Tania pernah ke Jerman beberapa kali, tapi ia tak pernah ke Munich. Hanya Berlin. Kini saat ia akhirnya menginjakkan kaki di kota itu, mendadak ia jadi begitu gugup. Bukan hanya karena akan menemui ibu Davin, tapi juga karena menyadari kenyataan bahwa ia akan bertemu Catherine, mantan istri dari sugar daddy-nya.
“Ibuku orang yang menyenangkan, dia pasti akan sangat menyukaimu!” Davin menggandeng tangan Tania saat mereka keluar dari taksi menuju sebuah rumah sederhana dengan kotak pos berwarna coklat tua di halamannya.
“Jangan cemas, ibuku tidak sesibuk ayahku. Dia tidak akan pergi begitu saja setelah kukenalkan kalian berdua,” lanjut Davin, “lagipula ini rumahnya, dia selalu tahu bagaimana menyambut tamu dengan baik.”
Davin memencet bel beberapa kali dan pintu terbuka, menampakkan sosok wanita paruh baya yang cukup tinggi—kurang lebih sama dengan Tania, mengenakan kaus longgar dan celana panjang. Sekilas ia terlihat seperti pelatih yoga atau pesenam, atau ibu rumah tangga yang sangat santai. Rambut cokelatnya yang bergelombang digulung rapi ke belakang.
“Ibu!” Davin merentangkan tangannya sambil tersenyum lebar. Wanita itu tampak terkejut selama beberapa saat sebelum akhirnya memeluk Davin, putranya.
“Ibu tak percaya ini. Kau benar-benar datang!” Nadanya terdengar terharu lalu ia menyadari kehadiran Tania. “Bersama dengan ….”
“Tania Wood,” Davin kemudian berbisik keras hingga Tania bisa mendengarnya, “calon menantu Ibu.”
“Ahahaha! Kau ... cantik sekali, sayang.” Ia menyentuh dagu Tania lalu memeluknya singkat. “Kenalkan, aku Catherine. Ayo, masuklah! Aku baru saja selesai membuat panekuk.”
Tania melangkah masuk dan terlihat bagian dalam rumah itu begitu rapi. Bahkan ada banyak sekali foto dipajang di dinding, di meja, dan di dalam lemari hias. Nyaris di semua foto itu terdapat sosok Davin di dalamnya. Saat ia kecil, remaja hingga sekarang, wajahnya sama sekali tak sulit dikenali.
Dan ya, hanya ada dua orang saja dalam foto. Davin bersama ibunya.
“Ibuku seorang sarjana seni kuliner, dia koki yang handal dan sangat suka membuat camilan. Panekuknya adalah yang terbaik!” Davin menarik Tania menuju dapur, mengikuti langkah ibunya.
“Ah, kau selalu berlebihan dalam memuji, Dan.” Catherine tertawa lalu menyajikan dua porsi panekuk di atas meja untuk mereka. “Bagaimana perjalanannya?”
“Cukup menyenangkan, aku berencana menginap di sini selama seminggu, boleh tidak?” Davin bertanya ragu.
“Kalian berdua?” Catherine menatap mereka bergantian dan Davin mengangguk. “Tentu saja boleh!”
Ia tampak begitu gembira. Bahkan Tania harus mengakui meski dengan kerutan di wajahnya serta rambutnya yang mulai berubah keperakan, ia masih tampak begitu cantik. Apa lagi saat ia tersenyum begitu lebar.
“Jadi … Tania, apa saja yang sudah Dan ceritakan padamu?”
Tania memandang Davin selama beberapa saat, berusaha mencari jawaban dari ekspresi wajahnya.
“Kami sudah bertemu ayah,” Davin akhirnya yang menjawab dengan nada sedikit ragu. “Dia tampak sibuk saat itu.”
“Dan, kau tahu dia tidak terlalu suka saat bertemu dengan orang baru.”
“Well, kurasa itu benar. Tapi setidaknya aku sudah mengenalkannya pada Tania. Aku merasa perlu melakukannya.”
