Suluh menanamkan keberanian, memasuki area Gunung Andapan dengan kewaspadaan. Arah tangga setapak terbuat dari batu sedikit licin sebab kabut masih menyelimuti sekitar, tak dapat melihat apa-apa dan mulai mengandalkan kekuatan internal.
Suara kicauan menyeruak ditemani semilir angin mengibaskan dedaunan, Suluh berusaha konsentrasi dan tak teralihkan. Ancaman bisa berada di mana saja, lengah adalah suatu kelemahan sebab dia kesulitan mengobservasi area. Indra berperan krusial kali ini, suara semak-semak sesekali meresahkan Suluh, cekatan dalam bertindak. Seperti yang diketahui, ada banyak hewan buas berkeliaran di Gunung Andapan. Harimau, serigala, maupun hewan karnivora lain mungkin sudah mengintainya dalam kegelapan. "Apakah arwah-arwah itu akan muncul?" batin Suluh mempercepat mendaki, menerobos kabut yang lama kelamaan memudar sebab sinar mentari sudah terlihat di cakrawala. Embun-embun menempel di dedaunan, Suluh mulai melihat keindahan alam yang ditawarkan oleh Gunung Andapan. Memilih berhenti sejenak, dia menyaksikan sekolah Cenderawasih di bawah sana beserta desa-desa yang tampak mini, tak terasa bahwa Suluh sudah sejauh ini. Angin menerpa rambut hitam Suluh, menikmati kesejukan untuk sesaat. "Apakah kalian akan mengakuiku setelah ini?" bisiknya, masih tersirat harapan ke Cenderawasih walaupun menorehkan banyak luka. Tatapan Suluh nanar lalu membalikkan badan, memperhatikan setapak yang terbentuk dari bebatuan. "Perjalanan masih belum selesai dan aku harus membuktikan bahwa aku tak akan mengecewakan Master Madiarta!" serunya menyemangati, menelusuri kepekatan hutan. Tak semua kultivator mampu mendaki Gunung Andapan dikarenakan medan berbahaya, tak ayal bila hal ini dapat mengembangkan ranah Penempaan Tubuh ke level lebih dalam. Sudah kali keempat Suluh harus melompat dan hampir terpeleset meraih setapak yang terputus karena longsor, kini dia berhadapan dengan batu besar menghalangi arah. "Jalan buntu?" Suluh memikirkan opsi untuk melintas. "Apakah tak ada rute lain?" Benda keras tersebut tertimbun tanah, mustahil bagi Suluh melewati dari atas. "Tidak, inilah satu-satunya setapak menuju altar, tak ada cara lain selain menghancurkannya," Suluh bergumam. "Dengan tingkatanku saat ini, apakah aku mampu?" Suluh mempertanyakan, meragukan kemampuannya yang baru mencapai tingkatan ketiga kultivasi. "Tapi tak ada salahnya berusaha." Suluh berkonsentrasi, merasakan aliran energi merambat ke kepalan tangan, bersiap-siap memberikan hantaman. "Terimalah ini!" teriak Suluh melancarkan serangan. Saat memukul batu tersebut dengan keras, Suluh seperti tak memberikan efek apapun, malahan dia sendiri kesakitan. "Sial, ini tidak berhasil!" keluhnya mengibaskan tangan. "Apa karena aku belum mencapai ranah lebih tinggi?" Suluh kebingungan, Madiarta tak memberitahu apa-apa bagaimana cara menempa tingkatan ketiga supaya lebih kuat dan memberikan daya rusak luar biasa. "Master mungkin sengaja melakukannya, menyuruhku mencari tahu sendiri," bisik Suluh menunduk, mondar-mandir tak tentu arah. "Berpikirlah, Suluh!" Mentari sudah bersinar cerah di langit biru, didekorasi oleh awan-awan abstrak yang sempat menyita perhatian Suluh. "Apa karena aku adalah Prana Bayangan memerlukan sinar bulan untuk menjadi kuat?" Menggelengkan kepala, Suluh tak teryakinkan. "Tidak, selama aku belum mendalami tingkatan ketiga, malam hari tak ada bedanya bila aku belum memperkuat tubuhku." Isi kepala Suluh berantakan, menemukan suatu celah