Hidup itu seperti coklat. Anda harus menikmatinya sepotong demi sepotong dan membiarkannya perlahan meleleh di lidah anda.”
~ Nina Sandmann ~
* * * * *
Perusahaan coklat Krausz adalah perusahaan coklat yang tidak hanya terkenal di Swiss tapi juga di seluruh dunia. Perusahaan yang sudah berdiri sejak tahun 1845 itu terkenal dengan truffle coklat, coklat batangan, permen dan lainnya. Tidak hanya kelezatannya, Krausz juga mengutamakan kualitas coklat mereka. Sehingga tidak heran orang-orang menyukai coklat Krausz. Bahkan mereka tidak mempedulikan harganya. Karena beberapa coklat Krauz tertentu memiliki kisaran harga yang tinggi.
Saat ini perusahaan coklat ini dipimpin oleh CEO Ralf Krausz. Satu-satunya cucu Willard Krausz yang sebelumnya menduduki posisi Ralf saat ini. Namun semua pencapaian perusahaan Krausz berkat kerja keras orang-orang di baliknya. Termasuk Ralf yang terus mengembangkan serta membuat terobosan-terobosan baru untuk mengembangkan perusahaannya.
Hal itu jelas terlihat saat pria dengan tinggi seratus delapan puluh sentimeter itu bekerja dengan sangat serius di depan layar komputernya. Di dalam ruang kerja bernuansa gelap serta maskulin itu, Ralf menghabiskan banyak waktu untuk memajukan perusahaan Krausz sehingga tidak tenggelam dengan perusahan-perusahaan coklat lainnya.
Saat Ralf sedang melihat desain bentuk coklat batangan terbaru yang akan diluncurkan oleh perusahaan Krausz, tiba-tiba terdengar ponselnya bordering. Tatapan pria berusia tiga puluh dua tahun itu tertuju pada smartphone yang bergetar di atas mejanya. Dia bisa melihat tulisan ‘Groβvater’ di layar ponselnya. Ralf tahu apa yang hendak kakeknya bicarakan dengannya. Meskipun malas mengangkatnya, tapi pria dengan potongan rambut pompadour itu tetap menerima telponnya.
“Dasar bocah nakal! Mengapa kau tidak datang makan malam kemarin? Apa kau sengaja membuatmu malu di depan umum? Betapa memalukannya harus makan malam dengan gadis muda. Bagaimana jika orang-orang berpikir aku pedofil, Bocah nakal?”
Ralf harus menjauhkan ponselnya dari telinga mendengar omelan Willard yang sangat keras. Inilah alasan yang sudah diketahui Ralf mengapa kakeknya menelpon. Semalam Willard sudah mempersiapkan makan malam untuknya dan juga seorang wanita yang ingin dijodohkan dengannya. Tapi Ralf memutuskan untuk tidak datang. Ini bukanlah pertama kalinya sang kakek mengatur perjodohan untuknya. Sayangnya dia tidak bisa menghentikan Willard melakukan keinginannya.
“Ada masalah penting dengan perusahaan, Groβvater.” Jawab Ralf dengan tenang.
“Masalah perusahaan lagi? Apa kau memang tidak kreatif, Bocah nakal? Kau sudah menggunakan alasan itu berkali-kali, kau pikir aku akan percaya?” Omel Willard kembali.
Ralf mengangkat kedua bahunya tidak peduli. “Terserah Groβvater mau percaya atau tidak. Aku memang sedang mengurus masalah perusahaan semalam.”
Terdengar helaan nafas berat dari ujung telpon. “Baiklah. Kali ini aku akan percaya. Aku akan mengatur makan malam lain dengan wanita lain. Aku tidak akan membiarkanmu mencari alasan lagi, Bocah nakal. Karena aku sendiri yang akan menyeretmu dari dalam kantormu.”
“Groβvater, bisakah kau berhenti melakukannya? Aku sama sekali tidak ingin dikenalkan dengan wanita manapun. Karena aku tidak ingin menjalin hubungan asmara dengan mereka. Jadi sebaiknya kau hentikan rencanamu, Groβvater. Kau hanya akan melakukan hal yang sia-sia.”
