Kita tidak tahu alasan Tuhan memberikan cobaan berat pada kita.
Yang perlu kita lakukan adalah tetap mensyukuri segala situasi kita.
Baik ataupun buruk situasinya,
Selalu ingat, Tuhan tidak akan pernah melepaskan tangan-Nya.
* * * * *
Rumah keluarga Schumacher bukanlah rumah yang besar. Berada di deretan rumah-rumah lainnya, rumah Melanie sama saja dengan yang lain. Hanya saja sore itu rumah Melanie sangatlah berbeda. Terlihat di halaman depan rumahnya beberapa barang dikeluarkan dan tampak hancur. Dari kursi-kursi kayu, meja dan barang lainnya. Seakan rumah Melanie baru saja dilanda badai besar yang membuat rumahnya sangat berantakan.
Satu hal yang dikhawatirkan Melanie saat ini adalah ayahnya. Segera gadis itu berlari menuju rumahnya. Sampai di halaman depan rumahnya, Melanie menghentikan larinya. Dia melangkah perlahan melewati kekacauan di depan rumahnya. Gadis itu menatap sedih melihat barang-barang di rumahnya hancur.
Tatapan Melanie tertuju pada sebuah boneka kuda poni berwarna pink yang terlihat kotor terkena debu. Gadis itu mengambilnya dan membersihkan debu yang menempel di boneka itu.
“Apa yang terjadi di sini, Molly?” tanya Melanie pada bonekanya.
Gadis itu pun memeluk erat boneka kuda poni bernama Molly itu. Kemudian Melanie berjalan masuk untuk mencari ayah dan kakaknya untuk mencari penjelasan atas kekacauan yang terjadi di rumah mereka. Melanie menaiki tiga anak tangga sebelum akhirnya mencapai teras rumahnya. Dia bergegas masuk ke dalam. Tangannya meraih gagang pintu yang tertutup itu dan mendorongnya terbuka.
Sama halnya dengan di halaman di luar rumahnya, di bagian dalam rumahnya pun terlihat sama kacaunya. Bahkan ada beberapa pecahan piring dan gelas di atas lantai. Pertanyaan apa yang terjadi dengan rumahnya semakin membuat Melanie penasaran.
“Vater.” Panggil Melanie. Namun tidak kunjung mendengar suara ayahnya.
“Vater, kau ada di mana?” Seru Melanie kembali.
“Di sini, Melanie. Vater berada di kamar.” Seru Walden Schumacher dari dalam kamarnya. Yang terletak di dekat tangga rumahnya.
Dengan berhati-hati menghindari pecahan piring dan gelas, Melanie melangkah masuk menuju kamar ayahnya. Namun langkahnya terhenti saat dekat dengan kamar Walden. Telinga Melanie bisa mendengar isakan tangis ayahnya. Dia yakin hal buruk yang berkaitan dengan kekacauan rumahnya pasti telah membuat sang ayah menangis.
Akhirnya Melanie sampai di kamar ayahnya. Dia bisa melihat Walden duduk di tepi ranjang dan segera menghapus air matanya. Terakhir kali Melanie melihat pria berusia lima puluh tahun itu adalah ketika ibunya pergi meninggalkan ayah, kakak dan juga dirinya. Saat itu usia Melanie menginjak tujuh tahun. Dia melihat ayahnya menangis di kamarnya ketika seharusnya dirinya sudah tidur.
Segera Melanie menghampiri ayahnya dan berlutut di hadapannya. Kedua tangan Melanie menggenggam tangan ayahnya.
“Vater, apa yang terjadi? Mengapa rumah begitu kacau? Dan kau juga menangis. Apakah terjadi hal buruk?” Melanie mengulurkan satu tangannya untuk menghapus air mata ayahnya.
“Tadi ada tiga orang pria bertubuh besar datang dan mengatakan dia menagih hutang.”
Melanie memicingkan matanya. Meskipun hidup mereka sederhana, gadis itu tahu ayahnya tidak pernah berhutang pada siapapun.
“Apa maksud Vater dengan menagih hutang? Apakah Vater mengajukan pinjaman?”
Walden menggelengkan kepalanya. “Tidak. Kau jelas tahu Vater tidak pernah berhutang pada siapapun. Karena Vater tidak ingin menyusahkanmu atau kakakmu.”
“Lalu mengapa penagih hutang itu menagih hutangnya pada Vater?” bingung Melanie.
