Alih-alih menjawab, Airish malah menggeram dalam diam. Tangannya mengepal, menahan kesal yang mulai merajai diri. Dia segera meraih ponsel dan kembali menghubungi Elvian.
"Apa dia sudah bosan hidup?" Airish bergumam seraya menunggu jawaban dari asisten pribadinya tersebut. Akan tetapi, sepertinya Elvian benar-benar tidak punya nyali yang cukup untuk menghadapi seorang Airish Sevanya walaupun hanya melalui telepon.Karena tidak juga membuahkan hasil, Airish pun memutuskan untuk mengirim pesan kepada Elvian.[Masih nggak mau angkat telepon? Hm, kayaknya cuaca hari ini lagi bagus buat nulis nama seseorang di batu nisan!]Setelah pesannya dibaca oleh Elvian, Airish tidak perlu menunggu lebih lama lagi, karena laki-laki itu sendiri yang meneleponnya tanpa diperintah.Airish buru-buru mengangkat panggilan."Apa sebelumnya aku pernah bilang padamu butuh pembantu baru?!" Tanpa kalimat sapaan, wanita itu langsung menyerang Elvian dengan pertanyaan yang mengerikan.'Rish, tenang—'"Siapa yang menyuruhmu mempekerjakan seorang pembantu di rumahku?!" sela perempuan itu. "Kalau bosan hidup, setidaknya bicarakan baik-baik, El. Aku bisa menguburmu hidup-hidup kalau kamu mau!" sindirnya.'Ayolah, Rish .... Bukankah seharusnya kamu senang karena punya pembantu baru di rumah? Kamu enggak perlu berterima kasih sama aku, karena aku ikut senang bisa meringankan beban hidupmu.'"Omong kosong macam apa ini?" Airish berdecih remeh. "Selama seorang Elvian Nuraga masih hidup, aku jelas enggak butuh siapa-siapa untuk dijadikan pembantu!"'Selama aku hidup? Tolong jangan pernah katakan kalimat mengerikan itu lagi, Darling. Aku bukan babumu,' ucap Elvian di seberang sana. 'Dan aku jelas enggak pernah menjual diriku untuk mengabdi padamu seumur hidup.'"Berani-beraninya kamu bilang begitu." Airish bergumam pelan. "KAMU SADAR DENGAN SIAPA KAMU BICARA SEKARANG, HAH?!" hardiknya.Ucapan Airish dengan nada tinggi sukses membuat Sulastri tergemap dan hanya bisa menunduk ketakutan.'O-okay .... Aku minta maaf,' balas Elvian. Lagi-lagi harus mengalah. Berdebat dengan Airish sama saja seperti sedang menggali kuburan sendiri.Airish mendengkus. Sedikit tersenyum miring karena tahu pada akhirnya dia akan selalu memenangkan perdebatan. "Bagaimana soal Juna?" tanyanya yang mulai mengganti topik pembicaraan.'Uhm, itu—'Hening sejenak."Lanjutkan, El!"'Dia ... enggak mau diajak kerja sama.'"Jangan bercanda, El!" Airish terkekeh remeh. "Memangnya masih ada orang di dunia ini yang menolak pesona uang?"'Ada, dan Juna adalah bukti nyata dari penolakan tersebut.'Sulit dipercaya!Airish sama sekali tidak menyangka akan ditolak oleh seorang bocah laki-laki yang menurutnya bahkan masih bau kencur."Ini penghinaan," ujar Airish sambil menggeleng tak percaya. "Dia sudah membuat mood-ku berantakan!"'Yeah! Aku tahu akhirnya akan begini. Itu sebabnya aku mempekerjakan seorang pembantu di rumahmu, Rish, agar aku bisa menghindari kamu yang sedang dalam mode singa betina.'Tanpa banyak omong, Airish langsung mengakhiri telepon secara sepihak. Dia menjauhkan ponsel dari telinga, melirik Sulastri yang masih belum berani mendongakkan kepala."Bi Sul?" Airish memanggil dengan suara pelan, tapi menekan."I-iya, Non?""Angkat satu kaki sambil jewer kedua telinga, dan jangan berhenti sebelum aku yang nyuruh berhenti!""Tapi, Non—""Lakukan sekarang juga, atau aku akan memberi hukuman yang lebih berat lagi?!""B-baik, Non!" Tanpa banyak