06. Ranah Kultivasi

"Mengagumkan, bukan?" Muncul suara tiba-tiba, mengejutkan Suluh dan sontak menoleh ke tepian sungai di mana dia menemukan Madiarta.

"Master?" Suluh berbisik dengan berseri-seri, tak mampu menutupi keceriaan.

"Kultivasi sudah menjadi bagian dari manusia yang sulit dilepaskan," Madiarta terlihat duduk bersila. "Tak hanya memberikan kita kekuatan, Prana menghasilkan ketenangan batin tak terlukiskan."

"Tidakkah kau merasakannya saat mereka memasuki tubuhmu?" kata Madiarta, dibenarkan oleh Suluh dengan anggukan kepala. "Dulu, sebagian besar manusia berhenti sampai di fase ini, tak berniat memperdalam kekuatan Prana."

"Namun sekarang, ambisi menggebu dan kepentingan individu melahirnya sekte-sekte tertentu," dia meneruskan, mengulik seputar sejarah. "Perpecahan dan tumpah darah, apa kau setuju semua itu karena Prana yang hadir memberikan kedamaian?"

Suluh mengernyit, dari kesimpulan tersebut sudah salah. "Tidak, Master. Kitalah sebagai manusia yang merusak diri kita sendiri!" Membalas dengan mantap, Madiarta tersenyum bangga, berdiri dari duduknya.

"Bagus, muridku, kau sudah mulai memahaminya," merapikan baju kusut serta lusuh, Madiarta menatap ke arah Suluh yang masih berada di atas batu. "Bahwa kebatilan manusia tak didasarkan oleh Prana."

"Semua itu adalah sifat manusia yang semakin tak terkendali ketika mendapatkan kekuatan," Madiarta berbalik. "Jadi, aku ingin kau tanamkan ke dalam kepalamu bahwa hanya karena kau adalah Prana Bayangan, tidak membuatmu buruk maupun tercela."

Kalimat tersebut seolah menyemangati hati Suluh karena selama ini dia dikucilkan dan dihina, memberikan kesejukan. "Terima kasih, Master. Itu sangat berarti bagiku."

Madiarta lantas melangkah menjauh. "Sudah seminggu lebih semenjak kita makan bersama di tempat ini, apakah kau tidak kelaparan?"

Tentu saja Suluh tidak mengetahui hal ini dan saat menyadari, dia mendadak lapar dengan teramat sangat. Masih dengan wajah berseri, dia membalas, "Ya, Master! Biarkan aku membantu!" Cepat-cepat Suluh melompat dan mengekori Madiarta kembali ke rumah.

Suluh, entah kenapa masih memikirkan sekelebat penglihatan saat dia menerima Prana. Melamun di depan kobaran api. Madiarta yang berada di sebelah, bertutur kata, "Ada apa, muridku? Kau tampak resah."

"Ah, tidak, Master, bukan apa-apa," Suluh menggelengkan kepala, berpikir semua itu mungkin tak lebih dari suatu mimpi aneh. "Ada kejadian yang tak bisa kumengerti muncul di depan mataku saat berkultivasi."

"Seperti apa?" Madiarta dilanda penasaran, membolak-balikkan ikan.

Sempat enggan, Suluh membeberkan apa yang dia alami sembari menunduk. "Aku melihat wanita memanggilku dengan sebutan Mukhalis," dia menjelaskan, bernada lirih. "Dan ada kaitannya dengan harapan mereka meraih kedamaian."

"Mukhalis, kau kata?" Madiarta sepintas menoleh kepada Suluh, kembali fokus dengan makanan yang tengah dibakar di bawah kegelapan malam ditemani kartika. "Bahasa kuno dengan arti mendalam."

"Pahlawan untuk individu menjadi lebih baik dari sebelumnya," dia meneruskan. "Dan dapat dirasakan oleh mereka di sekitarnya."

"Itulah makna sebenarnya Mukhalis," Madiarta lantas memperhatikan Suluh lamat-lamat. "Kupikir cocok dilekatkan kepadamu."

"Ta-tapi, Master, aku bahkan tak layak disebut demikian!" sahut Suluh kaget, berusaha menolak sebab dia tak melakukan hal berarti. "Aku bukan siapa-siapa."

Terkekeh, Madiarta menimpali, "Tapi wanita yang kau lihat mempercayaimu. Kau telah berubah menjadi individu kuat dan menyelamatkan dirimu dari keterpurukan."

Laki-laki berambut keperakan yang dibiarkan tergerai menarik ikan tersebut, kedua matanya tanpa emosi. "Aku tak dapat terus melatihmu, muridku. Ada kalanya kau harus mengembara dan mencari ilmu di dunia luar."

Atmosfer mendadak kaku dan sunyi. "Setelah mendapatkan Pusaka Bayangan, itulah kali terakhir kau berada dalam naunganku."

"Kenapa begitu, Master?" Suluh terpusat sepenuhnya kepada Madiarta. "Tidak bisakah aku terus berguru kepadamu?"