“Dia mengatakan jika kakakmu telah berhutang pada mereka sejumlah seratus ribu Franc Swiss.”
Seketika mata Melanie melotot kaget. “Seratus ribu Franc Swiss? Tapi untuk apa Sonja hutang sebesar itu?”
“Aku sudah menyelidiki di kamarnya tadi, Melanie. Sepertinya kakakmu menggunakan uang itu untuk bersenang-senang.”
Melanie geram kepada kakaknya. Selama ini dia tidak pernah akur dengan Sonja. Melanie berpikir Sonja mirip sekali dengan ibu mereka. Begitu malas dan hanya ingin merasa enak sendiri. Di saat ayahnya bekerja begitu keras, Sonja memilih santai-santai tidak mau membantu bekerja.
“Bersenang-senang? Ya, Tuhan. Apakah Sonja tidak punya otak? Bagaimana bisa dia meminjam uang sebesar itu untuk bersenang-senang. Sekarang di mana dia, Vater?”
“Sejak semalam kakakmu tidak pulang. Sepertinya dia tahu penagih hutang akan datang kemari hari ini. Karena itu dia kabur.”
Melanie memejamkan matanya berusaha mengendalikan emosinya. Dia tahu saat ini ayahnya pasti sedang terpukul. Karena itu jika dia mengeluarkan emosinya di hadapan sang ayah, pasti akan membuat Walden merasa sedih.
“Lalu bagaimana kita akan membayar hutang sebanyak itu, Vater?”
Walden menggelengkan kepalanya. “Aku juga tidak tahu, Melanie. Mereka mengatakan jika mereka akan kembali besok dan menagih hutang itu kembali. Mereka juga mengatakan jika aku tidak memberikan uang seratus ribu Franc Swiss, maka mereka akan menghancurkan rumah ini lebih parah dari hari ini. Oh, Melanie. Bagaimana bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam sehari? Lalu bagaimana dengan nasib kita jika rumah ini dihancurkan?”
Hati Melanie terasa sangat sakit melihat ketakutan di mata ayahnya. Dia yakin ketakutan itulah yang membuat ayahnya menangis. Ayahnya sudah bekerja sangat keras agar bisa membeli rumah ini. Tapi sekarang gara-gara kakaknya, mereka akan kehilangan rumah ini. Dia tidak menyangka sang kakak akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan ibunya. Meninggalkan ayahnya dengan beban berat yang harus ditanggung oleh Walden.
“Vater, kita akan memikirkannya nanti lagi. Aku tidak ingin Vater sakit karena terlalu memikirkan hal ini. Pasti akan ada jalan yang bisa membantu kita. Aku akan membersihkan tempat ini dan menyiapkan makan malam. Vater istirahatlah dulu sejenak.” Melanie mengusap punggung tangan sang ayah dengan penuh kasih sayang.
Walden tersenyum menatap putrinya. Dia menunduk untuk mencium kening Melanie. “Aku sangat menyayangimu, Melanie. Maafkan aku membawamu dalam masalah ini.”
Melanie menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu minta maaf, Vater. Aku sendiri yang ingin terlibat. Dan aku juga sangat menyayangimu, Vater.”
Melanie membantu sang ayah untuk berbaring di tempat tidur. Setelah memastikan ayahnya tertidur karena kelelahan, akhirnya Melanie berjalan keluar kamar untuk membersihkan kekacauan di rumah ini. Menyelamatkan benda-benda yang masih bisa diselamatkan.
* * * * *
Ralf berbaring di atas ranjangnya dengan mata yang masih terbuka menatap langit-langit kamarnya. Dia masih belum bisa tidur karena masih memikirkan Melanie. Dia ingat bagaimana gerakan agresif Melanie saat melumpuhkan perampok itu. Bahkan pria itu tersenyum mengingat kejadian itu.
“Melanie? Selama ini aku selalu melindungi diriku sendiri. Tapi untuk pertama kalinya aku dilindungi seorang gadis.” Gumam Ralf.
Dia tidak menyangka gadis mungil seperti Melanie begitu berani melawan perampok. Tidak hanya itu dia juga tidak mengharapkan imbalan dari Ralf. Hal itu jelas aneh bagi pria itu. Selama ini dia dikelilingi oleh orang-orang yang berusaha menjilatnya untuk mendapatkan uang darinya. Tapi Melanie yang mendapatkan kesempatan itu justru menolaknya.
