Satu tahun kemudian....“An! Lo teman baik gue, kan? Best friend forever-nya gue, kan?”“Bukan, sih,” jawab Ana malas. Dia tahu mode Cika kalau sedang ingin memintanya melakukan hal-hal aneh.“Lo mau masuk mobil enggak? Ini jadi keluar gak sih? Kita katanya mau makan. Lapar gue. Keburu udah pada tutup nanti tempat makannya.” Ana itu adalah tipe manusia yang gampang sekali terbawa emosi, jika dirinya sedang lapar. Maka dari itu begitu mendapati Cika yang dari tadi hanya menunda-nundanya untuk segera mengisi perutnya yang kosong. Rasanya, ingin sekali dia memakan sahabatnya itu.Saat melihat tampang Ana yang sangat tidak begitu bersahabat. Cika pun, pada akhirnya memutuskan untuk segera memasuki mobil sahabatnya. Tetapi, bukannya memakai sabuk pengaman dengan segera, perempuan itu malah diam melamun sambil memijat pelipisnya saja.“Pakai Dodol ... sabuk pengamannya! Lo mau kena tilang?”Lagi-lagi bukannya langsung mematuhi saran Ana. Cika malah menatap sahabatnya itu dengan tampang mela
Ana menelan ludah dengan susah payah serta meremas ujung roknya dengan gelisah begitu di depannya berdiri sosok yang selama satu tahun ini tidak pernah ditemuinya. Penampakan yang lebih mengejutkan dari pada melihat hantu di siang bolong.“Keen? Lo sehat? Udah gak sakit lagi?”Keenan mengerutkan kedua alisnya bingung, karena dia merasa sehat-sehat saja akhir-akhir ini.Ana meringis. Ok, terakhir kali mereka bertemu memang ketika Keenan sedang sakit. Tapi, ya Tuhan Ana ... itu sudah setahun yang lalu!“Sorry ... sorry, gue masih teringat waktu lo sakit tempo hari.”“Ingat yang mana?” tanya Keenan dengan tampang jahil. Melihat Ana berubah menjadi kikuk, laki-laki itu memutuskan tidak melanjutkan kejahilannya. Mereka sudah tidak sama seperti dulu.Ana melotot, agak ragu juga menanggapinya. Dia bingung harus bagaimana, jika mengenang hal yang agak-agak tabu.“An, lo udah lama di sini?” Keenan tolah-toleh seperti tengah mencari keberadaan seseorang.Ana mengangguk. “Lo ngapain ada di sini?
Setelah beberapa waktu tadi Ana memberitahukan sebuah fakta mengenai perjodohan antara Beni dan Cika. Mereka berempat sekarang hanya diam saling tatap satu sama lain. Lebih tepatnya, Keenan dan Ana menunggu tanggapan dari Beni juga Cika mengenai fakta tentang perjodohan mereka.Ya, ini semua ide Keenan. Memanggil Cika dan Beni di kafe tempat di mana kemarin mereka bertemu. Syukurnya, keduanya tidak memiliki kecurigaan sama sekali.“Gak lucu deh, An,” ujar Beni pada akhirnya.“Lah emang aku gak lagi ngelucu, Ben. Kamu kira aku lagi nglawak?”“Lo gak sesuka itu kelihatannya, Ben ... tahu kalau lo dijodohin sama gue,” ujar Cika. Harga dirinya sedikit terluka saat melihat Beni terang-terangan tidak suka dengan acara perjodohan dari keluarga mereka.“Hah, Maksudnya? Bukannya lo juga sama? Lo juga minta tolong Ana sama seperti gue minta tolong Keenan, kan?”“Itu saat gue gak tahu kalau yang dijodohin sama gue itu lo?”“Maksudnya?”Ana menyenggol lengan Cika. Temannya ini lebih bar-bar terny
“Satu jam empat puluh lima detik,” sindir Daren sembari menyipitkan kedua matanya. Dia ingin jual mahal dengan pura-pura marah, akan tetapi juga ingin sekali dipeluk oleh Ana. Alhasil yang dilakukan laki-laki berkaca mata itu adalah merentangkan kedua tangannya ke depan dengan pandangannya yang menatap ke arah lain. Jadi, dia masih tetap bisa marah sekaligus menerima pelukan dari sang kekasih. Waaah ... ide yang begitu brilian, bukan?Ana yang melihat pemandangan itu tertawa geli lalu berlari berhambur kepelukan sang kekasih. Dia cukup peka dengan kode yang Daren berikan. Lucu sekali kekasihnya itu.“Rindunyaaaa...,”ujar Ana menghirup dalam-dalam aroma parfum yang menguar dari balik tubuh Daren.“Lamanyaaa...,” sahut Daren dengan masih menahan tawanya yang sebentar lagi sepertinya ingin sekali dibebaskan.Ara meringis. “Sorry, tadi itu ada masalah yang sangat penting, Sayang ... soal Beni sama Cika nanti aku ceritain sama kamu.”“Lebih penting urusannya ya dari pada kekasihnya?” sind
