"Antar aku ke rumah Juna sekarang." Airish baru saja masuk ke dalam mobil dan duduk di samping jok pengemudi, tepat ketika dia mengatakan kalimat itu kepada Elvian."Untuk apa?" Pria itu sudah menyalakan mesin, tapi belum menginjak pedal gas.Gadis itu menoleh, menusuk asisten pribadinya melalui tatapan yang dalam dan tajam. "Apa sekarang kamu punya tugas baru, yaitu bertanya banyak hal dan juga ikut campur urusanku?"Sontak Elvian terkekeh, "Apa pun yang menjadi urusanmu, itu adalah urusanku juga, ‘kan? Sembilan puluh lima persen masalah dalam hidupmu selalu aku yang menyelesaikannya. Anda lupa, Nona?"Hening. Hanya ada raut datar yang mencekam di balik wajah Airish, dan itu membuat Elvian bergidik ngeri karena sadar sudah salah bicara pada atasan killer-nya yang angkuh itu."Cepat bawa aku ke rumah Juna dan jangan banyak tanya, sebelum aku menyuruh seseorang memesan batu nisan atas nama Elvian Nuraga!"Siap, laksanakan!Elvian tak lagi banyak bicara. Segera menginjak pedal gas, menu
"Pacar?" tukas Diana. Bola matanya beralih memandang Juna, menunggu klarifikasi dari pemuda itu mengenai pernyataan Airish yang sulit dipercaya. "Jun, apa itu benar?"Juna sadar betul, ibunya butuh penjelasan. Namun, dia juga bingung harus menjawab apa, sehingga memutuskan untuk bungkam."Kenapa diam? Jawab Ibu, Jun! Apa benar gadis cantik ini adalah pacar baru kamu?" Diana kembali mendesak anak pertamanya agar mau mengatakan yang sejujurnya.Alih-alih menjawab, Juna malah menguliti Airish dengan tatapan elang yang membunuh.Sayangnya, itu tidak berarti apa-apa bagi Airish. Yang dilakukan gadis itu hanyalah mengulas senyuman miring seraya berkata, "Just tell the truth, Babe. Ibumu, yang mana nantinya akan menjadi ibuku juga, perlu tahu soal hubungan kita yang sebenarnya. Cepat beritahu Mommy kalau kita memang pacaran, dan jangan berdalih.""Jun?" Lagi, Diana tidak sedikit pun memberi ruang bagi Juna untuk mengabaikan tanya yang belum terjawab.Menelan ludah sejenak, lalu membalas tatap
"Ingat! Rapat jam tiga sore." Setelah turun dari mobil, Elvian kembali mengingatkan Airish tentang jadwal rapat yang telah direncanakan dari jauh-jauh hari. Dengan begitu, setidaknya meskipun Airish lupa, gadis itu tidak memiliki alasan untuk menyalahkan siapa pun karena sebelumnya sudah diingatkan."Betapa cerewetnya seorang Elvian," gumam Airish seraya memutar bola mata.Hingga setelah laki-laki itu berlalu memasuki lobi perusahaan, Arish menoleh ke samping, mengajak Juna pindah ke depan. Sementara dirinya duduk di jok pengemudi, pemuda itu duduk di sebelahnya.Mesin sudah menyala sejak tadi. Namun, Airish sama sekali belum menyentuh pedal gas. Pusat perhatiannya menjadi milik Juna untuk saat ini. Dipandanginya Juna dengan tatap penuh damba, membuat Juna lagi dan lagi merasa risih—atau mungkin jadi salah tingkah?"Ada sesuatu yang mau aku sampaikan ke kamu," ucap Airish."Apa?"Airish tersenyum tipis. Kemudian, tanpa aba-aba, dia langsung memeluk erat lengan Juna, menyandarkan dagu d