"Tidak," iris hitam legam melirik kepada anak di sebelahnya. "Bila kau bersamaku, wawasanmu sebatas ilmuku. Sementara di luar sana kau belajar banyak hal baru."

"Ini adalah tugas terakhirmu," tatapan Madiarta berubah serius. "Berpetualanglah sampai kau mengetahui siapa dirimu sebenarnya dan kembalilah saat kau menemukan yang kau cari."

Suluh dilanda kebimbangan, orang yang selama ini banyak membantu dan berjasa malah menyuruhnya berpisah, menjauh darinya. Walau begitu, kalimat Madiarta ada benarnya dan sebagai murid, Suluh harus menghormati keputusannya.

Sebelum tiba waktunya, Suluh dilatih mengalirkan Prana ke seluruh meridian di tubuh. Menghubungkan satu titik ke titik lain dengan akurat serta terus meningkatkan kinerja bela diri ke level lebih tinggi. Meditasi itu lama kelamaan membuahkan hasil dan Suluh mampu merasakan aliran energi menyebar ke seluruh tubuh.

Madiarta merasakannya sendiri tatkala menginspeksi kultivasi Suluh, memberikan komentar, "Kau memanglah anak berbakat, muridku. Kurang dari dua hari kau sudah mampu menyentuh seluruh meridian, kerja bagus."

Suluh tengah duduk bersila, membuka mata, "Terima kasih, Master. Ini semua berkat didikanmu."

"Dengan begitu kau sudah berada di Pintu Ketiga, Ranah Penempaan Tubuh," kata Madiarta memberitahu. "Memiliki tiga tahapan baik di level seterusnya."

Tingkatan kultivasi ada tiga tahapan kecuali Ranah Awal dan Ranah Aliran. Selanjutnya ada Ranah Penempaan Tubuh, Penempaan Pikiran, Penempaan Jiwa, Ranah Spiritualitas, Ranah Transformasi, dan terakhir Ranah Keabadian, sebagai kulminasi kultivasi.

"Sudah saatnya kau mendaki Gunung Andapan, rintangan dan tantangannya akan menempamu ke tahapan ketiga," Madiarta mempercayakan sepenuhnya kepada Suluh. "Aku sama sekali tak ragu kepadamu. Kau bahkan memiliki kemampuan melampauiku suatu saat."

Suluh tak tahu bereaksi seperti apa, antara senang dan terharu karena dia harus menghadapi ujian final untuk membuktikan dedikasinya selama ini. Sekaligus sebagai akhir dari mengais ilmu di bawah naungan Madiarta karena dia diharuskan berkelana, mencari identitasnya.

Dunia luar menurut Madiarta, tak seberbahaya di hutan. Namun, kebengisan manusia mampu melampaui kengerian hewan buas. Mereka lebih brutal dan tak berperikemanusiaan, membunuh tanpa sebab maupun belas kasihan. Dengan mendaki dan menerima Pusaka Bayangan, Suluh sudah bisa dikatakan mapan menghadapi mereka.

Matahari belum terbit dari ufuk timur, Suluh terlihat tengah membawa tas rotan dengan berbagai bahan makanan serta ramuan. Madiarta tak sekadar melatih bela diri dan kultivasi, akan tetapi juga dalam hal meracik obat-obatan untuk menyembuhkan luka dalam dan luar.

Gapura besar dengan motif abstrak dilumuri lumut, setapak menembus hutan di depan masih dikelilingi kabut. Sementara di depannya berdirilah dua insan dengan busana serba hitam, salah satunya memberikan arahan. "Akan ada banyak makhluk di Gunung Andapan, kau harus ekstra berhati-hati dan waspada," seru Madiarta.

"Ingat semua latihanmu," dia menambahkan, kedua matanya terarahkan kepada milik Suluh. "Jangan biarkan kau terperdaya oleh mereka."

Suluh seakan mengerti apa maksud Madiarta, arwah bergentayangan, suka membisikkan serta mempengaruhi manusia ke dalam kenikmatan fana dan tenggelam dalam keterpurukan. "Tak ada yang berkomunikasi denganmu, apapun itu, abaikan," imbuh Madiarta dengan serius.

"Baik, Master! Aku tidak akan mengecewakanmu!" kata Suluh dengan keyakinan.

Tersenyum, Madiarta menoleh ke tangga menanjak di hadapannya. "Ikutilah apa yang kukatakan tadi, maka kau akan berhasil."

"Aku menantikanmu di atas sana," kalimat Madiarta terasa aneh sampai Suluh menyadari bahwa apa dia akan ikut bersamanya.

"Maksud Master?" ketika anak tersebut menoleh kepada Madiarta yang ada di sebelah, entah bagaimana tak ada siapa-siapa di sana. Hanya Suluh sendirian. "Master?"

Menoleh ke sana kemari, tak ditemukan bercak maupun eksistensi Madiarta, mengira mungkin dia memiliki kemampuan di luar nalar yang dapat berpindah tempat hanya dengan kedipan mata.

Tak mempermasalahkan dan mencoba menenangkan diri, dia menarik napas dalam-dalam. "Kau dapat melakukan ini, Suluh!"