“Itu bagus, kuharap dia bisa menjadi orang yang lebih santai.” Catherine menghela napas lalu kembali tersenyum. “Silakan habiskan panekuknya. Aku akan menyiapkan kamar untuk Tania.”
Tania tak mengerti. Apa maksudnya saat ia bilang Gerald harus menjadi orang yang lebih santai? Apakah Gerald sekaku itu?
Setelah menghabiskan panekuk, Tania berkeliling melihat setiap sisi rumah itu. Ia berhenti cukup lama di depan lemari yang ada di ruang tamu. Selain foto, ada banyak sekali piala di dalamnya. Beberapa di antaranya bertuliskan nama Davin yang memenangkan kejuaraan sepak bola dan baseball. Dari semua itu, yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah penghargaan berbentuk piano yang terbuat dari kaca. Tak ada nama ataupun keterangan tentang kejuaraan apa itu, hanya saja Tania mulai berpikir bahwa itu milik Catherine, karena sejauh yang ia tahu, Davin tak bisa bermain musik.
“Itu tampak indah, ya? Padahal sudah sejak lima belas tahun yang lalu.”
Catherine tiba-tiba muncul di dekatnya dan ikut memandang ke dalam lemari. Tania nyaris melompat kaget akan kehadirannya.
“Ah, maaf. Aku membuatmu kaget, ya?” Catherine tertawa kecil lalu memegang pundak Tania.
“Apa itu milikmu?” Tania menunjuk piala kaca yang sejak tadi membuatnya penasaran. Catherine menggeleng. Baru saja ia ingin menerka bahwa itu pasti milik Davin, tapi Catherine lebih dulu bicara, “itu milik mantan suamiku, ayah Dan.”
Pikiran Tania bekerja lebih cepat dalam menerka segala kemungkinan setelah mendengar kalimatnya. Milik Gerald? Apa yang telah ia lakukan? Piala itu jelas berhubungan dengan musik atau semacamnya, tapi ia tak pernah melihat Gerald bermain piano atau bahkan sekadar menyanyikan beberapa bait lagu.
“Ayah Davin??”
“Ya. Pasti Davin lupa menceritakannya padamu.” Catherine menghela napas. “Gerald sangat dekat dengan musik, dulu. Dia selalu menyanyikan lagu atau bermain piano untuk Davin. Sampai akhirnya masalah datang di antara kami dan ia tak pernah mau berurusan dengan musik lagi.”
“Apa dia pernah menjadi musisi?” selidik Tania. Catherine menggeleng.
“Dia hanya bermain musik sebagai hobi, dan piala ini ….” Catherine terhenti sejenak. Tania menyadari sesuatu yang aneh. Matanya tampak berkaca-kaca.
“Kau baik-baik saja?” Tania memegang pundak Catherine. Ia menunduk selama beberapa detik dan terlihat air matanya jatuh.
“Maaf, aku baru ingat aku sedang memanggang kue di dapur. Silakan lanjutkan saja jika kau masih ingin melihat-lihat.” Catherine tersenyum dan nampak sekali bahwa itu dipaksakan.
Tania memperhatikan langkah wanita itu. Ada apa dengannya? Ia bertanya-tanya. Ada apa dengan piala itu? Dengan Gerald?
Ia tak bermaksud untuk terlalu ingin tahu mengenai kehidupan rumah tangga orang lain, tetapi rasa penasaran membuat Tania menjadi lebih teliti dalam memperhatikan setiap hal yang ia temukan di rumah itu.
Kemudian Tania melihat hal lain lagi, sebuah piano yang ada di dalam sebuah ruangan. Akan tetapi ia tak berani masuk ke dalam ruangan itu karena Catherine pastilah akan menganggapnya terlalu lancang. Jadi Tania hanya mengintip sebentar dan pergi dari sana.
