"Aku butuh baby boy baru."
Elvian—biasa dipanggil El—menautkan alis, melirik sejenak bos wanitanya tersebut. "Lagi?"
Perempuan bernama lengkap Airish Sevanya itu mengangguk santai. "Carikan aku pemuda di bawah dua puluh tahun." Dengan santainya ia tersenyum ke arah asisten pribadinya yang sedang mengemudikan mobil.
"Maksud kamu berondong?" Elvian terperangah.
"Yup!" Airish menjentikkan jari. "Terserah apa pun namanya, yang jelas aku butuh yang masih fresh."
"Rish, kamu bercanda, kan?"
Airish menggeleng pasti, "Nah!"
"Bagaimana dengan Jonathan dan Sakula?" tanya Elvian. Tersimpan emosi di balik nada suaranya yang tertahan. "Mereka bahkan belum genap tujuh hari menandatangani kontrak," tambahnya.
"Lalu?" Airish memainkan kuku-kukunya dengan manja. Kemarin—diantar oleh Sakula, pacar kontraknya—dia pergi ke salon untuk mengganti warna kuku yang menurutnya mulai bosan dipandang.
Respons Airish membuat Elvian kesal, seakan minta ditabok. "Jonathan dan Sakula melakukan kesalahan yang bikin kamu kesal?" tanya pria berusia dua puluh enam tahun tersebut, selisih dua tahun lebih tua dari Airish yang saat ini masih berusia dua puluh empat tahun.
"Uhm ... terdengar sedikit kejam, tapi mereka benar-benar membosankan," ungkap Airish. "Sakula bahkan lebih cocok dipanggil babu saat mengantarku ke salon kecantikan kemarin sore. Dia terlalu pasif dan sabar, ewh!"
"Kamu memang kejam, Rish!"
Airish mengibas rambutnya dengan elegan, menatap Elvian dengan mata menyipit. "Uang lima ratus juta sudah masuk ke rekening mereka. Jadi, jelas nggak ada yang dirugikan di sini. Justru mereka harusnya berterima kasih. Kalau bukan karena aku, mana mungkin mereka mendapatkan uang sebanyak itu hanya dalam waktu beberapa hari? Dan juga ... mereka cuma tikus sawah, bukan tikus berdasi!" ucapnya remeh.
Elvian mendengkus gusar. Tak ada gunanya berdebat dengan Airish, sebab perempuan itu tidak akan sudi kalah oleh siapa pun.
Di tengah kemacetan lalu lintas, Elvian mengeluarkan sebuah map dari dalam tas Prada miliknya. "Masih ada beberapa stok sugar baby yang bisa kamu pertimbangkan dulu. Lengkap dengan foto close up, full body, dan data diri mereka," jelasnya.
Airish mengambil alih map tersebut, mengeluarkan isi di dalamnya dan mulai menilai satu per satu. "Hm, aku rasa nggak ada yang istimewa dari mereka," ujarnya seraya memasukkan kembali beberapa sample sugar baby itu ke dalam map.
"Ayolah, Rish! Mereka semua ganteng dan unyu-unyu, kan?" Elvian mulai lelah. Namun, tetap berusaha terlihat manis dan sabar.
"Ganteng, tapi masih standard. Mungkin aku akan langsung bosan di hari pertama kami berkencan," sungut Airish. Percayalah, ia tidak peduli apakah ini akan membebani tugas Elvian atau tidak.
"Coba perhatikan sekali lagi. Tolong jangan membuat keputusan secepat itu, Darling," bujuk Elvian. "Penilaianmu bisa saja meleset."
Alih-alih mempertimbangkan ucapan Elvian, Airish justru melempar map ke arah laki-laki itu dengan gemas—lebih tepatnya sebal. "Bagiku hanya butuh waktu satu detik untuk menganalisis sesuatu dengan akurat, dan kamu nggak usah meragukanku!" tegasnya.
Elvian terperanjat, refleks menangkap map yang nyaris terjatuh. Ia mengerjap memandang Airish. "O-okay! Tenang, tenang .... Kamu boleh menentukan pilihanmu sendiri, tentu saja," ujarnya.
