“Sayang! Yang ... eh, Yang!” teriak Daren memanggil Ana begitu sepeda yang ia kendarai meluncur cepat saat berada pada sebuah turunan yang lumayan tinggi. Daren berusaha menyeimbangkan diri, meskipun kedua tangannya bergetar hebat.Ana berjalan santai mengusap bulir-bulir air matanya yang keluar akibat saking banyaknya ia tertawa. Tapi, begitu ternyata dia tahu jika sang kekasih tidak sedang mengerjai dirinya, akhirnya ia berlari tunggang langgang mencoba berusaha menggapai ujung belakang sepeda agar laju sepeda bisa segera berhenti. Tapi, kecepatan sepeda itu rupanya seperti kecepatan cahaya. Tetap saja Ana tidak mampu menghentikan lajunya, walaupun prestasi perempuan itu adalah juara satu lomba lari tujuh belas Agustus di sekolahnya.“Sayaaang! Tekan remnya ... tekan!” perintah Ana dari belakang.“Apa!”“Remnya ... tangan kamu tekan remnya!”“Gimana caranya? Tangan aku gak bisa digerakkan ini!” jawab Daren. Ini lebih gila dari pada dia harus naik wahana roller coaster, yang paling t
Empat puluh dua hari. Iya, selama itu Daren tidak memberi kabar kepada Ana. Ini aneh, biasanya sesibuk apa pun laki-laki itu, tidak pernah sekali pun absen menghubunginya.Ana semakin cemas, sebab telepon pun tidak bisa dihubunginya. Mungkin laki-laki itu butuh ruang untuk menyelesaikan setiap permasalahannya, tanpa mau diganggu oleh dirinya sekalipun. Padahal Ana ingin setidaknya Daren membagi setiap keresahannya.Ingin rasanya Ana menyusul Daren. Mengajak laki-laki itu bertemu, untuk sekedar menanyai apakah sekarang kekasihnya itu baik-baik saja? Apa dia ingin bercerita? Atau maukah dia dihibur olehnya? Karena Ana akan selalu ada untuk Daren, siap mendengar setiap keluh kesahnya, atau juga untuk berbagi beban dengan dia. Akan tetapi, dilain hal perempuan itu juga takut, jika nantinya akan menambah beban pikiran bagi Daren atau lebih buruknya malah mengangguk aktivitas sang kekasih, jika Ana tetap memaksakan egonya. Dia tidak mau itu terjadi.“An, udah tidur? Boleh ketemu? Gue tunggu
Ketiga manusia itu duduk dalam diam di hadapan papa Ana. Wajah Keenan kebiruan, bibir laki-laki itu sobek, dan berdarah, juga rambutnya berantakan. Walau pun Daren terlihat baik-baik di luar tapi tidak di dalam hatinya, karena dia juga merasakan rasa sakit yang sama. Mungkin lebih sakit dari yang Keenan rasakan saat ini.Keenan tidak sempat membalas pukulan yang diberikan oleh Daren. Atau mungkin, memang tidak berniat juga, entahlah. Beberapa detik setelah Daren memukulnya, orang-orang juga sudah segera memisahkan mereka.Tadinya Daren beserta keluarga Ana dan juga Cika ingin memberikan kejutan ulang tahun kepada kekasihnya. Akan tetapi, sewaktu mereka menyambangi kamar Ana, perempuan itu tidak ada di sana. Satpam mereka mengatakan, jika kekasihnya itu keluar beberapa waktu yang lalu. Mereka memutuskan menunggu Ana di balik pintu, tapi saat Daren melihat CCTV dan tahu kekasihnya datang bersama orang yang dibencinya, ia begitu marah.Apa yang harus dipikirkannya? Apa Daren bisa tetap b
Keenan lagi-lagi membuka media sosialnya. Kembali diam-diam melihat media sosial Ana yang dipenuhi oleh gambar-gambar wanita itu dengan kekasihnya sebenarnya, adalah sumber penyakit bagi dirinya.Tampak sekali bahagia terpancar di wajah Ana dan sungguh Keenan tidak rela. Itu Daren, sepupu yang tidak pernah bisa mengalahkannya. Sekarang malah dekat dengan seseorang yang disukainya.Keenan menggerakkan salah satu ujung bibirnya, ternyata membuat Daren sedikit sibuk adalah keputusan terbaik yang pernah dia pikirkan. Karena itu, Ana jadi sering membalas pesannya, perempuan itu juga kembali sering bercerita seperti dulu dengan dirinya.Pelan namun pasti, ia yakin akan kembali lagi mendapatkan gadis itu kembali.Apa dia jahat? Entahlah, dia sendiri juga semakin tidak mengenali dirinya sendiri.Keenan memijat pelipisnya. Lagi pula memang apakah ada yang salah dengan dia yang berusaha mendapatkan cintanya kembali? Laki-laki itu baru sadar, jika cinta harus dikejar. Bukankah permainan ini belu