“Dasar Bocah nakal! Jika aku melihatmu sekarang aku pasti akan menendangmu ke planet Mars.” Omel Willard kesal mendengar permintaan Ralf.
“Kau tidak bisa melakukannya, Groβvater. Kakimu akan sakit jika kau melakukannya.” Ralf menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ancaman aneh dari sang kakek.
“Kau benar-benar membuatku cepat mati, Bocah nakal. Padahal aku belum melihatmu menikah dan memiliki anak. Padahal kakek tuamu ini sangat ingin melihat bayi menggemaskan yang sangat mirip denganmu.” Suara Willard terdengar sedih dan putus asa.
“Sayangnya aku harus mengecewakanmu, Groβvater. Karena aku tidak akan menikah. Aku tidak berniat memiliki ikatan suci seperti itu.”
“Tidakkah kau kasihan padaku, Bocah nakal? Kau adalah satu-satunya keturunan terakhir keluarga Krausz. Kalau kau tidak menikah dan menghasilkan cucu untukku, maka keluarga Krausz akan lenyap dari dunia ini. Bagaimana bisa kau begitu kejam pada Groβvater-mu, Bocah nakal?” terdengar Willard mulai menangis.
Ralf menghela nafas berat mendengar drama cengeng yang dimainkan sang kakek. Dia harus membenarkan sang kakek. Jika dia tidak menikah dan memiliki anak, maka keluarga Krausz akan lenyap dari dunia ini.
“Padahal aku merawatmu dan menyayangimu dengan sepenuh hatiku, Bocah nakal. Tapi lihatlah balasan apa yang telah kau berikan pada pria tua ini. Kau mungkin berpikir aku akan segera lenyap dari dunia ini, sehingga kau tidak perlu memikirkan permintaan kakek tua ini. Kau memang kejam, Bocah nakal.” Tangis Willard semakin kencang membuat Ralf memejamkan matanya karena geram dengan drama sang kakek.
Meskipun tidak ingin menikah, tapi Ralf tidak bisa menganggap enteng permintaan kakeknya. Willard adalah malaikat penolong bagi Ralf. Pria itu menerima Ralf dan memberikan kasih sayang yang besar. Mana mungkin Ralf mampu membuat sang kakek bersedih. Jika saja bukan pernikahan, Ralf pasti akan mengabulkan permintaan apapun yang diajukan sang kakek. Karena Ralf sangat menyayangi pria tua itu.
“Bisakah kau berhenti menangis, Groβvater? Aku akan memikirkannya.”
“Jadi kau akan menikah dengan wanita pilihanku?” seketika Willard mengubah emosinya menjadi bahagia.
Ralf hanya bisa menghela nafas mendengar akting hebat sang kakek. “Aku tidak mengatakan aku akan menikah dengan wanita pilihanmu, Groβvater. Aku mengatakan akan memikirkannya.”
“Tidak masalah. Itu jauh lebih baik daripada kau tidak mau. Setelah kau mendapatkan keputusan, kau harus menghubungiku. Kau mengerti, Bocah nakal?”
“Ya, aku mengerti, Groβvater.”
Ralf bisa menghela nafas lega setelah sang kakek memutuskan sambungan telpon itu. Meskipun terlihat begitu tegas, namun pria dengan mata hijau dingin itu tidak pernah bisa melawan sang kakek. Willard memiliki segudang cara untuk membuat Ralf menuruti keinginannya. Bahkan pernah suatu hari ketika Ralf menolak untuk pergi ke pesta yang diadakan olehnya, Willard mengirim banyak orang untuk mengganggu Ralf di kamar. Membuat pria itu dengan rambut coklat gelap itu tidak tahan berada di kamar dan akhirnya menuruti keinginan sang kakek. Karena itulah bagi Ralf sang kakek bukanlah lawan yang mudah.
* * * * *
Ralf sudah duduk di dalam mobil Mclaren 720s berwarna hitam. Pria tampan itu mengendarai supercar-nya melintasi jalanan di kota Zürich. Terlihat langit sudah berubah warna biru bercampur orange. Banyak orang yang pulang bekerja. Termasuk Ralf. Sebenarnya pria itu masih ingin mengerjakan banyak hal. Tapi karena ulang sang kakek membuat Ralf tidak bisa konsentrasi bekerja. Karena itu pria itu memutuskan untuk pulang.
