"Apa? Cucu?"
Bima mencoba untuk mengenali sosok itu. Ia merasa seperti pernah melihatnya di suatu tempat.
Kakek tua itu memiliki gaya yang khas. Usia senja tak menghalanginya untuk tetap tampil modern dan eksentrik. Di saku kanan jasnya, terpasang sebuah bros kecil berwarna merah marun.
"Pramono ... Angkasa?" ucap Bima penuh tanda tanya.
Kakek itu hanya tersenyum dan mendekat ke arah Bima, "Benar, aku adalah Pramono Angkasa. Kakekmu. Kau adalah cucuku, Bima."
Bima terkejut bukan main. Apa ini? Apa ini sungguhan? Tanya Bima dalam hati. Bagaimana mungkin seseorang yang biasa ia lihat dari layar kaca kini menjadi kakeknya?
Keluarga Angkasa merupakan keluarga paling elit di Negeri Tenggara. Tidak ada yang berani mencari gara-gara dengan keluarga itu. Mereka menguasai semua lini bisnis, mulai dari industri properti, makanan, sampai teknologi. Mereka kabarnya juga bermain di jaringan bisnis bawah tanah.
Bisa dikatakan seluruh negeri takluk pada mereka. Mereka dapat membuat sebuah perusahaan hancur dalam hitungan detik. Pengaruh mereka begitu kuat baik dari segi ekonomi maupun politik.
“Ini pasti kesalahan. Selama ini aku sama sekali tidak pernah berurusan dengan keluarga Angkasa. Aku dibesarkan di panti asuhan dan sama sekali tidak pernah mengenal siapa keluargaku. Aku tidak mengerti, kenapa tiba-tiba aku menjadi cucumu?”
Kakek tua itu terkekeh melihat wajah Bima yang begitu polos. “Kau tidak tiba-tiba menjadi cucuku Bima. Tapi kau memang sudah menjadi cucuku sejak kau lahir.”
“Apa maksudmu?” tanya Bima.
“Semua itu sudah kuperhitungkan sejak 28 tahun yang lalu. Saat ayah dan ibumu meninggal, aku tidak memiliki lagi ahli waris. Untuk menjagamu dari para pesaing bisnis, maka aku menitipkanmu ke panti asuhan. Semua itu untuk kebaikanmu. Aku ingin kau terasah dengan baik. Sekarang, waktunya kau untuk kembali.”
Pramono memang memiliki pemikiran yang eksentrik. Baginya, seorang pewaris keluarga Angkasa yang hebat haruslah mampu melewati segala macam jenis kesulitan. Alih-alih memberikan semua fasilitas mewah kepada cucunya, ia lebih memilih untuk melemparkan cucunya tersebut ke kandang macan.
Ia ingin Bima menjadi sosok yang kuat karena sudah terbiasa menghadapi kesulitan. Selama ini dia selalu memantau Bima dari jauh.
“Jadi, selama ini kau selalu memperhatikanku?”
“Tentu saja. Aku yang membawamu ke tempat ini tiga bulan yang lalu. Melihatmu babak belur seperti itu, ternyata aku tak tega harus menunggu sampai umurmu 30 tahun.”
“Kenapa harus tiga puluh tahun?”
“Awalnya aku ingin terus membiarkanmu diasah dengan kesulitan sampai usiamu 30 tahun. Tapi ternyata, hidupmu begitu menyedihkan. Aku tidak tega jika harus menunggu dua tahun lagi untuk menyerahkan semua kekayaanku untukmu.”
“Ini konyol! Sangat-sangat tidak bisa dipercaya.” Mulut Bima ternganga mendengar pemaparan kakek tua itu.
“Aku tahu, kau pasti akan sulit untuk memahaminya. Tapi percayalah, semua ini sungguhan.” Pramono lalu memeluk tubuh cucunya tersebut dengan erat. Ia lalu memberikan sebuah kartu nama kepada Bima.
“Karena kau sudah tiga bulan terbaring disini, kau mungkin butuh waktu untuk kembali ke kehidupanmu. Kakek akan memberikanmu akses ke akunmu. Besok kau dapat pergi ke Bank Cendana untuk memulai semuanya.”
