Mana Sheila, Limah?" tanya Banta dengan nada tenang. Namun dari raut wajahnya nampak ketegangan hingga di sana.
"Se, sebentar saya panggil dulu," Jawab Makcik Limah dan kembali ke kamar Sheila dengan tergesa-gesa.
"Kau sepertinya gagal menjaga Sheila Zaid." Pak Banta menatap tajam ke arah Zaid.
"Maafkan saya, Pak." Zaid hanya bisa menatap ujung sepatu Banta.
Waduh, ada apa ya? Kenapa Pak Banta marah pada Zaid. Jangan-jangan mau dipecat. Yah, kasihan Zaid. Semua karena ulah Sheila.
"Lalu, apa rencanamu sekarang?"
Zaid menarik napas dan melepaskan dengan kasar.
"Saya mempunyai keterbatasan, Pak," Keluh Zaid.
"Saya pikir, Sheila memerlukan penjaga yang lain." Zaid menatap sendu ke arah Banta.
"Maksud kamu?"
"Sheila membutuhkan sosok penjaga yang m
"Maafkan saya, Damar," ucap Pak Banta setelah selesai menerima panggilan telepon. "Nggak apa-apa, Om," Damar tersenyum pada Pak Banta. Sementara itu, Sheila mengambil telepon genggamnya dan berfoto selfie di hadapan Damar. "Kamu sudah ngobrol dengan Sheila?" Pak Banta sekarang mengalihkan pandangan ke sisi kanannya. Sheila masih tak acuh pada kedua pria yang duduk bersamanya. Ia masih asyik mengambil foto dirinya dengan berbagai ekspresi. Senyum Damar mengembang melihat tingkah Sheila. Ia ingin tertawa, tapi ia menahannya. Mulutnya pun ditutup dengan telapak tangan. Pak Banta berdehem. Namun, Sheila tetap asyik dengan kegiatannya. Ia mengabaikan kode dari papanya agar menghentikan sikapnya yang kekanak-kanakan. "Sheila. Simpan ponselmu," pinta Papa padanya. Sheila tak mengindahkan permintaan papa. "Sheila!" Bentak Pak Banta membuat Sheila terke
Para santri berbisik-bisik melihat kedatangan Zaid dan Sheila. Beberapa santriwati terlihat menatap sinis ke arah Sheila.Hafiz menarik lengan Zaid. " Apa-apaan kau ini, Za!""Aku harus gimana lagi. Dia memaksa minta ikut kemari." Zaid berusaha menjelaskan."Kau mau menghancurkan popularitasmu sebagai Ustadz? Gila kau!""Bagaimana kalau orang kampung lihat dan memfitnahmu. Kau tau sendiri kan, gimana mulut mamak-mamak sini. Apa yang dilihat, apa pula yang dipikir dan diobrolkan. Belum pula kalau anak-anak mereka mengadu. Mau apa kau kalau mereka meminta pengurus masjid memberhentikanmu mengajar." cerocos Hafiz panjang kali lebar."Fiz, Hafiz. Tenang." Zaid menyentuh bahu Hafiz."Enak saja kau suruh aku tenang." Hafiz menepis tangan Zaid.Saat mereka kembali ke dalam masjid, tampak Sheila yang mengobrol dengan beberapa Santri."Aku boleh bergabung?" tanya Sheila pada Zaid.Zaid menjadi salah tingka
Seperti biasa, Sheila ke kantor diantar oleh Zaid. Ia nampak bersemangat sekali karena nanti sore ia telah berencana mengaji di masjid bersama Zaid.Ia seperti menemukan sesuatu yang hilang saat di masjid. Mengaji, berkumpul bersama teman-teman dan bercerita banyak hal walaupun kadang dia tidak paham, memberikan kesan mendalam. Memberikan pengalaman masa kecil yang tak pernah dimilikinya."Za, jangan lupa janjimu," ia menepuk pundak Zaid sebelum masuk ke kantor Pak Banta. Sekarang sudah jadi kebiasaan, sebelum masuk ke kantornya, ia menyapa Pak Banta dulu."Papa!" teriaknya ketika membuka pintu."Sheila!"Ia mendekati papa dan langsung menghujani Pak Banta dengan ciuman di pipi tanpa memperhatikan ada siapa di ruangan itu."Kamu tidak bisa mengetuk dulu sebelum masuk?""Mana mungkin mengetuk pintu ruangan papaku sendiri," ucapnya sambil bergelayut manja di lengan Papa.Pak Banta geleng-geleng kepala melihat