Dia masih memikirkan permintaan sang kakek. Ralf bukanlah pria yang menutup diri sepenuhnya dari wanita. Dia menjalani kehidupan pria yang normal. Beberapa kali kencan dan berakhir di atas ranjang. Namun Ralf tidak pernah menjalani hubungan yang lebih serius dari itu. Terutama pernikahan sangat jauh dari pikirannya.
Memiliki masa lalu yang buruk telah mengajarkan Ralf jika cinta membawa petaka yang besar. Bahkan mampu menghancurkan sebuah pernikahan. Sehingga bagi Ralf, pernikahan adalah hal yang paling ingin dijauhinya. Namun Ralf tidak bisa mengecewakan sang kakek. Pria itu sangat menyayangi Willard. Ralf harus mencari cara untuk mewujudkan keinginan kakeknya.
Pria yang saat ini mengenakan setelan kerja berwarna biru gelap itu menghela nafas berat. Dia melihat sebuah kafe tidak jauh darinya. Segera Ralf menurunkan kecepatan mobilnya. Dia membutuhkan kopi untuk menjernihkan pikirannya. Dengan begitu dia bisa memikirkan cara bagaimana mewujudkan keinginan sang kakek tanpa memberatkan dirinya.
Setelah memarkirkan mobilnya, Ralf berjalan keluar. Dia melangkah menuju kafe yang saat ini tidak terlalu ramai itu. Namun sebelum pria itu mencapai kafe itu, seseorang mendorongnya sehingga membuat Ralf terdampar di gang tepat di samping kafe. Dia berbalik dan melihat seorang pria mengacungkan pisau ke arahnya.
“Serahkan kunci mobil dan juga uangmu. Atau aku akan membunuhmu di sini.”
Ralf merasa mendapatkan kesialan. Dia harus menderita dengan permintaan sang kakek dan sekarang dia harus menghadapi perampok yang berusaha menyita uang dan mobil kesayangannya. Jelas Ralf tidak akan membiarkannya. Dia akan memberikan pelajaran berat bagi pria paruh baya di hadapannya.
Namun sebelum Ralf melayangkan serangannya, seseorang sudah memberikan tendangan maut yang membuat perampok itu jatuh tersungkur di jalan. Saat Ralf menoleh untuk melihat orang yang menolongnya, dia benar-benar sangat terkejut.
* * * * *
“Ayahku selalu mengajarkanku jika menolong seseorang haruslah tulus. Jangan mengharapkan imbalan dibaliknya. Karena itu kau tidak perlu memberikan apapun padaku sebagai imbalannya.”~ Melanie Schumacher ~* * * * *Orang yang melayangkan tendangan mautnya adalah Melanie. Gadis itu terlihat memasang sikap waspada sembari tidak melepaskan pandangannya dari perampok yang saat Ini tengah memegang kepalanya karena merasakan tendangan keras Melanie.Tidak ingin perampok itu melukai dirinya dan juga pria yang hendak dirampok, Melanie dengan berani menghampiri pria paruh baya itu. Melanie menginjak tangan perampok itu yang memegang pisau membuat pria itu menjerit kesakitan hingga benda tajam itu terlepas dari tangan pria itu. Melanie men
Kita tidak tahu alasan Tuhan memberikan cobaan berat pada kita.Yang perlu kita lakukan adalah tetap mensyukuri segala situasi kita.Baik ataupun buruk situasinya,Selalu ingat, Tuhan tidak akan pernah melepaskan tangan-Nya.* * * * *Rumah keluarga Schumacher bukanlah rumah yang besar. Berada di deretan rumah-rumah lainnya, rumah Melanie sama saja dengan yang lain. Hanya saja sore itu rumah Melanie sangatlah berbeda. Terlihat di halaman depan rumahnya beberapa barang dikeluarkan dan tampak hancur. Dari kursi-kursi kayu, meja dan barang lainnya. Seakan rumah Melanie baru saja dilanda badai besar yang membuat rumahnya sangat berantakan.Satu hal y
Bukankah kau selalu mengatakan keluarga ada itu untuk saling membantu? Saat ini Vater tidak bisa mendapatkan tapi aku bisa mendapatkannya untuk membantumu, Vater. ~ Melanie Schumacher ~ * * * * * Keesokan harinya Melanie bisa melihat ayahnya terus melamun. Bahkan saat sarapan bersama, Walden sama sekali tidak fokus dengan makanannya. Dia hanya mempermainkan hidangan kentang setengah matang bernama Rösti. Walden hanya menusuk-nusuk makananya tanpa berniat memakannya. Melanie yakin ayahnya pasti sedang memikirkan bagaimana mendapatkan uang seratus ribu Franc Swiss untuk membayar hutang kakaknya. Gadis yang saat ini mengenakan terusan kotak-kotak biru