di tembok bebatuan yang merasuk ke dalam, memutuskan rehat di tempat teduh tersebut. "Kurasa aku harus memberi asupan untuk Prana-ku sebelum malam tiba," Suluh mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan, membawa kapak. "Baiklah, mari kita cari kayu bakar!" Meninggalkan semua muatan, Suluh bergegas mencari pohon yang sekiranya sudah mati, menuruni setapak dan menerobos ke dalam hutan. Kepekatan daunnya cukup rimbun sampai cahaya tak secara maksimal menyinari, dia lalu berhenti bergerak saat menemukan yang dicari. "Kurasa ini cocok untuk dijadikan kayu bakar," kata Suluh membuat kuda-kuda. Alih-alih memakai kapak, Suluh malah meninju batang tersebut, belum sampai menumbangkannya. Tak berhenti, dia terus melanjutkan sampai Suluh merasakan suatu sensasi aneh dari tubuhnya. Entah kenapa suhunya memanas sampai tangan yang dibuat memukul berkali-kali mengeluarkan asap, menyebabkan Suluh resah dan kelabakan. "Apa yang terjadi?" Tak sampai di situ, Suluh merasakan aliran energi bergerak dengan kecepatan luar biasa, seakan Prana tengah menggebu di dalam meridian. "Jangan bilang saat ini aku meningkatkan ranah Penempaan Tubuh?" Sebab demikian, Suluh mencoba memfokuskan seluruh Prana ke satu titik, menarik napas dalam-dalam dan meluncurkan bogeman ke tumbuhan di depan mata. Hanya dengan sekali hantam, pohon yang lumayan tebal itu terbelah dan ambruk di tanah. Suluh memahami satu hal. "Jadi aku harus latihan fisik seperti biasa?" Suluh tersenyum lebar, semangatnya tumbuh membara. "Menarik." Tanpa menunggu lama, Suluh mengambil kapak dan segera membelah kayu menjadi beberapa bagian, tak sadar bahwa dia tengah diintai. Makhluk besar bergelantungan, bergerak lambat dalam keheningan, tidak ingin diketahui Suluh yang berada di bawahnya. Sementara bocah berambut hitam sibuk mengikat kayu bakar menjadi dua bagian, tak awas akan keadaan. "Baiklah, ini sudah cukup," ucap Suluh, mengangkat semuanya, cepat-cepat kembali sampai telinganya mendengar suara desisan. Kekuatan internalnya seketika ditajamkan, merasakan kehadiran sesuatu di atas kepala. Tepat waktu, ketika makhluk melata tersebut melancarkan terkaman, Suluh meluncurkan tumpukan kayu bakar ke arahnya, mengenainya sampai berubah haluan. "Ini ...." Suluh terbelalak, mendapati ular berukuran masif dengan muka seperti kadal. "Apakah siluman yang dimaksud master?" Tak terima serangan dihalau, makhluk Andapan dengan cekatan memburu Suluh, membuka mulut dan memamerkan dua taringnya yang dilumuri bisa. Kecepatan luar biasa ular tersebut membuat Suluh kalang kabut, segera mungkin menghunus belati untuk mempertahankan diri. Namun, semua itu sia-sia dan senjata Suluh sampai hancur menahan sambaran. Sementara dia sendiri terlempar sangat keras, memantul di tanah hingga akhirnya berhenti ketika menabrak salah satu batu raksasa. "Argh!" Suluh menjerit kesakitan, memperhatikan ular yang semakin mendekat ke arahnya, berdiri di sana dengan mencekam. "Apa yang dikau lakukan di sini, bocah?" Jantung Suluh hampir copot mendengar suaranya, tak memperkirakan dia dapat berbicara. Suluh membeku, ketakutan dan rasa kaget masih bercampur aduk dalam benaknya. "Dikau beruntung tiba tepat waktu karena daku sudah lapar," ular tersebut sesekali menjulurkan lidah, melakukannya setiap saat. "Meski hanya santapan sementara, itu lebih dari cukup." Dia mendesis, mendekatkan kepalanya kepada Suluh. "Daku sudah lama tidak mencicipi darah manusia, terlebih lagi mereka yang dilanda