Saat sampainya di Pasar Malam. Sansan segera menarik tangan Zidan untuk memasuki area pasar. Sansan sangat menyukai suasana Pasar Malam yang ramai, terang, dan tampak pancaran aura-aura kebahagiaan.
Suasana pun mendukung, langit malam tampak terang. Hamparan langit dipenuhi bintang-bintang yang bertaburan.
Sansan menatap ke sekelilingnya. Matanya tertuju pada ayunan naga yang berayun kencang. Tampak seru, karena orang-orang berteriak menikmati ayunan. Sansan pikir mereka berteriak girang, padahal berteriak ketakutan.
"Pak!"
"Hm?"
"Mau main itu," rengek Sansan.
"Jangan!" larang Zidan.
"Yah, kok, jangan, sih! Aku mau main itu!"
"Main yang lain aja," tawar Zidan.
"Nggak mau! Maunya itu ...."
"Yang lain."
"Oh, ya udah kalau Pak Zidan nggak mau. Biar aku aja yang naik sendiri," ucap Sansan merajuk. Ia pun berjalan sendiri meninggalkan Zidan di sana. Sansan sengaja memelankan jalannya, berharap Z
Mohon maaf lahir dan batin semua. Mau cerita dikit, aku dah nulis cerita ini tapi lupa save dan hilang, deh. Kesel banget dan sedih sekali. Jadi maaf aku lama up ya karena harus tulis ulang. Makasih yang udah mau baca. Salam hangat, ~Amalia Ulan
Mereka pun masuk ke dalam mobil bersiap pulang. Saatnya Sansan memulai rencana Raqib."Pak.""Hm?""Aku boleh minta satu permintaan, nggak?""Apa?""Aku mau pergi ke acara ulang tahun temanku. Pak Zidan mau nganterin, nggak?"Zidan mengerutkan keningnya. Ia lantas menghela napas saja."Oke.""Tapi ... sebelum itu, Pak Zidan harus pakai topeng ini," ucap Sansan mengeluarkan dua topeng dari tasnya."Harus pakai topeng?" tanya Zidan."Iya, Pak. Konsep ulang tahunnya itu pake topeng."Sansan pun memberikan topeng itu pada Zidan dan langsung dipakainya. Topeng itu menutupi sebagian wajahnya, lebih tepatnya di area sekitar mata saja.Sansan pun memakai topeng yang sama, bewarna gold."Nah, udah. Ayo, kita berangkat, Pak."Zidan membuka dulu topengnya dan mulai menjalankan mobil. Nanti akan ia pakai kembali setelah sampai di acara.Sansan pun memandu arah jalan ke rumah Alvian. Ja
Setelah masuk ke dalam mobil Zidan. Sansan pun membuka topengnya. Namun, tiba-tiba Zidan menarik tangan Sansan. Ia membawa tangan istrinya itu ke bibir, lalu mengecupnya singkat.Adegan romantis beberapa detik yang lalu membuat pipi Sansan merona. Tumben sekali Zidan seperti itu padanya."Jangan kepedean, saya cium tangan kamu, karena tadi ada bekas tangan mantan kamu. Saya tidak sudi ada bekasnya."Walaupun ucapan Zidan terdengar menyakitkan, tetapi tidak bagi Sansan, ia malah tersenyum, karena terbukti jika Zidan cemburu. Bukankah cemburu itu tanda ... sayang?Setelah itu, Zidan menancap gas, menjalankan mobilnya untuk pulang.Sansan tiba-tiba kepikiran tentang Alvian. Apakah dirinya terlalu jahat menyakiti hati pria itu? Namun, ini bukanlah sepenuhnya salah Sansan. Bukankah memang Alvian yang telah mengakhiri hubungan mereka?Walaupun alasan Alvian memutuskannya, agar Sansan tak pergi ke club lagi, tapi apa boleh buat? Di sana
