’Aku ini juga makhluk halus. Ha ha ha’ ucapnya dalam hati.
“Oh, gitu. Bisa lihat makhluk halus bukan berarti harus dijauhi, bukan? sela Rusyd.
”Iya juga sih. Cuma serem aja. Kalau tiba-tiba makhluk itu muncul, iiihhhhhh…” ucapnya.
”Kaya ini maksudnya!” Rusyd menampakkan wajah aslinya pada Riana.
”Huuaaaaaa!!!” teriak Riana histeris.
Ia mendorong kursi tempat duduknya hingga kursi itu terjatuh. Riana panik bukan kepalang. Orang yang ia temui malam ini berubah menjadi hantu yang menyeramkan.
Wajah Rusyd berubah putih pucat. Matanya membulat besar, lingkar matanya hitam legam. Mulut dan hidungnya mengeluarkan darah. Tubuhnya mengeluarkan kabut hitam mengelilingi tubuhnya.
Riana yang panik ingin segera melarikan diri. Ia melangkahkan kakinya untuk segera menjauh dari meja itu. Saking paniknya, salah satu sepatu heels yang ia gunakan berukuran 7 cm itu, patah.
Tubuhnya sudah condong ke arah lantai, namun, tulang iga belakang
Tatapan Rusyd pada Maryam penuh dengan hasrat. Ia mengedipkan sebelah matanya menandakan seperti telah terjadi suatu perjanjian. ”Pegawai itu memang lancang. Dia saya skors 2 hari,” ucap Maryam pada staff lainnya.Maryam berjalan melewati para staffnya dan ia menuju ruang kerjanya. Rusyd yang baru saja di skors, menyunggingkan senyum degan lirikan mata tertuju pada Maryam yang sedang berjalan. Tangan kanannya memegang bibirnya yang seakan – akan sedang tergiur oleh sesuatu. Angi memperhatikannnya dari kejauhan. Rusyd berjalan menuju meja kerjanya. Semua pegawai yang berada di sekitar mejanya menatapnya dengan penuh penasaran. Rusyd yang sadar sedang diperhatikan, ia sengaja berlagak santai, bak tidak terjadi sesuatu padanya. Ia duduk di kursinya dengan gaya seperti duduk di pantai, badannya condong ke belakang dan kakinya disimpan di atas meja. “Aahhh! Dunia ini tidak asik. Semua manusia disini sama saja!” ucap Rusyd dengan suara enteng
Ia tiba di kamar hotel sesuai intruksi dalam undangan tersebut. Ia masuk ke dalam hotel. "Piiippp," suara infra red mendeteksi kartu kamar hotel. Saat ia menoleh, ia terkejut. Jantungnya hampir copot. Rusyd berdiri di hadapannya! "Huaaaaa!!!" teriak Bu Maryam sekeras mungkin karena saking terkejutnya dengan Rusyd. Aura Rusyd sejenak menjadi hitam. Ia sudah tak sabar ingin melancarkan aksinya. Namun, ia mengontrol dirinya kembali. Ia tak mau tergesa-gesa seperti kejadian bersama Riana. Ia tertangkap kamera CCTV. Rusyd melangkah maju mendekati Bu Maryam yang masih menutup kedua matanya. "Sssssttt," suara Rusyd mendesis. Jari telunjuknya bersentuhan dengan bibir merah Bu Maryam. "Tenanglah! Ini aku," ucap Rusyd. Aku sudah menunggumu sejak tadi. Kukira kamu tidak akan datang. Aku mulai cemas, jadi aku menunggumu di dalam. "Maaf kalau menunggu lama. Aku terjebak macet," responnya. "Ayo lihatlah ini! Indah sek
Sebelum Adhimas datang, kali ini, Angi meminta Ki Slamet untuk memunculkan wujudnya di hadapan Angi. Namun, Angi merasa bingung, bagaimana cara memanggil Ki Slamet. Karena, biasanya Ki Slamet lah yang selalu datang kepadanya. "Gimana ya cara panggilnya?" tanyanya pada diri sendiri. Angi memandangi ponselnya. "Seandainya ia bisa di telepon. Hufftt!" ucapnya. "Haruskah?" "Haruskah memanggilnya dengan ritual itu?" ucapnya. Angi yang kebingungan tak tahu harus memulai dari mana untuk menyiapkan ritual itu. Keluarganya memang keturunan paranormal namun Angi tak pernah sedikitpun melirik bagaimana cara melakukannya. "Ahh, mungkin aku panggil saja langsung namanya. Dia selalu disampingku pasti dia mendengarku," ujarnya dalam hati. "Assalamualaikum Ki," ucapnya. "Maaf, Ki, saya boleh minta tolong? Bisakah aki hadir disini?" "Dasar anak jaman sekarang! Panggil aku dengan sopan!" suara Ki Slamet menggema di kamarnya.