ketakutan sepertimu," membuka mulut, makhluk itu tanpa basa-basi lagi menyambar Suluh. "Matilah!" Seakan disadarkan oleh sesuatu, tubuh Suluh bergerak dengan sendirinya, lonjakan reflek bertahan hidup telah menyelamatkannya, berhasil menghindar dengan melompat salto di udara. Monster tersebut tak memiliki banyak opsi selain menabrak batu sampai hancur, menggeliat kesakitan. Entah apa yang merasukinya, Suluh turut tak menyangka, berusaha mengumpulkan keberanian melawan walau dia mengetahui kekuatannya kali ini belum cukup memberikan dampak berarti. Suluh sadar betul bahwa makhluk itu telah berkultivasi, bukan lawan yang bisa dikalahkan sendirian. Tiba-tiba, tanpa diantisipasi, aksi ular tersebut menjadi tak karuan dan kacau, kesal bukan main sampai merusak apapun di dekatnya, merubuhkan tumbuhan hanya sekali hantam. "Daku, Uragah, Penjaga Andapan, tak akan membiarkanmu hidup!"Tak tahu melakukan apa, Suluh harus segera menentukan keputusan dikarenakan Uragah meluncur sangat cepat ke arahnya. Menarik napas dalam-dalam, dia menenangkan diri seraya berkonsentrasi, mendemonstrasikan semua latihannya dalam asuhan Madiarta. Berjarak hanya beberapa langkah dari makhluk tersebut, Suluh buru-buru meliuk ke sebelah tatkala Uragah menyambar, mendaratkan hantaman telapak tangan yang sudah dialiri tenaga dalam. Meski tak terlalu berpengaruh, setidaknya Suluh membuktikan bahwa dia mampu melawan. Menerima serangan, Uragah sedikit tersenggol, memutar badan dan segera menerkam Suluh. Cekatan, lagi-lagi dia berhasil meloncat akan tetapi telat membaca tubuh ular tersebut, tak melihat bahwa ekornya terarahkan ke atas, mengenai Suluh tepat sasaran. "Sial!" umpat Suluh, detik kemudian terpental akibat mengenai terjangan Uragah. Hal ini mengirim Suluh menembus semak-semak dan keluar dari hutan, hampir terjatuh ke dalam lembah bila dia telat mencengkram sudut daratan. Dia te
Kaki terus bergerak akan tetapi isi kepala Suluh dipenuhi awan kelam yang tidak seharusnya terbebani kepada bocah dua belas tahun. Sebutan Mukhalis barangkali sudah berkali-kali disematkan kepadanya dalam mimpi, entah itu kejadian absurd tak memiliki arti maupun yang akan tiba di masa depan. Suluh sama sekali tak tahu, memeriksa luka sayatan di lengan kirinya. "Bila tak segera membuat ramuan, aku sudah dapat dipastikan tak akan bertahan," dia bergumam, mendengar suara air entah di mana. Mengedarkan sorotan mata, Suluh menoleh ke berbagai arah, menemukan sungai kecil lagi dangkal serta bersih dan tak terkontaminasi. Bahkan ketika dia menghampiri, Suluh dapat melihat ikan-ikan kecil mondar mandir menghindarinya, berlarian ketakutan oleh kehadiran manusia. "Kebetulan sekali," Suluh melepaskan tas rotan beserta baju atasan. "Aku harus membersihkan tubuhku dari cedera ini." Yakin tak ada siapapun selain dia di sini, Suluh tanpa berpikir dua kali masuk ke dalam sungai hanya memaka
Sepi tak ada tanda-tanda kehidupan, Suluh mencari Madiarta sembari berjalan. Dedaunan tersapu oleh angin, rumah reyot tak terawat sesekali menimbulkan bunyi berdecit membuat bulu kuduk berdiri. Belum sepenuhnya terlupakan oleh teror arwah bergentayangan, Suluh memberanikan diri melangkah walaupun dilanda keresahan. "Di mana Master?" Melirik ke berbagai arah, tak ditemukan makhluk bernyawa, hanya kegelapan mendominasi segala hal. "Dan di mana Altar Bayangan berada?" Tak tahu harus ke mana, Suluh membiarkan dirinya secara acak memeriksa setiap bangunan sampai masuk ke dalam. Laba-laba barangkali menikmati keadaan saat ini, membangun istana sendiri bersama debu yang menempel di berbagai sudut. Mendapati suatu kendi khusus untuk ramuan, Suluh mengamati lebih dekat sembari menerka-nerka, "Tempat ini, bukankah ruangan ramuan?" Berdiri, Suluh lantas keluar untuk sekadar memastikan. "Tidak salah lagi, ini adalah bekas sekolahan!" Entah mengapa saat dia memperhatikan bangunan kayu kecil d
