“Aku membutuhkan uang sebesar 50 juta sore ini. Kau harus segera mengirimnya jika ingin ibumu bahagia,” ucap seseorang dari seberang telepon. Nadya hanya terdiam. Dibalik suaranya yang sok keras, sebenarnya ia sedang menyembunyikan ketakutannya.
Pria yang menelponnya tersebut tak lain dan tak bukan adalah pacar ibunya sendiri. Selama lima tahun ini pria itu selalu saja meneror Nadya dan memintanya untuk mengirimkan sejumlah uang.Ibunya pun tak kalah tidak tahu dirinya. Sudah tahu bahwa anak perempuannya itu hanya sendiri merantau di kota besar, tapi dia terus saja membiarkan kekasihnya untuk meminta uang kepada Nadya.Karir Nadya sebagai seorang sekertaris memang bagus, namun ia tidak selalu memiliki uang yang banyak di rekeningnya. Jika Nadya telat mengirimkan uang, sepasang kekasih tidak tahu diri itu akan terus-menerus meneror Nadya bahkan sampai mempermalukan Nadya di depan orang-orang kantor.“Cantik, kumohon? Aku dan ibumu sudah kehabisan uang. Jika kami tak mendapatnya sore ini maka kami akan diusir dan tidur di jalanan.”“Itu bukan urusanku!” Jawab Nadya.“Hey, apakah kamu tidak kasihan melihat orang yang telah melahirkanmu ini menderita? Tega sekali kamu membiarkan kami seperti ini? Dasar anak durhaka!” Kini ibunya yang mengambil alih ponsel.“Aku tidak durhaka! Kalianlah yang tidak tahu diri. Kalian menghabiskan uangku hanya untuk bermain judi. Jika kalian ingin uang, maka bekerjalah!”“Kurang ajar kamu ya, Nadya. Kalau tahu kamu bakal kayak gini, udah aku gu-“Tut!Nadya mematikan sambungan telepon itu. Berbicara kepada ibunya memang tak ada gunanya.Dibalik keanggunan dan kecerdasannya, Nadya memiliki masa lalu yang kelam. Ayahnya meninggal akibat overdosis, ibunya yang stress lalu menghabiskan waktunya dengan minum-minum dan berpacaran dengan sembarangan pria. Sejak kecil Nadya tidak pernah merasakan kasih sayang orang tuanya, ia hanya hidup sendiri sejak kecil.Satu-satunya cara agar ia bisa lepas dari gangguan ibunya adalah dengan menikah dengan pria kaya dan mengganti identitasnya. Karena Frans bukanlah orang yang bisa diandalkan, maka Nadya harus mencari sasaran lain.Sekarang yang ada hanyalah Bima, tuan muda dari antah-berantah yang tidak diketahui latar belakangnya. Nadya tidak yakin bahwa pria ini dapat menjadi jalan keluarnya. Dilihat dari penampilannya pun sangat tidak meyakinkan. Ia juga sangatlah amatir, terlihat sekali bahwa pria itu tak pernah memimpin sebuah perusahaan.Saat Nadya melangkahkan kakinya keluar dari lift, seorang staff fornt liner tergopoh-gopoh menghampirinya, “Nona, apakah nona sudah melihat sekumpulan para pekerja yang sedang berdemo di depan sana? Aku takut nona, aku takut jika mereka terus memaksa masuk kesini,” ujar gadis itu ketakutan.“Apa maksudmu dengan demo pekerja? Bukannya hal ini sudah kita atasi bulan lalu?”“Aku tidak tahu, nona. Para pekerja itu masih marah. Mereka tetap menuntut agar tunjangan mereka dinaikan.”“Baiklah, kau tenang saja. Aku akan menemui tuan Angkasa untuk membahas hal ini dengannya,” ucap Nadya. Belum sempat Nadya menelpon atasannya tersebut, Bima sudah terlebih dahulu turun dari lantai atas. Pria muda itu terlihat buru-buru. Entah apa yang membuatnya seperti itu.“Pak, ada demo besar di depan kantor kita. Bapak tidak boleh-““Maaf, Nadya. Aku sedang terburu-buru. Bisakah kamu menyelesaikan masalah ini sebentar?” Ucap Bima.“Tapi pak, masalah ini bukanlah masalah yang dapat dilakukan oleh seorang sekertaris. Bagaimana mungkin aku bisa meredam aksi protes tersebut disaat bapak tidak ada?”