Ayahku selalu mengajarkanku jika menolong seseorang haruslah tulus. Jangan mengharapkan imbalan dibaliknya. Karena itu kau tidak perlu memberikan apapun padaku sebagai imbalannya.
Ralf ingat ucapan Melanie mengenai nasehat ayah gadis itu. Nasihat yang sangat bijak. Ralf yakin ayah gadis itu mendidik Melanie dengan sangat baik.
Menyadari ketertarikannya pada Melanie membuat Ralf memikirkan sebuah ide. Ide cemerlang itu membuat Ralf bangkit dari tidurnya dan berada dalam posisi duduk di tengah ranjangnya. Dia akhirnya menemukan cara untuk memenuhi keinginan kakeknya. Meskipun ide ini sangat gila, tapi Ralf ingin mencobanya. Bibirnya menyunggingkan senyuman membayangkan ide itu
* * * * *
Melanie menghela nafas lega setelah melihat kondisi rumahnya jauh lebih baik. Tidak ada lagi barang-barang rusak yang berceceran. Tidak ada lagi pecahan kaca yang berbahaya jika ada yang menginjaknya. Melanie juga sudah membuang barang-barang yang sudah tidak bisa diselamatkan.
Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Melanie menghampiri kamar ayahnya. Dia bisa melihat ayahnya masih tertidur. Bahkan Walden melewatkan makan malam. Melanie yakin ayahnya lelah tubuh dan juga lelah pikiran. Karena itu Melanie tidak berusaha membangunkannya. Dia sangat yakin Walden membutuhkan istirahat setelah cobaan berat yang baru saja diterimanya.
Melanie meraih selimut dan menyelimuti tubuh ayahnya. Dia menunduk untuk mengecup kening sang ayah. Setelah memastikan sang ayah tidur dengan nyaman, Melanie pun melangkah keluar. Dia berjalan menaiki tangga menuju lantai dua di mana kamarnya berada. Sampai di lantai dua, dia berjalan menghampiri pintu dengan hiasan yang ada nama ‘Melanie’ di depannya. Dia membuka pintu kamar dan menyalakan lampunya. Segera gadis itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang untuk melepaskan lelah yang dirasakannya.
Gadis itu pun memikirkan cara bagaimana caranya mencari uang Seratus ribu Franc Swiss dalam waktu sehari? Bahkan waktu yang diberikan tidak sampai dua puluh empat jam. Melanie memejamkan matanya.
“Ya, Tuhan. Mengapa kau memberikan cobaan yang lebih berat lagi? Apa yang harus kulakukan?” gumam Melanie dengan nada sedih.
Seharusnya dia cukup menjual tubuhnya kepada pria-pria kaya atau memilih mengikuti jejak ibunya menjadi bintang film porno.
Melanie teringat ucapan Pauline hari ini. Seketika mata Melanie pun terbuka. Dia berpikir jika menjual tubuhnya pasti akan mendapatkan uang yang banyak dengan sangat cepat. Mungkin hanya itu cara yang bisa diambil Melanie untuk membantu ayahnya.
* * * * *
Bukankah kau selalu mengatakan keluarga ada itu untuk saling membantu? Saat ini Vater tidak bisa mendapatkan tapi aku bisa mendapatkannya untuk membantumu, Vater. ~ Melanie Schumacher ~ * * * * * Keesokan harinya Melanie bisa melihat ayahnya terus melamun. Bahkan saat sarapan bersama, Walden sama sekali tidak fokus dengan makanannya. Dia hanya mempermainkan hidangan kentang setengah matang bernama Rösti. Walden hanya menusuk-nusuk makananya tanpa berniat memakannya. Melanie yakin ayahnya pasti sedang memikirkan bagaimana mendapatkan uang seratus ribu Franc Swiss untuk membayar hutang kakaknya. Gadis yang saat ini mengenakan terusan kotak-kotak biru
Cara Tuhan tidak bisa ditebak. Terkadang Tuhan memiliki cara unik untuk membantu anak-Nya. Bahkan dengan cara tak terduga sekalipun. * * * * * “Kita berjumpa lagi, Melanie.” Melanie tidak percaya melihat pria yang ditolongnya kemarin berdiri menjulang di hadapannya. Ralf tampak begitu menawan dengan kemeja biru yang tidak mampu menyembunyikan otot di tubuhnya. Pria itu sudah menggulung lengan kemejanya hingga sikunya. Memperlihatkan kulitnya yang sewarna tembaga. Ralf juga sudah menanggalkan dasi yang melingkar di lehernya dan membuka tiga kancing teratasnya sehingga Melanie bisa melihat dada pria itu mengintip di balik kemejanya. “Ralf, apa… apa yang ka
“Mengapa kau memilihku? Aku bukanlah wanita yang special, Mr. Krausz. Aku bahkan terlalu buruk. Dan juga aku terlalu muda untukmu. Karena itu aku penasaran mengapa kau memilihku bukan wanita lain yang jauh lebih baik?” * * * * * Ralf sedang berdiri di ujung lorong rumah sakit. Dengans atu tangan tenggelam di dalam sakunya dan satu tangan memegang ponsel yang menempel di telinganya. Pria itu tengah menelpon asistennya, Marco. “Cari orang yang menagih hutang ke rumah Walden Schumacher. Terutama orang yang telah menyakitinya. Beri pelajaran pada mereka, Marco. Ancam mereka jika berani berurusan dengan keluarga Schumacher lagi, mereka akan berurusan denganku.” Ucap Ralf dengan nada dingin. Pria itu begitu emosi karena melihat Melanie menangis sedih melihat ayahnya terluka.