Malam itu Tania tidur di kamar tamu yang telah disiapkan Catherine sebelumnya. Ada tiga kamar di dalam rumah itu, tapi salah satunya telah berubah menjadi gudang—yang diterka Tania adalah ruangan yang berisi piano tadi—dan Davin tak bisa tidur di sana. Jadi ia akan tidur di sofa yang ada di ruang tamu karena kamar yang ditempati Tania hanya memiliki satu ranjang berukuran kecil yang hanya cukup untuk satu orang.
Namun malam itu, Tania sulit tidur.
Dilihatnya Davin sudah terlelap karena kelelahan setelah membantu Catherine membereskan beberapa hal. Davin tidak terbiasa bekerja dengan barang-barang rumah. Ia hanya terbiasa begadang untuk mengerjakan desain kaus dan sepatu atau topi. Sama seperti Tania yang hanya terbiasa oleh kelelahan karena aktivitas berjalan di atas catwalk dan berpose. Selebihnya? Tania tak terbiasa lagi dengan kesibukan membereskan rumah atau bekerja 9-to-5.
Semua itu sejak Gerald hadir dan memanjakannya.
Tania masih memiliki banyak pertanyaan tentang kehidupan Catherine. Hal itu juga membuatnya menyadari bahwa ada banyak sekali sisi dari kehidupan Gerald yang tak ia ketahui. Dan memang, selama ini Tania tak merasa penting untuk mempertanyakannya.
Sudah lebih dari seminggu lamanya Tania tak menerima panggilan atau pesan apa pun dari Gerald. Mungkinkah Gerald begitu sibuk? Atau ia sangat marah?Catherine tidak ada di rumah hari ini. Ia bekerja sebagai salah satu tutor di sebuah kelas memasak yang tak jauh dari rumah dan mengajar setiap akhir pekan. Ia sudah berpesan pada Davin dan Tania bahwa mereka boleh pergi berjalan-jalan dengan mobilnya dengan catatan tetap membiarkan rumah terkunci, tapi sepasang kekasih itu sepakat bahwa mereka hanya akan bermalas-malasan di rumah seharian dan menghabiskan camilan yang memenuhi lemari.“Kau kelihatan gelisah, apa yang kau cemaskan?” Siang itu Davin menghampiri Tania yang sedang duduk termenung memandangi halaman belakang. “Apa kau bosan berada di sini?”“Tidak.” Tania menggeleng cepat.“Jangan khawatir, tiga hari lagi kita akan kembali ke Paris. Setelah itu kau bisa kembali ke London.”“Tidak, Dan.
“Ibu lega kau sudah mengenalkan Tania pada ayahmu, Dan.” Catherine memecah hening kala mereka menikmati makan malam. Tania memandangnya, mencoba untuk tersenyum. “Ayah Davin sangat kaku,” lanjutnya.“Dia sudah jauh lebih baik, sepertinya,” sambung Davin.“Mungkin dia sudah memiliki kekasih? Who knows?”“Ibu ....” Davin tampak tidak senang mendengar kalimat Catherine. Tania sendiri? Jantungnya berdetak lebih cepat. “Dia tak akan lakukan itu. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.”“Bagaimana kau tahu, Dan? Katakan, apa kau hanya berprasangka baik karena dia ayahmu?” Catherine bicara dengan lembut, di situasi ini Tania merasa bersalah, entah kenapa.“Well, maksudku, kurasa ayah tak akan mau repot-repot menikah lagi jika dia masih seperti itu. Semua orang yang mengenalnya tahu bahwa dia sangat dingin.&rdqu
Tania tiba di London dan segera menuju flat dengan pikiran yang kacau. Begitu banyak fakta yang harus ia terima dan ia bahkan tak tahu bagaimana harus menerimanya. Mungkin ia bisa menerima kenyataan bahwa sugar daddy-nya selama ini adalah ayah kekasihnya, tapi bagaimana ia bisa menjalani hidupnya sekarang dan setelahnya? Apa ia harus memilih di antara mereka berdua? Oh tentu, dalam hal ini, Davin adalah kekasihnya. Namun Gerald adalah orang yang telah memberi Tania kehidupan. Bisa dibilang, Gerald telah menyelamatkan Tania.Tania melangkah masuk ke dalam flat dan menyadari aroma marijuana. Segera ia melangkahkan kaki ke dapur dan benar, Gerald di sana. Duduk dengan selinting marijuana yang tinggal tersisa sedikit lagi di tangannya. Jasnya terletak di atas meja.“Kau sudah kembali, sweetheart,” suaranya terdengar berat, “dua minggu tanpa menelepon, rasanya lama sekali, ya?”Apa yang harus Tania katakan? Ia pun tak tahu.
