“Apa, Sayang!? Tante di teras samping!” balas Kiran sedikit berteriak, membalas panggilan Karel dari arah dalam rumah.Karel menghampiri Kiran yang posisinya berada di teras samping. “Tante, bantuin,” ujarnya pada Kiran yang saat itu sedang menyiram beberapa pot pohon bunga mawar kesayangannya.“Zi, bantuin Karel bentar, Nak!” teriak Kiran memanggil Ziel, dengan posisinya yang masih membelakangi Karel.Ziel yang tiba-tiba muncul, malah tersenyum mendengar perkataan mamanya.“Mama yakin memintaku untuk membantu Karel ganti baju?” tanya Ziel sambil bersidekap dada, meminta kepastian pada mamanya.Seketika Kiran langsung balik badan, terlihat Karel yang datang masih mengenakan tanktop dan hot pants.“Masa Kak Ziel yang bantuin aku, Tan?” Karel memastikan perintah Kiran pada Ziel, sambil menunjukkan semua tetengannya yang berupa seragam sekolah juga.“Sebagai seorang anak yang patuh pada mamanya, aku bisa lakuin kok, Ma. Serius,” tambah Ziel menggoda mamanya.Kiran menggeplak lengan putra
Sarapan bersama dengan Kiran dan juga Arland. Yap, sebuah keluarga impian yang begitu didamba oleh Karel. Meskipun mamanya sudah tiada, padahal berharap bisa makan bareng dengan papanya. Namun itu seolah hanya jadi impian yang entah kapan akan terwujud.Makan bareng mungkin memang pernah terjadi, hanya saja seolah berada di dunia masing-masing. Tak ada efek kekeluargaan, ataupun sikap normal seorang ayah dan anak.“Ingat apa yang Tante bilang, kan, Karel. Nanti pulang sekolah kamu ke sini. Daripada ntar kamu bingung lagi siapa yang bisa bantuin ganti perban, gantiin baju, nyisirin rambut.”Karel tak menjawab ataupun membalas perkataan Kiran, tapi malah mengarahkan pandangannya pada Ziel yang duduk di kursi sampingnya.“Lah, kenapa malah Ziel yang dilirik. Kan Tante yang lagi ngomong,” ujar Kiran pada Karelyn.Ziel menyelesaikan makannya, kemudian meneguk minumannya. Kini fokusnya tertuju pada kedua orang tuanya.“Maaf, Ma, Pa. Bukannya aku nggak setuju jika Karel di sini, tapi bukanka
Apa sekarang ini yang dinamakan sebuah karma? Tadi kesal karena Ziel dekat dengan seorang cewek selain dirinya, padahal dia bilang tak ada hubungan apa-apa. Sekarang justru dirinya yang kena tulah. Ya siapa lagi ‘dia’ yang di maksud oleh Ziel kalau bukan Arga. Heran banget, kenapa dia selalu dan masih ngintilin dirinya.“Ngapain aku minta tolong sama dia,” berengutnya.Karel akhirnya memutar posisi duduknya jadi membelakangi Ziel. Daripada dia mikir kalau antara dirinya dan Arga masih ada hubungan. Di tak dan pikirannya, Ziel lebih baik dari cowok manapun yang ia kenal.Ziel menyibak rambut panjang Karel ke arah depan dia. Mambuat dirinya lebih mudah kembali memasang kancing rok itu.“Sepertinya kamunya yang gemukan deh, Rel. Makanya kancingnya lepas,” ujar Ziel ketika memasang kembali benda itu.“Ih, enak aja. Berat badan ku masih seperti biasa,” berengut Karel tak terima ketika Ziel mengatakannya dirinya gemuk. Bukan gemuk lagi, tapi terlalu kurus gara-gara tekanan bathin malah. K