Bima menerima kartu tersebut. Itu adalah kartu nama presiden direktur Bank Cendana. Bank Cendana merupakan bank yang seluruh nasabahnya merupakan kalangan elit. Tidak sembarangan orang bisa menjadi nasabahnya. Hanya orang-orang terpilih yang bisa menabung di bank itu.
“Aku tidak butuh kartu nama ini!” acuh Bima. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh orang yang mengaku kakeknya tersebut. Selama ini dia selalu mengutuk kehidupannya yang menyedihkan. Jika memang dia adalah kakeknya, bukankah itu begitu kejam karena membiarkannya berjuang selama ini?
“Hidupku memang lah sebuah lelucon. Tapi bukan berarti orang bisa sembarangan denganku!”
“Aku tahu kau pasti akan marah. Aku minta maaf karena hal itu. Sebagai ungkapan rasa bersalahku, aku akan menuruti semua permintaanmu,” ucap kakek Pramono yakin.
Bima kemudian berfikir sejenak. Jika citra yang dimiliki oleh keluarga Angkasa memang sehebat itu, tentu segala permintaannya pasti akan dikabulkan meski yang tersulit sekalipun.
Ting!
Sebuah bola lampu menyala di kepalanya. Ia ingin menjadikan ini sebagai ajang balas dendam. “Surya Express,” gumam Bima.
“Apa?” tanya kakek Pramono.
“Surya Express, aku ingin menguasai perusahaan itu,” ulang Bima.
“Surya Express? Perusahaan apa itu?”
“Itu adalah perusahaan ekspedisi yang dijalankan oleh keluarga Surya. Aku ingin kakek membeli saham di sana dan memberikannya kepadaku,” ucap Bima mantap.
Surya Ekspress merupakan sebuah perusahaan ekspedisi kelas menengah yang saat ini dijalankan oleh keluarga Surya. Selama tiga tahun ini, Bima hidup dengan terhina dibawah kekuasaan keluarga tersebut, dikarenakan Frans merupakan salah-satu ahli warisnya. Ia ingin mengalahkan Frans dengan cara mempreteli aset keluarganya satu per satu.
“Itu bukan masalah,” jawab Pramono. “Kita memang baru saja mengakuisisi beberapa perusahaan kecil yang hampir bangkrut dan ternyata, perusahaan yang kau minta itu adalah salah-satunya.”
“Serius kek?”
“Tentu saja, aku tidak pernah main-main soal bisnis.”
Bima pun kegirangan. Ia pun semakin bersemangat untuk benar-benar mengalahkan Frans. Sebenarnya Surya Express tak sekecil itu. Keuntungan yang diperolehnya selama setahun cukup tinggi. Nilainya bisa mencapai jutaan dolar, tapi jika dibandingkan dengan laba yang dimiliki oleh Angkasa grup, tentu itu tidak seberapa.
“Lalu, kapan aku bisa mulai untuk memiliki perusahaan tersebut?”
“Bisa kau mulai kapan saja. Mulai hari ini, kau juga sudah ku daftarkan sebagai komisaris baru di perusahaan tersebut. Besok, kau bisa menemui Hendrawan untuk proses selanjutnya.”
“Baik, kek. Aku siap!” jawab Bima.
…
Keesokannya, Bima keluar dari rumah sakit. Tubuhnya memang belum sembuh sempurna. Tapi titah kakek Pramono tidak bisa ditunda. Sebelum pergi ke Bank Cendana, Bima terlebih dahulu mengambil skuter jadulnya di kontrakan.
Dengan mengendarai skuter bututnya, Bima pun tiba di lapangan parkir Surya Express. Suara berisik yang keluar dari knalpot motornya terdengar begitu bising sehingga menjadi tontongan orang-orang disana. Sampai-sampai, ia pun didatangi seorang sekuriti berwajah masam.
"Hey, siapa kamu! Bisa-bisanya masuk kemari sambil membuat keributan seperti ini!" bentak pak sekuriti.
"Oh, maaf pak? Motor saya memang sudah tua dan jelek. Harap maklum," ucap Bima.
"Kamu itu tahu ga sih? Daripada naik motor butut dan berisik gini, seharusnya kamu naik bis aja. Ganggu tahu gak?!"
