“Itu hanya terjadi di dongeng, Alizée. Tidak ada di dunia nyata. Dalam dunia nyata, wanita harus berjuang keras sendiri untuk bisa bertahan di dalam dunia yang kejam ini tanpa harus mengandalkan pangeran berkuda putih yang siap menolong.”
~ Melanie Schumacher ~
* * * * *
Bagi orang lain menikmati masa-masa kuliah sangatlah indah. Karena pada masa seperti itu seseorang akan mencari jati diri mereka dan mulai merancang masa depan mereka. Sayangnya bagi Melanie dunia kuliah tidaklah seindah itu. Dulu gadis berusia dua puluh tiga tahun itu mendambakan dirinya bisa menginjak dunia kuliah yang selalu diimpikannya. Sayangnya dunia kuliah yang indah itu hancur karena gadis dengan rambut pirang panjang itu mengalami hal yang buruk setiap harinya. Hal itulah yang membuat Melanie Schumacher tidak bersemangat setiap datang ke kampus.
Seperti halnya saat ini ketika Melanie tengah berjalan menyusuri lorong gedung universitas Zürich, tiba-tiba seseorang menarik tangannya membuat gadis yang saat ini mengenakan kaos putih lengan panjang terseok karena harus mengikuti langkah gadis yang berada di hadapannya. Melanie berusaha melepaskan tangan gadis itu karena dia tahu apa yang hendak dilakukannya. Namun cengkraman gadis itu terlalu kuat hingga bisa menyeretnya keluar dari gedung kampus. Dengan kasar gadis itu mendorong tubuh Melanie hingga punggung gadis itu menabrak pohon besar yang tumbuh di belakang gedung kampus. Melanie meringis sakit merasakan benturan itu. Dia pun mendongak dan melihat tiga orang wanita yang selalu merundungnya berdiri di hadapannya.
“Hei, Jalang! Masih saja betah di sini?” tanya Andrea, wanita berambut pirang bergelombang.
Patricia, gadis berkulit gelap itu tersenyum sinis. “Sepertinya kita kurang memberikan pelajaran padanya. Karena itu dia masih berani menunjukkan wajahnya yang menjijikan itu di hadapan kita.”
Tangan gadis bernama Pauline melayang hingga menampar pipi kanan Melanie. Bahkan saking kerasnya membuat kepala Melanie menoleh ke samping. Tangan gadis itu menyentuh pipinya yang terasa panas dan mulai memerah.
“Kalau begitu kita perlu memberikan pelajaran yang lebih untuknya. Melihat wajahnya saja sudah membuatku ingin muntah.”
“Mengapa kalian terus menggangguku? Aku tidak pernah melakukan kesalahan pada kalian. Mengapa kalian begitu kejam padaku?” Melanie berusaha untuk tidak takut.
Andrea mendekati Melanie. Berhenti saat dia tepat di hadapan gadis itu. Dengan jari telunjuknya di mendorong-dorong dahi Melanie hingga kepala belakang wanita itu terbentur pohon.
“Karena kau adalah anak Karessa Müller.”
Seketika tubuh Melanie menegang mendengar nama sang ibu disebutkan. Sejak dulu nama itu selalu mendatangkan masalah bagi Melanie. Terutama karena wajahnya begitu mirip dengan sang ibu.
“Aku benar-benar heran. Untuk apa anak seorang bintang porno terkenal harus kuliah.” Patricia mendengus sinis.
Pauline menganggukkan kepalanya. “Kau benar. Seharusnya dia cukup menjual tubuhnya kepada pria-pria kaya atau memilih mengikuti jejak ibunya menjadi bintang film porno.”
Melanie menggelengkan kepalanya. “Aku tidak akan pernah melakukannya.”
“Diam, Jalang.” Andrea menampar Melanie di pipinya yang lain.
“Sepertinya kita harus memberikan pelajaran tambahan agar dia sadar gadis seperti dia tidak pantas di sini.” Ucap Pauline.
Ketiga wanita itu membawa tongkat kayu. Seketika mata Melanie melotot kaget melihat kayu itu. Segera dia melindungi kepalanya dengan kedua tangannya. Dia bisa merasakan kerasnya tongkat kayu itu memukul tubuhnya. Meskipun Melanie merasakan tindakan buruk dari teman-teman kampusnya setiap hari, tetap saja membuat gadis itu tidak mampu menahannya. Berulang kali Melanie menyuruh dirinya sendiri untuk tidak menangis. Karena bagi Melanie jika dia menangis dihadapan ketiga gadis yang merundungnya, justru akan memberikan kepuasan bagi mereka.
