"Bang, kira-kira kapan ya Abang bisa kerja, terus dapet gaji kayak tetehnya Vanya?" tanya gadis berusia dua belas tahun yang merupakan adik kandung Juna. Namanya Aisyah. "Emangnya Abang enggak bosen gitu nganggur terus?"
Juna tidak punya waktu untuk menghela napas ataupun berdecak lidah, sebab dia sedang sibuk menikmati mie instan kuah kari kesukaannya.
"Setiap gajian cair, tetehnya Vanya selalu beli makanan enak buat keluarganya, kadang ngasih hadiah tas atau sepatu baru buat Vanya. Bahkan apa yang tetehnya Vanya mau, bisa dia beli tanpa harus ngeliat label harga dulu."
Aisyah merosotkan bahu membayangkan betapa enaknya jadi Vanya, yaitu teman sekelasnya di sekolah. "Emangnya Abang nggak mau kayak tetehnya Vanya?" Dia kembali bertanya kepada kakak laki-laki di hadapannya.
Juna meneguk air putih, lalu meletakkan kembali gelas ke atas meja. "Semua orang di dunia ini tuh nggak ada yang mau jadi pengangguran, Ais. Tapi kalau udah usaha masih belum juga dapet pekerjaan, ya mau gimana lagi coba? Apa Abang harus lari-lari ke Istana Presiden buat teriak minta dikasih kerjaan sama Bapak Presiden?" sindirnya.
Aisyah mengembungkan pipi dengan mata mengerjap pelan. Raut kecewa tampak menghiasi pipi chubby-nya.
"Daripada Ais gangguin Abang terus yang lagi enak-enak makan, mending bantuin Ibu ngelipetin baju sana!" usir Juna secara halus.
"Nggak mau, ah. Ais mau main bareng Sela sama Mona." Tanpa menunggu respons sang kakak, Aisyah langsung bangkit dari kursi kayu dan pergi meninggalkan rumah kecil yang mereka huni.
"HEH, BOCAH INGUSAN!" pekik Juna sambil mengulurkan jari telunjuk. "MAU PERGI KE MANA LO, BOCIL?!" omelnya yang sudah kepalang kesal. Akan tetapi, Aisyah sudah terlanjur berlari dan tak terlihat lagi batang hidungnya.
Juna geleng-geleng kepala seraya menghela napas kasar. "Disuruh bantuin Ibu malah ngeluyur!" gerutunya.
Tok, tok, tok!
"Permisi!"
Juna yang baru selesai menyantap mie instan buatannya langsung menoleh ke ambang pintu, memasang raut bingung saat mendapati seseorang berpakaian rapi, juga menenteng sebuah koper, sedang berdiri di ujung sana seraya menatapnya.
"Bisa kita bicara sebentar?" tanya pria yang tidak lain dan tidak bukan adalah Elvian.
"Maaf, cari siapa, ya?" tanya Juna sambil mengernyit bingung.
"Dengan Arjuna Basupati?"
Juna sontak mengerjap. "Perasaan, saya tuh enggak pernah punya urusan sama bank keliling," gumamnya.
Melihat penampilan rapi pria asing tersebut, Juna pikir dia telah didatangi oleh seorang kepala rentenir. Kembali pemuda itu mendongak menatap orang di hadapannya. "Iya, dengan saya sendiri," ujarnya.
"Ada hal penting yang ingin saya katakan kepada Anda."
"Duduk dulu, Pak." Juna melambaikan tangan. "Kalau kata orangtua mah, pamali ngobrol sambil berdiri di ambang pintu. Sini masuk dulu!" ucapnya.
Elvian mengikuti perintah Juna untuk masuk ke dalam dan duduk di sebuah kursi. Ekspresinya masih serius.
"Ada apa, ya?" tanya Juna dengan nada sopan dan ramah.
"Sebelumnya, perkenalkan namaku Elvian. Aku punya penawaran yang sangat penting dan sayang jika kamu lewatkan," Elvian bicara dengan nada misterius. "Kalau sampai kamu menolak, kesempatan belum tentu datang dua kali."
"Penawaran apa, ya?" Juna yang duduk di samping Elvian tampak penasaran.
Elvian mengambil sebuah amplop dari dalam saku jas yang dia kenakan, lalu menyodorkannya kepada Juna tanpa banyak basa-basi. "Silakan buka dan lihat sendiri!" perintahnya.
Di tengah kebingungan yang dia rasakan, Juna pun segera mengambil alih amplop tersebut untuk kemudian membuka isinya. "Ini apaan, ya?" Tatap matanya sudah kembali mengarah pada Elvian.