Airish memutar bola mata sambil mulutnya komat-kamit karena kesal. Ia pun membuang pandangan ke luar kaca mobil.
Perhatian Airish kini beralih ketika melihat seorang pemuda yang sedang berjalan kaki sambil meneguk minuman kaleng di tangannya, lalu terlihat frustrasi dengan membuang kaleng tersebut dan menendangnya ke sembarang arah.
"El, stop!" perintah Airish saat asistennya itu kembali menjalankan mobil.
"Apa lagi, Rish?" Elvian menghela napas, sementara Airish mulai menurunkan kaca dan tak lepas memandang pemuda asing tersebut.
"Target berikutnya," tunjuk Airish.
Elvian mengikuti ke mana jari telunjuk Airish mengarah. "Kamu yakin, pemuda kumuh itu?" sindirnya.
"Oh, demi Dewa! Dia sangat tampan dan terlihat menggemaskan saat menendang kaleng." Airish berbicara dengan nada ala Mariposa, gemas dan penuh damba.
"Motherfucker! Bahkan kakek moyang gue juga bisa ngelakuin itu," gumam Elvian bicara pada dirinya sendiri.
Tin, tin!
Elvian sadar sudah menimbulkan kemacetan bagi para pengendara di belakangnya. Untuk itu, ia memutuskan menepi di lahan kosong yang lebih luas.
Pemuda asing tadi duduk di bangku panjang berbahan besi. Memakai topi ke belakang, kaos hitam dilapisi jaket kulit, jeans selutut, seorang diri dan ... tampak seperti tidak mempunyai gairah hidup.
"Bawa dia ke hadapanku besok." Airish mengatakan itu seolah tak ada yang bisa menghalangi keinginannya.
Elvian mendelik gusar. "Aku bahkan belum tahu dia manusia betulan atau Dajjal." Kemudian, menghela napas panjang. Kenapa bebannya berat sekali, Tuhan?
"Besok, atau lusa?" Airish menawarkan pilihan agar meringankan tugas Elvian.
"Rish, butuh waktu setidaknya satu minggu untuk mencari tahu latar belakang kehidupannya."
Airish bersidekap dada. "Besok, lusa, atau kamu kupecat?" ancamnya.
"Astaga!" Elvian terkekeh hambar. Sebenarnya dia sedang berhadapan dengan manusia atau iblis, ‘sih? "OKE! Aku akan segera mencari tahu siapa dia dan menawarkan kontrak padanya," ucapnya pasrah.
Airish tersenyum penuh kemenangan, "Good boy!"
Ckrek!
Elvian mengeluarkan IPhone dan mengambil foto pemuda tersebut secara diam-diam, untuk kemudian ia kirimkan ke nomor seseorang melalui aplikasi hijau.
[Tolong cari tahu latar belakang pemuda ini. Airish memintanya menjadi sugar baby baru dan kita hanya memiliki waktu dua hari.]
Setelah mengirim pesan kepada orang suruhannya, Elvian kembali memasukkan IPhone ke dalam saku jas hitam.
"Oke, sekarang waktunya kita balik ke kantor. Aku sudah menyuruh Jack untuk menyelidiki pemuda kumuh itu." Elvian memutar stir, mulai menjalankan mobil menuju perusahaan.
"Pemuda yang kamu sebut kumuh itu adalah calon pacarku, mengerti?" geram Airish.
Elvian berdehem, "Hm, okay." Suaranya terdengar malas meladeni ucapan Airish.
***
Keesokan harinya ....
"Namanya Arjuna Basupati, biasa dipanggil Juna." Elvian membaca tulisan di kertas tentang data diri pemuda incaran Airish yang mereka lihat kemarin siang. Membuatnya terkekeh remeh, "Namanya bahkan sangat kampungan!"
Untungnya, Jack, mata-mata Elvian selalu dapat diandalkan dan tidak pernah mengecewakan. Jack berhasil mencari tahu seluk-beluk kehidupan Juna.
