Tak ada satupun yang datang menjenguknya. 'Tega sekali mereka' teriaknya membatin.
Dalam keterpurukan, ia berjanji pada dirinya sendiri. Bahwa jika Tuhan mengizinkannya sembuh, maka ia akan membalaskan perlakuan biadab wanita gila itu.
Semua kejanggalan ini tidak lain adalah hasil perbuatan gila keluarga itu. Ternyata, mereka selama ini mengawasi kehidupan Anto bersama keluarga barunya.
Anto pun mengira perbuatannya itu tidak lain karena bisnis yang selama ini ia bangun sudah runtuh. Beberapa investor lamanya sempat berbincang tentang pailit hutang yang akhirnya membuat mereka gulung tikar.
Semua aset perusahaan dijual demi menutup kerugian besar. Bahkan, barang-barang mewah milik pribadi pun turut melunasi hutang mereka yang selangit.
Rumah mewah dan megah sudah tak lagi milik mereka. Anto sempat merasa miris dan terasa sedikit se
Hari itu menjadi hari bersejarah bagi Angi untuk memulai kehidupannya yang selama ini ia jauhi. Hari demi hari selalu ada saja orang yang datang ke indekosnya. Entah dari mana mereka mendapatkan informasi tentang dirinya. Bahkan, sempat satu rombongan dari suatu daerah pedalaman di Jakarta datang mengunjungi Angi. Berita tentang dirinya yang bisa mengobati berbagai penyakit tersebar dengan cepat hingga ke pelosok Jawa. Orang-orang jawa yang mengetahui Angi adalah keturunan jawa membuat mereka sangat mengaguminya. Mereka sangat berantusias untuk bertemu Angi dengan membawakan buah tangan dari kampung. Angi yang setiap harinya sibuk dengan pengobatannya. Ia sempat melupakan keberadaan Adhimas. Ia seperti terhipnotis dengan kegiatan terbarunya. "Assalamualaikum," ucap Adhimas ketika tiba di indekos Angi. Ia terkejut dengan orang-orang yang berkumpul di teras indekosnya. Ruangan yang sempit itu tak ada lagi celah untuk duduk bahkan
"Mungkinkah dia mau menerima penjelasanku?" Perasaan takut dan bimbang menghantuinya berkali-kali. Dengan berat hati ia menyampaikan berita tidak sedap ini kepada Adhimas yang masih di Jakarta. Adhimas tak menjawab apapun di sebuah perbincangan melalui telepon. Ia terdiam. Hanya helaan nafas yang mengaburkan suasana hening di malam itu. Setelah hari itu Adhimas menemuinya di indekos miliknya, ia tak menghubungi Adhimas sama sekali. Bahkan, bertegur sapa pun tidak dilakukannya. Entah apa yang dipikirkan Angi hingga ia sempat melupakan pria terbaik yang selalu ada di sisinya itu. Kini, penyesalan itu datang menghampirinya. Ia terjebak dengan keadaan. Dalam hatinya, ia ingin sekali menemui Adhimas dan membicarakan semuanya dengan baik. Namun, waktunya tak mungkin cukup. Nun jauh disana, Adhimas tak menyangka, mendengar kabar itu, hatinya bak di sambar petir. Air matanya mulai mengambang di u
Malam itu sangat mendukung pertemuan mereka. Bulan sebagai saksi dari indahnya cinta mereka. Adhimas membelai rambut wanitanya itu dengan sentuhan yang sangat manis. Ia memandangi wajah wantia itu yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Baru saja ia berpikir untuk merencanakan hari pernikahan mereka. Wanitanya itu pun bangun dan terkaget. Angi terkejut karena tak biasa saat bangun bersama seorang lelaki. Ia sempat menjauh dari dekapan Adhimas dan mengingat semua yang telah ia lakukan semalam.Ia sangat malu melakukannya. Karena kali ini pertama ia melakukannya dengan seorang laki-laki. Adhimas pun memahami kondisi Angi yang baru saja terbangun. Adhimas menghelakan senyum. Ia senang Angi bisa bersamanya saat ini. Ia pun mengungkapkan keinginannnya untuk melamar Angi secepatnya. Namun, Angi langusng terdiam dan tak menjawab sepatah katapun dari ucapan Adhimas. ”Kira-kira kapan hari yang pas untuk pelaksanaan pernikahan kita?” ucap Adhimas kepada
Malam itu, sosok lelaki di taman itu menghilang. Itu artinya ia harus segera menunaikan tugasnya yang sudah ia tinggalkan. Sosok itu sudah menyadarkannya pada lamunan masa depan bersama pria yang dicintainya itu. Kini, ia harus kembali pulang. Dengan perasaan berat ia harus meninggalkan tempat bersejarah pertemuan terakhirnya bersama Adhimas. Ia telah ikhlas bila pria yang dicintainya itu akan menemukan wanita lains sebagai pendampingnya. “Terima kasih Adhimas untuk semua yang telah kamu persembahkan untukku hingga malam ini,” ucapnya dengan menatap sebuah foto selfie yang ia ambil bersama Adhimas di penginapan. Titik-titik air matanya terjatuh lagi. Namun, kali ini ia segera menepisnya dengan jari tangan. Ia tak mau air matanya itu terkuras untuk sesuatu yang saat ini bukan miliknya lagi. Ia berlalu dengan menaiki sebuah mini bus kembali menuju rumahnya. Kursi yang masih berdesak-desakan terus bergulir silih berganti dengan penumpang ya