Cara Tuhan tidak bisa ditebak. Terkadang Tuhan memiliki cara unik untuk membantu anak-Nya. Bahkan dengan cara tak terduga sekalipun. * * * * * “Kita berjumpa lagi, Melanie.” Melanie tidak percaya melihat pria yang ditolongnya kemarin berdiri menjulang di hadapannya. Ralf tampak begitu menawan dengan kemeja biru yang tidak mampu menyembunyikan otot di tubuhnya. Pria itu sudah menggulung lengan kemejanya hingga sikunya. Memperlihatkan kulitnya yang sewarna tembaga. Ralf juga sudah menanggalkan dasi yang melingkar di lehernya dan membuka tiga kancing teratasnya sehingga Melanie bisa melihat dada pria itu mengintip di balik kemejanya. “Ralf, apa… apa yang ka
“Mengapa kau memilihku? Aku bukanlah wanita yang special, Mr. Krausz. Aku bahkan terlalu buruk. Dan juga aku terlalu muda untukmu. Karena itu aku penasaran mengapa kau memilihku bukan wanita lain yang jauh lebih baik?” * * * * * Ralf sedang berdiri di ujung lorong rumah sakit. Dengans atu tangan tenggelam di dalam sakunya dan satu tangan memegang ponsel yang menempel di telinganya. Pria itu tengah menelpon asistennya, Marco. “Cari orang yang menagih hutang ke rumah Walden Schumacher. Terutama orang yang telah menyakitinya. Beri pelajaran pada mereka, Marco. Ancam mereka jika berani berurusan dengan keluarga Schumacher lagi, mereka akan berurusan denganku.” Ucap Ralf dengan nada dingin. Pria itu begitu emosi karena melihat Melanie menangis sedih melihat ayahnya terluka.
Kejujuran jauh lebih baik daripada berjalan di atas kebohongan yang akan membuatnya merasa bersalah. * * * * * Keesokan paginya, matahari pagi mulai memasuki jendela kamar rawat Walden. Cahaya yang hangat itu menyentuh kulit pria paruh baya itu. Membuat kelopak matanya perlahan bergerak sebelum akhirnya terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar rumah sakit. Namun sebelum Willard memikirkan apa yang terjadi hingga membuatnya terdampar di rumah sakit, rasa sakit kepala membuatnya mengerang kesakitan. “Vater!” Panggilan itu membuat Walden menoleh. Dia bisa melihat putrinya bangkit dari berbaring di atas sofa. Gadis itu menyingkirkan selimut yang diletakkan oleh Ralf. Kemudian Melanie turun dari sofa da
Aku memang beruntung memiliki putri yang sangat menyayangiku. Dia berharga untukku. ~ Walden Schumacher ~ * * * * * Mulut Melanie terbuka tak percaya saat melihat Ralf dan ayahnya tertawa bersama. Pria itu begitu mudah memikat hati Walden. Bahkan Ralf mampu membuat sang ayah menceritakan masa kecil Melanie yang menggemaskan. “Saat Melanie kecil, dia sangat menyukai binatang. Sampai suatu hari dia melihat ada kucing kecil di depan rumah. Dia segera mengejar kucing itu tanpa memandang sekelilingnya. Bahkan dia sampai menabrak pohon karena tidak melihat ke depan.” Cerita Walden sembari tertawa mengingat kejadian itu. “Menabrak pohon?” tanya Ralf tidak percaya. Pria itu pun tersenyum menahan
Ketulusan seseorang akan terpancar dari matanya. Kebaikannya akan terlihat dari tindakannya dan kebijaksanaannya akan terdengar dari kata-katanya. * * * * * Melanie memasukkan beberapa barang milik ayahnya ke dalam tas. Hari ini Walden sudah bisa keluar dari rumah sakit. Dia menoleh dan melihat sang ayah duduk di tepi ranjang dengan senyuman lebar mengembang di wajahnya. Melanie merasa lega sang ayah merasa jauh lebih baik. Tidak hanya secara fisik tapi juga psikisnya. Pria itu tidak tertekan dengan hutang yang melilitnya. Melanie bisa bernafas lega. Dia begitu sedih melihat sang ayah begitu tertekan beberapa hari yang lalu. Bahkan sang ayah tidak berselera makan hanya karena memikirkan hutang yang diakibatkan oleh Sonja. Tapi sekarang sang ayah tampak lebih bersemangat.