"Baca!" Elvian bicara pelan, tapi penuh penekanan. "Silakan pahami intinya."
Tangan Juna bergerak cepat untuk membuka lipatan kertas tersebut, lalu membaca tulisannya secara perlahan.
"Surat Perjanjian Kontrak?" Juna memasang raut tidak mengerti saat membaca judul di atas surat tersebut. Kembali menatap Elvian, "Ini maksudnya apa? Perasaan, saya nggak pernah dapet panggilan interview dari PT mana pun. Kenapa tiba-tiba turun Surat Perjanjian Kontrak kayak gini? Mohon maaf, bukan maksud mau su'udzon, tapi Bapak mau nipu saya, ya?"
Elvian merotasikan bola mata dengan malas, berusaha sabar menghadapi pemuda kampung seperti Juna yang masih sangat lugu dan polos—cenderung mengarah ke bodoh lebih tepatnya. "Hey! Bahkan kamu belum baca suratnya sampai selesai," desisnya. "Baca sampai habis lalu kamu boleh berkomentar. Mengerti?"
Juna mengangguk paham. Dia benar-benar fokus membacanya kali ini. Tidak menoleh sama sekali sebelum selesai membaca keseluruhan isi surat.
Setelah itu, barulah Juna kembali memandang Elvian. "Perjanjian kontrak buat dijadikan pacar sewa? Maksudnya gimana, ya? Saya dikontrak jadi pacar seseorang, gitu?" tanyanya yang masih belum mengerti seratus persen.
BERSAMBUNG ....
Elvian menjentikkan jari, "Tepat sekali!""Tapi pacaran sama siapa? Manusia atau setan?""Uhm—" Elvian memainkan dagu, tampak berpikir sejenak. "Sebenarnya dia manusia, hanya saja terkadang sifatnya mengalahkan iblis.""Astaghfirullahaladzim!" Juna menggelengkan kepala dengan cepat. "Saya nggak mau berurusan sama iblis. Musyrik! Pasti ini ujung-ujungnya saya disuruh nyari tumbal, kan?"Elvian terkekeh remeh, "Kamu nggak akan bisa kabur dari wanita monster itu. Dia bahkan lebih mengerikan daripada Godzilla." Bayangan sosok Airish yang sedang bicara dengan penuh percaya diri sambil memainkan kuku lentiknya, seketika berseliweran di pikiran Elvian, membuatnya meringis membayangkan ekspresi malang Juna saat berhadapan dengan perempuan diktator tersebut."Loh ... Bapak ini gimana, sih? Masa cewek monster disuruh pacaran sama saya? Enggak mau saya mah," tolak Juna sambil bergidik ngeri. "Takut!""Sebagai gantinya, kamu akan menerima kompensasi sebesar lima ratus juta rupiah setelah tanda ta
Di dalam kamar, duduk di tepian kasur, Juna memperhatikan selembar foto yang tadi ditunjukkan oleh Elvian. "Kenapa kamu sejahat ini, Nay?" Suara Juna sedikit bergetar, menandakan ada cairan yang berusaha ditahan agar tidak lolos dari pelupuk mata. Tidak dia sangka, Nayla—yang telah menjalin hubungan dengannya sejak masih duduk di bangku SMA kelas dua belas—ternyata lebih memilih pria lain dibandingkan dirinya. Menyedihkan! Juna meraih ponsel di atas nakas. Bahkan saat bukti foto itu berhasil membuat perasaannya hancur, dia masih berharap menerima panggilan masuk dari sang kekasih hati—sampai detik ini, mereka memang belum putus hubungan, ‘kan? "Ayo, Nay .... Hubungi aku!" Juna bergumam pelan, menghela napas. "Setidaknya minta maaf dan tunjukin kalau kamu merasa bersalah dengan adanya pengkhianatan ini." Namun, miris! Nayla sama sekali tidak mencari, menghubungi, apalagi merasa bersalah seperti yang Juna inginkan. Dan akhirnya, Juna mengalah. Dia menelepon Nayla karena merasa bahw