Pagi ini masih terasa baginya pernikahan tadi malam. Setelah ritual pemandian, Ia digendong oleh sang suami untuk tidur bersamanya di sebuah tempat tidur klasik berkelambu emas. Bunga mawar merah bertaburan diatas seprei berwarna putih itu. Suaminya meletakkan tubuhnya dengan sangat hati-hati. Ki Slamet sangatlah tampan pada malam itu. Seperti melihat seorang pangeran yang turun dari langit. Ya, memang benar, ia berasal dari langit. Langit tempat para arwah. Diri Angi yang masih berbaring di kasur di pandangi oleh sang suami. Ia menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Ia sangatlah cantik. Wajah blasteran Indo – Belanda menambah ayu penampilannya malam ini. Sang suami tak banyak bicara pada Angi. Ia hanya melemparkan senyum manis sebagai tanda bahwa kini dirinya sudah menyerah pada takdir dari Sang Maha Kuasa. Kelambu berwarna merah muda itu bergelombang dengan lembut. Angin meniupkan sayup-sayup romantis pada pasangan baru ini
“Ceklek!” Suara pintu dibukanya. Ia melihat ruang ritualnya sudah berantakan. Semua barang berjatuhan hingga guci yang ia keramatkan pecah berkeping-keping. Entah gerangan apa yang menghujat tempat ini. Angi mencoba menerka apa yang sedang direncanakan oleh si pengirim. Sang ular raksasa memperingatkan Angi untuk tetap waspada. Ia menuturkan bahwa nanti setelah pergantian malam, ia akan melancarkan serangan bertubi-tubi. Angi harus bersiap. Kumandang adzan magrib tiba. Setelah menjalankan ibadah, Angi meminta pertolongan kepada Sang Maha Kuasa. Ia melakukan wirid untuk mempersiapkan bala pasukan. Wirid yang dilakukannya kali ini adalah untuk memanggil para pasukan prajurit keraton yang siap tempur. Sang ular raksasa yang biasa dipanggil khodam itu, ia pun bersiap untuk melawan serangan dari para jin yang sudah mulai dikirim. Para jin dengan aura hitam berdatangan menglilingi rumah Angi. Susana menjadi me
Pada malam selasa kliwon, Angi kembali bertemu dengan sang suami dalam peraduannya di tempat pemandian air tempuran. Malam yang begitu sunyi di sebuah hutan belantara, ia pergi kesana dengan maksud untuk menyembuhkan luka yang dialaminya. Di sisi lain, ia pun menyempurnakan kesaktiannya yang masih secara bertahap meningkat. Akibat pertarungannya dengan dukun dari wilayah Banten tersebut, tenaga Angi mulai terkuras. Ia seperti tak memiliki energi untuk memanggil para khodamnya bahkan untuk berjalan sekalipun sangat berat baginya. Angi melanjutkan ritualnya malam itu, berendam di pertemuan dua sungai. Dia menunggu sosok sang suami yang berwujud ular raksasa datang kepadanya. Belum cukup 10 menit Angi melanjutkan ritualnya, telinganya kembali mendengar suara-suara aneh. Bukan gemericik air sungai, tapi seperti air yang mengalir ke sungai. Dari atas rumpun bambu, mengalir air, seperti seseorang sedang buang air kecil. Angi meno
Ternyata, seorang tetangganya mengetahui pernikahan gaibnya itu. Dengan kemampuan indra keenam yang dimilikinya ia mampu melihat dan mendengar semua kejadian yang terjadi pada malam satu suro itu. Angi tak bisa berbohong, karena memang dirinya telah melakukannya. Ia hanya meminta tetangganya agar tetap diam atas kejadian yang sudah terjadi padanya. Angi merebahkan badannya di atas tempat tidurnya yang sudah di renovasi setelah kejadian terbakar kala itu. Ia beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga dan pikirannya. Lalu, ia terlelap. Sementara, sang kakak, Rama, sedang bercumbu mesra bersama seorang wanita di kamarnya. Ia tak banyak bicara dan berinteraksi dengan orang rumah. Namun, kali ini ia telah tertangkap basah oleh sang ayah. Kak Rama, sering, bahkan, setiap hari selalu mengurung dirinya di kamar. Ia keluar hanya untuk makan dan mandi. Entah apa yang ia lakukan di dalam kamarnya tersebut. Saat ia keluar dari kamarnya dan