A wise always know himself and think he is fool, but a fool will always think that hes wise. - Wiliam Shakespeare - * * * * * Senyuman tidak kunjung lenyap dari wajah Ralf ketika pria itu sedang berada di mobil menuju kampus Melanie untuk menjemputnya. Sejak kehadiran Melanie, pria itu jauh lebih bersemangat daripada biasanya. Dia bahkan tidak sabar menantikan jam pulang kerja agar bisa menemui Melanie. Namun tiba-tiba ponselnya berdering. Melihat nama sang kakek muncul di layar ponselnya, Ralf segera mengangkatnya menggunakan handsfree. “Ada apa, Groβvater?” tanya Ralf sembari menyetir. “Aku ingin tahu kapan kau akan membawa wanita hebat yang meluluhkan hati cucuku yang sedi
Jangan biarkan pikiran buruk orang lain menjadikanmu sesuai seperti yang mereka katakan. Orang-orang belum tentu mengetahui apapun tentang dirimu. * * * * * Seorang gadis menumpahkan air bekas mengepel ke atas kepala Melanie. Membuat tubuh dan pakaian gadis itu basah dan bau. Terdengar suara tawa di belakangnya. Melanie menoleh dan melihat Andrea, Patricia dan Pauline lagi-lagi mengganggunya. Andrea sengaja menutup hidupnya. “Apa kau tidak merasa bau, Pauline? Bukankah ini bau gadis jalang.” Pauline menganggukkan kepalanya. “Benar sekali. Bau gadis jalang. Aku yakin kemarin dia tidak kuliah pasti sedang menjual diri kepada pria-pria yang mau memberinya uang.” &
Ketulusan seseorang akan terpancar dari matanya. Kebaikannya akan terlihat dari tindakannya dan kebijaksanaannya akan terdengar dari kata-katanya. * * * * * Melanie memasukkan beberapa barang milik ayahnya ke dalam tas. Hari ini Walden sudah bisa keluar dari rumah sakit. Dia menoleh dan melihat sang ayah duduk di tepi ranjang dengan senyuman lebar mengembang di wajahnya. Melanie merasa lega sang ayah merasa jauh lebih baik. Tidak hanya secara fisik tapi juga psikisnya. Pria itu tidak tertekan dengan hutang yang melilitnya. Melanie bisa bernafas lega. Dia begitu sedih melihat sang ayah begitu tertekan beberapa hari yang lalu. Bahkan sang ayah tidak berselera makan hanya karena memikirkan hutang yang diakibatkan oleh Sonja. Tapi sekarang sang ayah tampak lebih bersemangat.