"Iya maafkan saya pak? Saya gak bermaksud untuk mengganggu. Tapi, hanya ini kendaraan yang saya punya di rumah."
"Terus, mau apa kamu kemari? Maaf ya, disini gak nerima sumbangan!" cibir sang sekuriti.
"Oh, enggak pak! Saya kesini bukan buat minta sumbangan. Tapi mau ketemu Pak Hendrawan."
"Mau apa kamu ketemu dia? Mau ngelamar kerja?" Sekuriti itu melihat penampilan Bima yang nampak lusuh. "Oh, kamu pasti mau ngelamar jadi OB yang baru, ya?"
Sesaat Bima tertegun, "OB?"
"Iya, OB. Office boy. Kamu kesini mau ngelamar jadi OB kan? Ya sudah kesana. Kamu masuk lewat pintu belakang. Jangan sampai kelihatan Pak Darma, soalnya sebentar lagi dia mau sampai."
Tiba-tiba, sebuah mobil hitam mengkilat memasuki lapangan parkir. Sekuriti itu terkejut. Ia lalu bergegas untuk menyambut orang yang ada di dalam mobil tersebut.
"Selamat pagi, pak?" ucap sekuriti itu sambil memberi hormat.
Seorang pria berjas navy keluar dari dalam mobil. Ia terlihat angkuh dan sombong.
"Darma?" Gumam Bima. Ia mengenali sosok tersebut. Dia adalah teman sekolah Bima saat SMA.
Bima pun menjadi bersemangat. Ia lalu menghampiri Darma. "Darma? Ini Darma kan?" Sapanya.
Pria yang berdiri di depan mobil itu melepaskan kacamata hitamnya.
"Darma, apa kabar kamu? Ya, ampun ... sudah lama ya kita tidak ketemu. Terakhir aku dengar kamu sekolah keluar negeri. Gak nyangka, sekarang kamu sudah jadi orang sukses,” ucap Bima lagi.
Pria itu masih diam. Ia melihat Bima dari atas sampai bawah dengan tatapan tak suka. Penampilan Bima yang seperti orang gembel membuatnya jijik.
"Kamu siapa?" ucapnya angkuh.
...
Lanjut ...
"Aku Bima, dar. Kamu lupa siapa aku? Kita kan dulu teman akrab?""Bima ...." Darma memicingkan matanya. "Ah, iya ... Aku ingat. Bima si anak panti itu kan? Maaf, aku gak ngenalin kamu karena penampilanmu yang kayak gembel!"Bima terhenyak mendengar ucapan mantan sahabatnya itu. Ia tak menyangka bahwa jarak waktu 12 tahun, telah mampu mengubah orang sedemikian parah.Ralat! Bukan waktu yang mengubahnya, tapi uang. Uanglah yang telah mengubah sifat Darma menjadi angkuh seperti itu."Mau ada apa kamu kemari?" nada bicara Darma yang angkuh masih belum berubah."Oh, aku ada urusan disini. Aku ada janji dengan seseorang.”"Bidang apa?"Belum sempat Bima menjawabnya, pak sekuriti yang tadi langsung menjawab. "Dia lagi mau ngelamar jadi OB pak. Office boy!""Oh, office boy?" Darma tertawa mengejek. Sekuriti berwajah masam yang tadi juga ikut tertawa."Iya, pak. Dia kesini mau ngelamar jadi office boy. Saya tadi udah nyuruh dia untuk lewat belakang. Tapi orangnya ngeyel pak, malah masih ngotot
Bima hanya tersenyum geli. Ia menertawakan kebodohan Darma yang menurutnya terlalu konyol. "Pria itu masih belum berubah," ucap Bima sambil tertawa. "Kau sudah gila ya? Kenapa kau tertawa seperti itu?!" "Hahahaha ... Tidak apa-apa, aku hanya tak mampu untuk menahan rasa geli di perutku. Tadinya aku pikir kau telah berubah. Tapi ternyata, sikap polos dan pengecutmu masih tetap sama seperti 12 tahun yang lalu!" "Kau!!" Darma semakin marah. Ia sebenarnya ingin menonjok wajah Bima menggunakan tinjunya. Tapi, ia sadar diri untuk tak melakukan itu karena ia tahu kekuatan bela diri Bima. Ia pasti tak akan menang melawan Bima yang sudah mencapai level tertinggi di empat cabang bela diri sekaligus yaitu taekwondo, silat, karate dan judo. Akan menjadi sangat konyol jika ia nekad melakukan semua itu tanpa perhitungan yang jelas. "Tunggu kau! Pak Ilyas sebentar lagi akan datang. Kau akan menyesal telah berbuat seperti itu kepadaku!" ancam Darma. Tak begitu lama, seorang pria paruh baya kel