Sansan dibuat panik, bagaimana tidak? Sedari tadi pikirannya kalut. Bagaimana jika ia benar-benar hamil? Apa tanggapan Zidan, yang mana ia saja belum pernah menyentuhnya. Walaupun Zidan pernah bermain dengannya yang sedang berperan sebagai Sansan di club.Dering telepon yang terdengar mengalihkan perhatian Sansan. Ia pun segera mengangkat telepon."Ha--halo?""Zid. Sebentar lagi saya pulang. Kamu bersiap-siap, kita akan ke dokter."Sansan langsung membisu. Jantungnya berdetak tak karuan, perasaan tak enak langsung menyelimutinya."Zid?""Eh, i--iya, Pak. Baik, Pak. A--aku siap-siapa sekarang.""Oke."Sansan melempar HP-nya ke kasur. Apa yang harus ia lakukan sekarang?Sebenarnya Sansan bisa saja membeli tespack untuk mengecek apakah ia hamil atau tidak, tetapi dirinya saja tak diperbolehkan keluar kamar oleh Nuni dan Wanti, karena disuruh istirahat. Bagaimana caranya ia ke Minimarket?"Duh, gimana, nih," uca
Walaupun Wanti dan Nuni sempat kecewa mendengar kabar Zidny yang ternyata tak hamil, tetapi mereka tetap mengkhawatirkan Zidny, karena terkena asam lambung."Zid, kamu beneran udah nggak apa-apa, kan?" tanya Wanti."Nggak pa-pa, kok, Ma.""Kamu istirahat dulu aja, Sayang. Zidan, bawa istri kamu ke kamar," suruh Wanti, diangguki Zidan.Zidan lalu membimbing istrinya itu menuju ke kamar."Beneran udah nggak pa-pa? Minum obat dulu, ya," ucap Zidan."Emangnya obat tadi jadi Pak Zidan ambil? Bukannya dikasih lagi ke dokternya?" tanya Sansan heran."Rugi, Zid. Obatnya, kan, dibeli."Sansan memutar bola matanya. Sebenarnya Sansan takut meminum obat, daridulu ia selalu menghindarinya, maka dari itu Sansan jarang sakit. Walaupun demam, ia hanya memilih untuk istirahat saja dan minum air hangat.Setelah sampai kamar. Sansan duduk di ranjang, sedangkan Zidan mengambilkan air unt
Mengingat tentang hal semalam Zidan jadi semakin penasaran apa yang terjadi dengan orang tua Zidny. Kenapa mereka tak hadir saat pernikahan putrinya? Ke mana mereka sekarang? Zidan pun berniat menanyakan tentang itu pada Nuni—di luar sepengetahuan istrinya.Pagi ini Zidan menyuruh Zidny untuk tetap beristirahat dulu saja di kamar, walaupun istrinya itu berkata sudah sembuh, tetapi Zidan tetap menyuruhnya tetap di kamar saja.Sebelum berangkat ke kantor, Zidan menghampiri Nuni terlebih dahulu. Ia berjalan ke kamar Nuni dan mengetuk pintu.Tak lama kemudian pintu terbuka, menampakkan Nuni yang sepertinya baru selesai mandi."Eh, Nak Zidan. Ada apa, Nak?""Mama mana, Nek?" tanya Zidan."Wanti ke warung, beli bahan masakan. Ada apa, Nak?""Sebenarnya ada hal yang ingin Zidan tanyakan, Nek. Boleh bicara dengan Nenek sebentar?" tanya Zidan sopan."Boleh, Nak. Kita bicara di mana?"