"Pelan-pelan!" Jerit Sheila."Makanya kalau jalan hati-hati. Kan begini jadinya," omel Zaid."Jangan-jangan kamu sengaja biar dipeluk Damar," imbuh Zaid lagi."Eh, sembarangan kalau ngomong, ya!""Aku nggak serendah itu!""Kalau kau nggak percaya, sudah. Sana pergi." Sheila menepis tangan Zaid yang sedang mengobatinya dengan minyak urut."Percaya atau tidak. Tidak ada bedanya bukan? Aku cuma supir dan penjagamu, saja. Tidak ada yang berubah." Zaid mengambil kembali kaki Sheila ke dalam tangan kiri dan membakarnya dengan tangan kanan.Zaid berusaha menyembunyikan sesuatu di matanya. Ia menghindari mata Sheila yang menatapnya heran. Sheila pun tersadar dan bertanya-tanya dalam hati. Atas dasar apa dia ingin Zaid yakin jika dia tidak menginginkan Damar. Toh, Zaid bukan siapa-siapa baginya. Dia hanya sosok yang berada di sisinya atas dasar materi. Bukan karena perasaan atau ikatan istimewa.Sampai malam tiba, masih terl
Setelah mengobrol sejenak dengan Pak Banta, Zaid menghubungi Sheila. "Kenapa?" tanya Sheila begitu Zaid telepon tersambung."Aku ingin menepati janjiku kemarin," jawab Zaid."Janji apa?" Sore hari, Zaid menjemput Sheila di sebuah pantai yang terindah di kota mereka. Sheila tampak girang. Akhirnya Zaid akan mengabulkan keinginannya. Sepanjang perjalanan, ia tampak tersenyum sendiri membayangkan waktu yang dihabiskan bersama Zaid Wajah Sheila dan Zaid tampak sumringah sepanjang perjalanan. Mereka akhirnya tiba di sebuah masjid. Tempat itu pernah mereka kunjungi sebelumnya."Kau mengizinkan aku ikut mengaji di sini?" Zaid mengangguk. "Ayo masuk. Aku akan memperkenalkanku pada seseorang."Assalamualaikum. Aisha, kenalkan ini Sheila yang pernah kuceritakan tempo hari." Zaid menyapa seorang wanita saat tiba di dalam masjid.Ia mengulurkan tangan pada Sheila. Sheila menyambut wanita berkerudung lebar itu dengan canggung. Namun, Aisha tak sungkan membalasnya dengan pelukan hangat."Sela
"Zaid!" Pak Banta memanggil Zaid yang baru saja tiba di rumah Sheila. Hari ini sepertinya Pak Banta tidak ke kantor. "Saya, Pak," jawab Zaid. "Terima kasih telah memberi Sheila kesempatan mengaji." "Itu adalah momen yang terlewat ketika ia masih kecil." Pak Banta membenarkan letak kacamata. Zaid menyatukan kedua telapak tangannya. "Semua salahku yang mengabaikannya di waktu kecil." "Aku seakan larut dengan diriku sendiri hingga akhirnya banyak melewatkan masa mengasuh Sheila." "Kau telah membantuku membayar hutang pengasuhanku yang belum kulunasi padanya. Aku berharap, Sheila kelak memperoleh suami yang paham keadaannya dan dapat menggantikan ku menjaga dan melunasi hutang-hutangku padanya," jelas Pak Banta. Zaid menggigit gigi, hingga tampaklah tulang pipinya. Andai ia boleh berharap. Jika saja ia adalah seseorang yang layak berada di sebelah Sheila, tentu ia ingin sekali mewujudkan harapan Pak Banta. "Bapak tidak usah khawatir. Kata ustadz saya, jodoh seseorang itu cermin
Hari ini Sheila tidak ke kantor. Ia ikut Damar ke sebuah tempat. Naik kapal meenyeberangi lautan membuat Sheila sedikit mual dan pusing. Damar dengan setia mendampingi Sheila. "Kenapa kita harus kemari, sih?" kesal Sheila."Namanya juga guide. Kemana tamu pergi, ke situ kaki melangkah. Sebenarnya hari ini aku tak perlu membawa tamu, karena sudah ada guide khusus. Tapi aku ingin jalan-jalan bersama kamu ke mari," ungkap Zaid."Aku?" Damar mengangguk.Sheila tertawa kecil."Kenapa harus aku? Kau kan bisa mengajak pacarmu saja." Sheila melambaikan tangan di hadapan Damar."Gadis itu belum jadi pacarku. Tapi bisa kupastikan sebentar lagi dia kami akan jadian." Damar menatap dalam mata Sheila."Kau ini percaya diri sekali. Bagaimana kalau dia malah menolakmu?" Sheila melirik sebal pada Damar."Kenapa dia harus menolakku? Selama ini tak ada gadis yang menolakku.""Kau memang pembual," sungut Sheila."Aku serius. Selama ini banyak gadis yang mendekatiku. Bahkan banyak orang tua yang mengin