"Hm, my baby boy Juna! Nama yang sangat indah," ucap Airish gemas. "Come on, El! Lanjutkan."
Elvian kembali melirik kertas di tangannya. "Juna berusia sembilan belas tahun, tamatan SMA, tinggal bersama ibu dan adiknya di rumah kecil, sedang butuh pekerjaan dan ... ayahnya sudah meninggal dua tahun yang lalu karena insiden kecelakaan."
Airish yang sedang duduk di kursi putar tampak memasang raut iba, menghela napas panjang. "Aku akan minta maaf ke dia karena baru muncul sekarang dan membiarkan calon pacarku melewati masa-masa sulit itu sendirian," sesalnya.
"Tapi, Rish—"
Airish melirik Elvian, menunggu kalimat selanjutnya.
"Dia sudah punya pacar."
Airish menempelkan jemari lentiknya di dagu dengan gerakan manja sekaligus ekspresi tidak peduli. "Lalu?"
Elvian menggeleng, "Ini pasti akan sulit buatmu. Dia sangat mencintai pacarnya tersebut. Kamu mungkin nggak akan bisa menggoyahkan iman dia."
Dengan angkuh Airish mengibaskan rambut ke samping. "Of course I can! Nggak ada satu pun laki-laki di dunia ini yang bisa menolak pesona seorang Airish Sevanya!" ucapnya percaya diri.
Elvian berdehem pelan, membuat Airish mengernyit dan tersadar bahwa Elvian adalah satu dari sekian miliar manusia di muka bumi ini yang tidak pernah jatuh cinta pada Airish.
"Kamu nggak masuk hitungan, karena kamu hanyalah sebutir bubuk mesiu di mataku, El!" Airish menaikkan satu alis seraya tersenyum remeh.
Elvian menghela napas malas, menggulung kertas di tangannya. "Oke! Karena sudah selesai membacakan data diri Juna, sekarang aku akan datang ke rumahnya untuk menawarkan kontrak. Sementara kamu diam di kantor sambil memainkan kuku-kuku lentikmu itu dan ... berdoalah supaya nggak mendengar penolakan dari pemuda kampung itu." Di akhir kalimatnya, Elvian menarik senyuman miring menatap Airish.
Sontak Airish yang sedang memainkan kuku langsung menoleh ke arah Elvian. "Nggak akan pernah ada penolakan, El!" ujarnya penuh percaya diri.
Elvian hanya mengedikkan bahu. "Waktuku nggak banyak. Aku akan pergi sekarang. Permisi!" Sambil melirik arloji di pergelangan kirinya, Elvian langsung bergegas meninggalkan ruangan Airish.
"Hati-hati, El! Jangan sampai baby boy-ku lecet!" pekik perempuan itu.
"Aku nggak denger. Kupingku lagi rusak!" Suara Elvian masih sampai ke telinga Airish meskipun pria itu bicara tanpa menoleh ke belakang.
"HEY! Jangan sampai aku memotong gajimu bulan depan!" ancam Airish yang tentunya tidak serius. Mereka memang sudah terbiasa saling meledek satu sama lain.
Selain sebagai asisten, Elvian di mata Airish sudah seperti kakak, sahabat, teman curhat, musuh bebuyutan, supir pribadi, orangtua kedua, bodyguard, bahkan babu pribadinya!
BERSAMBUNG ....