Sansan tak menggubris. Ia masih diam tak berkutik, sampai seseorang di balik pintu itu masuk dengan kunci cadangan."Nak ....""Kenapa Nenek menceritakan semuanya?" tanya Zidny tanpa menatap muka Nuni. Ya, yang datang adalah Nuni, semua orang di rumah ini memang mempunyai kunci cadangan setiap kamar ataupun pintu depan."Maaf, Nak, tapi ....""Aku nggak mau dikasihani, Nek. Aku nggak mau ada orang yang tahu penderitaanku selama ini."Nuni pun mendekat ke arah Sansan. Ia duduk di tepi ranjang. Sansan yang melihat itu segera bangkit dan duduk bersandar di kepala ranjang. Namun, ia sama sekali tak menoleh ke arah Nuni, Sansan menatap ke luar jendela."Zidan suami kamu, Nak.""Aku nggak peduli, Nek." Air mata Zidny pun meluncur. Ia mengusap matanya pelan."Maaf, Nak ...." Nuni menunduk, ia jadi merasa bersalah.Sansan menatap ke arah Nuni. Oh, tidak! Apakah Nuni ... menan
Zidan terdiam saat melihat tamu yang datang adalah Reni—mantan kekasinya. Untuk apa wanita itu datang kemari?"Hai, Mas Zidan. Apa kabar?" sapa Reni. Namun, Zidan hanya diam saja. Reni tampak berbeda, tumben sekali wanita itu tidak memakai make up dan juga ia berkacamata."Ada apa?" tanya Zidan tak ingin basa-basi."Aku ke sini hanya mau pamit. Sekalian mau minta maaf sama kamu," ucap Reni lembut. Zidan tetap tak berkutik."Maafin kesalahan yang pernah terjadi di antara kita, ya, Mas. Aku tau, aku udah nyakitin hati kamu. Ak--aku minta maaf." Reni lalu mendekati Zidan dan memegang kedua tangan pria itu sembari minta maaf. Zidan sempat terkejut saat wanita itu tiba-tiba menggenggam tangannya."Aku akan pindah ke Bandung. Mungkin ... untuk selamanya. So, kita pasti nggak akan ketemu lagi, Mas," ucap Reni. Ia menghela napas sembari menundukkan kepala. "Ak--aku ... boleh minta satu permintaan sebelum pergi, nggak?" t
Muka Sansan tiba-tiba merona, saat mengingat kejadian di kantor Zidan tadi. Ia tak menyangka jika Zidan menciumnya, apa suaminya itu tak mengerti keadaan, bahwa ia sedang marah.Sansan meletakkan tangan di dada kirinya. Detak jantung itu masih berdetak lebih cepat. Sansan jadi senyum-senyum sendiri jadinya."Kamu kenapa, sih, Sayang? Dari tadi Mama perhatiin melamun, terus senyam-senyum."Sansan tersadar dari lamunannya dan menatap Wanti sebentar. "Ehm ... ngg--nggak ada, kok, Ma. Hehe."Wanti tersenyum singkat. Sansan merasa ibu mertuanya itu tengah menggodanya. Ah, Sansan jadi salah tingkah."Mama ada sesuatu buat kamu.""Hah, eum ... apa, tuh, Ma?"Wanti lalu beranjak dari sofa dan mengambil sesuatu di dalam lemari. Setelah itu, Wanti kembali duduk di hadapan Sansan."Nih." Wanti menyodorkan dua buah tiket ke arah Sansan yang membuat wanita itu mengerutkan kening heran.
Zidan tak bisa membendung air matanya. Di depannya terdapat gundukan tanah yang masih bewarna kemerah-merahan, bersama papan nisan yang baru saja ditancapkan.Zidan mengusap air matanya. Penyesalan memang datangnya di akhir, jika datang di awal, mungkin Zidan tidak akan menangis di sini sekarang."Maaf," lirih Zidan mengusap papan nisan itu."Maafin aku, Zid," lirihnya. Gigi Zidan gemertak, tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.Seseorang yang sangat ia cintai, yang Zidan harapkan hidup bahagia bersamanya, ternyata dengan cepat meninggalkan Zidan.Isakan Zidan terdengar jelas. Air matanya berlinang deras. Hanya menangis yang mampu Zidan lakukan sekarang.Apakah ia sudah gagal? Zidan gagal sebagai ayah. Ia terlalu bodoh."Maafin aku, Zid. Maafin aku, nggak bisa nyelamatin anak kita. Gara-gara aku, anak kita tidak jadi lahir dengan selamat!"Bayi Zidan dan Sansan tak berhasil diselam