Apa maksudnya ini? Apa tamu yang baru saja dibicarakan Gerald adalah Davin? Kenapa dia meminta Davin datang kesini? Apa dia sedang menyiapkan rencana untuk menjebak Tania? Jika ini memang rencananya, dia sungguh keterlaluan. Setidaknya itulah yang dipikirkan Tania.Davin terdiam di sana, sementara manajer restoran itu telah berlalu menuruni tangga. Tania dan Gerald saling berpandangan.“Tania? Kau ada di sini?” Davin mengangkat alis.“A-aku-”“Davin!” Gerald berseru tertahan lalu tertawa ceria. “Kau datang tanpa memberitahu?”“Ya, ini sangat mendadak. Aku sudah menghubungi Tania tapi dia tak menjawab telepon atau pesanku.” Jelas Davin masih dengan ekspresi bingung. “Kalian … sedang apa?”“Ahaha! Kau tahu? Ini kebetulan yang sangat gila. Ayah baru tahu ternyata Tania menjadi model di perusahaan agensi milik Ayah!” Gerald menghampiri putranya. Tania meng
Paris. Di kota inilah Tania akan menjalani kehidupan barunya, bersama Davin. Jelas ini bukan tempat yang buruk untuk memulai sebuah lembaran baru, meski Tania tidak yakin lembaran baru macam apa yang kini ia buka. Tampaknya bukan lembaran dari buku yang masih kosong, melainkan lembaran lama sebuah buku catatan berisi konflik tak berkesudahan.Walaupun panik, ia mencoba terlihat tenang dan berusaha untuk tak merepotkan Davin dengan membiarkannya terus-terusan bertanya apa Tania baik-baik saja karena sepanjang perjalanan Tania terus melamun. Ia terus-terusan membuka ponsel dan memeriksa media sosial, memastikan ia telah mengunggah foto bersama Davin dengan keterangan bahwa ia akan mulai tinggal di Paris hari ini.Beberapa teman-temannya berkomentar dan mengucapkan selamat, tetapi Tania sangat sibuk dalam dua minggu pertama karena selain harus beradaptasi, ia juga ikut membantu pekerjaan Davin dalam mengurus Casualads entah itu dalam hal perancangan atau mempromo
“Hei! Bagaimana jalan-jalannya?” Davin masih duduk di belakang meja kerjanya saat Tania kembali.“Tidak banyak jalan-jalan. Hanya mengobrol dan sedikit minum di bar,” jawab Tania seadanya. “Aku tidur duluan, ya?”“Tentu, selamat malam, sayang.”Pagi harinya, Tania melihat sebuah pesan di ponselnya. Dari Rob, yang dikirim jam 3 pagi. Ia mengirimkan sebuah lokasi dan meminta Tania agar datang saat jam makan siang dengan membawa akta kelahirannya.Inikah saatnya? Tania lebih penasaran dengan percakapan macam apa yang terjadi antara Rob dan istrinya malam tadi. Setelah sedikit panik saat Tania hampir tidak bisa menemukan secarik kertas bertuliskan nama serta tanggal lahirnya dan nama lengkap kedua orang tuanya, akhirnya ia berhasil menemukannya. Tania merasa dirinya cukup bijak dengan tidak menyepelekan benda itu walaupun ia hampir tak pernah berharap bisa menemukan petunjuk tentang keberadaan orang tuanya lagi.