"Cukup, Darma! Hentikan omong kosong mu dan segera memberi hormat kepadanya! Pria yang kau sebut gembel itu adalah pewaris tunggal Angkasa grup!" Kedua bola mata Darma seakan mau terlepas dari tempatnya. "Tidak mungkin! Itu tidak mungkin!" Darma berteriak tak percaya. Baru tadi pagi ia membaca berita di koran bahwa Surya Express telah diakuisisi oleh Angkasa grup dan sekarang perusahaan itu juga sudah diubah menjadi Angkasa Express. Apakah itu berarti Bima adalah atasannya sekarang? Darma tanpa malu tiba-tiba bersujud di kaki Bima. Wajahnya sangat ketakutan. Ia begitu takut jika Bima akan melakukan hal buruk padanya. "Tuan muda ... tuan muda, maafkan aku?" ucapnya ketakutan. Ia bukan takut karena Bima jago bela diri. Tapi ia takut, jika jabatannya di perusahaan akan terancam. Dia telah menghabiskan ratusan juta untuk menyuap berbagai pihak untuk mencapai posisinya yang sekarang. Apapun akan dia lakukan untuk menyelamatkan posisinya, termasuk menjilat ludahnya sendiri. Bima hanya
“Aku membutuhkan uang sebesar 50 juta sore ini. Kau harus segera mengirimnya jika ingin ibumu bahagia,” ucap seseorang dari seberang telepon. Nadya hanya terdiam. Dibalik suaranya yang sok keras, sebenarnya ia sedang menyembunyikan ketakutannya. Pria yang menelponnya tersebut tak lain dan tak bukan adalah pacar ibunya sendiri. Selama lima tahun ini pria itu selalu saja meneror Nadya dan memintanya untuk mengirimkan sejumlah uang.Ibunya pun tak kalah tidak tahu dirinya. Sudah tahu bahwa anak perempuannya itu hanya sendiri merantau di kota besar, tapi dia terus saja membiarkan kekasihnya untuk meminta uang kepada Nadya.Karir Nadya sebagai seorang sekertaris memang bagus, namun ia tidak selalu memiliki uang yang banyak di rekeningnya. Jika Nadya telat mengirimkan uang, sepasang kekasih tidak tahu diri itu akan terus-menerus meneror Nadya bahkan sampai mempermalukan Nadya di depan orang-orang kantor.“Cantik, kumohon? Aku dan ibumu sudah kehabisan uang. Jika kami tak mendapatnya sore i
“Oh, ini bukan apa-apa. Kami bertaruh apakah kau masih tetap akan datang menemuiku setelah semua yang terjadi. Dan dugaanku tak pernah salah, ternyata kau masih tetap sama seperti dulu,” ucap Elena dengan mimik yang dibuat-buat.“Aku, Raya dan Eva bertaruh 100 dolar jika kau tidak akan datang. Tapi tebakan kami salah, kau benar-benar datang kemari. Dengan begini, maka Elena lah yang menang, ” ucap Diana sambil tertawa mengejek. Keempat sahabat itu benar-benar menikmati waktu mereka menertawakan Bima sampai puas.“Karena kau sudah sampai disini. Bagaimana jika kau kutraktir segelas martini? Apakah kau tertarik?” Tawar Raya.“Ups! Tidak. Biar aku saja yang traktir. Jarang-jarang kita bisa minum ditemani pria tampan. Kau tidak keberatan kan Elena?” Sahut Eva dengan tatapan nakal. Elena hanya mengangguk penuh kesombongan. Di pikirannya, ia masih menganggap bahwa itu adalah Bima yang dulu. Bima yang miskin, penurut dan juga penakut.“Terserah kalian. Aku tidak perduli lagi dengan pria itu,