Tiba-tiba seseorang menahan tangan Andrea, memutar tangannya hingga tongkat kayu di tangan gadis itu terjatuh, lalu menendang kakinya hingga tubuh Andrea terjatuh ke tanah. Melihat hal itu gerakan tangan Patricia dan Pauline pun terhenti. Tatapan mereka tertuju pada gadis berambut pirang yang melayangkan tatapan tajam ke arah mereka.
“Aku sudah memberitahu dosen Micheline. Jika kalian tidak menghentikannya, aku akan membuat kalian dihukum berat.” Ancam Alizée Ziedler, sahabat Melanie.
Mendengar ancaman itu, Patricia dan Pauline membantu Andrea berdiri dan segera berlari pergi meninggalkan tempat itu. Melanie menurunkan tangannya. Dia bisa bernafas dengan lega saat melihat Alizée. Hanya sahabatnya itu satu-satunya orang yang mampu menyelamatkan Melanie dari kekejaman teman-teman sekampusnya.
“Kau baik-baik saja, Melanie?” Alizée merapikan rambut Melanie yang berantakan.
Gadis itu tersenyum lebar kemudian menganggukkan kepalanya. “Ya, aku baik-baik saja. Terimakasih banyak sudah menolongku, Alizée.”
“Tidak perlu berterimakasih. Aku menyesal karena datang terlambat. Kau harus menahan rasa sakit akibat ulah mereka.”
Melanie menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa, Alizée. Kau tahu sendiri bukan jika aku kuat.”
“Tetap saja kau tidak bisa menjadi sangat kuat terus menerus, Mel.”
“Aku bisa menahannya. Lagipula sebentar lagi aku akan lulus. Jadi tidak masalah. Ayo kita ke kantin dulu. Aku akan mentraktirmu sarapan.” Melanie menarik tangan sahabatnya dan berjalan menuju kantin.
“Tidak perlu mentraktirku. Justru aku yang ingin mentraktirmu.”
“Tapi, Alizée. Aku….”
Alizée mengangkat telapak tangannya menghentikan ucapan sahabatnya. “Tidak ada tapi-tapian. Lagipula aku mendapatkan bonus dari ayahku karena membantunya membersihkan garasi. Jadi aku ingin membagi bonusnya padamu.”
Melanie tersenyum senang. Dia merasa lega. Meskipun banyak orang sangat membencinya karena dirinya adalah putri dari bintang film porno terkenal, tapi Alizée justru bersikap begitu baik padanya. Melani pun memeluk erat bahu Alizée.
“Kau memang sahabat terbaikku, Alizée.” Ucap Melanie dengan senyuman lebar.
Alizée pun senang Melanie menganggapnya seperti itu. Sejak kecil dia selalu melihat Melanie harus melawan kebencian dari orang-orang. Padahal gadis itu sama sekali tidak bersalah. Karena itu Alizée bertekad untuk menjaganya.
Tak lama kemudian mereka sampai di kantin. Mereka segera memesan dua mangkuk Älplermagronen. Hidangan khas Swiss yang berupa macaroni, keju, kentang, bawang, susu dan apel. Di bagian atasnya ditambahkan onion ring goreng. Setelah membeli makanan, mereka pun duduk di salah satu meja yang terletak di sudut kantin.
“Bukankah kau bisa bela diri, Mel. Mengapa kau tidak melawan tiga monster mengerikan tadi?” tanya Alizée kemudian menyantap makanannya.
“Jika aku membalas mereka, maka hal itu akan dimanfaatkan mereka untuk melaporkanku pada dosen. Pada akhirnya aku yang akan dihukum. Karena itu aku memilih tidak melawannya.”
Alizée menghela nafas berat. “Tapi jika kau membiarkannya, mereka akan bertingkah seenaknya sendiri padamu, Mel.”
“Aku bisa menanganinya, Alizée.”
“Menanganinya? Kau bisa terbujur kaku tadi jika aku tidak datang. Mel, aku tidak setiap saat bisa melindungimu. Bagaimana jika aku tidak tahu kau diganggu? Aku mencemaskanmu. Jika saja ada seorang pria yang bisa melindungimu. Kekasih bagaikan pangeran berkuda putih yang siap menolongmu, Mel.”
