"Aisha, aku boleh menunggu Zaid di rumahmu?" tanya Sheila setelah mereka lama mengobrol."Sheila mau menginap di sini?" Aisha memastikan.Sheila mengangguk.."Yakin? Rumah Aisha kecil." Sheila kembali mengangguk dan tersenyum."Kalau Sheila mau nginap, biar saja Dek. Nanti abang tidur di rumah Zaid." Hafiz yang mendengar percakapan mereka ke luar dari dari kamar. Bukan kamar sesungguh nya, hanya ruangan yang disekat dengan ruang tamu dan dapur. Tiba-tiba Sheila bangkit dari duduk. Ia berjalan cepat menghalangi Hafiz. " Bisakah kau sampaikan kalau aku ingin bicara?" pinta Sheila.Hafiz memenuhi permintaan Sheila. Setelah mengaji di masjid, Sheila bertemu dengan Zaid di halaman masjid.Zaid mengajak Sheila bicara di sebuah warung kopi dekat masjid yang tak begitu ramai."Aku minta maaf," ucap Zaid membuka pembicaraan."Segelas kopi pahit dan teh manis dingin pun telah terhidang di hadapan mereka berdua."Aku sangat kecewa padamu." Sheila melihat ke arah jalanan yang tak begitu ramai.
Sheila diantar Aisha hingga ke depan lorong rumah. Zaid telah menanti di depan mobil. Ia segera membukakan pintu untuk Sheila."Terima kasih telah menerimaku menginap," ucap Sheila saat mereka akan berpisah."Jangan sungkan. Kita kan berteman," jawab Aisha."Kau mau menjadi temanku?" Sheila menjerit girang."Tentu. Tak ada yang akan menolak menjadi teman gadis secantik kamu." Aisha memuji Sheila."Kau berlebihan Aisha." "Tapi kau benar. Aku memang cantik," sambung Sheila diiringi gelak tawa ke dua wanita yang membuat Zaid terpana melihat lesung pipi Sheila saat tertawa girang."Tuh, Zaid udah nunggu daritadi," ujar Aisha membuyarkan lamunan Zaid saat menatap Sheila.Dengan gerakan sedikit kikuk, Zaid beranjak membukakan pintu mobil untuk Sheila.Ia melirik kesal pada Aisha. Wanita itu hanya tersenyum simpul melihat pipi Zaid yang memerah bak kepiting rebus."Kapan-kapan main ke rumahku, ya," pinta Sheila saat Zaid sudah naik ke jok pengemudi."Tentu aku akan datang ke rumahku. Karena
"Wah, Sheila cantik sekali!" Seru Makcik Limah begitu Sheila tiba di ambang pintu."Zaid yang pilihkan," kata Sheila malu-malu. Makcik Limah sibuk menelisik pakaian Sheila dari ujung kaki sampai kepala.Senyum menghiasi wajah Zaid. Lelaki bermata sipit itu memasukkan tangannya ke saku celana dan menunduk sembari mengulum senyum."Oh, ya!""Selera Zaid memang tinggi.""Tapi. Kenapa Sheila ingin berpakaian begini?" Makcik Limah menelisik wajah Sheila.Sheila menyenggol siku Zaid. Pria itu malah menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal."Enak aja kayaknya," sahut Sheila sebelum berlalu meninggalkan Makcik Limah yang terheran-heran."Heh. Zaid! Kamu apakah Sheila?" Makcik Limah melirik sinis sambil menyenggol siku Zaid."Tidak. Zaid nggak apa-apakan. Sheila tadi minta sendiri. Katanya dia ingin seperti Aisha." Zaid menjelaskan."Aisha?""Istri Hafiz. Teman Zaid." jawab Zaid."Ah. Semoga itu yang terbaik buat Sheila. Makcik senang aja jika itu memang keinginannya sendiri." Makcik Lim
Terdengar suara tawa gembira dari ruang makan rumah Sheila. Di sana ada Pak Banta, Sheila, Damar dan orang tuanya sedang makan siang sembari berbincang ringan."Saya berharap kalau Sheila kelak akan bahagia bersama Damar."Sheila tampak tersenyum simpul mendengar uraian papanya."Saya akan membahagiakan Sheila, Om. Jangan khawatir. Meski banyak gadis yang mengejarku, hanya Sheila di hatiku." Mereka pun kembali larut dalam gelak tawa.Di tempat lain, Zaid terlihat gelisah sendiri. Ia berdiri di tepi pantai dan menatap jauh ombak yang begantian hadir ke permukaan seakan menyapa dirinya dalam kesendirian.Ia berdiri di sisi motor dan memasukkan tangan ke saku celana. Matanya menatap lurus dan hanya membayangkan seseorang yang belakangan ini mengisi harinya. Bukan hanya hari, tapi ia merasa gadis itu pun telah mengisi hatinya. Namun Zaid tak kuasa mengakui dan berusaha sekuat tenaga meredam perasaan yang terlarang itu. Bukankah sangat tak pantas memiliki rasa aneh terhadap majikan sendiri