“Aku minta maaf, untuk kali ini kau saja yang urus.” Bima langsung berlari keluar. Nadya terus memanggilnya tapi pria itu sudah menjauh. Demo yang dilakukan oleh para pekerja tadi kian memanas. Tidak ada pilihan lain, Nadya pun harus menghadapinya sendirian.Di area parkir, Bima sedang menghidupkan skuter bututnya. Motor tua itu mandek lagi. Suara knalpotnya yang berisik sangat memekakan telinga.“Kumohon, hiduplah! Aku harus segera pergi dari sini,” gerutu Bima. Ponsel di kantongnya pun ikut berdering. Itu nomor milik Elena. Setelah berbulan-bulan tidak ada kabar, gadis itu kembali menelpon Bima.“Bima sayang? Kau dimana? Aku sangat ketakutan. Apakah kau bisa datang kesini?” Suara Elena terdengar bergetar. Hal itu membuat Bima semakin khawatir. Ia seakan lupa bahwa tiga bulan lalu gadis itu telah mencampakkannya bagai sampah.“I-iya, aku akan segera datang. Kau tunggu saja. Aku akan segera pergi kesana,” jawab Bima.“Baiklah, aku menunggumu. Datanglah dengan membawa sejumlah uang. Kutunggu kau di restoran hotpot di depan kampus kita.”“Baik.” Bima langsung menutup teleponnya dan menghidupkan mesin motor. Skuter dengan knalpot berisik itu pun segera melaju ke jalan raya.Saat sampai disana, Bima memarkirkan skuter bututnya di area baseman. Ia naik ke atas ke tempat Elena berada. Bima melihat wajah-wajah yang tidak asing saat memasuki restoran tersebut. Disana ternyata sudah ada Elena dan tiga temannya yang lain, Diana, Raya dan Eva.Mereka berempat sudah berteman sejak masih kuliah. Seluruh mahasiswa dari fakultas ekonomi pasti setuju jika empat sekawan itu dijuluki sebagai para bidadari. Mereka memiliki wajah yang sangat cantik. Namun sayang, tidak dengan hatinya.Diana dan Raya saat ini sudah menikah dengan seorang pengusaha, sedangkan Eva dikenal memiliki hubungan spesial dengan salah-satu anggota kerajaan Inggris. Jika dilihat dari kehidupan asmara mereka, memang Elena sendiri yang kisah cintanya tak mujur karena sempat menikah dengan Bima.Saat melihat ekspresi ketiga gadis itu, Bima pun tahu semua ini hanyalah jebakan.“Aku tidak menyangka ternyata dia benar-benar datang,” ucap Diana dengan suara merendahkan.“Dia memang seperti anjing peliharaan yang penurut. Tak perduli seberapa sering kau mencampakkannya, dia akan terus kembali padamu,” sahut Eva, diikuti dengan tawa merendahkan dari Raya.“Memang laki-laki pecundang. Untung kau sudah mencampakkannya, Elena. Jika tidak, hidupmu akan selalu sial hahaha ….,” para gadis itu terus tertawa dengan puas.Elena yang melihat itu nampak tersenyum penuh kemenangan. Sekali lagi ini membuktikan semua teorinya tentang Bima. Pria itu belum juga melupakannya meski sudah dibuat babak belur.“Aku tidak menyangka bahwa kau benar-benar datang kemari, Bima,” kata Elena. Ia memandang penampilan Bima yang tidak berubah seperti saat mereka masih bersama. Masih sama saja seperti seorang gembel.“Apa maksud semua ini?” Bima merasa seperti dibodohi.“Oh, ini bukan apa-apa. Kami bertaruh apakah kau masih tetap akan datang menemuiku setelah semua yang terjadi. Dan dugaanku tak pernah salah, ternyata kau masih tetap sama seperti dulu,” ucap Elena dengan mimik yang dibuat-buat.“Aku, Raya dan Eva bertaruh 100 dolar jika kau tidak akan datang. Tapi tebakan kami salah, kau benar-benar datang kemari. Dengan begini, maka Elena lah yang menang, ” ucap Diana sambil tertawa mengejek. Keempat sahabat itu benar-benar menikmati waktu mereka menertawakan Bima sampai puas.“Karena kau sudah sampai disini. Bagaimana jika kau kutraktir segelas martini? Apakah kau tertarik?” Tawar Raya.“Ups! Tidak. Biar aku saja yang traktir. Jarang-jarang kita bisa minum ditemani pria tampan. Kau tidak keberatan kan Elena?” Sahut Eva dengan tatapan nakal. Elena hanya mengangguk penuh kesombongan. Di pikirannya, ia masih menganggap bahwa itu adalah Bima yang dulu. Bima yang miskin, penurut dan juga penakut.“Terserah kalian. Aku tidak perduli lagi dengan pria itu,