protes, Sulastri segera melakukan apa yang diperintahkan oleh Airish.Itulah alasan kenapa Elvian berusaha menghindari Airish hari ini, yaitu karena dia tidak ingin dijadikan pelampiasan karena suasana hati Airish yang sedang buruk akibat mendengar kabar tentang penolakan Juna.Elvian sudah bosan menerima berbagai hukuman yang bahkan lebih aneh dan berat dari apa yang Sulastri dapatkan—demi memperbaiki mood Airish agar kembali merasa senang.Sementara itu, kaki-kaki Airish bergerak turun dari kasur hingga menjejaki lantai. Dia mulai menyentuh sarapan dengan ekspresi masam di wajahnya."Non, kaki saya pegel," ucap Sulastri dengan nada takut-takut. Dalam hatinya, "Begini amat, sih, nyari duit?!""Shut up! Bi Sul mau durasi hukumannya ditambah?" ancam Arish, lalu menelan telur rebus yang sudah dikunyah kasar olehnya.Seketika Sulastri terbungkam.***Di tempat berbeda, Juna yang sedang terlelap pun seketika terbangun dari tidurnya akibat mendengar suara ramai dari luar rumah. Dia pun menghampiri sumber keramaian tersebut untuk mencari tahu.Di depan rumah, tampak ibu dan adiknya sedang berhadapan dengan dua orang laki-laki berpakaian serba hitam. Itu membuat Juna kaget dan bertanya-tanya siapa kedua orang tersebut."Pak, kami mohon jangan sita rumah kami! Kasih kami kesempatan untuk melunasi semuanya, Pak," rengek Diana, ibu kandung Juna dan Aisyah."Enggak bisa, Bu. Sudah lebih dari satu tahun cicilan hutang Pak Irfan enggak dibayar. Terpaksa kami harus menyita tanah dan rumah ini, karena sejak awal Pak Irfan memang menjadikan sertifikat rumah dan tanah sebagai jaminan hutang beliau," ucap seorang laki-laki yang bernama Adrian."Bu, ada apa ini?" tanya Juna setelah berdiri di samping Diana."Rumah kita mau disita, Jun. Sudah satu tahun lebih cicilan hutang Bapak enggak Ibu bayar," papar wanita itu seraya berlinang air mata. "Dulu waktu Ibu masih kerja di pabrik, sedikit-sedikit hutang Bapak masih bisa Ibu cicil. Tapi setelah kontrak kerja Ibu habis, Ibu udah nggak pernah bayar cicilan hutang Bapak lagi. Kamu tahu sendiri, ‘kan? Sekarang Ibu cuma kerja sebagai tukang cuci baju dan setrika pakaian. Mana cukup kalau Ibu harus bayar hutang Bapak juga? Bisa makan setiap hari aja udah bersyukur."Kepergian Irfan dua tahun lalu akibat sebuah kecelakaan, memang tak hanya menyisakan luka di hati keluarga, melainkan juga meninggalkan beban karena masih ada hutang yang belum dilunasi.Mau tidak mau, Diana harus melanjutkan cicilan, karena dia tidak ingin rumahnya disita. Namun, kini keadaan tak lagi sama sejak dia dipecat dari pabrik tempatnya bekerja."Kami mohon maaf, karena kami harus menyita rumah Ibu sekarang juga," ujar laki-laki yang satunya, yaitu Rangga. "Silakan kemasi barang-barang kalian dan tinggalkan rumah ini, sebelum kami mengusir kalian dengan cara kasar.""Tunggu, Pak!" cegah Juna. "Saya akan melunasi semua hutang berikut dengan dendanya."Ucapan yang Juna lontarkan membuat semua pasang mata memandang kikuk ke arahnya, seolah meragukan pemuda berhidung mancung tersebut."Jun?" Diana menautkan alis, menatap anak laki-lakinya dengan sorotan mata yang seakan mengatakan, "Jangan main-main! Kamu mau bayar hutang pake apa? Uang monopoli?""Berapa total yang harus dibayar?" tanya Juna kepada Adrian dan Rangga."Seratus enam puluh juta, sudah berikut denda dan bunganya."Seraya mengeluarkan kartu nama milik Elvian yang masih dia simpan di dalam saku celana, Juna membalas, "Kasih saya nomor rekeningnya. Saya akan lunasi semua hutang almarhum Bapak."BERSAMBUNG ...."Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan sekarang, ‘kan?" Elvian bicara sambil menyodorkan sebuah kertas dan pulpen kepada Juna. Senyuman miring tersungging di bibirnya—seolah sedang merayakan kemenangan atas kekalahan Juna yang pada akhirnya tunduk juga.Menerima sodoran tersebut, Juna memasang ekspresi datar. Sama sekali tidak memperlihatkan senyuman walau hanya sekadar basa-basi.Saat ini mereka sedang berada di sebuah kafe. Sengaja memilih tempat untuk bisa bicara empat mata. Juna tidak mau ibunya tahu soal ini dan merasa iba karena anak laki-lakinya terpaksa harus mengabdikan diri kepada seorang tante kesepian yang haus berondong. Iyuh!"Ada kolom kosong di bagian bawah yang harus kamu tanda tangani," ucap Elvian mengingatkan pemuda bermata cokelat di hadapannya. "Sebelumnya, pastikan kamu sudah membacanya baik-baik."Juna mendongak, menatap serius ke arah Elvian. Ada tanya di benaknya yang ingin dia ajukan. "Di sini tertulis, bahwa kontrak kerja sama hanya akan berakhir jika pihak
"Jack, Keano, silakan pergi dari sini! Tinggalkan aku berdua dengan pacar baruku." "Baik, Nona!" Kedua manusia itu mengangguk patuh. Mereka melepaskan Juna dan segera berlalu meninggalkan ruangan sesuai perintah Airish. Kini hanya tersisa Airish dan Juna di dalam ruangan. Suasana mendadak canggung dan menyeramkan bagi Juna, tetapi tidak bagi Airish yang justru merasa sangat antusias dan tidak sabar ingin bermain dengan ‘mainan’ barunya. "Come here, Baby!" Airish tersenyum miring seraya menggerakkan telunjuk dengan genit—memberi kode agar pria itu mendekat—membuat Juna bergidik ngeri saat itu juga. Perlahan Juna melangkah maju, lalu berdiri di dekat meja di hadapan Airish. Dia memperhatikan setiap senti sosok wanita yang sudah mengontrak dirinya menjadi pacar bayaran. Mata bulat, hidung mancung, bibir tipis dengan lipstik merah muda, rambut keriting gantung yang dibiarkan terurai ke depan melewati bahu, kaki jenjang yang menyilang di balik rok span hitam, tubuh proporsional dan ..
"Gimana rasanya? Enak, ‘kan?" Juna menyantap mie kuah kari ayam sambil tersenyum evil melirik perempuan yang duduk di hadapannya. "Ini tuh makanan paling nikmat di tanggal tua. Ah, ralat! Bukan cuma di tanggal tua, tapi dimakan setiap hari juga enggak bakalan bosan, soalnya setiap hari adalah tanggal tua bagi saya dan juga keluarga. Hehehe." Diam-diam Juna memperhatikan ekspresi Airish. Berharap menemukan ketidaksukaan di balik wajah wanita itu. Namun, Airish malah terlihat menikmati mie kuah tersebut alih-alih merasa mual dan memuntahkan isinya. "Ini enak," kata perempuan itu. Juna tampak kecewa. Ini jelas di luar perkiraan. Namun, tidak hanya sampai di situ. Masih ada cara lain yang bisa Juna lakukan untuk membuat Airish ilfeel. "Ada satu ritual lagi untuk menikmati mie instan." "Ritual apa?" "Tunggu sebentar." Juna bangkit berdiri, lalu melangkah menuju dapur. Selang beberapa saat, pemuda itu sudah kembali sambil membawa semangkuk nasi di tangannya. "TARAAA!" Dia memperliha