Seperti yang sudah direncanakan tadi, kini Karel sedang berjalan melewati lorong kelas hendak menuju ke ruangan kepala sekolah. Sedangkan Giska dan Puja menunggunya di kantin.Mengetuk pintu itu perlahan. Setelah ada balasan dari dalam, barulah ia melangkah masuk ruangan itu.“Silakan duduk,” ujar laki-laki paruh baya yang berstatus sebagai kepala sekolah.Karel langsung duduk di kursi yang posisinya berhadap-hadapan dengan meja.“Hmm, maaf, Pak. Kata Giska dan Puja, Bapak meminta saya untuk datang ke sini. Kalau boleh tahu, ada masalah apa ya Pak?”Laki-laki itu menarik napasnya singkat, kemudian memulai percakapan.“Begini, Karel. Sebenarnya ini bukan masalah yang besar, apalagi sampai berpengaruh dengan nilai-nilai kamu di sekolah. Tapi Bapak hanya ingin jika orang tua kamu bisa sesekali datang atau ikut serta dalam pertemuan para wali murid. Ya, Bapak tahu betul jika papa kamu adalah tenaga pengajar, tapi setidaknya bisa kan menyempatkan datang di acara-acara penting sekolah. Toh
Jam terakhir adalah mata pelajaran olah raga. Karena otomatis usai pelajaran berakhir, para siswa dan siswi bisa langsung pulang karena kecapean.Karel dan Giska sudah berada di lapangan, menunggu guru olah raga yang datang. Sementara Puja kembali ke kelas untuk mengambil botol minum miliknya yang ketinggalan di kelas. Tak lama, mungkin hanya kisaran lima menit, gadis itu sudah tampak kembali sambil berlari menghampiri Karel dan Giska.“Mana cuaca panas banget lagi. Ini apa nggak ada toleransi gitu, Pak … buat basket aja gitu. Atau renang,” keluh salah satu siswi pada guru.“Kalian ini. Baru juga panas dikit aja udah ngeluh. Dahulu, para prajurit perang mau hujan badai, panas terik, angin topan puting beliung, tetap saja mereka semangat juang untuk membela negara!” “Adoh, Bapak … ini tuh mapel olah raga anak SMA. Masa disamain sama prajurit perang, sih,” tambah Giska yang ikutan protes saat mendengar balasa si guru.“Betis saya auto membengkak nanti, Pak … kalau dipaksa lari-lari ka
Sampai di rumah, Karel langsung bergegas menuju ke kamarnya yang berada di lantai atas. Setidaknya ia sedikit merasa aman saat tak berpapasan dengan siapapun termasuk bibik. Karena kalau papanya, sudah jelas tak akan berada di rumah di jama segini. Toh kalau tahu pun, belum tentu juga mengkhawatirkannya.Sampai di kamar langsung menutup pintu. Melempar tas nya sembarangan dan menuju wastafle yang ada di arah dekat pintu kamar mandi.Perlahan melepaskan sapu tangan yang menutupi hidungnya. Lega, ketika darah sudah berhenti mengalir dari lubang hidungnya. Segera membersih kan sisa-sisa darah yang menempel dan berjalan menuju arah tempat tidur.Duduk dengan sebuah bantal yang ia senderkan di bagian punggung. Memejamkan mata demi meredakan rasa pusing yang semenjak di sekolah tadi sudah merajalela.Di saat yang bersamaan terdengar pintu kamarnya diketuk dari arah luar. Hendak langsung menuju ke arah pintu, tapi tiba-tiba tersadar saat ada tetesan darah yang mengenai seragamnya.“Bentar!”