“Cukup Elena! Kedatanganku kemari sebenarnya hanya untuk mempertegas hubungan kita. Ini!” Bima melemparkan sebuah map berisikan akta perceraian mereka.“Aku sudah mengurus semuanya. Aku sudah mencetak akta perceraian tersebut. Mulai hari ini, tolong jangan menelponku lagi!” Bima berkata dengan dingin dan langsung keluar.Semua orang yang berada di ruangan itu nampak terkejut. Mereka seperti tidak mengenali sosok Bima yang barusan. Selama ini mereka hanya mengenal sosok Bima yang penurut. Ia tak pernah sekalipun membantah ucapan Elena.Saat akan keluar restoran, Bima dihadang oleh tiga sekuriti restoran berpakaian serba hitam, “Hey, tunggu. Kamu mau kemana? Kamu tidak boleh pergi sebelum membayar semua tagihan hari ini,” ucap salah-satu dari mereka.Bima pun menepuk jidatnya. Ia hampir lupa akan hal itu. Ia lalu merogoh koceknya dan mencari sesuatu di sela-sela dompet kulitnya yang lusuh.“Ini,” kata Bima sambil menyerahkan kartu berwarna hitam itu kepada pegawai kasir yang ada disana.
"Aku pulang ...." Bima baru saja tiba di kontrakan tiga petaknya, saat bertemu dengan sang istri yang kini sudah berdiri di depan pintu sambil membawa sebuah koper dan tas jinjing.Elena mengenakan dress selutut berwarna kuning dan bando hitam di rambutnya. Wajahnya yang cantik pun semakin bertambah cantik karena polesan lipstik di bibir indahnya."Cantik sekali istriku. Mau kemana sayang? Sini, salim dulu," ujar Bima dengan senyum membunggah.Tak seperti yang ditunjukan oleh Bima, ekspresi Elena malah memperlihatkan yang sebaliknya. Wanita itu langsung membuang muka ketika Bima menyodorkan tangan ke arahnya."Mas, ada yang mau aku omongin sama kamu!" ucapnya ketus."Mau ngomongin apa, dek?" jawab Bima lembut dan penuh rasa cinta. Tak sedikitpun dia berfikiran buruk tentang istrinya.Elena menarik nafas panjang dan membuangnya lagi dengan kasar. "Mas, aku mau bercerai!" ucapnya kemudian.Mendengar hal itu, Bima langsung tak bisa berkata-kata. Tanpa hujan dan petir, istrinya ti
“Cukup Elena! Kedatanganku kemari sebenarnya hanya untuk mempertegas hubungan kita. Ini!” Bima melemparkan sebuah map berisikan akta perceraian mereka.“Aku sudah mengurus semuanya. Aku sudah mencetak akta perceraian tersebut. Mulai hari ini, tolong jangan menelponku lagi!” Bima berkata dengan dingin dan langsung keluar.Semua orang yang berada di ruangan itu nampak terkejut. Mereka seperti tidak mengenali sosok Bima yang barusan. Selama ini mereka hanya mengenal sosok Bima yang penurut. Ia tak pernah sekalipun membantah ucapan Elena.Saat akan keluar restoran, Bima dihadang oleh tiga sekuriti restoran berpakaian serba hitam, “Hey, tunggu. Kamu mau kemana? Kamu tidak boleh pergi sebelum membayar semua tagihan hari ini,” ucap salah-satu dari mereka.Bima pun menepuk jidatnya. Ia hampir lupa akan hal itu. Ia lalu merogoh koceknya dan mencari sesuatu di sela-sela dompet kulitnya yang lusuh.“Ini,” kata Bima sambil menyerahkan kartu berwarna hitam itu kepada pegawai kasir yang ada disana.