“Cukup Elena! Kedatanganku kemari sebenarnya hanya untuk mempertegas hubungan kita. Ini!” Bima melemparkan sebuah map berisikan akta perceraian mereka.“Aku sudah mengurus semuanya. Aku sudah mencetak akta perceraian tersebut. Mulai hari ini, tolong jangan menelponku lagi!” Bima berkata dengan dingin dan langsung keluar.Semua orang yang berada di ruangan itu nampak terkejut. Mereka seperti tidak mengenali sosok Bima yang barusan. Selama ini mereka hanya mengenal sosok Bima yang penurut. Ia tak pernah sekalipun membantah ucapan Elena.Saat akan keluar restoran, Bima dihadang oleh tiga sekuriti restoran berpakaian serba hitam, “Hey, tunggu. Kamu mau kemana? Kamu tidak boleh pergi sebelum membayar semua tagihan hari ini,” ucap salah-satu dari mereka.Bima pun menepuk jidatnya. Ia hampir lupa akan hal itu. Ia lalu merogoh koceknya dan mencari sesuatu di sela-sela dompet kulitnya yang lusuh.“Ini,” kata Bima sambil menyerahkan kartu berwarna hitam itu kepada pegawai kasir yang ada disana.
"Aku pulang ...." Bima baru saja tiba di kontrakan tiga petaknya, saat bertemu dengan sang istri yang kini sudah berdiri di depan pintu sambil membawa sebuah koper dan tas jinjing.Elena mengenakan dress selutut berwarna kuning dan bando hitam di rambutnya. Wajahnya yang cantik pun semakin bertambah cantik karena polesan lipstik di bibir indahnya."Cantik sekali istriku. Mau kemana sayang? Sini, salim dulu," ujar Bima dengan senyum membunggah.Tak seperti yang ditunjukan oleh Bima, ekspresi Elena malah memperlihatkan yang sebaliknya. Wanita itu langsung membuang muka ketika Bima menyodorkan tangan ke arahnya."Mas, ada yang mau aku omongin sama kamu!" ucapnya ketus."Mau ngomongin apa, dek?" jawab Bima lembut dan penuh rasa cinta. Tak sedikitpun dia berfikiran buruk tentang istrinya.Elena menarik nafas panjang dan membuangnya lagi dengan kasar. "Mas, aku mau bercerai!" ucapnya kemudian.Mendengar hal itu, Bima langsung tak bisa berkata-kata. Tanpa hujan dan petir, istrinya ti
"Apa? Cucu?"Bima mencoba untuk mengenali sosok itu. Ia merasa seperti pernah melihatnya di suatu tempat.Kakek tua itu memiliki gaya yang khas. Usia senja tak menghalanginya untuk tetap tampil modern dan eksentrik. Di saku kanan jasnya, terpasang sebuah bros kecil berwarna merah marun."Pramono ... Angkasa?" ucap Bima penuh tanda tanya.Kakek itu hanya tersenyum dan mendekat ke arah Bima, "Benar, aku adalah Pramono Angkasa. Kakekmu. Kau adalah cucuku, Bima."Bima terkejut bukan main. Apa ini? Apa ini sungguhan? Tanya Bima dalam hati. Bagaimana mungkin seseorang yang biasa ia lihat dari layar kaca kini menjadi kakeknya?Keluarga Angkasa merupakan keluarga paling elit di Negeri Tenggara. Tidak ada yang berani mencari gara-gara dengan keluarga itu. Mereka menguasai semua lini bisnis, mulai dari industri properti, makanan, sampai teknologi. Mereka kabarnya juga bermain di jaringan bisnis bawah tanah.Bisa dikatakan seluruh negeri takluk pada mereka. Mereka dapat membuat sebuah perusahaan