Kejujuran jauh lebih baik daripada berjalan di atas kebohongan yang akan membuatnya merasa bersalah. * * * * * Keesokan paginya, matahari pagi mulai memasuki jendela kamar rawat Walden. Cahaya yang hangat itu menyentuh kulit pria paruh baya itu. Membuat kelopak matanya perlahan bergerak sebelum akhirnya terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar rumah sakit. Namun sebelum Willard memikirkan apa yang terjadi hingga membuatnya terdampar di rumah sakit, rasa sakit kepala membuatnya mengerang kesakitan. “Vater!” Panggilan itu membuat Walden menoleh. Dia bisa melihat putrinya bangkit dari berbaring di atas sofa. Gadis itu menyingkirkan selimut yang diletakkan oleh Ralf. Kemudian Melanie turun dari sofa da
Aku memang beruntung memiliki putri yang sangat menyayangiku. Dia berharga untukku. ~ Walden Schumacher ~ * * * * * Mulut Melanie terbuka tak percaya saat melihat Ralf dan ayahnya tertawa bersama. Pria itu begitu mudah memikat hati Walden. Bahkan Ralf mampu membuat sang ayah menceritakan masa kecil Melanie yang menggemaskan. “Saat Melanie kecil, dia sangat menyukai binatang. Sampai suatu hari dia melihat ada kucing kecil di depan rumah. Dia segera mengejar kucing itu tanpa memandang sekelilingnya. Bahkan dia sampai menabrak pohon karena tidak melihat ke depan.” Cerita Walden sembari tertawa mengingat kejadian itu. “Menabrak pohon?” tanya Ralf tidak percaya. Pria itu pun tersenyum menahan
Ketulusan seseorang akan terpancar dari matanya. Kebaikannya akan terlihat dari tindakannya dan kebijaksanaannya akan terdengar dari kata-katanya. * * * * * Melanie memasukkan beberapa barang milik ayahnya ke dalam tas. Hari ini Walden sudah bisa keluar dari rumah sakit. Dia menoleh dan melihat sang ayah duduk di tepi ranjang dengan senyuman lebar mengembang di wajahnya. Melanie merasa lega sang ayah merasa jauh lebih baik. Tidak hanya secara fisik tapi juga psikisnya. Pria itu tidak tertekan dengan hutang yang melilitnya. Melanie bisa bernafas lega. Dia begitu sedih melihat sang ayah begitu tertekan beberapa hari yang lalu. Bahkan sang ayah tidak berselera makan hanya karena memikirkan hutang yang diakibatkan oleh Sonja. Tapi sekarang sang ayah tampak lebih bersemangat.