Sansan hanya bisa terbungkam, tak dapat berbicara. Benarkah seorang Raqibta, sepupu yang paling dekat dengannya ternyata membencinya selama ini?Apa salah Sansan? Apa yang sudah diperbuat Sansan sampai Raqib membencinya?Mobil Raqib menepi untuk berhenti. Keduanya sama-sama tak membuka suara, keheningan pun melanda."Kenapa lo bisa benci sama gue?" tanya Sansan.Raqib tertawa pelan. "Lo masih tanya kenapa?""Gue bahkan masih anggap omongan lo tadi bercanda, Ra. Lo nggak nge-prank gue, kan?" tanya Sansan yang masih setengah percaya."Buat apa gue buang-buang waktu nggak jelas gitu. Gue ulangi sekali lagi. Gue ... benci sama lo!" Nada bicara Raqib pun berubah dratis, tak seperti biasanya.Air mata Sansan lolos begitu saja. Ia menepuk-nepuk pipinya, memastikan sekali lagi apakah ini mimpi buruknya, akan tetapi Sansan harus menerima pahitnya kenyataan jika ini semua adalah nyata."Gue
Kejujuran itu menyakitkan jika diungkapkan, tetapi juga pahit jika disembunyikan. ~Lanlia***Beberapa bulan kemudian ....Kini, kandungan Sansan sudah memasuki bulan ke-9. Ia sudah sering marathon dan memperbanyak gerak, agar nanti proses persalinan lebih lancar.Rumah tangga yang dijalani Sansan dan Zidan tentunya tidak selalu berjalan mulus. Apalagi saat Sansan baru mengetahui, jika suaminya itu sangatlah pencemburu.Saat itu, Sansan tak sengaja bertemu dengan teman SD-nya yang laki-laki dan dilihat oleh Zidan, suaminya itu langsung cemburu dan mendiamkannya selama dua hari. Padahal teman cowok Sansan itu hanya mengundangnya ke acara pernikahannya.Sansan kadang tertawa melihat Zidan yang sangat posesif, akan tetapi jika terlalu cemburuan jugalah tak baik. Harusnya mereka saling percaya saja, kan?"Zid, kandungan kamu sudah besar, ya, udah kayak sembilan bulan aja. Padahal tiga bulan lagi b
Sansan tersentak dari tidurnya. Entah kenapa suasana tampak mengusiknya yang sedang terlelap. Mata Sansan mengerjap. Gelap! Pantas saja. Dirinya, kan, tak bisa tertidur jika mati lampu.Sansan meraba ke samping. Kosong! Ke mana Zidan? Kenapa suaminya itu tak berada si sebelahnya? Namun, Sansan tak sengaja menyentuh sesuatu di bantal Zidan. Tiba-tiba ada cahaya yang menerangi kamar. Lampu kelap-kelip pun tampak mengelilingi seisi kamar. Sansan pun terduduk di atas kasurnya.Apa yang terjadi? Sansan masih terheran-heran. Ia pun terkejut menatap lantai kamar yang sudah berserakan kelopak mawar merah. Sansan pun berniat turun. Ia juga terkejut, karena melihat pintu balkon kamarnya terbuka.Kaki Sansan pun tergerak untuk melangkah ke arah balkon. Ia seperti menatap bayangan seseorang di sana. Jangan-jangan maling, pikir buruk Sansan.Saat dirinya sampai di balkon. Tidak ada siapa-siapa. Sansan menatap ke langit malam yang bertabur binta
Apa yang terjadi semalam? Kenapa bisa ada Sansan palsu? Ini semua ternyata sudah menjadi rencana dari Sansan sendiri.Setelah Zidan selesai menelepon kemarin. Sansan sangat panik. Ia tak tahu harus berbuat apa dan memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam jika Zidan tahu rahasianya.Namun, selang beberapa menit, ketukan pintu memecahkan lamunan Sansan. Ia pun segera ke ruang depan untuk melihat siapa tamu yang tak diundang itu datang.Mata Sansan melebar saat mengetahui siapa yang datang. Refleks Sansan pun memeluk seseorang itu."Raqib," lirih Sansan pelan.Ya, yang datang ke rumahnya tiba-tiba itu adalah Raqibta. Ada apa Raqib datang kemari? Bukannya ia sudah kecewa dan tak ingin bertemu Sansan lagi? Setelah pernyataan yang diungkapkan Sansan dulu, Raqib sama sekali tak menghubungi Sansan lagi, bahkan nomor Sansan dibloknya. Mereka putus kontak.Maka dari itu, melihat Raqib datang kemari, membuat Sans