Setelah mendapatkan kabar dari Bibik, Kiran langsung bersiap untuk segera menuju ke kediaman Leo. Sudah ia katakan berkali-kali, kan … rasa cemasnya pada Karel dan Ziel itu sama. Jadi, ketika mereka sedang dalam kondisi tak baik, itu membuatnya khawatir.“Kamu mau kemana?”Arland yang baru saja masuk ke dalam kamar, tiba-tiba malah disuguhkan oleh penampilan Kiran yang sudah bersiap untuk pergi.“Maaf, aku nggak minta ijin dulu barusan sama kamu.”“Untuk?”“Bibik barusan telepon dan bilang kalau Karel sepertinya lagi nggak sehat.”“Apa lukanya …”“Bukan, tapi badannya yang nggak sehat. Pulang sekolah, kondisinya udah kayak drop gitu kata bibik. Makanya aku mau cek ke sana.”“Bukannya tadi dia pulang dijemput sama Davian, coba tanya dia.”Kiran duduk di pinggiran tempat tidur dan melakukan saran yang diberikan oleh suaminya, yap, menelepon davian.“Hallo, Davi.”“Ya, Tan?”“Kamu jemput Karel kan tadi dari sekolah?”“I-iya, Tante. Cuman aku nggak ketemu. Maksudku, aku udah sampai di sek
Arland sudah keluar dari kamar itu, sementara Kiran masih di sana. Duduk di samping Karel yang dalam posisi tidur.“Om marah padaku ya, Tante?”“Nggak,” jawab Kiran. “Om hanya merasa bersalah karena nggak bisa jagain kamu. Tiba-tiba kamu sampai terluka, sering bersedih, menangis dan sekarang kamu sakit.”“Aku nggak berniat seperti itu.”“Udah, sekarang kalau kamu memang perduli sama perasaan Om ataupun Tante, tolong jaga perasaan dan jaga kesehatan kamu. Karena saat kamu tak baik-baik saja, kami justru merasa tak bisa jagain kamu, Sayang.”“Aku janji.”Kiran memberikan ponsel milik Karel. “Ini ponsel kamu tante tarok di sini, ya. Tapi kayaknya nggak aktif.”“Sengaja ku matiin.”“Kabur dari pantauan Ziel?”“Bukan kabur, Tante. Cuman tadi pas Kak Davi jemput, tiba-tiba aku mimisan. Aku nggak mau ketahuan, makanya memilih untuk pulang pake taksi.”“Katanya dianterin teman.”“Aku bohong,” gumamnya.Kiran hanya bisa menarik napasnya panjang. Gadis ini akalnya banyak sekali. Hingga membuatn
Giska kembali menghampiri Karel dengan muka cemberutnya.“Mana buahnya?” tanya Karel.“Dimakan noh sama Kak Davian,” jawab Giska sambil menghempaskan bokongnya duduk di kursi.“Lah,” keluh Karel.Giska menatap fokus pada Karel. “Trus gimana? Lo bantuin gue sama Puja. Kita udah sahabatan lama, El … masa gara-gara perkara beginian sampai musuhan.”Karel bukannya bingung, tapi ia takut jika kedua sahabatnya berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Puja menyukai Davi, tapi Davi lebih mendekati Giska. Mereka berdua sahabatnya, makanya ia jadi bingung.“Gue nggak ada niatan sama sekali bikin Puja sakit hati. Dia mau gue hapus kontaknya Kak Davi, gue mau. Minta gue jangan dekat-dekat, oke nggak apa-apa. Tapi Puja nya nggak mau bicara sama gue.”Giska langsung menangis saat bicara. Ya bagaimana tak sedih, jika yang kesal dan marah padanya adalah sahabatnya sendiri.“Lo jangan nangis dong, Giska.”“Gue sedih tahu nggak.”“Apa gue minta Puja datang ke sini buat bicarain semua?”“Tadi pagi aja di
Dari jam pagi sampai jam pelajaran akhir, serasa benar-benar panjang. Biasanya ada Puja dan Karel. Sekarang ia hanya sendirian. Ada Puja, tapi malah sedang kesal padanya. Setiap diajak bicara, malah seolah menghindar.Sampai di dalam mobil, Giska menelepon mamanya.“Hallo, Ma.”“Ya, Nak?”“Aku pulangnya agak telat, ya, Ma. Soalnya mau main kerumahnya Karel. Tadi dia nggak masuk karena nggak enak badan, jadi aku mau jenguk.”“Iya, hati-hati, ya. Titip salam dari Mama buat Karel.”Selesai meminta izin, barulah Giska memutuskan untuk segera berlalu dari sana … meninggalkan area parkiran sekolah menuju rumah keluarga Ziel.Dalam perjalanan, ponselnya berdering. Terlihat nama Davian yang tertera. Benar-benar malas rasanya untuk menjawab, apalagi setelah peperangannya dan Puja tadi.Pada akhirnya ia biarkan benda pipih itu diam dengan sendirinya. Mau meriject, malah nggak enak. Ntar dikira sengaja. Kalau dibiarkan, kan dia pasti menyangka kalau dirinya masih ada kelas.Pak satpam membukakan