'Pacar?'"Iya, Juna itu pacarku. Kenapa? Ada yang salah?" Airish tersenyum licik, sedangkan lawan bicaranya terdiam beberapa saat.Sampai akhirnya, panggilan terputus secara sepihak. Airish menjauhkan ponsel milik Juna dari telinganya."Cih! Pasti sekarang gadis itu cuma bisa nangis di pojokan kamar," ucap Airish seraya berdecih sinis.Selang beberapa menit, Juna kembali menghampiri Airish setelah keluar dari toilet. Dia cukup terkejut ketika melihat mie dan nasi Airish sudah habis duluan."Saya pikir kamu nggak suka." Pemuda itu berkomentar seraya melirik mangkuk di atas meja yang sudah bersih.Airish menjawab, "Apa sebelumnya aku pernah bilang kalau aku enggak suka mie instan?" Alisnya berjengit naik. "Aku suka, hanya saja enggak bagus kalau dikonsumsi terlalu sering."Juna hanya manggut-manggut, lalu melanjutkan kegiatan menyantap mie dan nasi miliknya."Tadi gadis itu menghubungimu."Perkataan Airish membuat Juna menghentikan pergerakannya. Sejenak pria itu menoleh pada Airish yang
"Nanti malam?" tanya Juna. Airish mengangguk memberi jawaban.Lantas Juna terkekeh sinis. "Kenapa bukan sekarang saja?" tantangnya. "Saya rasa, lebih cepat lebih baik.""Oh, ya ampun! Bisakah kamu berhenti menggunakan kata 'saya' untuk menyebut diri sendiri? Aku merasa seperti sedang bicara dengan tukang sedot WC," protesnya.Juna mengerjap sesaat, lalu mengangguk paham. "Oke!" balasnya. "Jadi, apa bisa kita mulai sekarang?"Ucapan Juna membuat Airish mengernyit, sama sekali tidak menyangka bahwa Juna akan menanggapi seagresif itu."Aku lebih suka tindakan langsung dibandingkan hanya berkata-kata," ucap Airish.Diam sejenak. Sampai akhirnya, pemuda tampan itu bangkit dari posisi duduknya dan melangkah mendekati Airish. Berdiri di hadapan Airish, melingkarkan jemari pada pergelangan tangan Airish, menarik Airish untuk kemudian dia dorong tubuh gadis itu hingga membentur tembok apartemen.Airish tertegun. Memperhatikan mata elang Juna yang menatapnya dalam jarak sedekat ini, terlebih lag
Tanpa bicara panjang-lebar, Juna segera turun dari mobil dan menghampiri dua insan berlawanan jenis yang baru saja keluar dari kafe.Airish tak tinggal diam, melainkan ikut turun dari mobil menyusul kepergian Juna yang entah mau menemui siapa."Wah ... nggak nyangka ya kita bisa ketemu di sini," ucap Juna saat berdiri tepat di hadapan dua orang tersebut."Ju-na?" Gadis itu, Nayla membulatkan mata melihat sosok Juna, sedangkan laki-laki yang sedang bersama Nayla tampak memasang ekspresi bingung."Dia siapa?" tanya Reno, pacar baru Nayla—atau mungkin tunangan?Nayla tergugu. "Di-dia ... bukan siapa-siapa, ‘kok," jawabnya seraya menelan ludah dengan susah payah.Alih-alih marah atau membabi-buta, Juna justru menunjukkan senyuman enteng seakan ini bukanlah apa-apa. "Yakin aku bukan siapa-siapa?" tanyanya.Di sisi lain, Airish yang berdiri di samping Juna hanya fokus menjadi pendengar. Diam-diam mencoba membaca situasi dan mencari tahu siapa gadis yang saat ini sedang bicara dengan Juna.N
"Jadi, sejak kapan kalian berpacaran?" Airish bertanya kepada dua manusia di hadapannya, sambil memotong daging panggang yang telah dia pesan.Nayla tidak mengeluarkan sepatah kata pun, sehingga Reno mewakili gadis itu untuk menjawab, "Belum lama. Sekitar dua bulan yang lalu.""Dua bulan?" tukas Juna. Pernyataan Reno membuatnya berdecih, yang mana hal itu mengesahkan bahwa Nayla sudah mengkhianati cintanya."Kenapa? Kok, kelihatan kaget gitu?" tanya Reno yang baru saja menelan makanan yang dia kunyah.Sejenak Juna terkekeh pelan, mengerling, lalu kembali menatap Reno. "Nggak pa-pa. Jaga baik-baik Nayla, ya. Dia tuh orangnya setiaaa banget."Nayla hanya bisa menunduk seraya meremas gelas tinggi berisi air putih di atas meja. Menelan ludah dengan susah payah, menahan hasrat ingin muntah karena mendengar ucapan Juna yang sukses membuat isi lambungnya terasa penuh seketika.Entah apa tujuan Juna melontarkan kalimat satire tersebut, yang pasti Nayla merasa seperti dikuliti hidup-hidup."Ud