Sheila sudah bangun pagi dan bersiap untuk ke kantor. Ia bertemu Pak Rahman saat turun tangga."Hari ini biar Bapak yang antar ke kantor." "Zaid mana?" tanya Sheila sambil celingukan."Zaid hari ini minta izin." "Sombong!" gerutu Sheila."Kenapa dia tidak izin pada Sheila?" "Dia sudah izin sama papamu.""Hah. Dia tidak menghargaiku sama sekali!" kesal Sheila.Sheila ke luar rumah diikuti Pak Rahman."Mau ke mana Sheila?" "Mau ketemu Zaid. Sheila mau bikin perhitungan. Berani-beraninya ia meremehkan Sheila." ucap Sheila berapi-api."Biar Bapak antar," pinta Pak Rahman."Tidak usah," sahut Sheila ketus.Tiba di depan mobil, Pak Rahman menahan pintu mobil yang hendak dibuka Sheila. "Naik ke belakang. Bapak akan mengantar Sheila," perintah Pak Rahman tanpa basa-basi.Sheila menggeser tubuhnya pelan dan dengan malas membuka pintu jok belakang mobil."Dasar orangtua. Selalu saja menyebalkan. Senangnya main atur-atur orang." Sheila menggerutu.Pak Rahman pun telah duduk pula di tempat d
Sheila turun dari mobil dengan penuh amarah. Ia berteriak-teriak menceracau tak jelas sepanjang perjalanannya menuju kamar dan merusak beberapa pajangan yang ada di ruang tengah. "Kenapa dia?" tanya Mak Cik Limah pada seorang pelayan di dapur. Pelayanan itu menggelengkan kepala. Jelas saja dia tak tahu apa yang terjadi, karena Sheila baru pulang setelah pergi tanpa pamit dari rumah dan menginap di rumah Aisha. Pak Banta melewati Mak Cik Limah yang memandang kepergian Sheila dari bawah tangga. "Ada apa, Pak?""Anak itu sungguh terlalu Limah." "Apa yang telah dia lakukan sebenarnya?"Pak Banta merebahkan tubuh di sofa." Buatkan aku kopi Limah." Pintanya. Makcik Limah bergegas ke dapur. Mengambil cangkir dan menuangkan kopi ke dalamnya dengan kening mengkerut. Limah membawa nampan berisi kopi dan juga sedikit camila ke meja Pak Banta."Aku kehabisan cara menasihati Sheila. Menikah dengan Damar pun kurasa belum tentu efektif menjadikannya lebih baik. Sebagai ayah aku benar-benar ta
"Assalamualaikum," terdengar suara salam di ambang pintu. Daun pintu masih terbuka lebar. Di sana ada sesosok pemuda berdiri dan menatap ke arah Aisha dan Sheila dengan raut khawatir. "Kamu kok kemari? ""Huss. kok gitu tanyanya?" Celutuk Aisha. Damar menunduk. Kemudian menatap Sheila. "Masuk Damar," ajak Aisha. Damar mengangguk dan melangkahkan kakinya masuk. Ia duduk di samping Aisha dan Sheila. Sheila segera melipat kakinya seakan tak terjadi apapun. "Aww!" jerit Sheila. "Kakimu kenapa? Sini aku lihat." Damar mengarahkan tangannya hendak meraih kaki Sheila. Namun Sheila menepis tangan Damar. "Kenapa?" tanya Damar. "Sakit tau!" bentak Sheila. "Oh, maaf." "Kita ke dokter, ya" ajak Damar. "Enggak! " Tolak Sheila. "Sheila di sini aja,""Kakimu terluka, bagaimana aku membiarkan kamu di sini?" Damar kembali membujuk. "Hanya luka kecil. Nanti juga sembuh."Aisha memberi kode dengan kedipan mata pada Sheila agar ia menurut. Aisha tahu kondisi kaki Sheila tidak baik-baik saja