"Bang, kira-kira kapan ya Abang bisa kerja, terus dapet gaji kayak tetehnya Vanya?" tanya gadis berusia dua belas tahun yang merupakan adik kandung Juna. Namanya Aisyah. "Emangnya Abang enggak bosen gitu nganggur terus?"Juna tidak punya waktu untuk menghela napas ataupun berdecak lidah, sebab dia sedang sibuk menikmati mie instan kuah kari kesukaannya."Setiap gajian cair, tetehnya Vanya selalu beli makanan enak buat keluarganya, kadang ngasih hadiah tas atau sepatu baru buat Vanya. Bahkan apa yang tetehnya Vanya mau, bisa dia beli tanpa harus ngeliat label harga dulu."Aisyah merosotkan bahu membayangkan betapa enaknya jadi Vanya, yaitu teman sekelasnya di sekolah. "Emangnya Abang nggak mau kayak tetehnya Vanya?" Dia kembali bertanya kepada kakak laki-laki di hadapannya.Juna meneguk air putih, lalu meletakkan kembali gelas ke atas meja. "Semua orang di dunia ini tuh nggak ada yang mau jadi pengangguran, Ais. Tapi kalau udah usaha masih belum juga dapet pekerjaan, ya mau gimana lagi
Elvian menjentikkan jari, "Tepat sekali!""Tapi pacaran sama siapa? Manusia atau setan?""Uhm—" Elvian memainkan dagu, tampak berpikir sejenak. "Sebenarnya dia manusia, hanya saja terkadang sifatnya mengalahkan iblis.""Astaghfirullahaladzim!" Juna menggelengkan kepala dengan cepat. "Saya nggak mau berurusan sama iblis. Musyrik! Pasti ini ujung-ujungnya saya disuruh nyari tumbal, kan?"Elvian terkekeh remeh, "Kamu nggak akan bisa kabur dari wanita monster itu. Dia bahkan lebih mengerikan daripada Godzilla." Bayangan sosok Airish yang sedang bicara dengan penuh percaya diri sambil memainkan kuku lentiknya, seketika berseliweran di pikiran Elvian, membuatnya meringis membayangkan ekspresi malang Juna saat berhadapan dengan perempuan diktator tersebut."Loh ... Bapak ini gimana, sih? Masa cewek monster disuruh pacaran sama saya? Enggak mau saya mah," tolak Juna sambil bergidik ngeri. "Takut!""Sebagai gantinya, kamu akan menerima kompensasi sebesar lima ratus juta rupiah setelah tanda ta
Di dalam kamar, duduk di tepian kasur, Juna memperhatikan selembar foto yang tadi ditunjukkan oleh Elvian. "Kenapa kamu sejahat ini, Nay?" Suara Juna sedikit bergetar, menandakan ada cairan yang berusaha ditahan agar tidak lolos dari pelupuk mata. Tidak dia sangka, Nayla—yang telah menjalin hubungan dengannya sejak masih duduk di bangku SMA kelas dua belas—ternyata lebih memilih pria lain dibandingkan dirinya. Menyedihkan! Juna meraih ponsel di atas nakas. Bahkan saat bukti foto itu berhasil membuat perasaannya hancur, dia masih berharap menerima panggilan masuk dari sang kekasih hati—sampai detik ini, mereka memang belum putus hubungan, ‘kan? "Ayo, Nay .... Hubungi aku!" Juna bergumam pelan, menghela napas. "Setidaknya minta maaf dan tunjukin kalau kamu merasa bersalah dengan adanya pengkhianatan ini." Namun, miris! Nayla sama sekali tidak mencari, menghubungi, apalagi merasa bersalah seperti yang Juna inginkan. Dan akhirnya, Juna mengalah. Dia menelepon Nayla karena merasa bahw