Sampai di area parkir, barulah Juna melepaskan Airish dengan gerakan yang terbilang kasar—sehingga gadis itu lagi-lagi meringis seraya memegangi lengan."Kamu kenapa, ‘sih? Kasar banget," ucap Airish tidak terima."Aku kenapa?" Juna melotot tajam, merasa perlakuannya terhadap Airish sangatlah wajar. "Kamu yang kenapa?!" hardiknya. Airish tersentak karena kaget dibentak oleh Juna."Kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan barusan?" Juna mengajukan pertanyaan retoris, dan gadis manis di hadapannya itu menganggukkan kepala."Ada yang salah?"Lantas Juna menengadahkan kepala, menatap langit di siang hari yang mulai mendung, karena ini merupakan musim hujan di penghujung tahun. "Masih aja nanya," ucapnya sambil terkekeh gusar.Airish mencoba santai. Menyandarkan tubuh pada sisi mobil yang terparkir di samping kanannya. "Aku nggak merasa ada yang salah. Kalaupun ada, mungkin kamu bisa menjelaskannya pelan-pelan.""Kesalahanmu itu jelas, Rish!" Juna mengingatkan, "Kamu bohong di depan Nayla d
Hari ini Airish mendatangi rumah Alan untuk meminta tanda tangan pria itu di surat cerai. Ia tidak hanya sendirian, melainkan diantar oleh Juna. Meskipun Airish mengatakan dia bisa pergi sendiri dan menyelesaikan masalahnya dengan Alan secara empat mata, tetapi Juna bersikukuh ingin ikut.“Memangnya kamu tahu apa yang akan Alan lakukan kalau enggak ada aku? Gimana kalau nanti dia berani meluk-meluk atau nyium kamu kayak waktu itu? Kalau ada aku, nanti aku bisa ngehajar muka dia sampe bonyok. Biar kapok!” ucap Juna ketika Airish bicara bahwa dirinya tidak perlu diantar.Dan di sinilah mereka sekarang. Berdiri di depan pintu rumah Alan sambil menekan tombol bel beberapa kali. Menunggu sang empunya rumah membukakan pintu untuk mereka.CKLEK!Pintu terbuka. Menampilkan sosok Alan yang memandang sinis kedatangan Airish bersama Juna. Alan terlihat tidak suka dengan kehadiran Juna di samping Airish—yang selama ini selalu ia panggil dengan nama Reina.“Aku mau minta tanda tangan kamu. Kita re
“Sebenarnya ada apa, sih, Jun? Tumben banget kamu ngajakin kita kumpul kayak gini?” tanya Demian dengan ekspresi penasaran.Juna tersenyum simpul membalas pertanyaan ayah mertuanya tersebut. Ia menyapukan bola mata ke sekeliling, melihat bagaimana orang-orang itu tampak tidak sabar mendengar jawaban dari mulutnya.Selain Demian dan Juna di ruang makan, di sini juga sudah ada Elena, Diana, Kiran dan tentunya Shandy. Juna sengaja mengumpulkan mereka untuk memberi kejutan bahwa Airish sudah kembali, dan artis pendatang baru bernama Reina itu aslinya memang benar-benar Airish.“Aku punya satu kejutan buat kita semua,” ucap Juna dengan ekspresi misterius.“Kejutan apa, sih, Bang? Alay banget, deh. Langsung aja ke intinya napa,” cibir Aisyah, adik perempuan Juna yang telah beranjak dewasa.Juna menyuruh orang-orang itu menutup mata dan jangan mengintip. Meskipun penasraan, tapi mereka berusaha sabar. Mengikuti permintaan Juna untuk menutup mata menggunakan kedua telapak tangan.“Tunggu samp