“Gimana?” tanya Cika kepada Beni yang baru memasuki area pelataran rumah Ana.Beni menggelengkan kepala lemah lalu duduk di sebelah Cika. “Gue gak bisa ngejar Daren, udah jauh.”Cika menghela napas panjang. Sewaktu Beni baru menampakkan diri tadi, sebenarnya dia sudah tahu, jika laki-laki itu akan menyampaikan kabar yang mengecewakan. Terlihat dari raut wajahnya yang suram, sesuram isi saldo rekeningnya. Lagi pula, Cika hanya sekedar ingin lebih memastikan saja. “Lo tahu apartemen Daren, enggak? Ayo kita susulin ke sana?” ajaknya kemudian.Beni menatap Cika lumayan lama, sebelum akhirnya menunduk menatap kedua kakinya. “Sepertinya jangan dulu deh, Cik ... biar mereka sama-sama tenang dulu. Lagi pula, kita juga jangan terlalu ikut campur urusan mereka. Biar mereka selesaikan sendiri,” sahutnya lirih.Cika menggelengkan kepala terlihat tidak setuju. “Enggak ... gue harus ikut campur. Gue gak mau Ana sedih lagi. Mereka berdua cocok, sayang kalau harus berpisah begitu saja. Sebagai sahaba
“An lo udah ada di kantor? Kenapa lo masuk?” tanya Cika yang aneh melihat Ana sudah berkutat dengan pekerjaannya. Bahkan, malah sudah tiba lebih dahulu di kantor dari pada dirinya. Perempuan itu kira Ana akan bersedih-sedih ria di dalam kamarnya, mengingat keadaannya kemarin yang terlihat lebih kacau dari biasanya.“Kerjalah,” balas Ana dengan masih sibuk dengan laptopnya.“Sorry, ya ... gue yang malah telat.”“Tumben lo telat?”“Eh ... lo udah baik-baik saja?” tanya Cika tanpa menjawab pertanyaan dari Ana.“Enggak juga.”“Lo enggak apa-apa, kok ... kalau mau ambil cuti? Bebas, cuti aja.”“Ga mau cuti, ah. Mau fokus kerja aja gue. Ini musim kawin, kan? Banyak pasti kerjaan. Gue kasihan sama lo. Lihat itu kantong mata, sampai seram gitu kayak Kuntilanak. Gue yang putus, kenapa lo yang kayaknya enggak bisa tidur?”Cika terbatuk-batuk dan buru-buru mengambil air mineral yang terletak tak jauh dari tempatnya duduk.“Iya, sih ... bulan Juli banyak sekali manusia-manusia yang ingin berkemba
“Itu Keenan? Lo mau nemuin dia lagi?” tebak Cika sambil mengayunkan ponsel Ana. Lalu perempuan itu menaruh benda pintar itu dan beralih memegang kedua tangan sahabatnya. “Bilang sama gue kalau lo enggak mau nemuin itu cowok lagi, An?”Ana menatap mata sang sahabat. “Sorry, Cik ... gue harus bicara sama dia buat ngelurusin semuanya,” ujarnya.Cika mengetuk kening dengan jari manis sambil memejamkan kedua matanya. Kenapa sesulit ini berbicara dengan seseorang yang dibutakan oleh cinta. “Astaga! Apalagi sih yang harus lo lurusin? Hidup lo aja sama dia juga enggak lurus-lurus amat, Bestai! Sebel gue lama-lama sama lo!”“Gue....”“Kenapa lo enggak nemuin Daren. Bilang kek kalau itu semua hanya salah paham. Kenapa lo malah mau nemuin Keenan? Laki-laki itu, Ana ... yang buat lo putus.”“Bukan Keenan yang bikin gue putus, Cik,” kekeh Ana. Perempuan itu masih kekeh dengan pendiriannya, jika Keenan bukanlah alasan putusnya hubungannya dengan Daren. Laki-laki itu tidak terlibat, pikirnya.“Secar
Hanya suara jangkrik dan embusan udara malam yang bisa terdengar begitu Beni mengucapkan kalimat keramat bagi Cika.Cika mengerjap menatap Beni dalam diam lalu mundur beberapa langkah selanjutnya berlari masuk ke dalam rumah. Perempuan itu menyenderkan tubuhnya di balik pintu dan memegang dada kirinya yang dirasa berdetak tidak karuan. Ini tidak sesuai yang diperkirakannya. Bukankah Beni tidak segampang itu menyukai perempuan? Tapi, kenapa dia mengucapkan kalimat sakral itu? Begitu saja? Di tempat yang sama sekali tidak pernah diduganya.Lalu kenapa dirinya malah berlari masuk ke dalam rumah? Harusnya ia langsung mengangguk mengiyakan! Bukankah ini yang dimaunya. Dia menyukai Beni, lalu untuk apa lagi ia membuang-buang waktu dan terlalu jual mahal?Cika meringis memukul kepalanya yang benar-benar tidak berfungsi di saat-saat seperti ini lalu pelan-pelan membuka pintu rumahnya. Perempuan itu melongok ke arah luar, sepi sudah tidak ada lagi Beni di sana. Kemudian ia keluar dan berjongko