Alih-alih menjawab, Airish malah menggeram dalam diam. Tangannya mengepal, menahan kesal yang mulai merajai diri. Dia segera meraih ponsel dan kembali menghubungi Elvian. "Apa dia sudah bosan hidup?" Airish bergumam seraya menunggu jawaban dari asisten pribadinya tersebut. Akan tetapi, sepertinya Elvian benar-benar tidak punya nyali yang cukup untuk menghadapi seorang Airish Sevanya walaupun hanya melalui telepon. Karena tidak juga membuahkan hasil, Airish pun memutuskan untuk mengirim pesan kepada Elvian. [Masih nggak mau angkat telepon? Hm, kayaknya cuaca hari ini lagi bagus buat nulis nama seseorang di batu nisan!] Setelah pesannya dibaca oleh Elvian, Airish tidak perlu menunggu lebih lama lagi, karena laki-laki itu sendiri yang meneleponnya tanpa diperintah. Airish buru-buru mengangkat panggilan. "Apa sebelumnya aku pernah bilang padamu butuh pembantu baru?!" Tanpa kalimat sapaan, wanita itu langsung menyerang Elvian dengan pertanyaan yang mengerikan. 'Rish, tenang—'"Siapa
"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan sekarang, ‘kan?" Elvian bicara sambil menyodorkan sebuah kertas dan pulpen kepada Juna. Senyuman miring tersungging di bibirnya—seolah sedang merayakan kemenangan atas kekalahan Juna yang pada akhirnya tunduk juga.Menerima sodoran tersebut, Juna memasang ekspresi datar. Sama sekali tidak memperlihatkan senyuman walau hanya sekadar basa-basi.Saat ini mereka sedang berada di sebuah kafe. Sengaja memilih tempat untuk bisa bicara empat mata. Juna tidak mau ibunya tahu soal ini dan merasa iba karena anak laki-lakinya terpaksa harus mengabdikan diri kepada seorang tante kesepian yang haus berondong. Iyuh!"Ada kolom kosong di bagian bawah yang harus kamu tanda tangani," ucap Elvian mengingatkan pemuda bermata cokelat di hadapannya. "Sebelumnya, pastikan kamu sudah membacanya baik-baik."Juna mendongak, menatap serius ke arah Elvian. Ada tanya di benaknya yang ingin dia ajukan. "Di sini tertulis, bahwa kontrak kerja sama hanya akan berakhir jika pihak
"Jack, Keano, silakan pergi dari sini! Tinggalkan aku berdua dengan pacar baruku." "Baik, Nona!" Kedua manusia itu mengangguk patuh. Mereka melepaskan Juna dan segera berlalu meninggalkan ruangan sesuai perintah Airish. Kini hanya tersisa Airish dan Juna di dalam ruangan. Suasana mendadak canggung dan menyeramkan bagi Juna, tetapi tidak bagi Airish yang justru merasa sangat antusias dan tidak sabar ingin bermain dengan ‘mainan’ barunya. "Come here, Baby!" Airish tersenyum miring seraya menggerakkan telunjuk dengan genit—memberi kode agar pria itu mendekat—membuat Juna bergidik ngeri saat itu juga. Perlahan Juna melangkah maju, lalu berdiri di dekat meja di hadapan Airish. Dia memperhatikan setiap senti sosok wanita yang sudah mengontrak dirinya menjadi pacar bayaran. Mata bulat, hidung mancung, bibir tipis dengan lipstik merah muda, rambut keriting gantung yang dibiarkan terurai ke depan melewati bahu, kaki jenjang yang menyilang di balik rok span hitam, tubuh proporsional dan ..
"Gimana rasanya? Enak, ‘kan?" Juna menyantap mie kuah kari ayam sambil tersenyum evil melirik perempuan yang duduk di hadapannya. "Ini tuh makanan paling nikmat di tanggal tua. Ah, ralat! Bukan cuma di tanggal tua, tapi dimakan setiap hari juga enggak bakalan bosan, soalnya setiap hari adalah tanggal tua bagi saya dan juga keluarga. Hehehe." Diam-diam Juna memperhatikan ekspresi Airish. Berharap menemukan ketidaksukaan di balik wajah wanita itu. Namun, Airish malah terlihat menikmati mie kuah tersebut alih-alih merasa mual dan memuntahkan isinya. "Ini enak," kata perempuan itu. Juna tampak kecewa. Ini jelas di luar perkiraan. Namun, tidak hanya sampai di situ. Masih ada cara lain yang bisa Juna lakukan untuk membuat Airish ilfeel. "Ada satu ritual lagi untuk menikmati mie instan." "Ritual apa?" "Tunggu sebentar." Juna bangkit berdiri, lalu melangkah menuju dapur. Selang beberapa saat, pemuda itu sudah kembali sambil membawa semangkuk nasi di tangannya. "TARAAA!" Dia memperliha