Ana menyenderkan kepalanya di bahu Daren. Perempuan itu menutup matanya erat sambil menikmati perasaan dan suasana yang nyaman ini yang tidak bisa ia dapatkan di tempat lain.Karena hujan, rencana mereka untuk berjalan-jalan gagal. Tapi tak apa, cukup dengan begini saja Ana sudah suka. Harum aroma susu cokelat hangat dan kue cokelat favoritnya dengan ditemani seseorang yang disayanginya, itu sudah lebih dari cukup. Tadinya, Ana dan Daren juga akan bercamping. Melihat matahari tenggelam dan terbit bersama, lalu hujan akhirnya membawa mereka kembali ke apartemen Daren. Membuyarkan rencana mereka.Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk mencari kesibukan di apartemen Daren. Mereka makan masakan Daren, yang Ana baru tahu, jika kekasihnya sehandal itu berjibaku dengan penggorengan dan spatula. Lalu bercerita, dan makan camilan sembari nonton film bersama. Hitung-hitung sekalian juga menggendutkan badan bersama.“Kenyang banget ... jadi ngantuk,” ujar Ana. Perempuan itu bahkan malas membuka
“Sayang! Yang ... eh, Yang!” teriak Daren memanggil Ana begitu sepeda yang ia kendarai meluncur cepat saat berada pada sebuah turunan yang lumayan tinggi. Daren berusaha menyeimbangkan diri, meskipun kedua tangannya bergetar hebat.Ana berjalan santai mengusap bulir-bulir air matanya yang keluar akibat saking banyaknya ia tertawa. Tapi, begitu ternyata dia tahu jika sang kekasih tidak sedang mengerjai dirinya, akhirnya ia berlari tunggang langgang mencoba berusaha menggapai ujung belakang sepeda agar laju sepeda bisa segera berhenti. Tapi, kecepatan sepeda itu rupanya seperti kecepatan cahaya. Tetap saja Ana tidak mampu menghentikan lajunya, walaupun prestasi perempuan itu adalah juara satu lomba lari tujuh belas Agustus di sekolahnya.“Sayaaang! Tekan remnya ... tekan!” perintah Ana dari belakang.“Apa!”“Remnya ... tangan kamu tekan remnya!”“Gimana caranya? Tangan aku gak bisa digerakkan ini!” jawab Daren. Ini lebih gila dari pada dia harus naik wahana roller coaster, yang paling t
Empat puluh dua hari. Iya, selama itu Daren tidak memberi kabar kepada Ana. Ini aneh, biasanya sesibuk apa pun laki-laki itu, tidak pernah sekali pun absen menghubunginya.Ana semakin cemas, sebab telepon pun tidak bisa dihubunginya. Mungkin laki-laki itu butuh ruang untuk menyelesaikan setiap permasalahannya, tanpa mau diganggu oleh dirinya sekalipun. Padahal Ana ingin setidaknya Daren membagi setiap keresahannya.Ingin rasanya Ana menyusul Daren. Mengajak laki-laki itu bertemu, untuk sekedar menanyai apakah sekarang kekasihnya itu baik-baik saja? Apa dia ingin bercerita? Atau maukah dia dihibur olehnya? Karena Ana akan selalu ada untuk Daren, siap mendengar setiap keluh kesahnya, atau juga untuk berbagi beban dengan dia. Akan tetapi, dilain hal perempuan itu juga takut, jika nantinya akan menambah beban pikiran bagi Daren atau lebih buruknya malah mengangguk aktivitas sang kekasih, jika Ana tetap memaksakan egonya. Dia tidak mau itu terjadi.“An, udah tidur? Boleh ketemu? Gue tunggu
Ketiga manusia itu duduk dalam diam di hadapan papa Ana. Wajah Keenan kebiruan, bibir laki-laki itu sobek, dan berdarah, juga rambutnya berantakan. Walau pun Daren terlihat baik-baik di luar tapi tidak di dalam hatinya, karena dia juga merasakan rasa sakit yang sama. Mungkin lebih sakit dari yang Keenan rasakan saat ini.Keenan tidak sempat membalas pukulan yang diberikan oleh Daren. Atau mungkin, memang tidak berniat juga, entahlah. Beberapa detik setelah Daren memukulnya, orang-orang juga sudah segera memisahkan mereka.Tadinya Daren beserta keluarga Ana dan juga Cika ingin memberikan kejutan ulang tahun kepada kekasihnya. Akan tetapi, sewaktu mereka menyambangi kamar Ana, perempuan itu tidak ada di sana. Satpam mereka mengatakan, jika kekasihnya itu keluar beberapa waktu yang lalu. Mereka memutuskan menunggu Ana di balik pintu, tapi saat Daren melihat CCTV dan tahu kekasihnya datang bersama orang yang dibencinya, ia begitu marah.Apa yang harus dipikirkannya? Apa Daren bisa tetap b