Malam ini, Zidny benar-benar sudah berada di taman. Ia pun hanya menunggu kedatangan Zidan yang katanya sebentar lagi sampai.Sebenarnya Zidny begitu deg-degan, tetapi ia berusaha menyembunyikannya dan mencoba terlihat biasa saja. Zidny tak boleh lengah.Taman ini begitu ramai. Orang berlalu-lalang dan terdapat banyaknya yang menjual berbagai makanan. Tak dipungkiri jika Zidny tergoda untul mencicipinya. Akan tetapi, ia sudah membawa bekal. Zidny membawa kue yang ia buat siang tadi—spesial untuk Zidan."Hmm ... kue ini, kan, emang untuk Mas Zidan. Nggak-nggak, aku harus beliin satu lagi!"Zidny lalu melangkah membeli beberapa makanan yang tampak di depan matanya, ada sate, bakso, cilok, dan somay."Nah, lengkap!" ucapnya. Ia pun kembali duduk di kursi yang dilengkapi meja itu."Mana, sih, Mas Zidan. Katanya bentar lagi," ucap Zidny kesal."Ini udah datang," ucap Zidan tiba-tiba sudah ber
Saat Zidan pulang, ia sudah melihat istrinya menangis. Buru-buru pria itu menghampiri Zidny dengan perasaan cemas."Zid, kamu kenapa?" tanya Zidan."Ngg--nggak pa-pa, kok, Mas.""Kamu ... ingat Nenek lagi, ya?"Walaupun bukan itu penyebab sebenarnya Sansan menangis, tetapi ia benarkan saja, agar Zidan tidak curiga."Ya udah, jangan sedih lagi, ya," ucap Zidan merengkuh badan istrinya itu ke pelukan."Baksonya mana?" tanya Sansan, karena Zidan masuk kamar tanpa membawa apa pun."Ada di dapur. Nggak mungkin aku bawa ke kamar. Ya udah, ayo makan dulu," ajak Zidan. Tangannya menyeka air mata istrinya yang masih berbekas di pipi."Penjualnya botak, kan?" tanya Sansan memastikan."Iya, botak. Nih, fotonya." Zidan memperlihatkan foto penjual bakso tadi yang sudah berkepala botak."Ih, kamu hebat!" Sansan berbinar-binar. Aneh sekali ngidam istrinya itu.
Daritadi Zidan sudah berkeliling mencari tukang bakso. Ia mengacak rambut frustrasi. Sebenarnya sudah banyak penjual bakso yang ia temukan, tetapi penjualnya tidak ada yang botak. Sesulit inikah menjadi penjual bakso yang berkepala pelontos? Lagipula ngidam istrinya sangatlah aneh. Zidan menyesal menganggap ini hal yang mudah.Telepon Zidan berdering. Nama Zidny muncul di layar, buru-buru Zidan mengangkatnya."Halo, Zid?""Kamu ke mana aja, sih? Kok nggak pulang-pulang."Lah? Pertanyaan macam apa itu?"Aku lagi beliin bakso buat kamu.""Oh, iya. Terus, udah dapat belum, Mas?""Belum. Penjualnya berambut semua. Gapapa, ya, yang berambut?""Nggak mau!""Ya udah, aku keliling lagi, nih.""Oke, Mas."Telepon pun dimatikan. Zidan kembali memutar setir mobilnya. Ke mana lagi ia harus mencari penjual bakso yang tak berambut?Siapa pun t
Untuk merayakan atas kehamilan cucu pertama. Wanti mengadakan syukuran yang dihadiri teman-teman sosialitanya. Wanti sangat senang, karena sebentar lagi akan menjadi nenek. Ya, itulah yang ia nanti-nantikan sejak dulu. Makanya ia sangat nyinyir menyuruh Zidan untuk menikah."Wan, menantumu cantik, ya.""Iya, Wan. Keliatannya juga sholeh, ya. Duh, beruntung anakmu.""Menantumu juga keliatan lebih muda, ya."Sansan hanya bisa tersenyum malu-malu saat teman-teman mertuanya itu memujinya terang-terangan. Tiba-tiba Wanti merangkul bahu Sansan."Iya, dong. Menantu siapa dulu," ujar Wanti dengan sombongnya, membuat teman-temannya tertawa. Sansan hanya bisa tersenyum kikuk. Apakah mertuanya itu akan tetap seperti ini, jika rahasia itu terbongkar?"Eh, iya. Sudah berapa bulan itu kandungannya?" tanya Meri menatap perut Sansan yang sudah sedikit menonjol."Emm ...." Sansan kebingungan menjawab. Tidak mu