'Pacar?'"Iya, Juna itu pacarku. Kenapa? Ada yang salah?" Airish tersenyum licik, sedangkan lawan bicaranya terdiam beberapa saat.Sampai akhirnya, panggilan terputus secara sepihak. Airish menjauhkan ponsel milik Juna dari telinganya."Cih! Pasti sekarang gadis itu cuma bisa nangis di pojokan kamar," ucap Airish seraya berdecih sinis.Selang beberapa menit, Juna kembali menghampiri Airish setelah keluar dari toilet. Dia cukup terkejut ketika melihat mie dan nasi Airish sudah habis duluan."Saya pikir kamu nggak suka." Pemuda itu berkomentar seraya melirik mangkuk di atas meja yang sudah bersih.Airish menjawab, "Apa sebelumnya aku pernah bilang kalau aku enggak suka mie instan?" Alisnya berjengit naik. "Aku suka, hanya saja enggak bagus kalau dikonsumsi terlalu sering."Juna hanya manggut-manggut, lalu melanjutkan kegiatan menyantap mie dan nasi miliknya."Tadi gadis itu menghubungimu."Perkataan Airish membuat Juna menghentikan pergerakannya. Sejenak pria itu menoleh pada Airish yang
Hari ini Airish mendatangi rumah Alan untuk meminta tanda tangan pria itu di surat cerai. Ia tidak hanya sendirian, melainkan diantar oleh Juna. Meskipun Airish mengatakan dia bisa pergi sendiri dan menyelesaikan masalahnya dengan Alan secara empat mata, tetapi Juna bersikukuh ingin ikut.“Memangnya kamu tahu apa yang akan Alan lakukan kalau enggak ada aku? Gimana kalau nanti dia berani meluk-meluk atau nyium kamu kayak waktu itu? Kalau ada aku, nanti aku bisa ngehajar muka dia sampe bonyok. Biar kapok!” ucap Juna ketika Airish bicara bahwa dirinya tidak perlu diantar.Dan di sinilah mereka sekarang. Berdiri di depan pintu rumah Alan sambil menekan tombol bel beberapa kali. Menunggu sang empunya rumah membukakan pintu untuk mereka.CKLEK!Pintu terbuka. Menampilkan sosok Alan yang memandang sinis kedatangan Airish bersama Juna. Alan terlihat tidak suka dengan kehadiran Juna di samping Airish—yang selama ini selalu ia panggil dengan nama Reina.“Aku mau minta tanda tangan kamu. Kita re
“Sebenarnya ada apa, sih, Jun? Tumben banget kamu ngajakin kita kumpul kayak gini?” tanya Demian dengan ekspresi penasaran.Juna tersenyum simpul membalas pertanyaan ayah mertuanya tersebut. Ia menyapukan bola mata ke sekeliling, melihat bagaimana orang-orang itu tampak tidak sabar mendengar jawaban dari mulutnya.Selain Demian dan Juna di ruang makan, di sini juga sudah ada Elena, Diana, Kiran dan tentunya Shandy. Juna sengaja mengumpulkan mereka untuk memberi kejutan bahwa Airish sudah kembali, dan artis pendatang baru bernama Reina itu aslinya memang benar-benar Airish.“Aku punya satu kejutan buat kita semua,” ucap Juna dengan ekspresi misterius.“Kejutan apa, sih, Bang? Alay banget, deh. Langsung aja ke intinya napa,” cibir Aisyah, adik perempuan Juna yang telah beranjak dewasa.Juna menyuruh orang-orang itu menutup mata dan jangan mengintip. Meskipun penasraan, tapi mereka berusaha sabar. Mengikuti permintaan Juna untuk menutup mata menggunakan kedua telapak tangan.“Tunggu samp