Airish terpaku. Menyambut tatapan mata Juna yang menyimpan banyak sekali tanda tanya. Membuatnya hampir lupa bagaimana cara bernapas. Kemudian, dia melengos, memutus kontak mata dengan pemuda yang belum genap tujuh hari menjadi sugar baby-nya."Jun, tolong ... tatapannya biasa aja," pinta gadis itu yang memilih untuk memandang pot bunga demi menghindari tatapan intens Juna."Kenapa?" Juna meletakkan kedua siku tangan di atas meja, menopang dagu, lalu menambahkan, "Grogi?"Sontak Airish mengernyitkan dahi, terbelalak memandang Juna. "Grogi?" tukasnya. "Mana mungkin aku grogi di depan anak yang masih bau kencur kayak kamu?!" bantahnya."Enggak perlu capek-capek menyangkal. Aku bisa memaklumi kalaupun memang iya," kata pria itu dengan penuh percaya diri.Airish terkekeh sinis, mencoba bersikap tenang dan elegan seperti biasanya. "Ehm! Cepat habiskan makananmu. Sebentar lagi aku mau rapat," ujarnya mengalihkan topik.***High heels tinggi dan mewah tampak mengetuk lantai, menciptakan bunyi
"Jadi, usia kamu lima tahun lebih muda daripada Airish?" Elena manggut-manggut paham seraya memandang Juna yang duduk di samping Airish—tepatnya di atas sofa yang berseberangan dengan dirinya.Juna mengangguk. "Iya. Usia saya sekarang baru sembilan belas tahun," beritahunya."Masih sangat muda," ucap Elena sambil terkekeh geli. "Tapi saya senang, Airish bisa menyesuaikan diri dengan baik dan enggak pernah pilih-pilih dalam berteman.""Mama," ujar Airish, "Juna bukan temanku."Pernyataan Airish terdengar ambigu dan membuat Elena kikuk. Kalau memang bukan teman, kenapa mereka bisa datang bersama ke rumah ini? "Lalu?" tanyanya heran."Dia ..."–Airish melirik ke samping, mendapati pemuda itu menatapnya dengan sangat tajam dan mengerikan–"dia pacarku."Sontak Elena melotot. Begitu pun dengan Juna yang merasa kesal karena Airish terlalu mudah melabelinya sebagai pacar."Pacar?!" Kedua alis Elena berjengit naik. "Bercanda kamu, Rish!" Dia masih berusaha mengubur keterkejutannya dengan kekeha
Brugh!Airish menutup pintu mobil dengan kasar. Berbicara dengan ibunya setelah sekian lama tidak bertemu—dikarenakan Elena harus mengurus cabang perusahaan di Sidoarjo—ternyata malah membuat Airish kesal, alih-alih merasa bahagia karena bisa melepas rindu.Tanpa diperintah, gadis itu meneteskan air mata kekecewaan atas sikap Elena yang egois dan selalu ingin segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendaknya.Juna melihat itu dan sebetulnya ingin sekali menenangkan Airish. Namun, dia memilih diam karena menurutnya tidak ada hak apa pun bagi dirinya untuk ikut campur."Jun?" Airish menoleh ke samping, membuat pemuda itu ikut menoleh ke arahnya."Ya?""Kenapa kamu diam aja, sih?"Juna mengernyit, "Maksud kamu?""Aku lagi nangis, loh." Kalimat ambigu yang Airish lontarkan membuat Juna bingung."Terus?" Dan Juna sama sekali tidak terlihat peduli."Enggak ada niat untuk menghibur atau semacamnya, gitu?"Menghela napas sejenak, lalu Juna menjawab, "Maaf, tapi aku bukan badut ataupun pelawak
"Ehm, sebenarnya ... kebetulan yang punya perusahaan adalah ayahnya Airish," jawab Juna yang terpaksa harus berbohong. Pemuda itu tidak ingin Diana mengetahui bahwa sebenarnya dia dan Airish sudah bekerja sama.Sebenarnya Diana kurang yakin dengan jawaban Juna, tetapi mengingat penampilan Airish yang kelihatan sekali bukan berasal dari kalangan orang biasa, rasa curiganya sedikit memudar.Mereka melanjutkan makan malam dan melupakan apa yang menjadi pertanyaan Diana. Hal itu membuat Juna akhirnya bisa bernapas dengan lega.Tok, tok, tok!Di tengah obrolan, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Juna mengambil kesempatan itu untuk menghindari suasana canggung. Pemuda itu segera pergi ke luar untuk melihat siapa yang datang.Setibanya di depan pintu, Juna terkejut mendapati sosok Nayla sedang berdiri sambil tersenyum menatap ke arahnya. Gadis itu tersenyum lugu, seakan melupakan bahwa dirinya pernah menyakiti Juna dengan luka yang sangat dalam."Mau apa lagi kamu, Nay?" tanya Juna dengan na
