Di sebuah restoran melegenda, di mana pertama kali Chandra dan Nadira bertemu lima tahun silam, pertemuan yang tidak pernah disangka-sangka merupakan sebuah jawaban jodoh antara Chandra dengan Nadira. Saat itu Chandra dan Nadira baru saja masuk ke jenjang perkuliahan, Nadira bekerja di restoran itu sebagai pramusaji, melayani kebutuhan tamu yang datang untuk mengenyangkan perut atau hanya meminum kopi sambil bersantai ria. Lima tahun yang lalu, Chandra dan Roy belum menikah, ia dibawa oleh bu Hesti pergi jalan-jalan ke Mall yang ada di sebrang restoran, karena Chandra merasa lapar, akhirnya Chandra memutuskan untuk menyudahi aktifitas jalan-jalannya setelah seharian ia sibuk kuliah. "Bu, aku lapar," ucap Chandra memegangi perutnya. "Ya sudah kalau begitu, ayo kita cari makanan dulu," ajak bu Hesti. "Tapi nggak di Mall ini ya, di sini agak mahal, kita makan di depan Mall ini saja," sambung bu Hesti, membujuk putranya. "Ya Bu, tidak masalah." jawab Chandra, di anggukkan kepala oleh
"Setelah makan ini, kamu mau ke mana aja terserah, pokoknya malam ini kita akan habiskan untuk bersenang-senang, hitung-hitung kita berbulan madu, sayang," ucap Chandra ingin membahagiakan Nadira. "Apa ini tidak berlebihan Mas, aku tidak ingin membuat pengeluaran kita menjadi banyak hanya karena kamu ingin membahagiakan aku," seru Nadira tidak enak hati. "Sssst, jangan pikirkan itu Nadira, uang bisa kita cari lagi, saat ini aku ingin benar-benar memastikan bahwa kamu menikmati pernikahan kita, aku ingin membuat kamu bahagia bersamaku," sahut Chandra, ingatan nya masih terekam jelas pada kejadian di kolam itu. "Tapi dengan makan malam di sini saja, sudah membuat ku sangat bahagia Mas, jangan ragukan aku, karena di dalam keadaan seperti apapun, aku tetap akan bahagia asal bersamamu." jelas Nadira dengan mantap. Chandra tersenyum saat mendengar jawaban itu dari Nadira, hal itu justru membuatnya semakin menggebu untuk membawa Nadira pergi dan mengajaknya jalan-jalan lagi. Tempat kedua
"Aku hanya ingin membantu istriku membersihkan sampah ini, Bu," ucap Chandra mengangkat kepala menatap ibunya. "Biarkan itu jadi urusan istrimu! Lagi pula dia kan yang menghabiskan camilan itu sambil menonton TV," celetuk bu Hesti tidak terima, ketika putranya ingin membantu sang istri. "Ibu salah, justru aku lah yang melakukan semua ini Bu, aku yang sesuka hati membuang sampah-sampah ini sambil asik menonton TV, sudah ya Bu, Ibu tenang saja, aku dan Nadira akan membersihkan semuanya agar terlihat rapi lagi." jelas Chandra membela Nadira. Raut wajah bu Hesti memerah menahan amarah, setelah mendengar pembelaan dari Chandra untuk Nadira, namun tak banyak yang bisa bu Hesti lakukan saat itu setelah Roy meminta duduk saja di sampingnya. Begitu juga dengan Anita yang harus menjaga sikap, meskipun sebenarnya ia merasa sangat cemburu lantaran Roy sepertinya lebih memilih membela Nadira. Setelah membuang sampah dan membersihkan lantai, Chandra dan Nadira pamit bahwa mereka akan mandi dulu
2 jam telah berlalu, Nadira sudah berusaha menyiapkan semua kebutuhan ibu mertuanya dengan sangat baik dan sabar, bersikap seolah tidak terluka oleh ucapan dan tingkah bu Hesti yang menyayat, Nadira menghormati bu Hesti lantaran ia adalah ibu dari suaminya, begitu juga dengan Anita, sebagai istri dari kakak yang begitu mencintai sang suami, ia tidak membalas perlakuan Anita yang begitu keterlaluan. Kini tiba saatnya Roy membawa ibu dan istrinya kembali ke rumah, karena ingin menjaga hubungan dari ketidak baikan antara mereka dan Nadira."Bu, sekarang kita pulang yuk, kita sudah cukup lama di sini, sudah mendapatkan sajian enak juga dari Nadira, dengan menu makanan khas buatannya, aku tidak menyangka jika ternyata masakan Nadira sama seperti makanan restoran," puji Roy jujur. "Nggak salah dong lo puji Nadira, Nadira kan lama kerja di restoran tempat di mana dulu gue pertama kali ketemu sama dia, jadi gue nggak perlu pergi ke sana dan bayar kalau mau makan, cukup beli bahan, terus dia
