"Nanti malam?" tanya Juna. Airish mengangguk memberi jawaban.Lantas Juna terkekeh sinis. "Kenapa bukan sekarang saja?" tantangnya. "Saya rasa, lebih cepat lebih baik.""Oh, ya ampun! Bisakah kamu berhenti menggunakan kata 'saya' untuk menyebut diri sendiri? Aku merasa seperti sedang bicara dengan tukang sedot WC," protesnya.Juna mengerjap sesaat, lalu mengangguk paham. "Oke!" balasnya. "Jadi, apa bisa kita mulai sekarang?"Ucapan Juna membuat Airish mengernyit, sama sekali tidak menyangka bahwa Juna akan menanggapi seagresif itu."Aku lebih suka tindakan langsung dibandingkan hanya berkata-kata," ucap Airish.Diam sejenak. Sampai akhirnya, pemuda tampan itu bangkit dari posisi duduknya dan melangkah mendekati Airish. Berdiri di hadapan Airish, melingkarkan jemari pada pergelangan tangan Airish, menarik Airish untuk kemudian dia dorong tubuh gadis itu hingga membentur tembok apartemen.Airish tertegun. Memperhatikan mata elang Juna yang menatapnya dalam jarak sedekat ini, terlebih lag
Tanpa bicara panjang-lebar, Juna segera turun dari mobil dan menghampiri dua insan berlawanan jenis yang baru saja keluar dari kafe.Airish tak tinggal diam, melainkan ikut turun dari mobil menyusul kepergian Juna yang entah mau menemui siapa."Wah ... nggak nyangka ya kita bisa ketemu di sini," ucap Juna saat berdiri tepat di hadapan dua orang tersebut."Ju-na?" Gadis itu, Nayla membulatkan mata melihat sosok Juna, sedangkan laki-laki yang sedang bersama Nayla tampak memasang ekspresi bingung."Dia siapa?" tanya Reno, pacar baru Nayla—atau mungkin tunangan?Nayla tergugu. "Di-dia ... bukan siapa-siapa, ‘kok," jawabnya seraya menelan ludah dengan susah payah.Alih-alih marah atau membabi-buta, Juna justru menunjukkan senyuman enteng seakan ini bukanlah apa-apa. "Yakin aku bukan siapa-siapa?" tanyanya.Di sisi lain, Airish yang berdiri di samping Juna hanya fokus menjadi pendengar. Diam-diam mencoba membaca situasi dan mencari tahu siapa gadis yang saat ini sedang bicara dengan Juna.N
"Jadi, sejak kapan kalian berpacaran?" Airish bertanya kepada dua manusia di hadapannya, sambil memotong daging panggang yang telah dia pesan.Nayla tidak mengeluarkan sepatah kata pun, sehingga Reno mewakili gadis itu untuk menjawab, "Belum lama. Sekitar dua bulan yang lalu.""Dua bulan?" tukas Juna. Pernyataan Reno membuatnya berdecih, yang mana hal itu mengesahkan bahwa Nayla sudah mengkhianati cintanya."Kenapa? Kok, kelihatan kaget gitu?" tanya Reno yang baru saja menelan makanan yang dia kunyah.Sejenak Juna terkekeh pelan, mengerling, lalu kembali menatap Reno. "Nggak pa-pa. Jaga baik-baik Nayla, ya. Dia tuh orangnya setiaaa banget."Nayla hanya bisa menunduk seraya meremas gelas tinggi berisi air putih di atas meja. Menelan ludah dengan susah payah, menahan hasrat ingin muntah karena mendengar ucapan Juna yang sukses membuat isi lambungnya terasa penuh seketika.Entah apa tujuan Juna melontarkan kalimat satire tersebut, yang pasti Nayla merasa seperti dikuliti hidup-hidup."Ud
