoh. Aku memang b
Sepertinya ada yang sengaja memanfaatkan momen retaknya hubunganku dengan Hanina untuk mendekati dia, sebab jika dilihat-lihat, kayaknya ada perasaan spesial di hati Rendi, dan mungkin secepatnya dia akan menggantikan posisiku di tengah-tengah mereka.Ya Allah ... apa jadinya aku jika suatu saat nanti melihat Rendi bersanding dengan mantan istri? Pasti rasanya sakit sekali, jika melihat wanita yang masih begitu aku cintai harus melabuhkan cintanya kepada sahabatku sendiri.Kembali meletakkan ponsel, mengurungkan niat untuk meminta bantuan kepada Rendi, sebab takut dia semakin besar kepala juga semakin merasa begitu dibutuhkan. Aku tidak mau menjatuhkan harga diri di depannya.Tidak lama kemudian pintu kamar inapku terbuka, seiring munculnya dokter Umar dengan stetoskop menggantung di leher. Dokter muda dengan wajah penuh kharisma itu tersenyum sambil mengucapkan salam, lalu berjalan menghampiri dan menanyakan keadaanku saat ini.“Alhamdulillah sud