Alih-alih menjawab, Airish malah menggeram dalam diam. Tangannya mengepal, menahan kesal yang mulai merajai diri. Dia segera meraih ponsel dan kembali menghubungi Elvian. "Apa dia sudah bosan hidup?" Airish bergumam seraya menunggu jawaban dari asisten pribadinya tersebut. Akan tetapi, sepertinya Elvian benar-benar tidak punya nyali yang cukup untuk menghadapi seorang Airish Sevanya walaupun hanya melalui telepon. Karena tidak juga membuahkan hasil, Airish pun memutuskan untuk mengirim pesan kepada Elvian. [Masih nggak mau angkat telepon? Hm, kayaknya cuaca hari ini lagi bagus buat nulis nama seseorang di batu nisan!] Setelah pesannya dibaca oleh Elvian, Airish tidak perlu menunggu lebih lama lagi, karena laki-laki itu sendiri yang meneleponnya tanpa diperintah. Airish buru-buru mengangkat panggilan. "Apa sebelumnya aku pernah bilang padamu butuh pembantu baru?!" Tanpa kalimat sapaan, wanita itu langsung menyerang Elvian dengan pertanyaan yang mengerikan. 'Rish, tenang—'"Siapa
"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan sekarang, ‘kan?" Elvian bicara sambil menyodorkan sebuah kertas dan pulpen kepada Juna. Senyuman miring tersungging di bibirnya—seolah sedang merayakan kemenangan atas kekalahan Juna yang pada akhirnya tunduk juga.Menerima sodoran tersebut, Juna memasang ekspresi datar. Sama sekali tidak memperlihatkan senyuman walau hanya sekadar basa-basi.Saat ini mereka sedang berada di sebuah kafe. Sengaja memilih tempat untuk bisa bicara empat mata. Juna tidak mau ibunya tahu soal ini dan merasa iba karena anak laki-lakinya terpaksa harus mengabdikan diri kepada seorang tante kesepian yang haus berondong. Iyuh!"Ada kolom kosong di bagian bawah yang harus kamu tanda tangani," ucap Elvian mengingatkan pemuda bermata cokelat di hadapannya. "Sebelumnya, pastikan kamu sudah membacanya baik-baik."Juna mendongak, menatap serius ke arah Elvian. Ada tanya di benaknya yang ingin dia ajukan. "Di sini tertulis, bahwa kontrak kerja sama hanya akan berakhir jika pihak
"Jack, Keano, silakan pergi dari sini! Tinggalkan aku berdua dengan pacar baruku." "Baik, Nona!" Kedua manusia itu mengangguk patuh. Mereka melepaskan Juna dan segera berlalu meninggalkan ruangan sesuai perintah Airish. Kini hanya tersisa Airish dan Juna di dalam ruangan. Suasana mendadak canggung dan menyeramkan bagi Juna, tetapi tidak bagi Airish yang justru merasa sangat antusias dan tidak sabar ingin bermain dengan ‘mainan’ barunya. "Come here, Baby!" Airish tersenyum miring seraya menggerakkan telunjuk dengan genit—memberi kode agar pria itu mendekat—membuat Juna bergidik ngeri saat itu juga. Perlahan Juna melangkah maju, lalu berdiri di dekat meja di hadapan Airish. Dia memperhatikan setiap senti sosok wanita yang sudah mengontrak dirinya menjadi pacar bayaran. Mata bulat, hidung mancung, bibir tipis dengan lipstik merah muda, rambut keriting gantung yang dibiarkan terurai ke depan melewati bahu, kaki jenjang yang menyilang di balik rok span hitam, tubuh proporsional dan ..