Melanie tertawa mendengar ucapan sahabatnya. “Itu hanya terjadi di dongeng, Alizée. Tidak ada di dunia nyata. Dalam dunia nyata, wanita harus berjuang keras sendiri untuk bisa bertahan di dalam dunia yang kejam ini tanpa harus mengandalkan pangeran berkuda putih yang siap menolong. Lagipula tidak ada ada pria yang menyukaiku, Alizée.”
“Mengapa kau berkata seperti itu?” Alizée memicingkan matanya menatap sahabatnya.
“Alizée, tidakkah kau melihatku? Mana ada pria yang menyukai anak seorang bintang porno terkenal sepertiku. Meskipun mereka menginginkan tubuhku, tapi aku tidak yakin ada pria yang bisa tulus menyukaiku atau bahkan mencintaiku.”
Alizée menghela nafas berat. Dia menepuk bahu sahabatnya. “Jangan pesimis seperti itu, Mel. Aku yakin Tuhan menciptakan pasangan yang akan mencintaimu apa adanya.”
“Aku berharap jika itu memang benar, Alizée.”
Akhirnya mereka bergegas menghabiskan makanan mereka karena sebentar lagi mereka ada kelas. Sayangnya Melanie tidak bisa menyingkirkan ucapan Alizée mengenai pria yang akan mencintainya apa adanya. Namun segera Melanie menggelengkan kepalanya untuk menyingkirkan impian bodoh itu.
* * * * *
Melanie menyusuri jalan pulang. Hari sudah sore dan terlihat langit menunjukkan campuran warna orange yang cantik. Setelah melewati jam-jam kuliahnya yang melelahkan, akhirnya Melanie bisa pulang dengan lega. Karena tidak lagi menghadapi teman-teman kampusnya yang berusaha mengganggunya.
Wanita itu menggerakkan bahunya. Seketika dia meringis merasakan sakit akibat pukulan-pukulan ketiga gadis yang mengganggunya pagi ini. Melani yakin besok tubuhnya akan merasakan nyeri di sekujur tubuhnya.
Setiap hari tidak ada kata tenang bagi Melanie. Ada saja orang yang selalu mengganggunya. Sehingga mau tidak mau Melanie mengingat percakapannya dengan Alizée. Melanie setuju dengan sahabatnya itu. Alizée tidak akan bisa menyelamatkannya terus menerus. Hanya sebuah keberuntungan yang membuat Alizée selalu datang tepat waktu untuk menolong Melanie. Tapi bagaimana jika Alizée tidak bisa datang menolongnya?
Lalu pikiran Melanie beralih pada pembicaraan mereka mengenai ‘Pangeran berkuda putih’ yang bisa menyelamatkannya. Gadis itu mendengus sinis. Jika saja dia bisa memilih, dia ingin memilih hidup dalam dunia dongeng sehingga dia bisa menemukan ‘Pangeran berkuda putih’-nya. Sayangnya Melanie tidak bisa menentukan hidupnya sendiri. Bahkan dia tidak bisa memilih orang tuanya.
Seketika langkah Melanie terhenti saat tatapannya tertuju ke depan. Seketika tubuhnya menegang. Nafasnya pun tercekat melihat pemandangan di hadapannya.