Suluh terbelalak dengan bibir terbuka lebar, masih belum bisa mempercayai kalimat Madiarta. Reflek dia mundur selangkah, trauma dengan kejadian sebelumnya bersama sekumpulan arwah. "Jadi selama ini aku dirawat dan hidup bersama ...." Tersenyum, laki-laki berambut keperakan membalas, "Jangan takut, aku tidaklah sama dengan Bhuta." "Bhuta?" Suluh menekan kata, tak mengerti makna di baliknya. "Itulah sebutan untuk arwah yang dilandaskan dendam dan tidak menemukan ketenangan," Madiarta mendekat sembari sesekali menengok ke bangkai Uragah. "Mereka mengincarmu karena merasa kau mampu melakukannya." "Berbagai cara mereka lakukan untuk mengambil alih Prana supaya dapat hidup kembali," dia berhenti, memperhatikan energi kegelapan melumat kulit ular tersebut. "Tapi itu mustahil. Jiwa tidak akan kembali ke tubuh yang sama." "Kecuali mereka memasukkan hampir keseluruhan Prana ke suatu benda tertentu," dia meneruskan, menoleh kepada Suluh. "Maka secuil kesadaran turut bersemayam di dalamnya."
"Tuan, ini adalah bekalku mengembara, aku tak mungkin memberikan semuanya kepadamu," suara santai tak tahu takut membuat berandal tersebut mengernyit, urat di dahinya mengerut. "Bocah, kau berani melawan aturan di sini?" lali-laki lain berambut botak mendekati, memarkan tubuh besar tanpa sehelai kain menutupi. "Aku tak bermaksud demikian, bila itu merupakan suatu keharusan, sebaiknya aku ke tempat lain saja," saat Suluh berbalik, dia dihentikan oleh anggota terakhir komplotan yang berperawakan normal, berbadan kurus, dan memakai busana ala-ala murid bela diri. "Tidak secepat itu, anak tidak tahu diri," serunya menyeringai. "Sekali kau menginjakkan kaki di sini, kau harus membayar apapun yang kami minta! Sekarang, serahkan tasmu itu atau kami akan membuatmu menyesal!" Belum memperlihatkan mukanya, Suluh tak berbicara sama sekali, terdiam sesaat sampai kedua matanya memperhatikan ke depan, menyorot tajam. "Sebaiknya tuan berhenti melakukan ini." Seperti listrik menyambar, mereka
Desa Jatnika berada di kaki Gunung Andapan yang kurang strategis sebagai tempat istirahat sebab ada desa Arusani dengan opsi lebih baik. Tidak hanya tempatnya mendekati area berbahaya, Jatnika tak memiliki banyak ketersediaan bahan makanan dan serba kekurangan menyebabkan saudagar enggan untuk sekadar mampir. Hal tersebut terbukti ketika Suluh baru memasuki area Arusani, terlihat berkali-kali kereta kuda lewat, memuat berbagai benda mulai dari kebutuhan utama maupun sampingan. Suara mereka menggebu memperkenalkan dagangan, beberapa dikerubungi warga yang antusias melihat-lihat maupun mencari sesuatu. "Musafir! Kau di sana, apa kau memerlukan ramuan?" salah satu saudagar memanggil Suluh, telah mempersiapkan dagangannya dengan baik dan rapi di atas meja. "Aku tahu apa yang cocok untukmu!" Bocah yang masih memakai topi rotan tersebut teralihkan, sedikit segan sebab Suluh membawa cukup ramuan di tasnya. Terlebih lagi, dia sama sekali tak memiliki koin sebagai transaksi. "Ah, sepertiny