Hari-hari Tania jadi jauh lebih sibuk ditambah lagi Davin yang melakukan renovasi besar di lantai tiga tokonya. Siang itu Tania sibuk membereskan dan mengatur ulang sebagian besar letak barang-barang yang ada di lantai satu dan dua. Davin sedang pulang ke rumah untuk memeriksa sesuatu dan para pekerja konstruksi masih belum muncul untuk memulai pekerjaan mereka setelah makan siang.Hanya kemudian kedatangan Gerald yang seketika membuatnya terkejut dan panik, bertanya-tanya untuk apa dia datang? Apa lagi rencananya?“Apa lagi yang kau inginkan?” Tania menyembunyikan rasa takutnya.“Ada yang harus kita bicarakan.” Gerald melangkah lebih dekat. Tania langsung menghindar tapi Gerald malah mengikutinya. Bahkan saat Tania mulai berlari ke lantai atas, Gerald masih terus mengikuti dengan langkah yang lebih cepat. “Tania! Tunggu!”Lantai tiga penuh dengan barang-barang konstruksi yang berantakan serta debu yang menyesakkan pern
Tania menunggu di sebuah café kecil yang berada tak jauh dari flatnya. Ia hanya mengikuti instruksi Rob tentang jam pertemuannya dan sama sekali tak berkomunikasi dengan lelaki yang akan dikenalkannya ini. Setelah menunggu hampir dua puluh menit, seseorang menghampiri.Tania mengangkat wajahku untuk melihatnya. Lelaki muda dengan rambut hitam dan kulit karamel serta sepasang mata cokelat yang harus diakui Tania amat menawan. Lelaki itu menatapnya dengan ekspresi datar sebelum akhirnya mengangkat alisnya sebagai tanda menyapa.“Kau putri Rob?”Selama beberapa saat Tania terdiam hingga akhirnya lelaki itu memetik jari di wajahnya.“Ah, iya. Benar.” Tania menggeleng dan berusaha fokus kembali. Mereka duduk berhadapan.“Caspian,” ucapnya singkat.“Itu namamu atau ....”“Kau berpikir aku sedang menyebutkan nama danau terluas di dunia secara random pada orang yang baru ku
Satu lagi minggu yang sibuk telah terlewati. Kemudian akhir pekan terasa begitu singkat, seolah hanya beberapa menit. Namun sudah empat tahun ini, malam-malam jadi lebih panjang—dan lebih riuh—karena kehadiran dua bocah itu di rumah kami.“Belum selesai juga dengan permainan pianomu, Delphine? Berisik, tahu!” Gadis kecil itu protes sambil mengeraskan volume televisi yang kini menayangkan kartun Peppa Pig.“Kau yang berisik!” balas Delphine.“Kau sudah bermain piano sepanjang hari, Theoline.” Aku menghampiri lalu mengusap rambut cokelatnya yang tampak kusut karena ia menolak untuk disisir.“Ayolah, aku hanya ingin membuat kakek terkesan jika kita berkunjung ke London!” Theoline cemberut, enggan beranjak dari kursi pianonya.“Kakek akan sangat bangga padamu,” balasku meyakinkannya. “Mungkin dia akan mengajakmu bermain piano bersama.”“That wo
Segalanya berwarna jingga lembut, menyatu dengan warna musim gugur. Begitu juga dengan buket bunga yang digenggam oleh Tania. Ellaine sendiri yang merangkainya. Terdiri atas Mawar Toffee yang kecokelatan, rumput Oak Phalaris kering berwarna merah tua, Bronze Cremone oranye dan beberapa helai batang gandum yang telah dikeringkan, serta bunga-bunga khas musim gugur lainnya yang menjadikan buket itu amat indah.♪~Anxious … white dress … promises and regret. I gave you my pledge, please remember what I said~♪Tania mendengarkan musik melalui airpods, berusaha menghilangkan rasa gugupnya sejak memulai riasannya beberapa jam yang lalu. Ia hampir berteriak kaget saat seseorang tiba-tiba menepuk punggungnya.“Rob!” pekiknya.“Kau ini!” Pria itu melotot. “Sudah, ayo!”Sementara di tempat upacara, Davin nyaris merasakan seolah pijakannya menghilang.