Sampai di area parkir, barulah Juna melepaskan Airish dengan gerakan yang terbilang kasar—sehingga gadis itu lagi-lagi meringis seraya memegangi lengan."Kamu kenapa, ‘sih? Kasar banget," ucap Airish tidak terima."Aku kenapa?" Juna melotot tajam, merasa perlakuannya terhadap Airish sangatlah wajar. "Kamu yang kenapa?!" hardiknya. Airish tersentak karena kaget dibentak oleh Juna."Kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan barusan?" Juna mengajukan pertanyaan retoris, dan gadis manis di hadapannya itu menganggukkan kepala."Ada yang salah?"Lantas Juna menengadahkan kepala, menatap langit di siang hari yang mulai mendung, karena ini merupakan musim hujan di penghujung tahun. "Masih aja nanya," ucapnya sambil terkekeh gusar.Airish mencoba santai. Menyandarkan tubuh pada sisi mobil yang terparkir di samping kanannya. "Aku nggak merasa ada yang salah. Kalaupun ada, mungkin kamu bisa menjelaskannya pelan-pelan.""Kesalahanmu itu jelas, Rish!" Juna mengingatkan, "Kamu bohong di depan Nayla d
"Antar aku ke rumah Juna sekarang." Airish baru saja masuk ke dalam mobil dan duduk di samping jok pengemudi, tepat ketika dia mengatakan kalimat itu kepada Elvian."Untuk apa?" Pria itu sudah menyalakan mesin, tapi belum menginjak pedal gas.Gadis itu menoleh, menusuk asisten pribadinya melalui tatapan yang dalam dan tajam. "Apa sekarang kamu punya tugas baru, yaitu bertanya banyak hal dan juga ikut campur urusanku?"Sontak Elvian terkekeh, "Apa pun yang menjadi urusanmu, itu adalah urusanku juga, ‘kan? Sembilan puluh lima persen masalah dalam hidupmu selalu aku yang menyelesaikannya. Anda lupa, Nona?"Hening. Hanya ada raut datar yang mencekam di balik wajah Airish, dan itu membuat Elvian bergidik ngeri karena sadar sudah salah bicara pada atasan killer-nya yang angkuh itu."Cepat bawa aku ke rumah Juna dan jangan banyak tanya, sebelum aku menyuruh seseorang memesan batu nisan atas nama Elvian Nuraga!"Siap, laksanakan!Elvian tak lagi banyak bicara. Segera menginjak pedal gas, menu
"Pacar?" tukas Diana. Bola matanya beralih memandang Juna, menunggu klarifikasi dari pemuda itu mengenai pernyataan Airish yang sulit dipercaya. "Jun, apa itu benar?"Juna sadar betul, ibunya butuh penjelasan. Namun, dia juga bingung harus menjawab apa, sehingga memutuskan untuk bungkam."Kenapa diam? Jawab Ibu, Jun! Apa benar gadis cantik ini adalah pacar baru kamu?" Diana kembali mendesak anak pertamanya agar mau mengatakan yang sejujurnya.Alih-alih menjawab, Juna malah menguliti Airish dengan tatapan elang yang membunuh.Sayangnya, itu tidak berarti apa-apa bagi Airish. Yang dilakukan gadis itu hanyalah mengulas senyuman miring seraya berkata, "Just tell the truth, Babe. Ibumu, yang mana nantinya akan menjadi ibuku juga, perlu tahu soal hubungan kita yang sebenarnya. Cepat beritahu Mommy kalau kita memang pacaran, dan jangan berdalih.""Jun?" Lagi, Diana tidak sedikit pun memberi ruang bagi Juna untuk mengabaikan tanya yang belum terjawab.Menelan ludah sejenak, lalu membalas tatap
"Ingat! Rapat jam tiga sore." Setelah turun dari mobil, Elvian kembali mengingatkan Airish tentang jadwal rapat yang telah direncanakan dari jauh-jauh hari. Dengan begitu, setidaknya meskipun Airish lupa, gadis itu tidak memiliki alasan untuk menyalahkan siapa pun karena sebelumnya sudah diingatkan."Betapa cerewetnya seorang Elvian," gumam Airish seraya memutar bola mata.Hingga setelah laki-laki itu berlalu memasuki lobi perusahaan, Arish menoleh ke samping, mengajak Juna pindah ke depan. Sementara dirinya duduk di jok pengemudi, pemuda itu duduk di sebelahnya.Mesin sudah menyala sejak tadi. Namun, Airish sama sekali belum menyentuh pedal gas. Pusat perhatiannya menjadi milik Juna untuk saat ini. Dipandanginya Juna dengan tatap penuh damba, membuat Juna lagi dan lagi merasa risih—atau mungkin jadi salah tingkah?"Ada sesuatu yang mau aku sampaikan ke kamu," ucap Airish."Apa?"Airish tersenyum tipis. Kemudian, tanpa aba-aba, dia langsung memeluk erat lengan Juna, menyandarkan dagu d