"Kenapa?" tanya Airish yang sama sekali tidak menoleh ke arah pria di belakangnya. "Maaf, aku enggak tahu kalau dia datang ke rumah kamu," ucapnya mencoba menutupi rasa kesal yang bergemuruh di dada."Aku bahkan nggak tahu kalau dia mau datang ke rumah," ucap Juna mencoba memberi penjelasan. "Dan soal pelukan itu ... tiba-tiba dia sendiri yang meluk aku."Airish berdecih. "Tapi kamu juga senang, 'kan, dipeluk sama mantan kesayanganmu itu?" tuduhnya.Juna menggeleng dengan cepat. "Aku sama sekali udah enggak menyimpan rasa untuk Nayla. Justru sikap Nayla barusan malah bikin aku ilfeel," bebernya tanpa ada yang ditutup-tutupi.Sontak jawaban Juna membuat Airish terkekeh sinis. "Akui saja kalau kamu memang masih menyimpan nama dia di hati kamu. Eggak apa-apa, 'kok. Aku bisa menerimanya. Toh, seperti yang kamu bilang, bahwa hubungan kita hanya sebatas pacar kontrak yang bisa berakhir kapan saja."Dengan cepat Juna menggeleng. Entah kenapa dia merasa perlu menjelaskan semuanya kepada Airis
Hari ini Airish mendatangi rumah Alan untuk meminta tanda tangan pria itu di surat cerai. Ia tidak hanya sendirian, melainkan diantar oleh Juna. Meskipun Airish mengatakan dia bisa pergi sendiri dan menyelesaikan masalahnya dengan Alan secara empat mata, tetapi Juna bersikukuh ingin ikut.“Memangnya kamu tahu apa yang akan Alan lakukan kalau enggak ada aku? Gimana kalau nanti dia berani meluk-meluk atau nyium kamu kayak waktu itu? Kalau ada aku, nanti aku bisa ngehajar muka dia sampe bonyok. Biar kapok!” ucap Juna ketika Airish bicara bahwa dirinya tidak perlu diantar.Dan di sinilah mereka sekarang. Berdiri di depan pintu rumah Alan sambil menekan tombol bel beberapa kali. Menunggu sang empunya rumah membukakan pintu untuk mereka.CKLEK!Pintu terbuka. Menampilkan sosok Alan yang memandang sinis kedatangan Airish bersama Juna. Alan terlihat tidak suka dengan kehadiran Juna di samping Airish—yang selama ini selalu ia panggil dengan nama Reina.“Aku mau minta tanda tangan kamu. Kita re
“Sebenarnya ada apa, sih, Jun? Tumben banget kamu ngajakin kita kumpul kayak gini?” tanya Demian dengan ekspresi penasaran.Juna tersenyum simpul membalas pertanyaan ayah mertuanya tersebut. Ia menyapukan bola mata ke sekeliling, melihat bagaimana orang-orang itu tampak tidak sabar mendengar jawaban dari mulutnya.Selain Demian dan Juna di ruang makan, di sini juga sudah ada Elena, Diana, Kiran dan tentunya Shandy. Juna sengaja mengumpulkan mereka untuk memberi kejutan bahwa Airish sudah kembali, dan artis pendatang baru bernama Reina itu aslinya memang benar-benar Airish.“Aku punya satu kejutan buat kita semua,” ucap Juna dengan ekspresi misterius.“Kejutan apa, sih, Bang? Alay banget, deh. Langsung aja ke intinya napa,” cibir Aisyah, adik perempuan Juna yang telah beranjak dewasa.Juna menyuruh orang-orang itu menutup mata dan jangan mengintip. Meskipun penasraan, tapi mereka berusaha sabar. Mengikuti permintaan Juna untuk menutup mata menggunakan kedua telapak tangan.“Tunggu samp