Jangan biarkan pikiran buruk orang lain menjadikanmu sesuai seperti yang mereka katakan. Orang-orang belum tentu mengetahui apapun tentang dirimu. * * * * * Seorang gadis menumpahkan air bekas mengepel ke atas kepala Melanie. Membuat tubuh dan pakaian gadis itu basah dan bau. Terdengar suara tawa di belakangnya. Melanie menoleh dan melihat Andrea, Patricia dan Pauline lagi-lagi mengganggunya. Andrea sengaja menutup hidupnya. “Apa kau tidak merasa bau, Pauline? Bukankah ini bau gadis jalang.” Pauline menganggukkan kepalanya. “Benar sekali. Bau gadis jalang. Aku yakin kemarin dia tidak kuliah pasti sedang menjual diri kepada pria-pria yang mau memberinya uang.” &
A wise always know himself and think he is fool, but a fool will always think that hes wise. - Wiliam Shakespeare - * * * * * Senyuman tidak kunjung lenyap dari wajah Ralf ketika pria itu sedang berada di mobil menuju kampus Melanie untuk menjemputnya. Sejak kehadiran Melanie, pria itu jauh lebih bersemangat daripada biasanya. Dia bahkan tidak sabar menantikan jam pulang kerja agar bisa menemui Melanie. Namun tiba-tiba ponselnya berdering. Melihat nama sang kakek muncul di layar ponselnya, Ralf segera mengangkatnya menggunakan handsfree. “Ada apa, Groβvater?” tanya Ralf sembari menyetir. “Aku ingin tahu kapan kau akan membawa wanita hebat yang meluluhkan hati cucuku yang sedi
A wise always know himself and think he is fool, but a fool will always think that hes wise. - Wiliam Shakespeare - * * * * * Senyuman tidak kunjung lenyap dari wajah Ralf ketika pria itu sedang berada di mobil menuju kampus Melanie untuk menjemputnya. Sejak kehadiran Melanie, pria itu jauh lebih bersemangat daripada biasanya. Dia bahkan tidak sabar menantikan jam pulang kerja agar bisa menemui Melanie. Namun tiba-tiba ponselnya berdering. Melihat nama sang kakek muncul di layar ponselnya, Ralf segera mengangkatnya menggunakan handsfree. “Ada apa, Groβvater?” tanya Ralf sembari menyetir. “Aku ingin tahu kapan kau akan membawa wanita hebat yang meluluhkan hati cucuku yang sedi
Jangan biarkan pikiran buruk orang lain menjadikanmu sesuai seperti yang mereka katakan. Orang-orang belum tentu mengetahui apapun tentang dirimu. * * * * * Seorang gadis menumpahkan air bekas mengepel ke atas kepala Melanie. Membuat tubuh dan pakaian gadis itu basah dan bau. Terdengar suara tawa di belakangnya. Melanie menoleh dan melihat Andrea, Patricia dan Pauline lagi-lagi mengganggunya. Andrea sengaja menutup hidupnya. “Apa kau tidak merasa bau, Pauline? Bukankah ini bau gadis jalang.” Pauline menganggukkan kepalanya. “Benar sekali. Bau gadis jalang. Aku yakin kemarin dia tidak kuliah pasti sedang menjual diri kepada pria-pria yang mau memberinya uang.” &
Ketulusan seseorang akan terpancar dari matanya. Kebaikannya akan terlihat dari tindakannya dan kebijaksanaannya akan terdengar dari kata-katanya. * * * * * Melanie memasukkan beberapa barang milik ayahnya ke dalam tas. Hari ini Walden sudah bisa keluar dari rumah sakit. Dia menoleh dan melihat sang ayah duduk di tepi ranjang dengan senyuman lebar mengembang di wajahnya. Melanie merasa lega sang ayah merasa jauh lebih baik. Tidak hanya secara fisik tapi juga psikisnya. Pria itu tidak tertekan dengan hutang yang melilitnya. Melanie bisa bernafas lega. Dia begitu sedih melihat sang ayah begitu tertekan beberapa hari yang lalu. Bahkan sang ayah tidak berselera makan hanya karena memikirkan hutang yang diakibatkan oleh Sonja. Tapi sekarang sang ayah tampak lebih bersemangat.