Airish terpaku. Menyambut tatapan mata Juna yang menyimpan banyak sekali tanda tanya. Membuatnya hampir lupa bagaimana cara bernapas. Kemudian, dia melengos, memutus kontak mata dengan pemuda yang belum genap tujuh hari menjadi sugar baby-nya."Jun, tolong ... tatapannya biasa aja," pinta gadis itu yang memilih untuk memandang pot bunga demi menghindari tatapan intens Juna."Kenapa?" Juna meletakkan kedua siku tangan di atas meja, menopang dagu, lalu menambahkan, "Grogi?"Sontak Airish mengernyitkan dahi, terbelalak memandang Juna. "Grogi?" tukasnya. "Mana mungkin aku grogi di depan anak yang masih bau kencur kayak kamu?!" bantahnya."Enggak perlu capek-capek menyangkal. Aku bisa memaklumi kalaupun memang iya," kata pria itu dengan penuh percaya diri.Airish terkekeh sinis, mencoba bersikap tenang dan elegan seperti biasanya. "Ehm! Cepat habiskan makananmu. Sebentar lagi aku mau rapat," ujarnya mengalihkan topik.***High heels tinggi dan mewah tampak mengetuk lantai, menciptakan bunyi
Hari ini Airish mendatangi rumah Alan untuk meminta tanda tangan pria itu di surat cerai. Ia tidak hanya sendirian, melainkan diantar oleh Juna. Meskipun Airish mengatakan dia bisa pergi sendiri dan menyelesaikan masalahnya dengan Alan secara empat mata, tetapi Juna bersikukuh ingin ikut.“Memangnya kamu tahu apa yang akan Alan lakukan kalau enggak ada aku? Gimana kalau nanti dia berani meluk-meluk atau nyium kamu kayak waktu itu? Kalau ada aku, nanti aku bisa ngehajar muka dia sampe bonyok. Biar kapok!” ucap Juna ketika Airish bicara bahwa dirinya tidak perlu diantar.Dan di sinilah mereka sekarang. Berdiri di depan pintu rumah Alan sambil menekan tombol bel beberapa kali. Menunggu sang empunya rumah membukakan pintu untuk mereka.CKLEK!Pintu terbuka. Menampilkan sosok Alan yang memandang sinis kedatangan Airish bersama Juna. Alan terlihat tidak suka dengan kehadiran Juna di samping Airish—yang selama ini selalu ia panggil dengan nama Reina.“Aku mau minta tanda tangan kamu. Kita re
“Sebenarnya ada apa, sih, Jun? Tumben banget kamu ngajakin kita kumpul kayak gini?” tanya Demian dengan ekspresi penasaran.Juna tersenyum simpul membalas pertanyaan ayah mertuanya tersebut. Ia menyapukan bola mata ke sekeliling, melihat bagaimana orang-orang itu tampak tidak sabar mendengar jawaban dari mulutnya.Selain Demian dan Juna di ruang makan, di sini juga sudah ada Elena, Diana, Kiran dan tentunya Shandy. Juna sengaja mengumpulkan mereka untuk memberi kejutan bahwa Airish sudah kembali, dan artis pendatang baru bernama Reina itu aslinya memang benar-benar Airish.“Aku punya satu kejutan buat kita semua,” ucap Juna dengan ekspresi misterius.“Kejutan apa, sih, Bang? Alay banget, deh. Langsung aja ke intinya napa,” cibir Aisyah, adik perempuan Juna yang telah beranjak dewasa.Juna menyuruh orang-orang itu menutup mata dan jangan mengintip. Meskipun penasraan, tapi mereka berusaha sabar. Mengikuti permintaan Juna untuk menutup mata menggunakan kedua telapak tangan.“Tunggu samp