Sebagai orang yang sudah sama-sama dewasa, Juna dan Airish memutuskan untuk membahas masalah mereka baik-baik dan dengan kepala dingin. Tidak lupa mengajak Kinan juga, karena perempuan itu juga terseret dalam masalah ini.Mereka telah berkumpul di ruang tengah. Juna, Airish dan Kinan. Sementara Shandy masuk ke kamarnya—tidak diperbolehkan oleh Juna untuk ikut campur permasalahan orang dewasa.“Karena Airish sudah terlanjur tahu, maka aku akan menyelesaikan semuanya sekarang.” Juna angkat bicara. Memandang dua wanita di sofa yang berseberangan dengannya.“Sebenarnya aku sama Kinan memang sudah lamaran, Rish,” ungkap pria itu apa adanya. “Itu jauh sebelum aku menemukan kamu kembali.”Airish mengerling, menahan sesak di dada karena kenyataan itu terlalu pahit baginya.“Tapi aku juga bilang sama Kinan, kalau aku enggak bisa meninggalkan kamu. Aku enggak bisa memilih satu di antara kalian.” Lagi, mulut Juna terbuka untuk mengatakan, “Memang aku sangat serakah dan egois, aku tahu. Tapi inil
Alan baru saja sampai di gerbang sekolah. Melihat beberapa orang yang berkerumun di depan sana, membuatnya bingung dan mengernyitkan alis. Kebanyakan dari mereka saling membawa kamera, tetapi ada juga yang membawa recorder. Ada yang memegang mic juga.Lalu seorang satpam yang sejak tadi menghalangi orang-orang itu agar tidak masuk ke gerbang sekolah, kini menatap ke arah mobil Alan dengan pandangan meminta bantuan. Alan membuka pintu mobil, keluar dari dalamnya lalu menghampiri karamaian.“Itu Pak Alan!” seru salah seorang wartawan.Lantas saja orang-orang itu berlari mendekati Alan. Mereka bercepat-cepat menyodorkan mic di depan wajah Alan. Sorotan kamera langsung mengarah padanya, bahkan ada beberapa yang mengabadikan fotonya. Mereka semua melontarkan kalimat tanya secara bersamaan, bertubi-tubi. Sangat ribut dan berisik. Alan bahkan sampai bingung harus menjawab yang mana dulu.“Pak Alan, apakah benar Anda akan segera bercerai dengan Reina?”“Kapan kalian resmi bercerai?”“Apa yang
Tapi laki-laki itu malah kembali memeluk Airish. “Aku tahu. Bukankah nggak ada salahnya kalau aku meluk kamu sebelum kita benar-benar resmi cerai?” tanyanya, yang membuat Airish memilih untuk menutup mulut. Apa yang Alan katakan memang benar. Mereka masih sah suami istri.“Shandy Basupati itu murid kamu, kan?” Airish membahas topik lain. Ia hanya malas saja jika teus-terusan membahas tentang hubungannya dengan Alan.Alan mengangguk, dan Airish bisa merasakan, karena sekarang Alan sudah meletakkan dagu di bahunya.”Dia anakmu?” tanya Alan. Meskipun sudah tahu bahwa jawabannya memang benar, namun Alan hanya ingin memastikannya saja.Lalu Airish tersenyum samar. “Iya,” sahutnya tanpa menyangkal. “Malam ini kamu tidur di kamar sebelah, ya? Aku enggak mau tidur berdua sama kamu,” tambahnya. Rasanya sangat risih jika harus tidur di samping pria yang bukan Juna.Alan menghela napas. “Baiklah.” Lebih baik ia mengalah daripada harus melihat Airish pergi.***Senyuman di bibirnya tertoreh setel
“Lalu siapa wanita yang akan kamu pilih di antara mereka?”Juna masih belum lepas memandang gitar di pangkuannya. Sesekali memetik senar dengan asal. “Dua-duanya,” sahutnya, membalas ucapan Kiki.Jawaban Juna membuat Kiki berdecih sinis. Tangannya terulur mengambil poci di atas meja, lalu menuang air putih ke dalam gelss. “Gimana bisa kamu milih dua-duanya? Lebih baik pilih salah satu dari mereka. Jangan sampai kamu nyakitin dua-duanya.” Itu hanya saran saja dari Kiki. Tapi semuanya kembali ke diri Juna sendiri.Juna mendengkus, menurunkan gitar dari pangkuan dan meletakkannya di samping meja. “Aku nggak tahu harus milih yang mana.” Kali ini ia menatap Kiki. Bingung.“Sebenarnya siapa yang kamu sayang?” tanya pria yang bekerja di kedainya tersebut, setelah meneguk setengah gelas air putih.Untuk membalas pertanyaan itu, Juna sama sekali tidak ragu untuk mengatakan, “Aku sayang sama Kinan.” Ia merasa sangat yakin atas jawabannya.“Kalau begitu, silakan ceraikan Airish. Kasihan dia kala