* * * * *
Hidup itu seperti coklat. Anda harus menikmatinya sepotong demi sepotong dan membiarkannya perlahan meleleh di lidah anda.”~ Nina Sandmann ~* * * * *Perusahaan coklat Krausz adalah perusahaan coklat yang tidak hanya terkenal di Swiss tapi juga di seluruh dunia. Perusahaan yang sudah berdiri sejak tahun 1845 itu terkenal dengan truffle coklat, coklat batangan, permen dan lainnya. Tidak hanya kelezatannya, Krausz juga mengutamakan kualitas coklat mereka. Sehingga tidak heran orang-orang menyukai coklat Krausz. Bahkan mereka tidak mempedulikan harganya. Karena beberapa coklat Krauz tertentu memiliki kisaran harga yang tinggi.Saat ini perusahaan coklat ini dipimpin oleh CEO Ralf Krausz. Satu-satunya cucu Willard Krausz yang sebelumnya
“Ayahku selalu mengajarkanku jika menolong seseorang haruslah tulus. Jangan mengharapkan imbalan dibaliknya. Karena itu kau tidak perlu memberikan apapun padaku sebagai imbalannya.”~ Melanie Schumacher ~* * * * *Orang yang melayangkan tendangan mautnya adalah Melanie. Gadis itu terlihat memasang sikap waspada sembari tidak melepaskan pandangannya dari perampok yang saat Ini tengah memegang kepalanya karena merasakan tendangan keras Melanie.Tidak ingin perampok itu melukai dirinya dan juga pria yang hendak dirampok, Melanie dengan berani menghampiri pria paruh baya itu. Melanie menginjak tangan perampok itu yang memegang pisau membuat pria itu menjerit kesakitan hingga benda tajam itu terlepas dari tangan pria itu. Melanie men
Kita tidak tahu alasan Tuhan memberikan cobaan berat pada kita.Yang perlu kita lakukan adalah tetap mensyukuri segala situasi kita.Baik ataupun buruk situasinya,Selalu ingat, Tuhan tidak akan pernah melepaskan tangan-Nya.* * * * *Rumah keluarga Schumacher bukanlah rumah yang besar. Berada di deretan rumah-rumah lainnya, rumah Melanie sama saja dengan yang lain. Hanya saja sore itu rumah Melanie sangatlah berbeda. Terlihat di halaman depan rumahnya beberapa barang dikeluarkan dan tampak hancur. Dari kursi-kursi kayu, meja dan barang lainnya. Seakan rumah Melanie baru saja dilanda badai besar yang membuat rumahnya sangat berantakan.Satu hal y
Bukankah kau selalu mengatakan keluarga ada itu untuk saling membantu? Saat ini Vater tidak bisa mendapatkan tapi aku bisa mendapatkannya untuk membantumu, Vater. ~ Melanie Schumacher ~ * * * * * Keesokan harinya Melanie bisa melihat ayahnya terus melamun. Bahkan saat sarapan bersama, Walden sama sekali tidak fokus dengan makanannya. Dia hanya mempermainkan hidangan kentang setengah matang bernama Rösti. Walden hanya menusuk-nusuk makananya tanpa berniat memakannya. Melanie yakin ayahnya pasti sedang memikirkan bagaimana mendapatkan uang seratus ribu Franc Swiss untuk membayar hutang kakaknya. Gadis yang saat ini mengenakan terusan kotak-kotak biru
Cara Tuhan tidak bisa ditebak. Terkadang Tuhan memiliki cara unik untuk membantu anak-Nya. Bahkan dengan cara tak terduga sekalipun. * * * * * “Kita berjumpa lagi, Melanie.” Melanie tidak percaya melihat pria yang ditolongnya kemarin berdiri menjulang di hadapannya. Ralf tampak begitu menawan dengan kemeja biru yang tidak mampu menyembunyikan otot di tubuhnya. Pria itu sudah menggulung lengan kemejanya hingga sikunya. Memperlihatkan kulitnya yang sewarna tembaga. Ralf juga sudah menanggalkan dasi yang melingkar di lehernya dan membuka tiga kancing teratasnya sehingga Melanie bisa melihat dada pria itu mengintip di balik kemejanya. “Ralf, apa… apa yang ka
“Mengapa kau memilihku? Aku bukanlah wanita yang special, Mr. Krausz. Aku bahkan terlalu buruk. Dan juga aku terlalu muda untukmu. Karena itu aku penasaran mengapa kau memilihku bukan wanita lain yang jauh lebih baik?” * * * * * Ralf sedang berdiri di ujung lorong rumah sakit. Dengans atu tangan tenggelam di dalam sakunya dan satu tangan memegang ponsel yang menempel di telinganya. Pria itu tengah menelpon asistennya, Marco. “Cari orang yang menagih hutang ke rumah Walden Schumacher. Terutama orang yang telah menyakitinya. Beri pelajaran pada mereka, Marco. Ancam mereka jika berani berurusan dengan keluarga Schumacher lagi, mereka akan berurusan denganku.” Ucap Ralf dengan nada dingin. Pria itu begitu emosi karena melihat Melanie menangis sedih melihat ayahnya terluka.