Sebagai orang yang sudah sama-sama dewasa, Juna dan Airish memutuskan untuk membahas masalah mereka baik-baik dan dengan kepala dingin. Tidak lupa mengajak Kinan juga, karena perempuan itu juga terseret dalam masalah ini.Mereka telah berkumpul di ruang tengah. Juna, Airish dan Kinan. Sementara Shandy masuk ke kamarnya—tidak diperbolehkan oleh Juna untuk ikut campur permasalahan orang dewasa.“Karena Airish sudah terlanjur tahu, maka aku akan menyelesaikan semuanya sekarang.” Juna angkat bicara. Memandang dua wanita di sofa yang berseberangan dengannya.“Sebenarnya aku sama Kinan memang sudah lamaran, Rish,” ungkap pria itu apa adanya. “Itu jauh sebelum aku menemukan kamu kembali.”Airish mengerling, menahan sesak di dada karena kenyataan itu terlalu pahit baginya.“Tapi aku juga bilang sama Kinan, kalau aku enggak bisa meninggalkan kamu. Aku enggak bisa memilih satu di antara kalian.” Lagi, mulut Juna terbuka untuk mengatakan, “Memang aku sangat serakah dan egois, aku tahu. Tapi inil
Alan baru saja sampai di gerbang sekolah. Melihat beberapa orang yang berkerumun di depan sana, membuatnya bingung dan mengernyitkan alis. Kebanyakan dari mereka saling membawa kamera, tetapi ada juga yang membawa recorder. Ada yang memegang mic juga.Lalu seorang satpam yang sejak tadi menghalangi orang-orang itu agar tidak masuk ke gerbang sekolah, kini menatap ke arah mobil Alan dengan pandangan meminta bantuan. Alan membuka pintu mobil, keluar dari dalamnya lalu menghampiri karamaian.“Itu Pak Alan!” seru salah seorang wartawan.Lantas saja orang-orang itu berlari mendekati Alan. Mereka bercepat-cepat menyodorkan mic di depan wajah Alan. Sorotan kamera langsung mengarah padanya, bahkan ada beberapa yang mengabadikan fotonya. Mereka semua melontarkan kalimat tanya secara bersamaan, bertubi-tubi. Sangat ribut dan berisik. Alan bahkan sampai bingung harus menjawab yang mana dulu.“Pak Alan, apakah benar Anda akan segera bercerai dengan Reina?”“Kapan kalian resmi bercerai?”“Apa yang
Tapi laki-laki itu malah kembali memeluk Airish. “Aku tahu. Bukankah nggak ada salahnya kalau aku meluk kamu sebelum kita benar-benar resmi cerai?” tanyanya, yang membuat Airish memilih untuk menutup mulut. Apa yang Alan katakan memang benar. Mereka masih sah suami istri.“Shandy Basupati itu murid kamu, kan?” Airish membahas topik lain. Ia hanya malas saja jika teus-terusan membahas tentang hubungannya dengan Alan.Alan mengangguk, dan Airish bisa merasakan, karena sekarang Alan sudah meletakkan dagu di bahunya.”Dia anakmu?” tanya Alan. Meskipun sudah tahu bahwa jawabannya memang benar, namun Alan hanya ingin memastikannya saja.Lalu Airish tersenyum samar. “Iya,” sahutnya tanpa menyangkal. “Malam ini kamu tidur di kamar sebelah, ya? Aku enggak mau tidur berdua sama kamu,” tambahnya. Rasanya sangat risih jika harus tidur di samping pria yang bukan Juna.Alan menghela napas. “Baiklah.” Lebih baik ia mengalah daripada harus melihat Airish pergi.***Senyuman di bibirnya tertoreh setel
“Lalu siapa wanita yang akan kamu pilih di antara mereka?”Juna masih belum lepas memandang gitar di pangkuannya. Sesekali memetik senar dengan asal. “Dua-duanya,” sahutnya, membalas ucapan Kiki.Jawaban Juna membuat Kiki berdecih sinis. Tangannya terulur mengambil poci di atas meja, lalu menuang air putih ke dalam gelss. “Gimana bisa kamu milih dua-duanya? Lebih baik pilih salah satu dari mereka. Jangan sampai kamu nyakitin dua-duanya.” Itu hanya saran saja dari Kiki. Tapi semuanya kembali ke diri Juna sendiri.Juna mendengkus, menurunkan gitar dari pangkuan dan meletakkannya di samping meja. “Aku nggak tahu harus milih yang mana.” Kali ini ia menatap Kiki. Bingung.“Sebenarnya siapa yang kamu sayang?” tanya pria yang bekerja di kedainya tersebut, setelah meneguk setengah gelas air putih.Untuk membalas pertanyaan itu, Juna sama sekali tidak ragu untuk mengatakan, “Aku sayang sama Kinan.” Ia merasa sangat yakin atas jawabannya.“Kalau begitu, silakan ceraikan Airish. Kasihan dia kala