Membisu, Suluh benar-benar terpesona, tak dapat sesekali mengalihkan lirikannya ke lain arah. "Uh ... kamu benar, aku baru kembali," terbata-bata, dia menunduk. "Apa yang terjadi denganmu?" Aruna mendekat, semakin membuat Suluh kalang kabut sembari mundur selangkah. "Kami mencarimu ke mana-mana!" Tersenyum tipis, Suluh merasa bahagia bila masih ada yang menaruh rasa empati kepadanya meski tidak banyak. "Ah, aku ... aku tergelincir ke dalam lembah Gunung Andapan," kekehnya dalam kecanggungan. Seperti mengetahui ada sesuatu tidak beres, Aruna mencondongkan tubuh ke depan, melirik dalam-dalam ke mata Suluh dengan kecurigaan. "Benarkah?" celetuknya belum teryakinkan. "Tapi kenapa aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu?" Terperanjat, Suluh dibuat bungkam. "Ini ulah Deandra dan kelompoknya itu, bukan?" imbuh Aruna semakin membuat laki-laki di hadapannya mati kutu. "Apa? Tidak, tentu saja tidak," ucap Suluh was-was. "Kenapa kamu berpikir demikian?" Meluruskan tubuh, Aruna menyeletuk,
Gerakan kaki Suluh tiba-tiba berubah cepat, berlari tepat ke arah Deandra. Terperanjat kaget, dia sama sekali tak menduga anak yang selama ini diremehkan berani melakukan serangan terlebih dahulu, menandakan bahwa Suluh benar-benar telah berubah. Bocah berambut hitam lantas melompat memutar, mendaratkan kakinya ke arah Deandra yang terbelalak. Panik, bukannya menghindar, dia malah melindungi diri dengan kedua tangan, benturan tersebut membawa Deandra menepi beberapa langkah. "Bagaimana mungkin?" batin Deandra membisu. "Kenapa dia bisa memiliki daya kekuatan seperti ini?" Lirikan mata kembali terpusat kepada Suluh, bersiap melancarkan aksi selanjutnya. "Apakah dia sudah sampai di ranah ketiga tingkat terakhir?" imbuh murid berprestasi tersebut, mencoba menangkis beberapa hantaman dari Suluh. Di tes sebelumnya, Deandra mendominasi keadaan akan tetapi saat ini keadaan berbalik sepenuhnya. Setiap teknik Suluh memandu Deandra tak bisa melakukan balasan, dipaksa berlindung di dalam ked
Gerakan kaki Suluh tiba-tiba berubah cepat, berlari tepat ke arah Deandra. Terperanjat kaget, dia sama sekali tak menduga anak yang selama ini diremehkan berani melakukan serangan terlebih dahulu, menandakan bahwa Suluh benar-benar telah berubah. Bocah berambut hitam lantas melompat memutar, mendaratkan kakinya ke arah Deandra yang terbelalak. Panik, bukannya menghindar, dia malah melindungi diri dengan kedua tangan, benturan tersebut membawa Deandra menepi beberapa langkah. "Bagaimana mungkin?" batin Deandra membisu. "Kenapa dia bisa memiliki daya kekuatan seperti ini?" Lirikan mata kembali terpusat kepada Suluh, bersiap melancarkan aksi selanjutnya. "Apakah dia sudah sampai di ranah ketiga tingkat terakhir?" imbuh murid berprestasi tersebut, mencoba menangkis beberapa hantaman dari Suluh. Di tes sebelumnya, Deandra mendominasi keadaan akan tetapi saat ini keadaan berbalik sepenuhnya. Setiap teknik Suluh memandu Deandra tak bisa melakukan balasan, dipaksa berlindung di dalam ked
Membisu, Suluh benar-benar terpesona, tak dapat sesekali mengalihkan lirikannya ke lain arah. "Uh ... kamu benar, aku baru kembali," terbata-bata, dia menunduk. "Apa yang terjadi denganmu?" Aruna mendekat, semakin membuat Suluh kalang kabut sembari mundur selangkah. "Kami mencarimu ke mana-mana!" Tersenyum tipis, Suluh merasa bahagia bila masih ada yang menaruh rasa empati kepadanya meski tidak banyak. "Ah, aku ... aku tergelincir ke dalam lembah Gunung Andapan," kekehnya dalam kecanggungan. Seperti mengetahui ada sesuatu tidak beres, Aruna mencondongkan tubuh ke depan, melirik dalam-dalam ke mata Suluh dengan kecurigaan. "Benarkah?" celetuknya belum teryakinkan. "Tapi kenapa aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu?" Terperanjat, Suluh dibuat bungkam. "Ini ulah Deandra dan kelompoknya itu, bukan?" imbuh Aruna semakin membuat laki-laki di hadapannya mati kutu. "Apa? Tidak, tentu saja tidak," ucap Suluh was-was. "Kenapa kamu berpikir demikian?" Meluruskan tubuh, Aruna menyeletuk,