Kejujuran jauh lebih baik daripada berjalan di atas kebohongan yang akan membuatnya merasa bersalah. * * * * * Keesokan paginya, matahari pagi mulai memasuki jendela kamar rawat Walden. Cahaya yang hangat itu menyentuh kulit pria paruh baya itu. Membuat kelopak matanya perlahan bergerak sebelum akhirnya terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar rumah sakit. Namun sebelum Willard memikirkan apa yang terjadi hingga membuatnya terdampar di rumah sakit, rasa sakit kepala membuatnya mengerang kesakitan. “Vater!” Panggilan itu membuat Walden menoleh. Dia bisa melihat putrinya bangkit dari berbaring di atas sofa. Gadis itu menyingkirkan selimut yang diletakkan oleh Ralf. Kemudian Melanie turun dari sofa da
Aku memang beruntung memiliki putri yang sangat menyayangiku. Dia berharga untukku. ~ Walden Schumacher ~ * * * * * Mulut Melanie terbuka tak percaya saat melihat Ralf dan ayahnya tertawa bersama. Pria itu begitu mudah memikat hati Walden. Bahkan Ralf mampu membuat sang ayah menceritakan masa kecil Melanie yang menggemaskan. “Saat Melanie kecil, dia sangat menyukai binatang. Sampai suatu hari dia melihat ada kucing kecil di depan rumah. Dia segera mengejar kucing itu tanpa memandang sekelilingnya. Bahkan dia sampai menabrak pohon karena tidak melihat ke depan.” Cerita Walden sembari tertawa mengingat kejadian itu. “Menabrak pohon?” tanya Ralf tidak percaya. Pria itu pun tersenyum menahan
A wise always know himself and think he is fool, but a fool will always think that hes wise. - Wiliam Shakespeare - * * * * * Senyuman tidak kunjung lenyap dari wajah Ralf ketika pria itu sedang berada di mobil menuju kampus Melanie untuk menjemputnya. Sejak kehadiran Melanie, pria itu jauh lebih bersemangat daripada biasanya. Dia bahkan tidak sabar menantikan jam pulang kerja agar bisa menemui Melanie. Namun tiba-tiba ponselnya berdering. Melihat nama sang kakek muncul di layar ponselnya, Ralf segera mengangkatnya menggunakan handsfree. “Ada apa, Groβvater?” tanya Ralf sembari menyetir. “Aku ingin tahu kapan kau akan membawa wanita hebat yang meluluhkan hati cucuku yang sedi
Jangan biarkan pikiran buruk orang lain menjadikanmu sesuai seperti yang mereka katakan. Orang-orang belum tentu mengetahui apapun tentang dirimu. * * * * * Seorang gadis menumpahkan air bekas mengepel ke atas kepala Melanie. Membuat tubuh dan pakaian gadis itu basah dan bau. Terdengar suara tawa di belakangnya. Melanie menoleh dan melihat Andrea, Patricia dan Pauline lagi-lagi mengganggunya. Andrea sengaja menutup hidupnya. “Apa kau tidak merasa bau, Pauline? Bukankah ini bau gadis jalang.” Pauline menganggukkan kepalanya. “Benar sekali. Bau gadis jalang. Aku yakin kemarin dia tidak kuliah pasti sedang menjual diri kepada pria-pria yang mau memberinya uang.” &
Ketulusan seseorang akan terpancar dari matanya. Kebaikannya akan terlihat dari tindakannya dan kebijaksanaannya akan terdengar dari kata-katanya. * * * * * Melanie memasukkan beberapa barang milik ayahnya ke dalam tas. Hari ini Walden sudah bisa keluar dari rumah sakit. Dia menoleh dan melihat sang ayah duduk di tepi ranjang dengan senyuman lebar mengembang di wajahnya. Melanie merasa lega sang ayah merasa jauh lebih baik. Tidak hanya secara fisik tapi juga psikisnya. Pria itu tidak tertekan dengan hutang yang melilitnya. Melanie bisa bernafas lega. Dia begitu sedih melihat sang ayah begitu tertekan beberapa hari yang lalu. Bahkan sang ayah tidak berselera makan hanya karena memikirkan hutang yang diakibatkan oleh Sonja. Tapi sekarang sang ayah tampak lebih bersemangat.