Aku memang beruntung memiliki putri yang sangat menyayangiku. Dia berharga untukku. ~ Walden Schumacher ~ * * * * * Mulut Melanie terbuka tak percaya saat melihat Ralf dan ayahnya tertawa bersama. Pria itu begitu mudah memikat hati Walden. Bahkan Ralf mampu membuat sang ayah menceritakan masa kecil Melanie yang menggemaskan. “Saat Melanie kecil, dia sangat menyukai binatang. Sampai suatu hari dia melihat ada kucing kecil di depan rumah. Dia segera mengejar kucing itu tanpa memandang sekelilingnya. Bahkan dia sampai menabrak pohon karena tidak melihat ke depan.” Cerita Walden sembari tertawa mengingat kejadian itu. “Menabrak pohon?” tanya Ralf tidak percaya. Pria itu pun tersenyum menahan
Kejujuran jauh lebih baik daripada berjalan di atas kebohongan yang akan membuatnya merasa bersalah. * * * * * Keesokan paginya, matahari pagi mulai memasuki jendela kamar rawat Walden. Cahaya yang hangat itu menyentuh kulit pria paruh baya itu. Membuat kelopak matanya perlahan bergerak sebelum akhirnya terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar rumah sakit. Namun sebelum Willard memikirkan apa yang terjadi hingga membuatnya terdampar di rumah sakit, rasa sakit kepala membuatnya mengerang kesakitan. “Vater!” Panggilan itu membuat Walden menoleh. Dia bisa melihat putrinya bangkit dari berbaring di atas sofa. Gadis itu menyingkirkan selimut yang diletakkan oleh Ralf. Kemudian Melanie turun dari sofa da
“Mengapa kau memilihku? Aku bukanlah wanita yang special, Mr. Krausz. Aku bahkan terlalu buruk. Dan juga aku terlalu muda untukmu. Karena itu aku penasaran mengapa kau memilihku bukan wanita lain yang jauh lebih baik?” * * * * * Ralf sedang berdiri di ujung lorong rumah sakit. Dengans atu tangan tenggelam di dalam sakunya dan satu tangan memegang ponsel yang menempel di telinganya. Pria itu tengah menelpon asistennya, Marco. “Cari orang yang menagih hutang ke rumah Walden Schumacher. Terutama orang yang telah menyakitinya. Beri pelajaran pada mereka, Marco. Ancam mereka jika berani berurusan dengan keluarga Schumacher lagi, mereka akan berurusan denganku.” Ucap Ralf dengan nada dingin. Pria itu begitu emosi karena melihat Melanie menangis sedih melihat ayahnya terluka.
Cara Tuhan tidak bisa ditebak. Terkadang Tuhan memiliki cara unik untuk membantu anak-Nya. Bahkan dengan cara tak terduga sekalipun. * * * * * “Kita berjumpa lagi, Melanie.” Melanie tidak percaya melihat pria yang ditolongnya kemarin berdiri menjulang di hadapannya. Ralf tampak begitu menawan dengan kemeja biru yang tidak mampu menyembunyikan otot di tubuhnya. Pria itu sudah menggulung lengan kemejanya hingga sikunya. Memperlihatkan kulitnya yang sewarna tembaga. Ralf juga sudah menanggalkan dasi yang melingkar di lehernya dan membuka tiga kancing teratasnya sehingga Melanie bisa melihat dada pria itu mengintip di balik kemejanya. “Ralf, apa… apa yang ka
Bukankah kau selalu mengatakan keluarga ada itu untuk saling membantu? Saat ini Vater tidak bisa mendapatkan tapi aku bisa mendapatkannya untuk membantumu, Vater. ~ Melanie Schumacher ~ * * * * * Keesokan harinya Melanie bisa melihat ayahnya terus melamun. Bahkan saat sarapan bersama, Walden sama sekali tidak fokus dengan makanannya. Dia hanya mempermainkan hidangan kentang setengah matang bernama Rösti. Walden hanya menusuk-nusuk makananya tanpa berniat memakannya. Melanie yakin ayahnya pasti sedang memikirkan bagaimana mendapatkan uang seratus ribu Franc Swiss untuk membayar hutang kakaknya. Gadis yang saat ini mengenakan terusan kotak-kotak biru
Kita tidak tahu alasan Tuhan memberikan cobaan berat pada kita.Yang perlu kita lakukan adalah tetap mensyukuri segala situasi kita.Baik ataupun buruk situasinya,Selalu ingat, Tuhan tidak akan pernah melepaskan tangan-Nya.* * * * *Rumah keluarga Schumacher bukanlah rumah yang besar. Berada di deretan rumah-rumah lainnya, rumah Melanie sama saja dengan yang lain. Hanya saja sore itu rumah Melanie sangatlah berbeda. Terlihat di halaman depan rumahnya beberapa barang dikeluarkan dan tampak hancur. Dari kursi-kursi kayu, meja dan barang lainnya. Seakan rumah Melanie baru saja dilanda badai besar yang membuat rumahnya sangat berantakan.Satu hal y