"Kami dan Damar baik-baik saja, kan?" Zaid bertanya kembali."Kenapa aku harus bercerita padamu?" Kilah Sheila."Lalu kamu mau cerita sama siapa? Memangnya kamu punya teman selain aku?" "Not your business," kilah Sheila lagi."Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu." Zaid mohon izin."Eh, Zaid kamu mau kemana?" "Kamu nggak mau cerita ke aku. Untuk apa lagi aku berada di sini?" "Kamu mau mendengar ceritaku?" "Tentu saja, Sheila. Sampai kapanpun, walaupun aku bukan supirmu lagi aku tetap mau mendengar ceritamu." "Kamu mau kuajak ke suatu tempat?" Mereka berdua pun mampir di sebuah waduk yang indah dekat masjid. Mereka duduk di rerumputan di tepi waduk."Dulu, ibuku sering mengajakku main di tepi waduk ini." Cerita Zaid. "Ketika mulai remaja, aku sering menghabiskan waktu membaca dan menulis di tepi waduk ini. Bagiku waduk ini adalah taman bermain yang tak pernah dapat kuraih seperti anak-anak lain." Zaid mulai bercerita."Dan keindahan waduk ini masih sama seperti dulu." Zaid men
Makan Siang"Masuklah Zaid. Bang Hafiz di kamar mandi. Bentar lagi juga selesai." Aisha membujuk Zaid.Sheila beranjak ke belakang tanpa berkata apa-apa.Zaid diam sebentar."Yuk, masuk," ajak Aisha kembali.Zaid pun melangkahkan kaki ke dalam rumah petak Aisha dan Hafiz."Kamu ini. Kayak tamu aja," celutuk Aisha.Zaid terkekeh, wajahnya nampak memerah dan ia mulai menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Duduk dulu ya, aku ke belakang." "Ada Zaid di depan. Sudah masuk?" tanya Hafiz begitu keluar dari kamar mandi."Udah. Malu, malu diatu." Aisha tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan.Mereka berdua melirik Sheila yang sedang berada di westafel dapur. Sheila membalas lirikan mereka."Kalian berdua mencurigakan, deh," usik Sheila."Sssst. Sini, sini. Kita makan dulu, yuk." Aisha merangkul bahu Sheila dan mengajaknya pindah dari dapur."Sheila belum siap nyupir, nih." "Nggak papa. Nanti aja. Kayak kamu rajin aja nyuci piring. Padahal nggak pernah. Alesan!" goda Aisha.Wajah
"Kamu mau cerita tentang pertunanganmu?" Aisha langsung menebak. "Iih. Rupanya kamu lebih nyebelin dari Pak Rahman." Mereka berdua pun tertawa lepas. "Aku ragu dengan Damar, Aisha," sungut Sheila. "Apakah kau tidak percaya pada Damar?" "Sepertinya aku dan Damar beda tujuan sekarang." Sheila menunduk. "Apakah kalian pernah memiliki tujuan yang sama?" Sheila memandang Aisha, lama. "Aku hanya ingin berubah Aisha. Menjadi perempuan yang lebih berharga. Mencintai diriku sendiri. Apa itu salah?" Aisha hanya tersenyum. "Bagaimana mungkin aku bisa mencintai orang lain jika diriku saja tak kuhiraukan. Bukankah itu katamu?" Aisha kembali tersenyum. "Aku memang tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Namun bukan berarti aku boleh menghancurkan diriku sendiri. Aku sudah dewasa dan dapat memilah apa yang terbaik untukku." Aisha menunduk dan tersenyum. "Jalan hijrah memang tidak mudah Sheila. Kau akan menemui banyak tantangan. Jalan hijrah adalah jalan menuju Allah dan Ras
"Kamu ngapain kemari?" Sheila mempertanyakan keberadaan laki-laki yang telah menjadi tunangannya."Memang ya Aku nggak boleh ya, jenguk tunangan sendiri?" Pria itu menunduk. Mendekatkan wajahnya pada Sheila yang duduk di sofa. Ia menyentuh ujung hidung Sheila."Ih, jangan sentuh-sentuh," rutuk Sheila menghapus bekas sentuhan di hidungnya."Sedikit aja pun." "Sedikit pun nggak boleh. Lihat si Zaid itu. Kalau aku tarik lengannya saja langsung ditepisnya. Padahal nggak bersentuhan langsung," ujar Sheila." Zaid. Dia itu kampungan." Damar tidak mau kalah."Lagi pula kamu sudah jadi tunanganku," sambungnya lagi."Aku, aku nggak mau jadi gadis murahan." Damar tertawa mendengar perkataan Sheila."Siapa yang bilang kamu gadis murahan?" Damar semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Sheila. Membuat Sheila mengkerut."Aku tidak akan melamarmu jika kamu murahan, Sheila. Aku menyentuhmu sedikit kupikir bukan masalah besar. Cepat atau lambat kita kan pasti menikah."Damar terus mencecar Sheila."S