"Gimana rasanya? Enak, ‘kan?" Juna menyantap mie kuah kari ayam sambil tersenyum evil melirik perempuan yang duduk di hadapannya. "Ini tuh makanan paling nikmat di tanggal tua. Ah, ralat! Bukan cuma di tanggal tua, tapi dimakan setiap hari juga enggak bakalan bosan, soalnya setiap hari adalah tanggal tua bagi saya dan juga keluarga. Hehehe." Diam-diam Juna memperhatikan ekspresi Airish. Berharap menemukan ketidaksukaan di balik wajah wanita itu. Namun, Airish malah terlihat menikmati mie kuah tersebut alih-alih merasa mual dan memuntahkan isinya. "Ini enak," kata perempuan itu. Juna tampak kecewa. Ini jelas di luar perkiraan. Namun, tidak hanya sampai di situ. Masih ada cara lain yang bisa Juna lakukan untuk membuat Airish ilfeel. "Ada satu ritual lagi untuk menikmati mie instan." "Ritual apa?" "Tunggu sebentar." Juna bangkit berdiri, lalu melangkah menuju dapur. Selang beberapa saat, pemuda itu sudah kembali sambil membawa semangkuk nasi di tangannya. "TARAAA!" Dia memperliha
'Pacar?'"Iya, Juna itu pacarku. Kenapa? Ada yang salah?" Airish tersenyum licik, sedangkan lawan bicaranya terdiam beberapa saat.Sampai akhirnya, panggilan terputus secara sepihak. Airish menjauhkan ponsel milik Juna dari telinganya."Cih! Pasti sekarang gadis itu cuma bisa nangis di pojokan kamar," ucap Airish seraya berdecih sinis.Selang beberapa menit, Juna kembali menghampiri Airish setelah keluar dari toilet. Dia cukup terkejut ketika melihat mie dan nasi Airish sudah habis duluan."Saya pikir kamu nggak suka." Pemuda itu berkomentar seraya melirik mangkuk di atas meja yang sudah bersih.Airish menjawab, "Apa sebelumnya aku pernah bilang kalau aku enggak suka mie instan?" Alisnya berjengit naik. "Aku suka, hanya saja enggak bagus kalau dikonsumsi terlalu sering."Juna hanya manggut-manggut, lalu melanjutkan kegiatan menyantap mie dan nasi miliknya."Tadi gadis itu menghubungimu."Perkataan Airish membuat Juna menghentikan pergerakannya. Sejenak pria itu menoleh pada Airish yang
"Nanti malam?" tanya Juna. Airish mengangguk memberi jawaban.Lantas Juna terkekeh sinis. "Kenapa bukan sekarang saja?" tantangnya. "Saya rasa, lebih cepat lebih baik.""Oh, ya ampun! Bisakah kamu berhenti menggunakan kata 'saya' untuk menyebut diri sendiri? Aku merasa seperti sedang bicara dengan tukang sedot WC," protesnya.Juna mengerjap sesaat, lalu mengangguk paham. "Oke!" balasnya. "Jadi, apa bisa kita mulai sekarang?"Ucapan Juna membuat Airish mengernyit, sama sekali tidak menyangka bahwa Juna akan menanggapi seagresif itu."Aku lebih suka tindakan langsung dibandingkan hanya berkata-kata," ucap Airish.Diam sejenak. Sampai akhirnya, pemuda tampan itu bangkit dari posisi duduknya dan melangkah mendekati Airish. Berdiri di hadapan Airish, melingkarkan jemari pada pergelangan tangan Airish, menarik Airish untuk kemudian dia dorong tubuh gadis itu hingga membentur tembok apartemen.Airish tertegun. Memperhatikan mata elang Juna yang menatapnya dalam jarak sedekat ini, terlebih lag
Hari ini Airish mendatangi rumah Alan untuk meminta tanda tangan pria itu di surat cerai. Ia tidak hanya sendirian, melainkan diantar oleh Juna. Meskipun Airish mengatakan dia bisa pergi sendiri dan menyelesaikan masalahnya dengan Alan secara empat mata, tetapi Juna bersikukuh ingin ikut.“Memangnya kamu tahu apa yang akan Alan lakukan kalau enggak ada aku? Gimana kalau nanti dia berani meluk-meluk atau nyium kamu kayak waktu itu? Kalau ada aku, nanti aku bisa ngehajar muka dia sampe bonyok. Biar kapok!” ucap Juna ketika Airish bicara bahwa dirinya tidak perlu diantar.Dan di sinilah mereka sekarang. Berdiri di depan pintu rumah Alan sambil menekan tombol bel beberapa kali. Menunggu sang empunya rumah membukakan pintu untuk mereka.CKLEK!Pintu terbuka. Menampilkan sosok Alan yang memandang sinis kedatangan Airish bersama Juna. Alan terlihat tidak suka dengan kehadiran Juna di samping Airish—yang selama ini selalu ia panggil dengan nama Reina.“Aku mau minta tanda tangan kamu. Kita re