Angi membalasnya dengan senyum. Ia membuka undangan berwarna merah itu. Dalam undangan itu tertulis bahwa ia mengundang Angi untuk datang ke salah satu Caffe tak jauh dari indekosnya. Dalam undangan itu pula tersimpan sebuah souvenir kalung emas untuknya. Tak sedikitpun Angi tergoda untuk materi yang ia berikan itu. Namun, ia akan tetap datang untuk memenuhi undangannya tersebut. Angi lantas memberi tahu Adhimas perihal isi undangan merah itu. Tentu saja, sebuah rencana untuk menangkapnya sudah disiapkan. Caffetaria. Pukul 07.00 malam. Angi datang sendiri ke Caffe tersebut tanpa ditemani Adhimas. Ia berjalan masuk dengan percaya diri. Langkahnya menuntunnya menuju meja 014. Sebuah tempat yang sudah di booking sehari sebelumnya. Meja 014 masih kosong. Rupanya Rusyd belum ada di tempat. "Hei! Lama nunggu ya?" suara yang tidak asing ditelinganya. "Oh. Baru saja sampai kok," sahutnya. "Aku baru saja
Matahari bersinar begitu cerah. Langit membiru tanpa ada beban. Hari ini suasana terasa berbeda. Harapan dan doa semua orang terwujud. Jakarta, saat ini, sedang bergembira. Tak ada lagi kekhawatiran akan ancaman pembunuhan. Begitu pula dengan kehidupan Angi dan Adhimas. Mereka menjalani rutinitas sehari-hari seperti biasa setelah kejadian di gudang restauran itu. Kabarnya, restoran itu ditutup dan beralih lokasi di tempat berbeda, namun, masih di sekitar Jakarta. Konon katanya untuk menghindari bala. Menurut paranormal yang dipercaya, tempat itu sudah tidak baik lagi untuk melanjutkan usahanya. Hal tersebut dikarenakan telah terjadinya insiden percobaan pembunuhan pada seorang wanita. Hingga akhirnya, anak sulungnya tewas mendadak. Dalam satu hal, kedua orang tua Rusyd menyetujui pindah lokasi itu karena mereka merasa telah dipermainkan oleh kedua anaknya. Paranormal tersebut menceritakan kronologis kematian sang adik hingg
"Sulit sekali mencari dirimu. Bahkan aku mendapat kabar bahwa kau sudah meninggal," ucapnya. Angi hanya tersenyum mendengar ucapan Anto. Angi pun penasaran dari mana ia mendapatkan alamat tempat tinggal terbarunya saat ini. Selama ini, hanya Adhimas lah satu-satunya orang yang mengetahuinya.Anto menuturkan bahwa ia mendapatkannya dari seorang pemilik restoran bernama Tirto. Ia memberitahu cerita tentang anak sulungnya dan juga ingin sekali bertemu Angi untuk memberikan ucapan terima kasih. Saat Angi diminta menjadi saksi dari kejadian tersebut, saat itu pula ia meminta alamat tinggal dirinya. Ia memberitahu Anto itu semua ketika ia berkunjung ke restorannya yang baru saja pindah. Anto tak sengaja jika ia bertemu dengan seseorang yang mengenal Angi. Kebetulan yang sangat diidamkan, ia segera mencari tahu tentang Angi. Hingga akhirnya, saat ini, ia tiba di indekos Angi dan bisa bersantai lesehan di teras depan indekos
Anto terus mengerang kesakitan. Sebelah tubuhnya tak bisa ia gerakkan. Ia benar-benar kalah kali ini. Tak ada satupun yang datang menjenguknya. 'Tega sekali mereka' teriaknya membatin. Dalam keterpurukan, ia berjanji pada dirinya sendiri. Bahwa jika Tuhan mengizinkannya sembuh, maka ia akan membalaskan perlakuan biadab wanita gila itu. Semua kejanggalan ini tidak lain adalah hasil perbuatan gila keluarga itu. Ternyata, mereka selama ini mengawasi kehidupan Anto bersama keluarga barunya. Anto pun mengira perbuatannya itu tidak lain karena bisnis yang selama ini ia bangun sudah runtuh. Beberapa investor lamanya sempat berbincang tentang pailit hutang yang akhirnya membuat mereka gulung tikar. Semua aset perusahaan dijual demi menutup kerugian besar. Bahkan, barang-barang mewah milik pribadi pun turut melunasi hutang mereka yang selangit. Rumah mewah dan megah sudah tak lagi milik mereka. Anto sempat merasa miris dan terasa sedikit se
Hari itu menjadi hari bersejarah bagi Angi untuk memulai kehidupannya yang selama ini ia jauhi. Hari demi hari selalu ada saja orang yang datang ke indekosnya. Entah dari mana mereka mendapatkan informasi tentang dirinya. Bahkan, sempat satu rombongan dari suatu daerah pedalaman di Jakarta datang mengunjungi Angi. Berita tentang dirinya yang bisa mengobati berbagai penyakit tersebar dengan cepat hingga ke pelosok Jawa. Orang-orang jawa yang mengetahui Angi adalah keturunan jawa membuat mereka sangat mengaguminya. Mereka sangat berantusias untuk bertemu Angi dengan membawakan buah tangan dari kampung. Angi yang setiap harinya sibuk dengan pengobatannya. Ia sempat melupakan keberadaan Adhimas. Ia seperti terhipnotis dengan kegiatan terbarunya. "Assalamualaikum," ucap Adhimas ketika tiba di indekos Angi. Ia terkejut dengan orang-orang yang berkumpul di teras indekosnya. Ruangan yang sempit itu tak ada lagi celah untuk duduk bahkan