Seperti yang sudah direncanakan tadi, kini Karel sedang berjalan melewati lorong kelas hendak menuju ke ruangan kepala sekolah. Sedangkan Giska dan Puja menunggunya di kantin.Mengetuk pintu itu perlahan. Setelah ada balasan dari dalam, barulah ia melangkah masuk ruangan itu.“Silakan duduk,” ujar laki-laki paruh baya yang berstatus sebagai kepala sekolah.Karel langsung duduk di kursi yang posisinya berhadap-hadapan dengan meja.“Hmm, maaf, Pak. Kata Giska dan Puja, Bapak meminta saya untuk datang ke sini. Kalau boleh tahu, ada masalah apa ya Pak?”Laki-laki itu menarik napasnya singkat, kemudian memulai percakapan.“Begini, Karel. Sebenarnya ini bukan masalah yang besar, apalagi sampai berpengaruh dengan nilai-nilai kamu di sekolah. Tapi Bapak hanya ingin jika orang tua kamu bisa sesekali datang atau ikut serta dalam pertemuan para wali murid. Ya, Bapak tahu betul jika papa kamu adalah tenaga pengajar, tapi setidaknya bisa kan menyempatkan datang di acara-acara penting sekolah. Toh
Jam terakhir adalah mata pelajaran olah raga. Karena otomatis usai pelajaran berakhir, para siswa dan siswi bisa langsung pulang karena kecapean.Karel dan Giska sudah berada di lapangan, menunggu guru olah raga yang datang. Sementara Puja kembali ke kelas untuk mengambil botol minum miliknya yang ketinggalan di kelas. Tak lama, mungkin hanya kisaran lima menit, gadis itu sudah tampak kembali sambil berlari menghampiri Karel dan Giska.“Mana cuaca panas banget lagi. Ini apa nggak ada toleransi gitu, Pak … buat basket aja gitu. Atau renang,” keluh salah satu siswi pada guru.“Kalian ini. Baru juga panas dikit aja udah ngeluh. Dahulu, para prajurit perang mau hujan badai, panas terik, angin topan puting beliung, tetap saja mereka semangat juang untuk membela negara!” “Adoh, Bapak … ini tuh mapel olah raga anak SMA. Masa disamain sama prajurit perang, sih,” tambah Giska yang ikutan protes saat mendengar balasa si guru.“Betis saya auto membengkak nanti, Pak … kalau dipaksa lari-lari ka
Sampai di rumah, Karel langsung bergegas menuju ke kamarnya yang berada di lantai atas. Setidaknya ia sedikit merasa aman saat tak berpapasan dengan siapapun termasuk bibik. Karena kalau papanya, sudah jelas tak akan berada di rumah di jama segini. Toh kalau tahu pun, belum tentu juga mengkhawatirkannya.Sampai di kamar langsung menutup pintu. Melempar tas nya sembarangan dan menuju wastafle yang ada di arah dekat pintu kamar mandi.Perlahan melepaskan sapu tangan yang menutupi hidungnya. Lega, ketika darah sudah berhenti mengalir dari lubang hidungnya. Segera membersih kan sisa-sisa darah yang menempel dan berjalan menuju arah tempat tidur.Duduk dengan sebuah bantal yang ia senderkan di bagian punggung. Memejamkan mata demi meredakan rasa pusing yang semenjak di sekolah tadi sudah merajalela.Di saat yang bersamaan terdengar pintu kamarnya diketuk dari arah luar. Hendak langsung menuju ke arah pintu, tapi tiba-tiba tersadar saat ada tetesan darah yang mengenai seragamnya.“Bentar!”