Mentari mengintip dari jendela kamar Sheila yang lebar dengan gorden putih.Gadis mungil itu masih meringkuk dalam selimut tebal. Ia meninggalkan kewajiban sebagai muslim yang mulai rutin ia lakoni. Semua sejak bertemu Aisha. Gadis itu telah menginspirasi banyak perubahan pada diri Sheila dalam semalam. Pak Rahman dan Makcik Ramlah sudah berada di sisi pembaringan Sheila. Mereka telah berulang kali membangunkannya. "Apa sih," gerutu Sheila masih dengan netra terpejam."Sheila. Kenapa belum bangun? Sheila udah ketinggalan waktu subuh kalau begini. Katanya mau rajin salat. Gimana sih, Sheila!" cecar Mak Cik Limah. "Sheila juga harus ke kantor," tambah Pak Rahman yang sedang menyingkap gorden kamar Sheila."Ahhh, Sheila nggak mau," rajuknya."Eh kenapa sih ini." Mak Cik Limah mengerutkan dahi."Tadi malam senang. Sekarang berubah. Sheila kenapa, sih?" cecar Makcik Limah."Sheila capek." Sheila memeluk selimut tebalnya."Kamu harus ke kantor. Nggak ada libur." Pak Rahman bersitegas."E
"Kamu ngapain kemari?" Sheila mempertanyakan keberadaan laki-laki yang telah menjadi tunangannya."Memang ya Aku nggak boleh ya, jenguk tunangan sendiri?" Pria itu menunduk. Mendekatkan wajahnya pada Sheila yang duduk di sofa. Ia menyentuh ujung hidung Sheila."Ih, jangan sentuh-sentuh," rutuk Sheila menghapus bekas sentuhan di hidungnya."Sedikit aja pun." "Sedikit pun nggak boleh. Lihat si Zaid itu. Kalau aku tarik lengannya saja langsung ditepisnya. Padahal nggak bersentuhan langsung," ujar Sheila." Zaid. Dia itu kampungan." Damar tidak mau kalah."Lagi pula kamu sudah jadi tunanganku," sambungnya lagi."Aku, aku nggak mau jadi gadis murahan." Damar tertawa mendengar perkataan Sheila."Siapa yang bilang kamu gadis murahan?" Damar semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Sheila. Membuat Sheila mengkerut."Aku tidak akan melamarmu jika kamu murahan, Sheila. Aku menyentuhmu sedikit kupikir bukan masalah besar. Cepat atau lambat kita kan pasti menikah."Damar terus mencecar Sheila."S
"Kamu mau cerita tentang pertunanganmu?" Aisha langsung menebak. "Iih. Rupanya kamu lebih nyebelin dari Pak Rahman." Mereka berdua pun tertawa lepas. "Aku ragu dengan Damar, Aisha," sungut Sheila. "Apakah kau tidak percaya pada Damar?" "Sepertinya aku dan Damar beda tujuan sekarang." Sheila menunduk. "Apakah kalian pernah memiliki tujuan yang sama?" Sheila memandang Aisha, lama. "Aku hanya ingin berubah Aisha. Menjadi perempuan yang lebih berharga. Mencintai diriku sendiri. Apa itu salah?" Aisha hanya tersenyum. "Bagaimana mungkin aku bisa mencintai orang lain jika diriku saja tak kuhiraukan. Bukankah itu katamu?" Aisha kembali tersenyum. "Aku memang tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Namun bukan berarti aku boleh menghancurkan diriku sendiri. Aku sudah dewasa dan dapat memilah apa yang terbaik untukku." Aisha menunduk dan tersenyum. "Jalan hijrah memang tidak mudah Sheila. Kau akan menemui banyak tantangan. Jalan hijrah adalah jalan menuju Allah dan Ras
Makan Siang"Masuklah Zaid. Bang Hafiz di kamar mandi. Bentar lagi juga selesai." Aisha membujuk Zaid.Sheila beranjak ke belakang tanpa berkata apa-apa.Zaid diam sebentar."Yuk, masuk," ajak Aisha kembali.Zaid pun melangkahkan kaki ke dalam rumah petak Aisha dan Hafiz."Kamu ini. Kayak tamu aja," celutuk Aisha.Zaid terkekeh, wajahnya nampak memerah dan ia mulai menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Duduk dulu ya, aku ke belakang." "Ada Zaid di depan. Sudah masuk?" tanya Hafiz begitu keluar dari kamar mandi."Udah. Malu, malu diatu." Aisha tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan.Mereka berdua melirik Sheila yang sedang berada di westafel dapur. Sheila membalas lirikan mereka."Kalian berdua mencurigakan, deh," usik Sheila."Sssst. Sini, sini. Kita makan dulu, yuk." Aisha merangkul bahu Sheila dan mengajaknya pindah dari dapur."Sheila belum siap nyupir, nih." "Nggak papa. Nanti aja. Kayak kamu rajin aja nyuci piring. Padahal nggak pernah. Alesan!" goda Aisha.Wajah