Sebagai orang yang sudah sama-sama dewasa, Juna dan Airish memutuskan untuk membahas masalah mereka baik-baik dan dengan kepala dingin. Tidak lupa mengajak Kinan juga, karena perempuan itu juga terseret dalam masalah ini.Mereka telah berkumpul di ruang tengah. Juna, Airish dan Kinan. Sementara Shandy masuk ke kamarnya—tidak diperbolehkan oleh Juna untuk ikut campur permasalahan orang dewasa.“Karena Airish sudah terlanjur tahu, maka aku akan menyelesaikan semuanya sekarang.” Juna angkat bicara. Memandang dua wanita di sofa yang berseberangan dengannya.“Sebenarnya aku sama Kinan memang sudah lamaran, Rish,” ungkap pria itu apa adanya. “Itu jauh sebelum aku menemukan kamu kembali.”Airish mengerling, menahan sesak di dada karena kenyataan itu terlalu pahit baginya.“Tapi aku juga bilang sama Kinan, kalau aku enggak bisa meninggalkan kamu. Aku enggak bisa memilih satu di antara kalian.” Lagi, mulut Juna terbuka untuk mengatakan, “Memang aku sangat serakah dan egois, aku tahu. Tapi inil
Alan baru saja sampai di gerbang sekolah. Melihat beberapa orang yang berkerumun di depan sana, membuatnya bingung dan mengernyitkan alis. Kebanyakan dari mereka saling membawa kamera, tetapi ada juga yang membawa recorder. Ada yang memegang mic juga.Lalu seorang satpam yang sejak tadi menghalangi orang-orang itu agar tidak masuk ke gerbang sekolah, kini menatap ke arah mobil Alan dengan pandangan meminta bantuan. Alan membuka pintu mobil, keluar dari dalamnya lalu menghampiri karamaian.“Itu Pak Alan!” seru salah seorang wartawan.Lantas saja orang-orang itu berlari mendekati Alan. Mereka bercepat-cepat menyodorkan mic di depan wajah Alan. Sorotan kamera langsung mengarah padanya, bahkan ada beberapa yang mengabadikan fotonya. Mereka semua melontarkan kalimat tanya secara bersamaan, bertubi-tubi. Sangat ribut dan berisik. Alan bahkan sampai bingung harus menjawab yang mana dulu.“Pak Alan, apakah benar Anda akan segera bercerai dengan Reina?”“Kapan kalian resmi bercerai?”“Apa yang
Tapi laki-laki itu malah kembali memeluk Airish. “Aku tahu. Bukankah nggak ada salahnya kalau aku meluk kamu sebelum kita benar-benar resmi cerai?” tanyanya, yang membuat Airish memilih untuk menutup mulut. Apa yang Alan katakan memang benar. Mereka masih sah suami istri.“Shandy Basupati itu murid kamu, kan?” Airish membahas topik lain. Ia hanya malas saja jika teus-terusan membahas tentang hubungannya dengan Alan.Alan mengangguk, dan Airish bisa merasakan, karena sekarang Alan sudah meletakkan dagu di bahunya.”Dia anakmu?” tanya Alan. Meskipun sudah tahu bahwa jawabannya memang benar, namun Alan hanya ingin memastikannya saja.Lalu Airish tersenyum samar. “Iya,” sahutnya tanpa menyangkal. “Malam ini kamu tidur di kamar sebelah, ya? Aku enggak mau tidur berdua sama kamu,” tambahnya. Rasanya sangat risih jika harus tidur di samping pria yang bukan Juna.Alan menghela napas. “Baiklah.” Lebih baik ia mengalah daripada harus melihat Airish pergi.***Senyuman di bibirnya tertoreh setel
“Lalu siapa wanita yang akan kamu pilih di antara mereka?”Juna masih belum lepas memandang gitar di pangkuannya. Sesekali memetik senar dengan asal. “Dua-duanya,” sahutnya, membalas ucapan Kiki.Jawaban Juna membuat Kiki berdecih sinis. Tangannya terulur mengambil poci di atas meja, lalu menuang air putih ke dalam gelss. “Gimana bisa kamu milih dua-duanya? Lebih baik pilih salah satu dari mereka. Jangan sampai kamu nyakitin dua-duanya.” Itu hanya saran saja dari Kiki. Tapi semuanya kembali ke diri Juna sendiri.Juna mendengkus, menurunkan gitar dari pangkuan dan meletakkannya di samping meja. “Aku nggak tahu harus milih yang mana.” Kali ini ia menatap Kiki. Bingung.“Sebenarnya siapa yang kamu sayang?” tanya pria yang bekerja di kedainya tersebut, setelah meneguk setengah gelas air putih.Untuk membalas pertanyaan itu, Juna sama sekali tidak ragu untuk mengatakan, “Aku sayang sama Kinan.” Ia merasa sangat yakin atas jawabannya.“Kalau begitu, silakan ceraikan Airish. Kasihan dia kala