Setelah mendapatkan kabar dari Bibik, Kiran langsung bersiap untuk segera menuju ke kediaman Leo. Sudah ia katakan berkali-kali, kan … rasa cemasnya pada Karel dan Ziel itu sama. Jadi, ketika mereka sedang dalam kondisi tak baik, itu membuatnya khawatir.“Kamu mau kemana?”Arland yang baru saja masuk ke dalam kamar, tiba-tiba malah disuguhkan oleh penampilan Kiran yang sudah bersiap untuk pergi.“Maaf, aku nggak minta ijin dulu barusan sama kamu.”“Untuk?”“Bibik barusan telepon dan bilang kalau Karel sepertinya lagi nggak sehat.”“Apa lukanya …”“Bukan, tapi badannya yang nggak sehat. Pulang sekolah, kondisinya udah kayak drop gitu kata bibik. Makanya aku mau cek ke sana.”“Bukannya tadi dia pulang dijemput sama Davian, coba tanya dia.”Kiran duduk di pinggiran tempat tidur dan melakukan saran yang diberikan oleh suaminya, yap, menelepon davian.“Hallo, Davi.”“Ya, Tan?”“Kamu jemput Karel kan tadi dari sekolah?”“I-iya, Tante. Cuman aku nggak ketemu. Maksudku, aku udah sampai di sek
Arland sudah keluar dari kamar itu, sementara Kiran masih di sana. Duduk di samping Karel yang dalam posisi tidur.“Om marah padaku ya, Tante?”“Nggak,” jawab Kiran. “Om hanya merasa bersalah karena nggak bisa jagain kamu. Tiba-tiba kamu sampai terluka, sering bersedih, menangis dan sekarang kamu sakit.”“Aku nggak berniat seperti itu.”“Udah, sekarang kalau kamu memang perduli sama perasaan Om ataupun Tante, tolong jaga perasaan dan jaga kesehatan kamu. Karena saat kamu tak baik-baik saja, kami justru merasa tak bisa jagain kamu, Sayang.”“Aku janji.”Kiran memberikan ponsel milik Karel. “Ini ponsel kamu tante tarok di sini, ya. Tapi kayaknya nggak aktif.”“Sengaja ku matiin.”“Kabur dari pantauan Ziel?”“Bukan kabur, Tante. Cuman tadi pas Kak Davi jemput, tiba-tiba aku mimisan. Aku nggak mau ketahuan, makanya memilih untuk pulang pake taksi.”“Katanya dianterin teman.”“Aku bohong,” gumamnya.Kiran hanya bisa menarik napasnya panjang. Gadis ini akalnya banyak sekali. Hingga membuatn
Keduanya kembali menuju perusahaan. Tahu apa yang terjadi selama perjalanan? Iya, Davian malah menuntut Ziel untuk memberikan penjelasan pada apa yang dia katakan di restoran tadi.“Zi.”“Hmm,” sahut Ziel dengan pandangannya yang terfokus pada layar ponsel.“Otakku seolah tak bisa diam sebelum mendengar semua penjelasan tentang apa yang kamu katakan tadi pada Livia.”“Sudah dengar sendiri, kan. Mau penjelasan seperti apalagi?”“Kamu serius?”“Yang mana?” tanya Ziel menatap sobatnya itu.Davian memutar bola matanya jengah dengan pertanyaan Ziel yang bikin kesal. Sudah jelas-jelas ia fokeus pada perihal memuaskan tadi, ini malah nanya lagi.“Kamu dan Karel sudah pernah …”“Pernah apa?” tanya Ziel balik. Menatap Davian dengan raut dingin. “Ayolah, Davi. Jangan berpikiran terlalu mesum. Mungkin Livia memikirkan hal yang tidak-tidak tentang apa yang aku dan Karel lakukan. Tapi haruskah kamu juga berpikiran semesum itu tentang kami?”Dahi Davian malah semakin menunjukkan kerutan mendengar p
Davian yang tadinya hendak menuju ke ruangannya, tapi setelah mengalami hal mengejutkan barusan membuatnya hilang semangat hidup. Bisa-bisanya hubungan yang ia jalani dengan penuh rasa cinta dan keseriusan berakhir menyakitkan seperti ini.Masuk dan berjalan gontai menuju kursi sofa, membuat si pemilik ruangan dibuat bingung dengan reaksi dan ekspressi wajah Davian.“Dav, baik-baik aja, kan?” tanya Ziel pada Davian.Davian tak menjawab pertanyaan itu, justru malah merebahkan badannya di sofa dengan menekuk kedua kakinya.Makin penasaran, Ziel beranjak dari posisi duduknya dan berjalan menghampiri Davi.“Kamu sakit?”“Iya, Zi. Sakit hati, rasanya seperti dipatahkan berkali-kali. Sakit banget,” gumamnya dengan nada tak bersemangat.Ziel sampai bingung dan sedikit berpikir dengan apa yang dikatakan oleh davian.“Maksudnya?”“Gue patah hati, Zi. Fani mutusin gue!” Ini kalau tak ada Ziel dihadapannya, mungkin jiwa sadboy nya akan keluar dan menangis saking sedih dan sakitnya.“Lo serius, D
Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Karel yang tadinya tertidur, tiba-tiba bangun karena mendengar suara pintu kamar yang dibuka dari arah luar … pertanda ada seseorang yang masuk.Membuka matanya perlahan, menatap langkah yang semakin mendekat padanya. Samar-samar melihat sosok yang sedang tersenyum padanya dan ia pun membalas senyuman itu.“Gimana, Rel … masih pusing?”Seketika senyuman Karel lenyap, saat suara itu membangunkannya dari kehaluan yang sedikit aneh. Kenapa malah di matanya melihat yang datang adalah Ziel, padahal jelas-jelas yang ada dihadapannya adalah Kiran. Wah, sepertinya otaknya mulai bermasalah.“Iya, Tante. Udah baik-baik aja, kok. Kan tadi aku bilangnya juga gitu … pusing cuman kecapean doang.”“Iya, menurut kamu. Tapi pas diperiksa sama Om, hasilnya apa? Panas, kan.”Karelyn hanya bisa mengerucutkan bibirnya, saat Kiran mulai bicara. Ayolah, ia bukannya kesal atau marah saat wanita paruh baya ini mengaturnya, mengomentari sikapnya yang tak baik, ataupun bahkan