Alan mulai merenggangkan pelukan. Hingga akhirnya, ia benar-benar membebaskan Airish dari pelukan yang menjeratnya dengan cukup erat. Ia melangkah mundur, terlihat menjauhi kamar tersebut.Sambil mengusap air mata menggunakan punggung tangan, Alan berkata kepada Airish. “Kalau begitu, silahkan pergi! Aku nggak akan melarang kamu untuk meninggalkanku. Jika memang ini akhir dari semua yang telah kita lewati bersama, maka biarkan aku mengakhiri hidupku juga. Kamu boleh meninggalkan aku, dan aku akan meninggalkan duniaku. Karena bagiku … dunia ini sudah berakhir saat kamu memutuskan untuk nggak lagi berada di sisiku.”“Alan, apa yang mau kamu lakukan?” Airish mulai panik. Perasaannya tidak tenang ketika mendengar ucapan terakhir Alan.Alan menghentikan langkah di dekat balkon kamar. Kepalanya menunduk. Membiarkan air mata terus mengalir, lalu ia mulai menaiki balkon. Mungkin yang ada di pikirannya saat ini adalah; semuanya akan selesai setelah ia mati.“Jangan pedulikan aku lagi. Sekarang
Airish bermain-main dengan Shandy setelah mengganti pakaian yang basah kuyup akibat terguyur hujan tadi—saat ia berjalan menuju rumah ini tanpa payung ataupun mantel.Mereka menciptakan beberapa obrolan menarik untuk dibahas. Mulai dari kegiatan Shandy sehari-hari, hal apa yang disukai dan dibenci Shandy, makanan favorit Shandy, dan tak terkecuali cerita Shandy selama bersekolah.Dari cara penyampaian Shandy, Airish bisa menyimpulkan kalau buah hatinya itu memang merupakan anak yang sangat pintar.Bola mata Airish merangkak ke arah tembok tatkala Shandy memintanya untuk melihat sebuah kertas yang menempel di tembok. Anak itu berkata bahwa ia telah membuatkan puisi untuk ayahnya—yang tak lain adalah Juna. Dan ia juga mengatakan bahwa Juna menangis setelah membaca puisi buatannya.Airish merasa tidak asing lagi saat membaca puisi yang berjudul ‘Untukmu Ayah’ tersebut. Lalu sepenggal ingatan melintas di otaknya, membawanya pergi menghampiri percakapan singkat antara dirinya dengan Alan.
Airish membuka lebar kedua matanya. Sudah tidak lagi membungkam telinga. Napasnya tersengal. Ia merasa kalau pipinya dibasahi oleh cairan yang keluar dari pelupuk mata. Sambil menahan isakan, Airish memeluk lututnya dengan sekelumit perasaan yang bercampur aduk.“Juna .…” Lirihan itu terlontar dari bibir Airish. Memaksanya untuk merasakan kesesakan yang lebih dalam.Kenangan yang pernah hilang dan terlupakan kini sudah terkumpul kembali di dalam memori. Membuatnya mengingat sekumpulan masa lalu termanis selama mengenal Juna.Betapa bodohnya dia karena sudah melupakan keping-keping kenangan itu bertahun-tahun lamanya. Membuatnya terpenjara dalam sebuah kedustaan dari laki-laki yang mengaku sebagai orang terdekat di hidupnya.“Alan … kamu benar-benar jahat!” Airish memperlihatkan ekspresi benci saat membayangkan wajah Alan—sosok pria yang selama ini telah membohonginya dan menutupi kebenaran darinya.***Ketiga orang ini terlihat sedang bahagia dengan gelak tawa yang keluar dari mulutny