Aku memang beruntung memiliki putri yang sangat menyayangiku. Dia berharga untukku. ~ Walden Schumacher ~ * * * * * Mulut Melanie terbuka tak percaya saat melihat Ralf dan ayahnya tertawa bersama. Pria itu begitu mudah memikat hati Walden. Bahkan Ralf mampu membuat sang ayah menceritakan masa kecil Melanie yang menggemaskan. “Saat Melanie kecil, dia sangat menyukai binatang. Sampai suatu hari dia melihat ada kucing kecil di depan rumah. Dia segera mengejar kucing itu tanpa memandang sekelilingnya. Bahkan dia sampai menabrak pohon karena tidak melihat ke depan.” Cerita Walden sembari tertawa mengingat kejadian itu. “Menabrak pohon?” tanya Ralf tidak percaya. Pria itu pun tersenyum menahan
Kejujuran jauh lebih baik daripada berjalan di atas kebohongan yang akan membuatnya merasa bersalah. * * * * * Keesokan paginya, matahari pagi mulai memasuki jendela kamar rawat Walden. Cahaya yang hangat itu menyentuh kulit pria paruh baya itu. Membuat kelopak matanya perlahan bergerak sebelum akhirnya terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar rumah sakit. Namun sebelum Willard memikirkan apa yang terjadi hingga membuatnya terdampar di rumah sakit, rasa sakit kepala membuatnya mengerang kesakitan. “Vater!” Panggilan itu membuat Walden menoleh. Dia bisa melihat putrinya bangkit dari berbaring di atas sofa. Gadis itu menyingkirkan selimut yang diletakkan oleh Ralf. Kemudian Melanie turun dari sofa da
“Mengapa kau memilihku? Aku bukanlah wanita yang special, Mr. Krausz. Aku bahkan terlalu buruk. Dan juga aku terlalu muda untukmu. Karena itu aku penasaran mengapa kau memilihku bukan wanita lain yang jauh lebih baik?” * * * * * Ralf sedang berdiri di ujung lorong rumah sakit. Dengans atu tangan tenggelam di dalam sakunya dan satu tangan memegang ponsel yang menempel di telinganya. Pria itu tengah menelpon asistennya, Marco. “Cari orang yang menagih hutang ke rumah Walden Schumacher. Terutama orang yang telah menyakitinya. Beri pelajaran pada mereka, Marco. Ancam mereka jika berani berurusan dengan keluarga Schumacher lagi, mereka akan berurusan denganku.” Ucap Ralf dengan nada dingin. Pria itu begitu emosi karena melihat Melanie menangis sedih melihat ayahnya terluka.
Cara Tuhan tidak bisa ditebak. Terkadang Tuhan memiliki cara unik untuk membantu anak-Nya. Bahkan dengan cara tak terduga sekalipun. * * * * * “Kita berjumpa lagi, Melanie.” Melanie tidak percaya melihat pria yang ditolongnya kemarin berdiri menjulang di hadapannya. Ralf tampak begitu menawan dengan kemeja biru yang tidak mampu menyembunyikan otot di tubuhnya. Pria itu sudah menggulung lengan kemejanya hingga sikunya. Memperlihatkan kulitnya yang sewarna tembaga. Ralf juga sudah menanggalkan dasi yang melingkar di lehernya dan membuka tiga kancing teratasnya sehingga Melanie bisa melihat dada pria itu mengintip di balik kemejanya. “Ralf, apa… apa yang ka
Bukankah kau selalu mengatakan keluarga ada itu untuk saling membantu? Saat ini Vater tidak bisa mendapatkan tapi aku bisa mendapatkannya untuk membantumu, Vater. ~ Melanie Schumacher ~ * * * * * Keesokan harinya Melanie bisa melihat ayahnya terus melamun. Bahkan saat sarapan bersama, Walden sama sekali tidak fokus dengan makanannya. Dia hanya mempermainkan hidangan kentang setengah matang bernama Rösti. Walden hanya menusuk-nusuk makananya tanpa berniat memakannya. Melanie yakin ayahnya pasti sedang memikirkan bagaimana mendapatkan uang seratus ribu Franc Swiss untuk membayar hutang kakaknya. Gadis yang saat ini mengenakan terusan kotak-kotak biru
Kita tidak tahu alasan Tuhan memberikan cobaan berat pada kita.Yang perlu kita lakukan adalah tetap mensyukuri segala situasi kita.Baik ataupun buruk situasinya,Selalu ingat, Tuhan tidak akan pernah melepaskan tangan-Nya.* * * * *Rumah keluarga Schumacher bukanlah rumah yang besar. Berada di deretan rumah-rumah lainnya, rumah Melanie sama saja dengan yang lain. Hanya saja sore itu rumah Melanie sangatlah berbeda. Terlihat di halaman depan rumahnya beberapa barang dikeluarkan dan tampak hancur. Dari kursi-kursi kayu, meja dan barang lainnya. Seakan rumah Melanie baru saja dilanda badai besar yang membuat rumahnya sangat berantakan.Satu hal y