Desa Jatnika berada di kaki Gunung Andapan yang kurang strategis sebagai tempat istirahat sebab ada desa Arusani dengan opsi lebih baik. Tidak hanya tempatnya mendekati area berbahaya, Jatnika tak memiliki banyak ketersediaan bahan makanan dan serba kekurangan menyebabkan saudagar enggan untuk sekadar mampir. Hal tersebut terbukti ketika Suluh baru memasuki area Arusani, terlihat berkali-kali kereta kuda lewat, memuat berbagai benda mulai dari kebutuhan utama maupun sampingan. Suara mereka menggebu memperkenalkan dagangan, beberapa dikerubungi warga yang antusias melihat-lihat maupun mencari sesuatu. "Musafir! Kau di sana, apa kau memerlukan ramuan?" salah satu saudagar memanggil Suluh, telah mempersiapkan dagangannya dengan baik dan rapi di atas meja. "Aku tahu apa yang cocok untukmu!" Bocah yang masih memakai topi rotan tersebut teralihkan, sedikit segan sebab Suluh membawa cukup ramuan di tasnya. Terlebih lagi, dia sama sekali tak memiliki koin sebagai transaksi. "Ah, sepertiny
"Tuan, ini adalah bekalku mengembara, aku tak mungkin memberikan semuanya kepadamu," suara santai tak tahu takut membuat berandal tersebut mengernyit, urat di dahinya mengerut. "Bocah, kau berani melawan aturan di sini?" lali-laki lain berambut botak mendekati, memarkan tubuh besar tanpa sehelai kain menutupi. "Aku tak bermaksud demikian, bila itu merupakan suatu keharusan, sebaiknya aku ke tempat lain saja," saat Suluh berbalik, dia dihentikan oleh anggota terakhir komplotan yang berperawakan normal, berbadan kurus, dan memakai busana ala-ala murid bela diri. "Tidak secepat itu, anak tidak tahu diri," serunya menyeringai. "Sekali kau menginjakkan kaki di sini, kau harus membayar apapun yang kami minta! Sekarang, serahkan tasmu itu atau kami akan membuatmu menyesal!" Belum memperlihatkan mukanya, Suluh tak berbicara sama sekali, terdiam sesaat sampai kedua matanya memperhatikan ke depan, menyorot tajam. "Sebaiknya tuan berhenti melakukan ini." Seperti listrik menyambar, mereka
Suluh terbelalak dengan bibir terbuka lebar, masih belum bisa mempercayai kalimat Madiarta. Reflek dia mundur selangkah, trauma dengan kejadian sebelumnya bersama sekumpulan arwah. "Jadi selama ini aku dirawat dan hidup bersama ...." Tersenyum, laki-laki berambut keperakan membalas, "Jangan takut, aku tidaklah sama dengan Bhuta." "Bhuta?" Suluh menekan kata, tak mengerti makna di baliknya. "Itulah sebutan untuk arwah yang dilandaskan dendam dan tidak menemukan ketenangan," Madiarta mendekat sembari sesekali menengok ke bangkai Uragah. "Mereka mengincarmu karena merasa kau mampu melakukannya." "Berbagai cara mereka lakukan untuk mengambil alih Prana supaya dapat hidup kembali," dia berhenti, memperhatikan energi kegelapan melumat kulit ular tersebut. "Tapi itu mustahil. Jiwa tidak akan kembali ke tubuh yang sama." "Kecuali mereka memasukkan hampir keseluruhan Prana ke suatu benda tertentu," dia meneruskan, menoleh kepada Suluh. "Maka secuil kesadaran turut bersemayam di dalamnya."