Pagi harinya, Ziel bergegas turun dan langsung menuju ke arah meja makan. Tak duduk, tapi justru hanya menyambar satu lembar roti tawar dan meneguk segelas green tea.“Loh, Aden nggak sarapan?” tanya Bibik.“Udah, Bik. Aku buru-buru,” jawabnya.“Loh, kok nggak makan?” Giliran Kiran yang baru datang dari arah teras samping bertanya. “Karel mana?”“Aku ada pertemuan pagi ini, Ma. Semalam juga sudah bilang bisa sama Davi. Karel masih di kamar, masih tidur … jangan dibangunin. Aku kasih izin libur hari ini.”“Tapi, Zi …”Ziel menyambar dan mencium punggung tangan Kiran.“Dah, Ma … aku berangkat.”Kiran hanya bisa menarik napas panjang, menatap kepergian putranya hingga keluar dari rumah.“Ada apa?” tanya Arland yang baru keluar dari kamar dan duduk di kursi yang ada di meja makan.“Ziel, udah berangkat.”“Tumben pagi-pagi.”“Katanya ada pertemuan pagi ini dan semalam udah mastiin sama Davi.”“Karelyn?”“Dia kasih izin libur satu hari,” jawab Kiran dengan senyuman.Sementara Karel di kamar
Keduanya menuju rumah sakit. Seperti yang sudah dijanjikan, bahwa hari ini Karel akan melakukan cek-up secara menyeluruh. Lebih cepat mengetahui seberapa parah sakit yang dia alami, itu justru semakin baik. Karena mencegah lebih baik daripada mengobati saat semua sudah berada di titik parah.“Nanti kalau lulus, aku boleh lanjut kuliah, kan?” tanya Karel.“Tentu saja. Kalau kamu nggak maupun, akan aku yang paksa.”Karel sampai tertawa mendengarnya. “Suami macam apa yang melakukan tindakan pemaksaan pada istrinya.”“Kan aku memaksa ke jalan yang benar, bukan pada kesesatan, Sayang. Ilmu itu penting. Dan aku nggak mau hanya karena status pernikahan, membuatmu sampai stop untuk lanjut kuliah.”Dengar, kan. Orang pinter ngomongnya gitu, ya. Apa-apa bahasannya pasti perkara menuntut ilmu, belajar, dan perkara otak. Udah nikah saja masih tetap membahasa perkara pendidikan.“Boleh ke luar negri?” tanya Karel langsung pada titik pertanyaan yang paling inti.Seketika Ziel menghentikan laju kend
Karel menyodorkan sebuah map pada Ziel yang langsung dia terima.“Kakak dari mana? Katanya mau tidur, mau istirahat. Tetap aja pas aku nyampe rumah, kamunya baru balik.” langsung mengomel mode emak-emak.“Nganterin tante ke bandara.”“Lah, udah balik?”“Udah,” jawab Ziel.“Padahal aku belum ngobrol banyak. Malah udah pada bubar semua,” gerutunya dengan wajah cemberut. Kemudian berlalu dari hadapan Ziel dan langsung masuk ke dalam rumah dengan pintu yang tampak terbuka lebar.“Kenapa, sih … pulang sekolah langsung cemberut?” tanya Kiran yang baru datang dari arah teras samping.Karel yang tadinya berniat langsung menuju ke arah kamar, beralih menghampiri Kiran. Menyambar dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.“Kenapa semua udah pada balik? Kan kita belum ngobrol banyak.”“Ngobrolnya ntar denganku saja,” sahut Ziel terkekeh, kemudian melanjutkan langkahnya menuju lantai atas.“Jangan ke ruang kerja ya, Kak … aku beneran mau bicara loh!”Tak ada sahutan dari Ziel. Oke, itu ar
Pulang sekolah, seperti apa yang dikatakan oleh Ziel padanya. Hanya saja saat hendak menelepon, tiba-tiba Giska menawarinya untuk pulang bareng. Karena dari sekolah, Giska akan mampir ke rumahnya yang lama untuk menjemput Bibik.“Gimana? Ini kebetulan gue mau jemput Bibik ke tempat papa. Kan satu arah.”“Gue duluan, ya,” ujar Puja pada Giska dan Karel, kemudian langsung saja menyelonong pergi meninggalkan keduanya.Keduanya sampai saling pandang karena bingung harus bersikap seperti apa.“Hati-hati, Ja!” teriak Giska.Karel sampai tersenyum menanggapi sikap dan balasan Giska pada Puja. Padahal harusnya kesal, kan … tapi ini malah dibawa candaan.“Gue nggak merasa bersalah. Jadi abaikan saja kekesalan dia yang nggak jelas itu,” gumam Giska.“Ayok, gue bareng lo,” ujar Karel menyetujui ajakan Giska. Setidaknya ia tak mengganggu jam istirahat Ziel. Semoga saja dia benar-benar istirahat. Agak curiga, seseorang dengan jam bisnis kelas sibuk begitu mana mau disuruh istirahat dengan santai.