"Mas, gimana kalau kita mengadakan syukuran untuk rumah baru kita ini, dengan mengundang beberapa tetangga baru kita, sama keluarga kamu juga, itung-itung kita sedekahkan sebagian rezeki kita dengan berbentuk makanan ke mereka?" usul Nadira penuh semangat. "Emmm, ide yang bagus sayang, aku setuju," ucap Chandra yang masih memeluk tubuh Nadira di atas kasur. "Ya udah kalau gitu, aku siap-siap dulu, aku mau milih makanan apa aja yang akan aku pesan dan seberapa banyaknya dulu, makasih ya Mas, kamu selalu mendukung keinginan ku," Nadira tersenyum menatap suaminya. "Karena semua yang kamu inginkan itu positif, sayang. Tentunya aku setuju, apalagi di sela-sela kebahagiaan kamu, kamu masih berpikir untuk memberikan sedekah untuk orang-orang, itu bentuk perkenalan yang baik, karena kita penghuni baru di sini." jawab Chandra melempar senyum. Nadira pun bangkit dari tempat tidurnya, wajahnya begitu sumringah saat menerima pujian dari sang suami yang tidak begitu berlebihan itu, namun terke
"Kamu nggak papa kan, sayang?" tanya Chandra memastikan. "Ya Mas, aku nggak papa, kok." jawab Nadira yang sudah terlihat lebih baik. Chandra kini berhadapan dengan bu Hesti, ia menatap lurus ke arahnya untuk menjawab pertanyaan sang ibu yang terkesan wajar itu, Chandra tidak menyalahkan pertanyaan tersebut, hanya saja waktunya yang terasa tidak tepat baginya. "Bu, aku dan Nadira memang belum siap untuk memiliki keturunan," ucap Chandra singkat. "Kenapa tidak siap? Apa alasannya, Chandra. Pernikahan kalian ini kan sudah dua tahun, dan kabarnya rumah yang kalian bangun itu sudah kalian tempati, kan? Lalu apa lagi alasan kalian untuk menunda punya momongan?" begitu penasarannya bu Hesti saat itu. "Ibu benar-benar ingin tahu alasan ku!" tegas Chandra menjawab. "Ya, tentu saja Ibu penasaran. Sekarang coba jawab dengan jujur," seru bu Hesti. "Aku dan Nadira akan siap memiliki momongan jika sikap Ibu berubah, tidak seperti ini lagi pada Nadira. Karena aku tidak mau jika sampai anakku
"Bu, boleh aku masuk?" tawar Roy, ia berdiri di ambang pintu, menyaksikan tangisan sang ibu yang berusaha disembunyikannya. "Ya, masuk lah." jawab bu Hesti mempersilahkan. Roy melangkah dengan mantap, mendekati sang ibu yang terlihat berpura-pura tersenyum. Meskipun demikian Roy tetap tahu apa yang sedang dirasakan oleh bu Hesti, untuk itulah ia datang menemui ibunya. Roy menggenggam salah satu tangan bu Hesti, berusaha memberikan nya sebuah kekuatan dan semangat, melihat Roy memperlakukan dirinya begitu hangat, bu Hesti pun tak kuasa menahan air mata yang kini membanjiri wajahnya lagi. "Jangan ditahan kalau memang Ibu mau menangis, menangis lah Bu, siapa tahu itu dapat membuat hatimu jauh lebih baik," ucap Roy. Dengan setia ia duduk di samping ibunya. "Hiks, kenapa kamu sangat baik Roy, berbeda dengan adik mu yang sekarang lebih memilih hidup bersama wanita itu, bahkan adik mu tidak tahu betapa hancur dan terluka nya hati Ibu saat ini," rengek bu Hesti tak kuasa menahan tangis.
Pagi ini Nadira begitu semangat pergi ke kantor, ia hendak mengundang beberapa teman dekat yang ia harapkan akan ikut meramaikan acara syukuran esok malam, Nadira juga sudah menyiapkan satu undangan yang akan ia antar ke ruangan Wildan Saputra, ia adalah atasan Nadira yang telah memberikannya banyak bonus dadakan ketika ia berhasil memenangkan tender selama ini. Wildan pria sukses di masa muda, yang belum memiliki pasangan. Langkah kaki Nadira tiba di ruangan yang ia tuju, setelah mengetuk pintu beberapa kali, akhirnya Nadira dapat mendengar bahwa Wildan bersuara dan mempersilahkannya masuk. "Selamat pagi, Pak," sapa Nadira melempar senyum. "Selamat pagi Nadira, masuk saja," ucap Wildan melempar senyum, pria itu sedang duduk di kursi singgasananya. "Terima kasih Pak, saya datang ke sini karena saya ingin memberikan undangan ini untuk Bapak," Nadira langsung saja menyodorkan undangan tersebut. Setelah dipersilahkan duduk. "Undangan apa ini, Nadira?" Wildan menerima kertas tersebut