Sebagai orang yang sudah sama-sama dewasa, Juna dan Airish memutuskan untuk membahas masalah mereka baik-baik dan dengan kepala dingin. Tidak lupa mengajak Kinan juga, karena perempuan itu juga terseret dalam masalah ini.Mereka telah berkumpul di ruang tengah. Juna, Airish dan Kinan. Sementara Shandy masuk ke kamarnya—tidak diperbolehkan oleh Juna untuk ikut campur permasalahan orang dewasa.“Karena Airish sudah terlanjur tahu, maka aku akan menyelesaikan semuanya sekarang.” Juna angkat bicara. Memandang dua wanita di sofa yang berseberangan dengannya.“Sebenarnya aku sama Kinan memang sudah lamaran, Rish,” ungkap pria itu apa adanya. “Itu jauh sebelum aku menemukan kamu kembali.”Airish mengerling, menahan sesak di dada karena kenyataan itu terlalu pahit baginya.“Tapi aku juga bilang sama Kinan, kalau aku enggak bisa meninggalkan kamu. Aku enggak bisa memilih satu di antara kalian.” Lagi, mulut Juna terbuka untuk mengatakan, “Memang aku sangat serakah dan egois, aku tahu. Tapi inil
Alan baru saja sampai di gerbang sekolah. Melihat beberapa orang yang berkerumun di depan sana, membuatnya bingung dan mengernyitkan alis. Kebanyakan dari mereka saling membawa kamera, tetapi ada juga yang membawa recorder. Ada yang memegang mic juga.Lalu seorang satpam yang sejak tadi menghalangi orang-orang itu agar tidak masuk ke gerbang sekolah, kini menatap ke arah mobil Alan dengan pandangan meminta bantuan. Alan membuka pintu mobil, keluar dari dalamnya lalu menghampiri karamaian.“Itu Pak Alan!” seru salah seorang wartawan.Lantas saja orang-orang itu berlari mendekati Alan. Mereka bercepat-cepat menyodorkan mic di depan wajah Alan. Sorotan kamera langsung mengarah padanya, bahkan ada beberapa yang mengabadikan fotonya. Mereka semua melontarkan kalimat tanya secara bersamaan, bertubi-tubi. Sangat ribut dan berisik. Alan bahkan sampai bingung harus menjawab yang mana dulu.“Pak Alan, apakah benar Anda akan segera bercerai dengan Reina?”“Kapan kalian resmi bercerai?”“Apa yang
Tapi laki-laki itu malah kembali memeluk Airish. “Aku tahu. Bukankah nggak ada salahnya kalau aku meluk kamu sebelum kita benar-benar resmi cerai?” tanyanya, yang membuat Airish memilih untuk menutup mulut. Apa yang Alan katakan memang benar. Mereka masih sah suami istri.“Shandy Basupati itu murid kamu, kan?” Airish membahas topik lain. Ia hanya malas saja jika teus-terusan membahas tentang hubungannya dengan Alan.Alan mengangguk, dan Airish bisa merasakan, karena sekarang Alan sudah meletakkan dagu di bahunya.”Dia anakmu?” tanya Alan. Meskipun sudah tahu bahwa jawabannya memang benar, namun Alan hanya ingin memastikannya saja.Lalu Airish tersenyum samar. “Iya,” sahutnya tanpa menyangkal. “Malam ini kamu tidur di kamar sebelah, ya? Aku enggak mau tidur berdua sama kamu,” tambahnya. Rasanya sangat risih jika harus tidur di samping pria yang bukan Juna.Alan menghela napas. “Baiklah.” Lebih baik ia mengalah daripada harus melihat Airish pergi.***Senyuman di bibirnya tertoreh setel
“Lalu siapa wanita yang akan kamu pilih di antara mereka?”Juna masih belum lepas memandang gitar di pangkuannya. Sesekali memetik senar dengan asal. “Dua-duanya,” sahutnya, membalas ucapan Kiki.Jawaban Juna membuat Kiki berdecih sinis. Tangannya terulur mengambil poci di atas meja, lalu menuang air putih ke dalam gelss. “Gimana bisa kamu milih dua-duanya? Lebih baik pilih salah satu dari mereka. Jangan sampai kamu nyakitin dua-duanya.” Itu hanya saran saja dari Kiki. Tapi semuanya kembali ke diri Juna sendiri.Juna mendengkus, menurunkan gitar dari pangkuan dan meletakkannya di samping meja. “Aku nggak tahu harus milih yang mana.” Kali ini ia menatap Kiki. Bingung.“Sebenarnya siapa yang kamu sayang?” tanya pria yang bekerja di kedainya tersebut, setelah meneguk setengah gelas air putih.Untuk membalas pertanyaan itu, Juna sama sekali tidak ragu untuk mengatakan, “Aku sayang sama Kinan.” Ia merasa sangat yakin atas jawabannya.“Kalau begitu, silakan ceraikan Airish. Kasihan dia kala