Jam pelajaran kedua selesai, guru juga sudah meninggalkan area kelas.“Ke kantin, yuk,” ajak Giska pada Karel dan Puja. Serius, ya … ia sebenarnya masih mode kesal pada Puja. Hanya saja berusaha jika masalahnya dan sobatnya tak terus berlanjut. Terserah dia mau marah atau apa, yang jelas ia sudah berusaha untuk tetap baik. Karena ia merasa tak salah.“Gue ikut, ya … tapi minum doang,” jawab Karel beranjak dari posisi duduknya. Peringatan dari Ziel dan papa mertuanya membuatnya harus pilah pilih makanan mulai sekarang, Apalagi makanan cepat saji.“Yok, Ja,” ajak Giska.“Kalian duluan aja, gue mau ke toilet bentar,” respon Puja dengan wajah tak bersahabat, kemudian berlalu pergi begitu saja dari hadapan Karel dan Giska.Tadinya masih tenang, tapi balasan dan sikap Puja barusan sukses membuat Giska seketika emosi.“Lo liat, kan, El. Dia kenapa, sih? Sumpah, ya. Paling kesal tuh kalau diacuhkan dan dicuekin tanpa tahu sebabnya apa. Perasaan gue nggak ada lakuin hal yang bikin dia kesal,
Langsung bergegas menuju ruang kelas, saat sampai sudah me dapati Giska dan juga Puja di sana. Mereka fokus pada buku dihadapan masing-masing.Melihat Karel yang datang, keduanya langsung heboh dan kegirangan. Ya apalagi, pasti keduanya akan membahas hal yang-tidak lagi.“El, gimana gimana?” tanya Puja bersemangat.“Heh, apanya yang gimana?”“Duh, sok lugu lagi. Yang kita berdua pertanyakan, gimana semalam. Lancar? Aman? Jebol nggak?”Seketika tangan Karel dengan cepat memberikan sentilan pada masing-masing jidat sobatnya itu. Bisa-bisanya mereka membahas hal yang sangat-sangat privasi itu di sekolah, bahkan di detik-detik menuju ulangan.“Kalian berdua ya ampun. Kenapa gue nyampe sekolah malah nanyain hal itu. Trus kalau gue bilang, kalian penasaran dan nyobain. Memangnya sudah ada objeknya?”“Dih, pelit amat sih, El. Kan buat berbagi pengalaman aja. Biar kapan-kapan kita berdua mau praktek, nggak kaget-kaget banget,” balas Puja dengan muka mesumnya.“Apa yang mau gue ceritain, kan k
“Aneh banget loh Kak Davian,” ujar Karel pada Ziel ketika keduanya turun menuju lantai bawah.“Aneh gimana?” tanya Ziel.“Masa dia nanyain alamatnya Giska.”“Buat apa?”“Katanya mau balikin ponsel milik Giska yang ketinggalan di cafe semalam.”Ziel mengarahkan pandangannya pada Karel, seolah ikut bingung dengan apa yang dikatakan oleh Karel.“Iya, Kak. Beneran gitu. Aku aja bingung. Pas ku tanya, kok bisa? Tapi dia nggak ngasih penjelasan.”Lanjut berjalan hingga keduanya sampai di bawah. Langsung menuju ruang makan. Ternyata di sana sudah ada semuanya.“Ya ampun, masih pagi buta sudah bangun aja ini pengantin baru. Padahal kami pikir nggak bakalan bangun seharian,” ujar Linzy dengan sengaja meledek Karel dan Ziel yang baru datang.Alvin sampai memberikan pelototan tajam pada putrinya itu. Sudah jadi hal yang lumrah, dua putrinya memang rada ceplas-ceplos.“Aku juga berpikir demikian, masalahnya mataku mengantuk berat. Tapi tahu sendiri kalau hari ini sekolah dan …” Melirik sedikit ke