Aku memang beruntung memiliki putri yang sangat menyayangiku. Dia berharga untukku. ~ Walden Schumacher ~ * * * * * Mulut Melanie terbuka tak percaya saat melihat Ralf dan ayahnya tertawa bersama. Pria itu begitu mudah memikat hati Walden. Bahkan Ralf mampu membuat sang ayah menceritakan masa kecil Melanie yang menggemaskan. “Saat Melanie kecil, dia sangat menyukai binatang. Sampai suatu hari dia melihat ada kucing kecil di depan rumah. Dia segera mengejar kucing itu tanpa memandang sekelilingnya. Bahkan dia sampai menabrak pohon karena tidak melihat ke depan.” Cerita Walden sembari tertawa mengingat kejadian itu. “Menabrak pohon?” tanya Ralf tidak percaya. Pria itu pun tersenyum menahan
Kejujuran jauh lebih baik daripada berjalan di atas kebohongan yang akan membuatnya merasa bersalah. * * * * * Keesokan paginya, matahari pagi mulai memasuki jendela kamar rawat Walden. Cahaya yang hangat itu menyentuh kulit pria paruh baya itu. Membuat kelopak matanya perlahan bergerak sebelum akhirnya terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar rumah sakit. Namun sebelum Willard memikirkan apa yang terjadi hingga membuatnya terdampar di rumah sakit, rasa sakit kepala membuatnya mengerang kesakitan. “Vater!” Panggilan itu membuat Walden menoleh. Dia bisa melihat putrinya bangkit dari berbaring di atas sofa. Gadis itu menyingkirkan selimut yang diletakkan oleh Ralf. Kemudian Melanie turun dari sofa da
“Mengapa kau memilihku? Aku bukanlah wanita yang special, Mr. Krausz. Aku bahkan terlalu buruk. Dan juga aku terlalu muda untukmu. Karena itu aku penasaran mengapa kau memilihku bukan wanita lain yang jauh lebih baik?” * * * * * Ralf sedang berdiri di ujung lorong rumah sakit. Dengans atu tangan tenggelam di dalam sakunya dan satu tangan memegang ponsel yang menempel di telinganya. Pria itu tengah menelpon asistennya, Marco. “Cari orang yang menagih hutang ke rumah Walden Schumacher. Terutama orang yang telah menyakitinya. Beri pelajaran pada mereka, Marco. Ancam mereka jika berani berurusan dengan keluarga Schumacher lagi, mereka akan berurusan denganku.” Ucap Ralf dengan nada dingin. Pria itu begitu emosi karena melihat Melanie menangis sedih melihat ayahnya terluka.
Cara Tuhan tidak bisa ditebak. Terkadang Tuhan memiliki cara unik untuk membantu anak-Nya. Bahkan dengan cara tak terduga sekalipun. * * * * * “Kita berjumpa lagi, Melanie.” Melanie tidak percaya melihat pria yang ditolongnya kemarin berdiri menjulang di hadapannya. Ralf tampak begitu menawan dengan kemeja biru yang tidak mampu menyembunyikan otot di tubuhnya. Pria itu sudah menggulung lengan kemejanya hingga sikunya. Memperlihatkan kulitnya yang sewarna tembaga. Ralf juga sudah menanggalkan dasi yang melingkar di lehernya dan membuka tiga kancing teratasnya sehingga Melanie bisa melihat dada pria itu mengintip di balik kemejanya. “Ralf, apa… apa yang ka
Bukankah kau selalu mengatakan keluarga ada itu untuk saling membantu? Saat ini Vater tidak bisa mendapatkan tapi aku bisa mendapatkannya untuk membantumu, Vater. ~ Melanie Schumacher ~ * * * * * Keesokan harinya Melanie bisa melihat ayahnya terus melamun. Bahkan saat sarapan bersama, Walden sama sekali tidak fokus dengan makanannya. Dia hanya mempermainkan hidangan kentang setengah matang bernama Rösti. Walden hanya menusuk-nusuk makananya tanpa berniat memakannya. Melanie yakin ayahnya pasti sedang memikirkan bagaimana mendapatkan uang seratus ribu Franc Swiss untuk membayar hutang kakaknya. Gadis yang saat ini mengenakan terusan kotak-kotak biru
Kita tidak tahu alasan Tuhan memberikan cobaan berat pada kita.Yang perlu kita lakukan adalah tetap mensyukuri segala situasi kita.Baik ataupun buruk situasinya,Selalu ingat, Tuhan tidak akan pernah melepaskan tangan-Nya.* * * * *Rumah keluarga Schumacher bukanlah rumah yang besar. Berada di deretan rumah-rumah lainnya, rumah Melanie sama saja dengan yang lain. Hanya saja sore itu rumah Melanie sangatlah berbeda. Terlihat di halaman depan rumahnya beberapa barang dikeluarkan dan tampak hancur. Dari kursi-kursi kayu, meja dan barang lainnya. Seakan rumah Melanie baru saja dilanda badai besar yang membuat rumahnya sangat berantakan.Satu hal y