Alan mulai merenggangkan pelukan. Hingga akhirnya, ia benar-benar membebaskan Airish dari pelukan yang menjeratnya dengan cukup erat. Ia melangkah mundur, terlihat menjauhi kamar tersebut.Sambil mengusap air mata menggunakan punggung tangan, Alan berkata kepada Airish. “Kalau begitu, silahkan pergi! Aku nggak akan melarang kamu untuk meninggalkanku. Jika memang ini akhir dari semua yang telah kita lewati bersama, maka biarkan aku mengakhiri hidupku juga. Kamu boleh meninggalkan aku, dan aku akan meninggalkan duniaku. Karena bagiku … dunia ini sudah berakhir saat kamu memutuskan untuk nggak lagi berada di sisiku.”“Alan, apa yang mau kamu lakukan?” Airish mulai panik. Perasaannya tidak tenang ketika mendengar ucapan terakhir Alan.Alan menghentikan langkah di dekat balkon kamar. Kepalanya menunduk. Membiarkan air mata terus mengalir, lalu ia mulai menaiki balkon. Mungkin yang ada di pikirannya saat ini adalah; semuanya akan selesai setelah ia mati.“Jangan pedulikan aku lagi. Sekarang
Airish bermain-main dengan Shandy setelah mengganti pakaian yang basah kuyup akibat terguyur hujan tadi—saat ia berjalan menuju rumah ini tanpa payung ataupun mantel.Mereka menciptakan beberapa obrolan menarik untuk dibahas. Mulai dari kegiatan Shandy sehari-hari, hal apa yang disukai dan dibenci Shandy, makanan favorit Shandy, dan tak terkecuali cerita Shandy selama bersekolah.Dari cara penyampaian Shandy, Airish bisa menyimpulkan kalau buah hatinya itu memang merupakan anak yang sangat pintar.Bola mata Airish merangkak ke arah tembok tatkala Shandy memintanya untuk melihat sebuah kertas yang menempel di tembok. Anak itu berkata bahwa ia telah membuatkan puisi untuk ayahnya—yang tak lain adalah Juna. Dan ia juga mengatakan bahwa Juna menangis setelah membaca puisi buatannya.Airish merasa tidak asing lagi saat membaca puisi yang berjudul ‘Untukmu Ayah’ tersebut. Lalu sepenggal ingatan melintas di otaknya, membawanya pergi menghampiri percakapan singkat antara dirinya dengan Alan.
Airish membuka lebar kedua matanya. Sudah tidak lagi membungkam telinga. Napasnya tersengal. Ia merasa kalau pipinya dibasahi oleh cairan yang keluar dari pelupuk mata. Sambil menahan isakan, Airish memeluk lututnya dengan sekelumit perasaan yang bercampur aduk.“Juna .…” Lirihan itu terlontar dari bibir Airish. Memaksanya untuk merasakan kesesakan yang lebih dalam.Kenangan yang pernah hilang dan terlupakan kini sudah terkumpul kembali di dalam memori. Membuatnya mengingat sekumpulan masa lalu termanis selama mengenal Juna.Betapa bodohnya dia karena sudah melupakan keping-keping kenangan itu bertahun-tahun lamanya. Membuatnya terpenjara dalam sebuah kedustaan dari laki-laki yang mengaku sebagai orang terdekat di hidupnya.“Alan … kamu benar-benar jahat!” Airish memperlihatkan ekspresi benci saat membayangkan wajah Alan—sosok pria yang selama ini telah membohonginya dan menutupi kebenaran darinya.***Ketiga orang ini terlihat sedang bahagia dengan gelak tawa yang keluar dari mulutny