Alan mulai merenggangkan pelukan. Hingga akhirnya, ia benar-benar membebaskan Airish dari pelukan yang menjeratnya dengan cukup erat. Ia melangkah mundur, terlihat menjauhi kamar tersebut.Sambil mengusap air mata menggunakan punggung tangan, Alan berkata kepada Airish. “Kalau begitu, silahkan pergi! Aku nggak akan melarang kamu untuk meninggalkanku. Jika memang ini akhir dari semua yang telah kita lewati bersama, maka biarkan aku mengakhiri hidupku juga. Kamu boleh meninggalkan aku, dan aku akan meninggalkan duniaku. Karena bagiku … dunia ini sudah berakhir saat kamu memutuskan untuk nggak lagi berada di sisiku.”“Alan, apa yang mau kamu lakukan?” Airish mulai panik. Perasaannya tidak tenang ketika mendengar ucapan terakhir Alan.Alan menghentikan langkah di dekat balkon kamar. Kepalanya menunduk. Membiarkan air mata terus mengalir, lalu ia mulai menaiki balkon. Mungkin yang ada di pikirannya saat ini adalah; semuanya akan selesai setelah ia mati.“Jangan pedulikan aku lagi. Sekarang
Airish bermain-main dengan Shandy setelah mengganti pakaian yang basah kuyup akibat terguyur hujan tadi—saat ia berjalan menuju rumah ini tanpa payung ataupun mantel.Mereka menciptakan beberapa obrolan menarik untuk dibahas. Mulai dari kegiatan Shandy sehari-hari, hal apa yang disukai dan dibenci Shandy, makanan favorit Shandy, dan tak terkecuali cerita Shandy selama bersekolah.Dari cara penyampaian Shandy, Airish bisa menyimpulkan kalau buah hatinya itu memang merupakan anak yang sangat pintar.Bola mata Airish merangkak ke arah tembok tatkala Shandy memintanya untuk melihat sebuah kertas yang menempel di tembok. Anak itu berkata bahwa ia telah membuatkan puisi untuk ayahnya—yang tak lain adalah Juna. Dan ia juga mengatakan bahwa Juna menangis setelah membaca puisi buatannya.Airish merasa tidak asing lagi saat membaca puisi yang berjudul ‘Untukmu Ayah’ tersebut. Lalu sepenggal ingatan melintas di otaknya, membawanya pergi menghampiri percakapan singkat antara dirinya dengan Alan.
Airish membuka lebar kedua matanya. Sudah tidak lagi membungkam telinga. Napasnya tersengal. Ia merasa kalau pipinya dibasahi oleh cairan yang keluar dari pelupuk mata. Sambil menahan isakan, Airish memeluk lututnya dengan sekelumit perasaan yang bercampur aduk.“Juna .…” Lirihan itu terlontar dari bibir Airish. Memaksanya untuk merasakan kesesakan yang lebih dalam.Kenangan yang pernah hilang dan terlupakan kini sudah terkumpul kembali di dalam memori. Membuatnya mengingat sekumpulan masa lalu termanis selama mengenal Juna.Betapa bodohnya dia karena sudah melupakan keping-keping kenangan itu bertahun-tahun lamanya. Membuatnya terpenjara dalam sebuah kedustaan dari laki-laki yang mengaku sebagai orang terdekat di hidupnya.“Alan … kamu benar-benar jahat!” Airish memperlihatkan ekspresi benci saat membayangkan wajah Alan—sosok pria yang selama ini telah membohonginya dan menutupi kebenaran darinya.***Ketiga orang ini terlihat sedang bahagia dengan gelak tawa yang keluar dari mulutny