“Oh, ini bukan apa-apa. Kami bertaruh apakah kau masih tetap akan datang menemuiku setelah semua yang terjadi. Dan dugaanku tak pernah salah, ternyata kau masih tetap sama seperti dulu,” ucap Elena dengan mimik yang dibuat-buat.“Aku, Raya dan Eva bertaruh 100 dolar jika kau tidak akan datang. Tapi tebakan kami salah, kau benar-benar datang kemari. Dengan begini, maka Elena lah yang menang, ” ucap Diana sambil tertawa mengejek. Keempat sahabat itu benar-benar menikmati waktu mereka menertawakan Bima sampai puas.“Karena kau sudah sampai disini. Bagaimana jika kau kutraktir segelas martini? Apakah kau tertarik?” Tawar Raya.“Ups! Tidak. Biar aku saja yang traktir. Jarang-jarang kita bisa minum ditemani pria tampan. Kau tidak keberatan kan Elena?” Sahut Eva dengan tatapan nakal. Elena hanya mengangguk penuh kesombongan. Di pikirannya, ia masih menganggap bahwa itu adalah Bima yang dulu. Bima yang miskin, penurut dan juga penakut.“Terserah kalian. Aku tidak perduli lagi dengan pria itu,
“Aku membutuhkan uang sebesar 50 juta sore ini. Kau harus segera mengirimnya jika ingin ibumu bahagia,” ucap seseorang dari seberang telepon. Nadya hanya terdiam. Dibalik suaranya yang sok keras, sebenarnya ia sedang menyembunyikan ketakutannya. Pria yang menelponnya tersebut tak lain dan tak bukan adalah pacar ibunya sendiri. Selama lima tahun ini pria itu selalu saja meneror Nadya dan memintanya untuk mengirimkan sejumlah uang.Ibunya pun tak kalah tidak tahu dirinya. Sudah tahu bahwa anak perempuannya itu hanya sendiri merantau di kota besar, tapi dia terus saja membiarkan kekasihnya untuk meminta uang kepada Nadya.Karir Nadya sebagai seorang sekertaris memang bagus, namun ia tidak selalu memiliki uang yang banyak di rekeningnya. Jika Nadya telat mengirimkan uang, sepasang kekasih tidak tahu diri itu akan terus-menerus meneror Nadya bahkan sampai mempermalukan Nadya di depan orang-orang kantor.“Cantik, kumohon? Aku dan ibumu sudah kehabisan uang. Jika kami tak mendapatnya sore i
"Cukup, Darma! Hentikan omong kosong mu dan segera memberi hormat kepadanya! Pria yang kau sebut gembel itu adalah pewaris tunggal Angkasa grup!" Kedua bola mata Darma seakan mau terlepas dari tempatnya. "Tidak mungkin! Itu tidak mungkin!" Darma berteriak tak percaya. Baru tadi pagi ia membaca berita di koran bahwa Surya Express telah diakuisisi oleh Angkasa grup dan sekarang perusahaan itu juga sudah diubah menjadi Angkasa Express. Apakah itu berarti Bima adalah atasannya sekarang? Darma tanpa malu tiba-tiba bersujud di kaki Bima. Wajahnya sangat ketakutan. Ia begitu takut jika Bima akan melakukan hal buruk padanya. "Tuan muda ... tuan muda, maafkan aku?" ucapnya ketakutan. Ia bukan takut karena Bima jago bela diri. Tapi ia takut, jika jabatannya di perusahaan akan terancam. Dia telah menghabiskan ratusan juta untuk menyuap berbagai pihak untuk mencapai posisinya yang sekarang. Apapun akan dia lakukan untuk menyelamatkan posisinya, termasuk menjilat ludahnya sendiri. Bima hanya