“Sebenarnya ada apa, sih, Jun? Tumben banget kamu ngajakin kita kumpul kayak gini?” tanya Demian dengan ekspresi penasaran.Juna tersenyum simpul membalas pertanyaan ayah mertuanya tersebut. Ia menyapukan bola mata ke sekeliling, melihat bagaimana orang-orang itu tampak tidak sabar mendengar jawaban dari mulutnya.Selain Demian dan Juna di ruang makan, di sini juga sudah ada Elena, Diana, Kiran dan tentunya Shandy. Juna sengaja mengumpulkan mereka untuk memberi kejutan bahwa Airish sudah kembali, dan artis pendatang baru bernama Reina itu aslinya memang benar-benar Airish.“Aku punya satu kejutan buat kita semua,” ucap Juna dengan ekspresi misterius.“Kejutan apa, sih, Bang? Alay banget, deh. Langsung aja ke intinya napa,” cibir Aisyah, adik perempuan Juna yang telah beranjak dewasa.Juna menyuruh orang-orang itu menutup mata dan jangan mengintip. Meskipun penasraan, tapi mereka berusaha sabar. Mengikuti permintaan Juna untuk menutup mata menggunakan kedua telapak tangan.“Tunggu samp
Sebagai orang yang sudah sama-sama dewasa, Juna dan Airish memutuskan untuk membahas masalah mereka baik-baik dan dengan kepala dingin. Tidak lupa mengajak Kinan juga, karena perempuan itu juga terseret dalam masalah ini.Mereka telah berkumpul di ruang tengah. Juna, Airish dan Kinan. Sementara Shandy masuk ke kamarnya—tidak diperbolehkan oleh Juna untuk ikut campur permasalahan orang dewasa.“Karena Airish sudah terlanjur tahu, maka aku akan menyelesaikan semuanya sekarang.” Juna angkat bicara. Memandang dua wanita di sofa yang berseberangan dengannya.“Sebenarnya aku sama Kinan memang sudah lamaran, Rish,” ungkap pria itu apa adanya. “Itu jauh sebelum aku menemukan kamu kembali.”Airish mengerling, menahan sesak di dada karena kenyataan itu terlalu pahit baginya.“Tapi aku juga bilang sama Kinan, kalau aku enggak bisa meninggalkan kamu. Aku enggak bisa memilih satu di antara kalian.” Lagi, mulut Juna terbuka untuk mengatakan, “Memang aku sangat serakah dan egois, aku tahu. Tapi inil
Alan baru saja sampai di gerbang sekolah. Melihat beberapa orang yang berkerumun di depan sana, membuatnya bingung dan mengernyitkan alis. Kebanyakan dari mereka saling membawa kamera, tetapi ada juga yang membawa recorder. Ada yang memegang mic juga.Lalu seorang satpam yang sejak tadi menghalangi orang-orang itu agar tidak masuk ke gerbang sekolah, kini menatap ke arah mobil Alan dengan pandangan meminta bantuan. Alan membuka pintu mobil, keluar dari dalamnya lalu menghampiri karamaian.“Itu Pak Alan!” seru salah seorang wartawan.Lantas saja orang-orang itu berlari mendekati Alan. Mereka bercepat-cepat menyodorkan mic di depan wajah Alan. Sorotan kamera langsung mengarah padanya, bahkan ada beberapa yang mengabadikan fotonya. Mereka semua melontarkan kalimat tanya secara bersamaan, bertubi-tubi. Sangat ribut dan berisik. Alan bahkan sampai bingung harus menjawab yang mana dulu.“Pak Alan, apakah benar Anda akan segera bercerai dengan Reina?”“Kapan kalian resmi bercerai?”“Apa yang
Tapi laki-laki itu malah kembali memeluk Airish. “Aku tahu. Bukankah nggak ada salahnya kalau aku meluk kamu sebelum kita benar-benar resmi cerai?” tanyanya, yang membuat Airish memilih untuk menutup mulut. Apa yang Alan katakan memang benar. Mereka masih sah suami istri.“Shandy Basupati itu murid kamu, kan?” Airish membahas topik lain. Ia hanya malas saja jika teus-terusan membahas tentang hubungannya dengan Alan.Alan mengangguk, dan Airish bisa merasakan, karena sekarang Alan sudah meletakkan dagu di bahunya.”Dia anakmu?” tanya Alan. Meskipun sudah tahu bahwa jawabannya memang benar, namun Alan hanya ingin memastikannya saja.Lalu Airish tersenyum samar. “Iya,” sahutnya tanpa menyangkal. “Malam ini kamu tidur di kamar sebelah, ya? Aku enggak mau tidur berdua sama kamu,” tambahnya. Rasanya sangat risih jika harus tidur di samping pria yang bukan Juna.Alan menghela napas. “Baiklah.” Lebih baik ia mengalah daripada harus melihat Airish pergi.***Senyuman di bibirnya tertoreh setel