Alan mulai merenggangkan pelukan. Hingga akhirnya, ia benar-benar membebaskan Airish dari pelukan yang menjeratnya dengan cukup erat. Ia melangkah mundur, terlihat menjauhi kamar tersebut.Sambil mengusap air mata menggunakan punggung tangan, Alan berkata kepada Airish. “Kalau begitu, silahkan pergi! Aku nggak akan melarang kamu untuk meninggalkanku. Jika memang ini akhir dari semua yang telah kita lewati bersama, maka biarkan aku mengakhiri hidupku juga. Kamu boleh meninggalkan aku, dan aku akan meninggalkan duniaku. Karena bagiku … dunia ini sudah berakhir saat kamu memutuskan untuk nggak lagi berada di sisiku.”“Alan, apa yang mau kamu lakukan?” Airish mulai panik. Perasaannya tidak tenang ketika mendengar ucapan terakhir Alan.Alan menghentikan langkah di dekat balkon kamar. Kepalanya menunduk. Membiarkan air mata terus mengalir, lalu ia mulai menaiki balkon. Mungkin yang ada di pikirannya saat ini adalah; semuanya akan selesai setelah ia mati.“Jangan pedulikan aku lagi. Sekarang
Airish bermain-main dengan Shandy setelah mengganti pakaian yang basah kuyup akibat terguyur hujan tadi—saat ia berjalan menuju rumah ini tanpa payung ataupun mantel.Mereka menciptakan beberapa obrolan menarik untuk dibahas. Mulai dari kegiatan Shandy sehari-hari, hal apa yang disukai dan dibenci Shandy, makanan favorit Shandy, dan tak terkecuali cerita Shandy selama bersekolah.Dari cara penyampaian Shandy, Airish bisa menyimpulkan kalau buah hatinya itu memang merupakan anak yang sangat pintar.Bola mata Airish merangkak ke arah tembok tatkala Shandy memintanya untuk melihat sebuah kertas yang menempel di tembok. Anak itu berkata bahwa ia telah membuatkan puisi untuk ayahnya—yang tak lain adalah Juna. Dan ia juga mengatakan bahwa Juna menangis setelah membaca puisi buatannya.Airish merasa tidak asing lagi saat membaca puisi yang berjudul ‘Untukmu Ayah’ tersebut. Lalu sepenggal ingatan melintas di otaknya, membawanya pergi menghampiri percakapan singkat antara dirinya dengan Alan.
Airish membuka lebar kedua matanya. Sudah tidak lagi membungkam telinga. Napasnya tersengal. Ia merasa kalau pipinya dibasahi oleh cairan yang keluar dari pelupuk mata. Sambil menahan isakan, Airish memeluk lututnya dengan sekelumit perasaan yang bercampur aduk.“Juna .…” Lirihan itu terlontar dari bibir Airish. Memaksanya untuk merasakan kesesakan yang lebih dalam.Kenangan yang pernah hilang dan terlupakan kini sudah terkumpul kembali di dalam memori. Membuatnya mengingat sekumpulan masa lalu termanis selama mengenal Juna.Betapa bodohnya dia karena sudah melupakan keping-keping kenangan itu bertahun-tahun lamanya. Membuatnya terpenjara dalam sebuah kedustaan dari laki-laki yang mengaku sebagai orang terdekat di hidupnya.“Alan … kamu benar-benar jahat!” Airish memperlihatkan ekspresi benci saat membayangkan wajah Alan—sosok pria yang selama ini telah membohonginya dan menutupi kebenaran darinya.***Ketiga orang ini terlihat sedang bahagia dengan gelak tawa yang keluar dari mulutny