"Aku Bima, dar. Kamu lupa siapa aku? Kita kan dulu teman akrab?""Bima ...." Darma memicingkan matanya. "Ah, iya ... Aku ingat. Bima si anak panti itu kan? Maaf, aku gak ngenalin kamu karena penampilanmu yang kayak gembel!"Bima terhenyak mendengar ucapan mantan sahabatnya itu. Ia tak menyangka bahwa jarak waktu 12 tahun, telah mampu mengubah orang sedemikian parah.Ralat! Bukan waktu yang mengubahnya, tapi uang. Uanglah yang telah mengubah sifat Darma menjadi angkuh seperti itu."Mau ada apa kamu kemari?" nada bicara Darma yang angkuh masih belum berubah."Oh, aku ada urusan disini. Aku ada janji dengan seseorang.”"Bidang apa?"Belum sempat Bima menjawabnya, pak sekuriti yang tadi langsung menjawab. "Dia lagi mau ngelamar jadi OB pak. Office boy!""Oh, office boy?" Darma tertawa mengejek. Sekuriti berwajah masam yang tadi juga ikut tertawa."Iya, pak. Dia kesini mau ngelamar jadi office boy. Saya tadi udah nyuruh dia untuk lewat belakang. Tapi orangnya ngeyel pak, malah masih ngotot
Bima hanya tersenyum geli. Ia menertawakan kebodohan Darma yang menurutnya terlalu konyol. "Pria itu masih belum berubah," ucap Bima sambil tertawa. "Kau sudah gila ya? Kenapa kau tertawa seperti itu?!" "Hahahaha ... Tidak apa-apa, aku hanya tak mampu untuk menahan rasa geli di perutku. Tadinya aku pikir kau telah berubah. Tapi ternyata, sikap polos dan pengecutmu masih tetap sama seperti 12 tahun yang lalu!" "Kau!!" Darma semakin marah. Ia sebenarnya ingin menonjok wajah Bima menggunakan tinjunya. Tapi, ia sadar diri untuk tak melakukan itu karena ia tahu kekuatan bela diri Bima. Ia pasti tak akan menang melawan Bima yang sudah mencapai level tertinggi di empat cabang bela diri sekaligus yaitu taekwondo, silat, karate dan judo. Akan menjadi sangat konyol jika ia nekad melakukan semua itu tanpa perhitungan yang jelas. "Tunggu kau! Pak Ilyas sebentar lagi akan datang. Kau akan menyesal telah berbuat seperti itu kepadaku!" ancam Darma. Tak begitu lama, seorang pria paruh baya kel
"Cukup, Darma! Hentikan omong kosong mu dan segera memberi hormat kepadanya! Pria yang kau sebut gembel itu adalah pewaris tunggal Angkasa grup!" Kedua bola mata Darma seakan mau terlepas dari tempatnya. "Tidak mungkin! Itu tidak mungkin!" Darma berteriak tak percaya. Baru tadi pagi ia membaca berita di koran bahwa Surya Express telah diakuisisi oleh Angkasa grup dan sekarang perusahaan itu juga sudah diubah menjadi Angkasa Express. Apakah itu berarti Bima adalah atasannya sekarang? Darma tanpa malu tiba-tiba bersujud di kaki Bima. Wajahnya sangat ketakutan. Ia begitu takut jika Bima akan melakukan hal buruk padanya. "Tuan muda ... tuan muda, maafkan aku?" ucapnya ketakutan. Ia bukan takut karena Bima jago bela diri. Tapi ia takut, jika jabatannya di perusahaan akan terancam. Dia telah menghabiskan ratusan juta untuk menyuap berbagai pihak untuk mencapai posisinya yang sekarang. Apapun akan dia lakukan untuk menyelamatkan posisinya, termasuk menjilat ludahnya sendiri. Bima hanya
“Cukup Elena! Kedatanganku kemari sebenarnya hanya untuk mempertegas hubungan kita. Ini!” Bima melemparkan sebuah map berisikan akta perceraian mereka.“Aku sudah mengurus semuanya. Aku sudah mencetak akta perceraian tersebut. Mulai hari ini, tolong jangan menelponku lagi!” Bima berkata dengan dingin dan langsung keluar.Semua orang yang berada di ruangan itu nampak terkejut. Mereka seperti tidak mengenali sosok Bima yang barusan. Selama ini mereka hanya mengenal sosok Bima yang penurut. Ia tak pernah sekalipun membantah ucapan Elena.Saat akan keluar restoran, Bima dihadang oleh tiga sekuriti restoran berpakaian serba hitam, “Hey, tunggu. Kamu mau kemana? Kamu tidak boleh pergi sebelum membayar semua tagihan hari ini,” ucap salah-satu dari mereka.Bima pun menepuk jidatnya. Ia hampir lupa akan hal itu. Ia lalu merogoh koceknya dan mencari sesuatu di sela-sela dompet kulitnya yang lusuh.“Ini,” kata Bima sambil menyerahkan kartu berwarna hitam itu kepada pegawai kasir yang ada disana.