“Lalu siapa wanita yang akan kamu pilih di antara mereka?”Juna masih belum lepas memandang gitar di pangkuannya. Sesekali memetik senar dengan asal. “Dua-duanya,” sahutnya, membalas ucapan Kiki.Jawaban Juna membuat Kiki berdecih sinis. Tangannya terulur mengambil poci di atas meja, lalu menuang air putih ke dalam gelss. “Gimana bisa kamu milih dua-duanya? Lebih baik pilih salah satu dari mereka. Jangan sampai kamu nyakitin dua-duanya.” Itu hanya saran saja dari Kiki. Tapi semuanya kembali ke diri Juna sendiri.Juna mendengkus, menurunkan gitar dari pangkuan dan meletakkannya di samping meja. “Aku nggak tahu harus milih yang mana.” Kali ini ia menatap Kiki. Bingung.“Sebenarnya siapa yang kamu sayang?” tanya pria yang bekerja di kedainya tersebut, setelah meneguk setengah gelas air putih.Untuk membalas pertanyaan itu, Juna sama sekali tidak ragu untuk mengatakan, “Aku sayang sama Kinan.” Ia merasa sangat yakin atas jawabannya.“Kalau begitu, silakan ceraikan Airish. Kasihan dia kala
Alan mulai merenggangkan pelukan. Hingga akhirnya, ia benar-benar membebaskan Airish dari pelukan yang menjeratnya dengan cukup erat. Ia melangkah mundur, terlihat menjauhi kamar tersebut.Sambil mengusap air mata menggunakan punggung tangan, Alan berkata kepada Airish. “Kalau begitu, silahkan pergi! Aku nggak akan melarang kamu untuk meninggalkanku. Jika memang ini akhir dari semua yang telah kita lewati bersama, maka biarkan aku mengakhiri hidupku juga. Kamu boleh meninggalkan aku, dan aku akan meninggalkan duniaku. Karena bagiku … dunia ini sudah berakhir saat kamu memutuskan untuk nggak lagi berada di sisiku.”“Alan, apa yang mau kamu lakukan?” Airish mulai panik. Perasaannya tidak tenang ketika mendengar ucapan terakhir Alan.Alan menghentikan langkah di dekat balkon kamar. Kepalanya menunduk. Membiarkan air mata terus mengalir, lalu ia mulai menaiki balkon. Mungkin yang ada di pikirannya saat ini adalah; semuanya akan selesai setelah ia mati.“Jangan pedulikan aku lagi. Sekarang
Airish bermain-main dengan Shandy setelah mengganti pakaian yang basah kuyup akibat terguyur hujan tadi—saat ia berjalan menuju rumah ini tanpa payung ataupun mantel.Mereka menciptakan beberapa obrolan menarik untuk dibahas. Mulai dari kegiatan Shandy sehari-hari, hal apa yang disukai dan dibenci Shandy, makanan favorit Shandy, dan tak terkecuali cerita Shandy selama bersekolah.Dari cara penyampaian Shandy, Airish bisa menyimpulkan kalau buah hatinya itu memang merupakan anak yang sangat pintar.Bola mata Airish merangkak ke arah tembok tatkala Shandy memintanya untuk melihat sebuah kertas yang menempel di tembok. Anak itu berkata bahwa ia telah membuatkan puisi untuk ayahnya—yang tak lain adalah Juna. Dan ia juga mengatakan bahwa Juna menangis setelah membaca puisi buatannya.Airish merasa tidak asing lagi saat membaca puisi yang berjudul ‘Untukmu Ayah’ tersebut. Lalu sepenggal ingatan melintas di otaknya, membawanya pergi menghampiri percakapan singkat antara dirinya dengan Alan.
Airish membuka lebar kedua matanya. Sudah tidak lagi membungkam telinga. Napasnya tersengal. Ia merasa kalau pipinya dibasahi oleh cairan yang keluar dari pelupuk mata. Sambil menahan isakan, Airish memeluk lututnya dengan sekelumit perasaan yang bercampur aduk.“Juna .…” Lirihan itu terlontar dari bibir Airish. Memaksanya untuk merasakan kesesakan yang lebih dalam.Kenangan yang pernah hilang dan terlupakan kini sudah terkumpul kembali di dalam memori. Membuatnya mengingat sekumpulan masa lalu termanis selama mengenal Juna.Betapa bodohnya dia karena sudah melupakan keping-keping kenangan itu bertahun-tahun lamanya. Membuatnya terpenjara dalam sebuah kedustaan dari laki-laki yang mengaku sebagai orang terdekat di hidupnya.“Alan … kamu benar-benar jahat!” Airish memperlihatkan ekspresi benci saat membayangkan wajah Alan—sosok pria yang selama ini telah membohonginya dan menutupi kebenaran darinya.***Ketiga orang ini terlihat sedang bahagia dengan gelak tawa yang keluar dari mulutny