Bulan demi bulan berlalu dan kini hanya menghitung hari sampai pernikahan Davin dan Tania. Hari itu, Tania bersama Davin pergi ke penjara untuk menemui Rowan.“Kau yakin ingin melakukan ini?” Davin memastikan sekali lagi. Ia memandang wajah calon istrinya dengan cemas. “Kita bisa pulang sekarang jika kau berubah pikiran.”“Tidak.” Tania menggeleng lugas. “Aku akan menemuinya.”Davin tak lagi bisa berkata-kata. Setelah melalui pemeriksaan ini dan itu oleh para petugas penjara, akhirnya mereka diarahkan menuju sebuah ruangan untuk bertemu dengan tahanan.Bukan, bukan pertemuan secara langsung, melainkan pertemuan dengan sekat kaca sebagai pembatas serta telepon agar tahanan dan pengunjung bisa berkomunikasi.Tania duduk lebih dulu, sementara Davin berdiri di belakangnya. Sepasang mata gadis itu tak berkedip ketika ia melihat Rowan di hadapannya, begitu dekat, juga duduk di kursi.Dengan tangan ge
Tania memeriksa waktu di ponselnya, tepat jam makan siang.Saat ia baru selesai menutup lembar kerja di komputernya, seseorang tiba-tiba meletakkan seikat lili putih di atas meja.Tania mengangkat wajahnya. “Davin??”“Hei.” Pemuda itu tersenyum. “Sudah waktunya makan siang.”“Apa yang kau lakukan di sini? Kau harusnya tak ke kantor dulu, kan?!”“Aku sudah cukup beristirahat, kok.” Davin melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Makan di restoran ayahku saja, yuk?”“A-aku … ba-baiklah.” Tania seketika melirik sekelilingnya dengan canggung saat rekan-rekan di sekitarnya mulai memperhatikan. Davin langsung menyadarinya dan balas melihat mereka.“Kalian boleh menikmati makan siang kalian dan tinggalkan kami sendiri,” ucap Davin dengan ekspresi datar. Mereka semua langsung mengalihkan pandangan.Davin menggandeng Tania menuju
Kondisi Davin membaik setelah dua minggu, tetapi ia tak memutuskan untuk pulang ke Paris dalam waktu dekat. Lagi pula, Catherine melarangnya. Jadilah Davin hanya menghabiskan waktu dengan beristirahat di mansion ayahnya sepanjang hari.Terkadang ia akan memantau Casualads. Namun Catherine hanya mengizinkannya berlama-lama di depan laptop atau tablet selama dua jam dan selalu memastikan bahwa Davin istirahat penuh.“Bagaimana rencana pernikahan Ibu dan ayah?” tanya Davin iseng hari itu.“Ah, yang itu nanti-nanti saja.” Catherine menggeleng. “Kami ingin menunggu sampai semuanya kondusif, sampai kondisimu lebih baik.”“Maafkan aku, kalian jadi harus-”“Ssh!” Catherine menatap Davin serius sebelum akhirnya mengerling ke arah salad buah yang baru saja diletakkannya di atas meja di samping ranjang pemuda itu. “Habiskan.”Setelah Catherine pergi, Davin meraih ponselnya
“Aku merindukan karir modelling-ku,” gumam Tania kala ia menopang dagu dengan kedua tangannya berada di atas ranjang Davin, pandangannya tertuju pada langit yang tampak mendung di luar jendela lantai tiga rumah sakit itu.“Aku justru lega saat mengetahui bahwa kau tak lagi menjadi model,” balas Davin. Seketika Tania kembali tegak, memandangnya tak percaya.“Kau pasti bercanda.”“Tania, aku tidak bermaksud untuk membahas ini lagi, tapi apa kau tahu? Kau sebenarnya cukup beruntung bisa mendapatkan karir yang amat mulus dalam dunia modelling karena ayahku membantumu.” Davin tampak tak yakin tetapi ia berusaha melanjutkan kalimatnya. “Jika kau mengusahakan semuanya sendiri dari awal, kau akan mengalami banyak sekali hal yang tidak menyenangkan.”“Bagaimana kau tahu?” Tania mengerutkan dahi. “Kau … tidak pernah benar-benar masuk ke dunia modelling, k