Bima hanya tersenyum geli. Ia menertawakan kebodohan Darma yang menurutnya terlalu konyol. "Pria itu masih belum berubah," ucap Bima sambil tertawa. "Kau sudah gila ya? Kenapa kau tertawa seperti itu?!" "Hahahaha ... Tidak apa-apa, aku hanya tak mampu untuk menahan rasa geli di perutku. Tadinya aku pikir kau telah berubah. Tapi ternyata, sikap polos dan pengecutmu masih tetap sama seperti 12 tahun yang lalu!" "Kau!!" Darma semakin marah. Ia sebenarnya ingin menonjok wajah Bima menggunakan tinjunya. Tapi, ia sadar diri untuk tak melakukan itu karena ia tahu kekuatan bela diri Bima. Ia pasti tak akan menang melawan Bima yang sudah mencapai level tertinggi di empat cabang bela diri sekaligus yaitu taekwondo, silat, karate dan judo. Akan menjadi sangat konyol jika ia nekad melakukan semua itu tanpa perhitungan yang jelas. "Tunggu kau! Pak Ilyas sebentar lagi akan datang. Kau akan menyesal telah berbuat seperti itu kepadaku!" ancam Darma. Tak begitu lama, seorang pria paruh baya kel
"Aku Bima, dar. Kamu lupa siapa aku? Kita kan dulu teman akrab?""Bima ...." Darma memicingkan matanya. "Ah, iya ... Aku ingat. Bima si anak panti itu kan? Maaf, aku gak ngenalin kamu karena penampilanmu yang kayak gembel!"Bima terhenyak mendengar ucapan mantan sahabatnya itu. Ia tak menyangka bahwa jarak waktu 12 tahun, telah mampu mengubah orang sedemikian parah.Ralat! Bukan waktu yang mengubahnya, tapi uang. Uanglah yang telah mengubah sifat Darma menjadi angkuh seperti itu."Mau ada apa kamu kemari?" nada bicara Darma yang angkuh masih belum berubah."Oh, aku ada urusan disini. Aku ada janji dengan seseorang.”"Bidang apa?"Belum sempat Bima menjawabnya, pak sekuriti yang tadi langsung menjawab. "Dia lagi mau ngelamar jadi OB pak. Office boy!""Oh, office boy?" Darma tertawa mengejek. Sekuriti berwajah masam yang tadi juga ikut tertawa."Iya, pak. Dia kesini mau ngelamar jadi office boy. Saya tadi udah nyuruh dia untuk lewat belakang. Tapi orangnya ngeyel pak, malah masih ngotot
"Apa? Cucu?"Bima mencoba untuk mengenali sosok itu. Ia merasa seperti pernah melihatnya di suatu tempat.Kakek tua itu memiliki gaya yang khas. Usia senja tak menghalanginya untuk tetap tampil modern dan eksentrik. Di saku kanan jasnya, terpasang sebuah bros kecil berwarna merah marun."Pramono ... Angkasa?" ucap Bima penuh tanda tanya.Kakek itu hanya tersenyum dan mendekat ke arah Bima, "Benar, aku adalah Pramono Angkasa. Kakekmu. Kau adalah cucuku, Bima."Bima terkejut bukan main. Apa ini? Apa ini sungguhan? Tanya Bima dalam hati. Bagaimana mungkin seseorang yang biasa ia lihat dari layar kaca kini menjadi kakeknya?Keluarga Angkasa merupakan keluarga paling elit di Negeri Tenggara. Tidak ada yang berani mencari gara-gara dengan keluarga itu. Mereka menguasai semua lini bisnis, mulai dari industri properti, makanan, sampai teknologi. Mereka kabarnya juga bermain di jaringan bisnis bawah tanah.Bisa dikatakan seluruh negeri takluk pada mereka. Mereka dapat membuat sebuah perusahaan
"Aku pulang ...." Bima baru saja tiba di kontrakan tiga petaknya, saat bertemu dengan sang istri yang kini sudah berdiri di depan pintu sambil membawa sebuah koper dan tas jinjing.Elena mengenakan dress selutut berwarna kuning dan bando hitam di rambutnya. Wajahnya yang cantik pun semakin bertambah cantik karena polesan lipstik di bibir indahnya."Cantik sekali istriku. Mau kemana sayang? Sini, salim dulu," ujar Bima dengan senyum membunggah.Tak seperti yang ditunjukan oleh Bima, ekspresi Elena malah memperlihatkan yang sebaliknya. Wanita itu langsung membuang muka ketika Bima menyodorkan tangan ke arahnya."Mas, ada yang mau aku omongin sama kamu!" ucapnya ketus."Mau ngomongin apa, dek?" jawab Bima lembut dan penuh rasa cinta. Tak sedikitpun dia berfikiran buruk tentang istrinya.Elena menarik nafas panjang dan membuangnya lagi dengan kasar. "Mas, aku mau bercerai!" ucapnya kemudian.Mendengar hal itu, Bima langsung tak bisa berkata-kata. Tanpa hujan dan petir, istrinya ti