“Oh, ini bukan apa-apa. Kami bertaruh apakah kau masih tetap akan datang menemuiku setelah semua yang terjadi. Dan dugaanku tak pernah salah, ternyata kau masih tetap sama seperti dulu,” ucap Elena dengan mimik yang dibuat-buat.“Aku, Raya dan Eva bertaruh 100 dolar jika kau tidak akan datang. Tapi tebakan kami salah, kau benar-benar datang kemari. Dengan begini, maka Elena lah yang menang, ” ucap Diana sambil tertawa mengejek. Keempat sahabat itu benar-benar menikmati waktu mereka menertawakan Bima sampai puas.“Karena kau sudah sampai disini. Bagaimana jika kau kutraktir segelas martini? Apakah kau tertarik?” Tawar Raya.“Ups! Tidak. Biar aku saja yang traktir. Jarang-jarang kita bisa minum ditemani pria tampan. Kau tidak keberatan kan Elena?” Sahut Eva dengan tatapan nakal. Elena hanya mengangguk penuh kesombongan. Di pikirannya, ia masih menganggap bahwa itu adalah Bima yang dulu. Bima yang miskin, penurut dan juga penakut.“Terserah kalian. Aku tidak perduli lagi dengan pria itu,
“Aku membutuhkan uang sebesar 50 juta sore ini. Kau harus segera mengirimnya jika ingin ibumu bahagia,” ucap seseorang dari seberang telepon. Nadya hanya terdiam. Dibalik suaranya yang sok keras, sebenarnya ia sedang menyembunyikan ketakutannya. Pria yang menelponnya tersebut tak lain dan tak bukan adalah pacar ibunya sendiri. Selama lima tahun ini pria itu selalu saja meneror Nadya dan memintanya untuk mengirimkan sejumlah uang.Ibunya pun tak kalah tidak tahu dirinya. Sudah tahu bahwa anak perempuannya itu hanya sendiri merantau di kota besar, tapi dia terus saja membiarkan kekasihnya untuk meminta uang kepada Nadya.Karir Nadya sebagai seorang sekertaris memang bagus, namun ia tidak selalu memiliki uang yang banyak di rekeningnya. Jika Nadya telat mengirimkan uang, sepasang kekasih tidak tahu diri itu akan terus-menerus meneror Nadya bahkan sampai mempermalukan Nadya di depan orang-orang kantor.“Cantik, kumohon? Aku dan ibumu sudah kehabisan uang. Jika kami tak mendapatnya sore i
"Cukup, Darma! Hentikan omong kosong mu dan segera memberi hormat kepadanya! Pria yang kau sebut gembel itu adalah pewaris tunggal Angkasa grup!" Kedua bola mata Darma seakan mau terlepas dari tempatnya. "Tidak mungkin! Itu tidak mungkin!" Darma berteriak tak percaya. Baru tadi pagi ia membaca berita di koran bahwa Surya Express telah diakuisisi oleh Angkasa grup dan sekarang perusahaan itu juga sudah diubah menjadi Angkasa Express. Apakah itu berarti Bima adalah atasannya sekarang? Darma tanpa malu tiba-tiba bersujud di kaki Bima. Wajahnya sangat ketakutan. Ia begitu takut jika Bima akan melakukan hal buruk padanya. "Tuan muda ... tuan muda, maafkan aku?" ucapnya ketakutan. Ia bukan takut karena Bima jago bela diri. Tapi ia takut, jika jabatannya di perusahaan akan terancam. Dia telah menghabiskan ratusan juta untuk menyuap berbagai pihak untuk mencapai posisinya yang sekarang. Apapun akan dia lakukan untuk menyelamatkan posisinya, termasuk menjilat ludahnya sendiri. Bima hanya