Gerald dan Catherine masih tak tahu harus mengatakan apa. Mereka hanya saling berpandangan kala Tania tak hentinya menangis sambil tertunduk di hadapan mereka sejak tadi, sejak mereka datang ke rumah sakit setelah mendapat kabar mengenai kebakaran itu dan putra tunggal mereka menjadi salah satu korbannya.“Maafkan aku,” bisik Tania di tengah isak tangis untuk yang ke sekian kali. Ia kemudian mengerling ke arah Davin yang kini berbaring di ranjang rumah sakit dengan luka bakar derajat 2 di tangan serta kakinya. “Davin jadi seperti ini karena aku.”“Tania, ini bukan salahmu,” balas Catherine. Ia memang tulus mengatakan itu, bukan karena segan atas kehadiran Rob dan Ellaine di ruangan itu yang tadi datang hampir bersamaan dengan mereka.Atau jika ia tidak tulus pun, mungkin tak akan ada yang menyalahkannya juga. Putranya hampir mati dan semua itu demi Tania.“Ini salahku ….” Tania mendadak berlutut di ha
Orang-orang tampak begitu bahagia. Mereka bersorak, bertepuk tangan serta bersulang untuk pasangan yang baru saja menyelesaikan upacara pernikahan itu.Davin memandangi sekelilingnya dengan bingung. Ia lalu melihat tangannya yang entah sejak kapan telah menggenggam segelas wine putih.“Kau menikmati pestanya?” Seseorang menyentuh pundaknya dengan lembut dari belakang. Davin berbalik dan ia mendapati Tania dalam gaun putih khas pengantin yang begitu indah.“Tania??” Davin menggosok mata dengan satu tangannya. “K-kau … apa yang terjadi?”“Apa maksudmu?” Tania tertawa ceria lalu menaikkan telapak tangan, menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari manis kanannya. “Bagus, ya?”Davin melangkah mundur. Ia perhatikan lagi sekelilingnya, semua orang mendadak hilang, hanya ada kursi-kursi untuk para tamu serta dekorasi pesta pernikahan dengan suasana garden party.&l
Selama hari, semuanya berjalan normal hingga tiba hari itu, hari yang menjadi persidangan pertama Rowan atas penyerangan yang dilakukannya terhadap Ellaine tempo hari.Sidang dihadiri cukup banyak orang yang sebagian besar di antaranya adalah orang-orang yang hadir di acara makan malam itu. Beberapa ada yang menjadi saksi, beberapa yang lain hanya datang karena ingin melihat ‘drama’ Rowan sebab mereka juga telah mendengar tentang kasus penipuan yang dilakukan Rowan atas nama Alfred Harvey.Tania memasuki ruang sidang dengan kaki gemetar. Ia duduk di dekat Zekey dan Jonas, di bangku paling depan. Saat ia mengangkat wajahnya untuk melihat sekeliling, pandangannya bertemu dengan pandangan ayahnya yang duduk di kursi tersangka.Pada detik itu, Tania merasakan detak jantungnya seolah berhenti dan lututnya melemah. Jika ia tak sedang duduk, mungkin ia akan jatuh. Sebab bagi Tania, betapa amat menakutkan sepasang mata itu.Mata yang sudah belasan tah