Mentari mengintip dari jendela kamar Sheila yang lebar dengan gorden putih.Gadis mungil itu masih meringkuk dalam selimut tebal. Ia meninggalkan kewajiban sebagai muslim yang mulai rutin ia lakoni. Semua sejak bertemu Aisha. Gadis itu telah menginspirasi banyak perubahan pada diri Sheila dalam semalam. Pak Rahman dan Makcik Ramlah sudah berada di sisi pembaringan Sheila. Mereka telah berulang kali membangunkannya. "Apa sih," gerutu Sheila masih dengan netra terpejam."Sheila. Kenapa belum bangun? Sheila udah ketinggalan waktu subuh kalau begini. Katanya mau rajin salat. Gimana sih, Sheila!" cecar Mak Cik Limah. "Sheila juga harus ke kantor," tambah Pak Rahman yang sedang menyingkap gorden kamar Sheila."Ahhh, Sheila nggak mau," rajuknya."Eh kenapa sih ini." Mak Cik Limah mengerutkan dahi."Tadi malam senang. Sekarang berubah. Sheila kenapa, sih?" cecar Makcik Limah."Sheila capek." Sheila memeluk selimut tebalnya."Kamu harus ke kantor. Nggak ada libur." Pak Rahman bersitegas."E
Terdengar suara tawa gembira dari ruang makan rumah Sheila. Di sana ada Pak Banta, Sheila, Damar dan orang tuanya sedang makan siang sembari berbincang ringan."Saya berharap kalau Sheila kelak akan bahagia bersama Damar."Sheila tampak tersenyum simpul mendengar uraian papanya."Saya akan membahagiakan Sheila, Om. Jangan khawatir. Meski banyak gadis yang mengejarku, hanya Sheila di hatiku." Mereka pun kembali larut dalam gelak tawa.Di tempat lain, Zaid terlihat gelisah sendiri. Ia berdiri di tepi pantai dan menatap jauh ombak yang begantian hadir ke permukaan seakan menyapa dirinya dalam kesendirian.Ia berdiri di sisi motor dan memasukkan tangan ke saku celana. Matanya menatap lurus dan hanya membayangkan seseorang yang belakangan ini mengisi harinya. Bukan hanya hari, tapi ia merasa gadis itu pun telah mengisi hatinya. Namun Zaid tak kuasa mengakui dan berusaha sekuat tenaga meredam perasaan yang terlarang itu. Bukankah sangat tak pantas memiliki rasa aneh terhadap majikan sendiri
"Wah, Sheila cantik sekali!" Seru Makcik Limah begitu Sheila tiba di ambang pintu."Zaid yang pilihkan," kata Sheila malu-malu. Makcik Limah sibuk menelisik pakaian Sheila dari ujung kaki sampai kepala.Senyum menghiasi wajah Zaid. Lelaki bermata sipit itu memasukkan tangannya ke saku celana dan menunduk sembari mengulum senyum."Oh, ya!""Selera Zaid memang tinggi.""Tapi. Kenapa Sheila ingin berpakaian begini?" Makcik Limah menelisik wajah Sheila.Sheila menyenggol siku Zaid. Pria itu malah menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal."Enak aja kayaknya," sahut Sheila sebelum berlalu meninggalkan Makcik Limah yang terheran-heran."Heh. Zaid! Kamu apakah Sheila?" Makcik Limah melirik sinis sambil menyenggol siku Zaid."Tidak. Zaid nggak apa-apakan. Sheila tadi minta sendiri. Katanya dia ingin seperti Aisha." Zaid menjelaskan."Aisha?""Istri Hafiz. Teman Zaid." jawab Zaid."Ah. Semoga itu yang terbaik buat Sheila. Makcik senang aja jika itu memang keinginannya sendiri." Makcik Lim