Sepi tak ada tanda-tanda kehidupan, Suluh mencari Madiarta sembari berjalan. Dedaunan tersapu oleh angin, rumah reyot tak terawat sesekali menimbulkan bunyi berdecit membuat bulu kuduk berdiri. Belum sepenuhnya terlupakan oleh teror arwah bergentayangan, Suluh memberanikan diri melangkah walaupun dilanda keresahan. "Di mana Master?" Melirik ke berbagai arah, tak ditemukan makhluk bernyawa, hanya kegelapan mendominasi segala hal. "Dan di mana Altar Bayangan berada?" Tak tahu harus ke mana, Suluh membiarkan dirinya secara acak memeriksa setiap bangunan sampai masuk ke dalam. Laba-laba barangkali menikmati keadaan saat ini, membangun istana sendiri bersama debu yang menempel di berbagai sudut. Mendapati suatu kendi khusus untuk ramuan, Suluh mengamati lebih dekat sembari menerka-nerka, "Tempat ini, bukankah ruangan ramuan?" Berdiri, Suluh lantas keluar untuk sekadar memastikan. "Tidak salah lagi, ini adalah bekas sekolahan!" Entah mengapa saat dia memperhatikan bangunan kayu kecil d
Kaki terus bergerak akan tetapi isi kepala Suluh dipenuhi awan kelam yang tidak seharusnya terbebani kepada bocah dua belas tahun. Sebutan Mukhalis barangkali sudah berkali-kali disematkan kepadanya dalam mimpi, entah itu kejadian absurd tak memiliki arti maupun yang akan tiba di masa depan. Suluh sama sekali tak tahu, memeriksa luka sayatan di lengan kirinya. "Bila tak segera membuat ramuan, aku sudah dapat dipastikan tak akan bertahan," dia bergumam, mendengar suara air entah di mana. Mengedarkan sorotan mata, Suluh menoleh ke berbagai arah, menemukan sungai kecil lagi dangkal serta bersih dan tak terkontaminasi. Bahkan ketika dia menghampiri, Suluh dapat melihat ikan-ikan kecil mondar mandir menghindarinya, berlarian ketakutan oleh kehadiran manusia. "Kebetulan sekali," Suluh melepaskan tas rotan beserta baju atasan. "Aku harus membersihkan tubuhku dari cedera ini." Yakin tak ada siapapun selain dia di sini, Suluh tanpa berpikir dua kali masuk ke dalam sungai hanya memaka
Tak tahu melakukan apa, Suluh harus segera menentukan keputusan dikarenakan Uragah meluncur sangat cepat ke arahnya. Menarik napas dalam-dalam, dia menenangkan diri seraya berkonsentrasi, mendemonstrasikan semua latihannya dalam asuhan Madiarta. Berjarak hanya beberapa langkah dari makhluk tersebut, Suluh buru-buru meliuk ke sebelah tatkala Uragah menyambar, mendaratkan hantaman telapak tangan yang sudah dialiri tenaga dalam. Meski tak terlalu berpengaruh, setidaknya Suluh membuktikan bahwa dia mampu melawan. Menerima serangan, Uragah sedikit tersenggol, memutar badan dan segera menerkam Suluh. Cekatan, lagi-lagi dia berhasil meloncat akan tetapi telat membaca tubuh ular tersebut, tak melihat bahwa ekornya terarahkan ke atas, mengenai Suluh tepat sasaran. "Sial!" umpat Suluh, detik kemudian terpental akibat mengenai terjangan Uragah. Hal ini mengirim Suluh menembus semak-semak dan keluar dari hutan, hampir terjatuh ke dalam lembah bila dia telat mencengkram sudut daratan. Dia te
Suluh menanamkan keberanian, memasuki area Gunung Andapan dengan kewaspadaan. Arah tangga setapak terbuat dari batu sedikit licin sebab kabut masih menyelimuti sekitar, tak dapat melihat apa-apa dan mulai mengandalkan kekuatan internal. Suara kicauan menyeruak ditemani semilir angin mengibaskan dedaunan, Suluh berusaha konsentrasi dan tak teralihkan. Ancaman bisa berada di mana saja, lengah adalah suatu kelemahan sebab dia kesulitan mengobservasi area. Indra berperan krusial kali ini, suara semak-semak sesekali meresahkan Suluh, cekatan dalam bertindak. Seperti yang diketahui, ada banyak hewan buas berkeliaran di Gunung Andapan. Harimau, serigala, maupun hewan karnivora lain mungkin sudah mengintainya dalam kegelapan. "Apakah arwah-arwah itu akan muncul?" batin Suluh mempercepat mendaki, menerobos kabut yang lama kelamaan memudar sebab sinar mentari sudah terlihat di cakrawala. Embun-embun menempel di dedaunan, Suluh mulai melihat keindahan alam yang ditawarkan oleh Gunung Andap