Bima hanya tersenyum geli. Ia menertawakan kebodohan Darma yang menurutnya terlalu konyol. "Pria itu masih belum berubah," ucap Bima sambil tertawa. "Kau sudah gila ya? Kenapa kau tertawa seperti itu?!" "Hahahaha ... Tidak apa-apa, aku hanya tak mampu untuk menahan rasa geli di perutku. Tadinya aku pikir kau telah berubah. Tapi ternyata, sikap polos dan pengecutmu masih tetap sama seperti 12 tahun yang lalu!" "Kau!!" Darma semakin marah. Ia sebenarnya ingin menonjok wajah Bima menggunakan tinjunya. Tapi, ia sadar diri untuk tak melakukan itu karena ia tahu kekuatan bela diri Bima. Ia pasti tak akan menang melawan Bima yang sudah mencapai level tertinggi di empat cabang bela diri sekaligus yaitu taekwondo, silat, karate dan judo. Akan menjadi sangat konyol jika ia nekad melakukan semua itu tanpa perhitungan yang jelas. "Tunggu kau! Pak Ilyas sebentar lagi akan datang. Kau akan menyesal telah berbuat seperti itu kepadaku!" ancam Darma. Tak begitu lama, seorang pria paruh baya kel
"Aku Bima, dar. Kamu lupa siapa aku? Kita kan dulu teman akrab?""Bima ...." Darma memicingkan matanya. "Ah, iya ... Aku ingat. Bima si anak panti itu kan? Maaf, aku gak ngenalin kamu karena penampilanmu yang kayak gembel!"Bima terhenyak mendengar ucapan mantan sahabatnya itu. Ia tak menyangka bahwa jarak waktu 12 tahun, telah mampu mengubah orang sedemikian parah.Ralat! Bukan waktu yang mengubahnya, tapi uang. Uanglah yang telah mengubah sifat Darma menjadi angkuh seperti itu."Mau ada apa kamu kemari?" nada bicara Darma yang angkuh masih belum berubah."Oh, aku ada urusan disini. Aku ada janji dengan seseorang.”"Bidang apa?"Belum sempat Bima menjawabnya, pak sekuriti yang tadi langsung menjawab. "Dia lagi mau ngelamar jadi OB pak. Office boy!""Oh, office boy?" Darma tertawa mengejek. Sekuriti berwajah masam yang tadi juga ikut tertawa."Iya, pak. Dia kesini mau ngelamar jadi office boy. Saya tadi udah nyuruh dia untuk lewat belakang. Tapi orangnya ngeyel pak, malah masih ngotot
"Apa? Cucu?"Bima mencoba untuk mengenali sosok itu. Ia merasa seperti pernah melihatnya di suatu tempat.Kakek tua itu memiliki gaya yang khas. Usia senja tak menghalanginya untuk tetap tampil modern dan eksentrik. Di saku kanan jasnya, terpasang sebuah bros kecil berwarna merah marun."Pramono ... Angkasa?" ucap Bima penuh tanda tanya.Kakek itu hanya tersenyum dan mendekat ke arah Bima, "Benar, aku adalah Pramono Angkasa. Kakekmu. Kau adalah cucuku, Bima."Bima terkejut bukan main. Apa ini? Apa ini sungguhan? Tanya Bima dalam hati. Bagaimana mungkin seseorang yang biasa ia lihat dari layar kaca kini menjadi kakeknya?Keluarga Angkasa merupakan keluarga paling elit di Negeri Tenggara. Tidak ada yang berani mencari gara-gara dengan keluarga itu. Mereka menguasai semua lini bisnis, mulai dari industri properti, makanan, sampai teknologi. Mereka kabarnya juga bermain di jaringan bisnis bawah tanah.Bisa dikatakan seluruh negeri takluk pada mereka. Mereka dapat membuat sebuah perusahaan
"Aku pulang ...." Bima baru saja tiba di kontrakan tiga petaknya, saat bertemu dengan sang istri yang kini sudah berdiri di depan pintu sambil membawa sebuah koper dan tas jinjing.Elena mengenakan dress selutut berwarna kuning dan bando hitam di rambutnya. Wajahnya yang cantik pun semakin bertambah cantik karena polesan lipstik di bibir indahnya."Cantik sekali istriku. Mau kemana sayang? Sini, salim dulu," ujar Bima dengan senyum membunggah.Tak seperti yang ditunjukan oleh Bima, ekspresi Elena malah memperlihatkan yang sebaliknya. Wanita itu langsung membuang muka ketika Bima menyodorkan tangan ke arahnya."Mas, ada yang mau aku omongin sama kamu!" ucapnya ketus."Mau ngomongin apa, dek?" jawab Bima lembut dan penuh rasa cinta. Tak sedikitpun dia berfikiran buruk tentang istrinya.Elena menarik nafas panjang dan membuangnya lagi dengan kasar. "Mas, aku mau bercerai!" ucapnya kemudian.Mendengar hal itu, Bima langsung tak bisa berkata-kata. Tanpa hujan dan petir, istrinya ti