Sansan tak menggubris. Ia masih diam tak berkutik, sampai seseorang di balik pintu itu masuk dengan kunci cadangan.
"Nak ...."
"Kenapa Nenek menceritakan semuanya?" tanya Zidny tanpa menatap muka Nuni. Ya, yang datang adalah Nuni, semua orang di rumah ini memang mempunyai kunci cadangan setiap kamar ataupun pintu depan.
"Maaf, Nak, tapi ...."
"Aku nggak mau dikasihani, Nek. Aku nggak mau ada orang yang tahu penderitaanku selama ini."
Nuni pun mendekat ke arah Sansan. Ia duduk di tepi ranjang. Sansan yang melihat itu segera bangkit dan duduk bersandar di kepala ranjang. Namun, ia sama sekali tak menoleh ke arah Nuni, Sansan menatap ke luar jendela.
"Zidan suami kamu, Nak."
"Aku nggak peduli, Nek." Air mata Zidny pun meluncur. Ia mengusap matanya pelan.
"Maaf, Nak ...." Nuni menunduk, ia jadi merasa bersalah.
Sansan menatap ke arah Nuni. Oh, tidak! Apakah Nuni ... menan
Zidan terdiam saat melihat tamu yang datang adalah Reni—mantan kekasinya. Untuk apa wanita itu datang kemari?"Hai, Mas Zidan. Apa kabar?" sapa Reni. Namun, Zidan hanya diam saja. Reni tampak berbeda, tumben sekali wanita itu tidak memakai make up dan juga ia berkacamata."Ada apa?" tanya Zidan tak ingin basa-basi."Aku ke sini hanya mau pamit. Sekalian mau minta maaf sama kamu," ucap Reni lembut. Zidan tetap tak berkutik."Maafin kesalahan yang pernah terjadi di antara kita, ya, Mas. Aku tau, aku udah nyakitin hati kamu. Ak--aku minta maaf." Reni lalu mendekati Zidan dan memegang kedua tangan pria itu sembari minta maaf. Zidan sempat terkejut saat wanita itu tiba-tiba menggenggam tangannya."Aku akan pindah ke Bandung. Mungkin ... untuk selamanya. So, kita pasti nggak akan ketemu lagi, Mas," ucap Reni. Ia menghela napas sembari menundukkan kepala. "Ak--aku ... boleh minta satu permintaan sebelum pergi, nggak?" t
Muka Sansan tiba-tiba merona, saat mengingat kejadian di kantor Zidan tadi. Ia tak menyangka jika Zidan menciumnya, apa suaminya itu tak mengerti keadaan, bahwa ia sedang marah.Sansan meletakkan tangan di dada kirinya. Detak jantung itu masih berdetak lebih cepat. Sansan jadi senyum-senyum sendiri jadinya."Kamu kenapa, sih, Sayang? Dari tadi Mama perhatiin melamun, terus senyam-senyum."Sansan tersadar dari lamunannya dan menatap Wanti sebentar. "Ehm ... ngg--nggak ada, kok, Ma. Hehe."Wanti tersenyum singkat. Sansan merasa ibu mertuanya itu tengah menggodanya. Ah, Sansan jadi salah tingkah."Mama ada sesuatu buat kamu.""Hah, eum ... apa, tuh, Ma?"Wanti lalu beranjak dari sofa dan mengambil sesuatu di dalam lemari. Setelah itu, Wanti kembali duduk di hadapan Sansan."Nih." Wanti menyodorkan dua buah tiket ke arah Sansan yang membuat wanita itu mengerutkan kening heran.
"Ingat, Zidan. Kamu harus jaga Zidny, jangan sampai dia telat makan. Kalau kamu mau pergi ke luar, harus bilang dulu sama dia. Jangan berkeliaran, jangan lupa beliin Mama dan Nenek oleh-oleh, oh, ya, yang paling penting, kamu harus buat Zidny bahagia di sana. Yang terakhir ... jaga kesehatan, jaga mata, jaga hati. Hm ... satu lagi, kamu harus kabarin Mama kalau udah sampai, jangan buat Mama khawatir. Terus pesan Mama, lama-lama aja di sana, nggak pa-pa. Udah itu saja."Zidan yang sedang mengikat tali sepatunya hanya diam, sembari menghela napas. "Udah kelar pidatonya, Ma?""Zidan! Kamu harus dengar Mama.""Iya, Ma, iya."Sansan terkikik pelan. Ia pun mencium punggung tangan Nuni dan Wanti, bergantian."Mama dan Nenek nggak usah khawatir, kami pasti jaga diri baik-baik," ucap Sansan sambil tersenyum."Kalau ada apa-apa, langsung kabarin ya, Sayang.""Iya, Ma."Sansan menarik kopern
Sore di tanah Padang. Zidan dan Sansan memilih ke pantai, untuk bersantai.Pantai Air Manis termasuk pantai di Kota Padang yang meskipun tidak luput digerus ombak, masih terasa luas dan landai. Saking luasnya, mobil pengunjungpun bisa hilir mudik di pasirnya yang membentang lega, padat putih dan bersih. Tidak heran jika banyak pengunjung yang juga memanfaatkannya sebagai arena berolahraga seperti bermain bola dan lainnya. Anak-anak juga terasa nyaman bermain membuat istana pasir, membenamkan badan ke dalam pasir dan banyak lagi kegiatan yang mengasyikkan dapat dilakukan.Pantai Air Manis juga pantai yang masih rimbun oleh pohon kelapa. Sehingga, terlihat indah dan menciptakan area bersantai yang teduh selain pondok-pondok istirahat yang disediakan warga sekitar.Pantai Air Manis juga terkenal dengan legenda Malin Kundangnya. Legenda yang mengisahkan seorang anak durhaka yang berubah menjadi batu akibat kutukan ibu kandungnya. Di s
Pagi ini matahari tampak malu-malu menampakkan sinarnya. Rintik hujan seakan mengalun membuat dua pasangan suami istri yang sedang terlelap itu semakin nyaman berada di selimutnya.Setelah selesai salat subuh berdua, Sansan dan Zidan memilih untuk tidur kembali, karena hari hujan.Sansan memejamkan matanya, merasakan elusan tangan Zidan yang menari-nari di pipinya. Perlahan Sansan membuka matanya, menatap sosok Zidan yang berada di sampingnya. Suaminya itu tengah tersenyum manis. Sansan pun membalas senyumnya."Mau sarapan di sini atau di luar?" tanya Zidan."Di sini aja, kan, masih hujan.""Oke."Zidan lalu menyingkapkan selimutnya. Menatap ke arah balkon, hujan masih deras."Ya udah, aku mandi dulu." Zidan turun dari ranjang, lalu segera masuk ke kamar mandi. Sansan mengerutkan keningnya, tadi subuh mereka bukannya sudah mandi? Ah, ternyata Zidan memiliki hobi mandi. Apa ia tak dingin? Apala
Setelah hujan seharian, akhirnya Sansan dan Zidan memilih untuk berjalan-jalan pada malam hari saja.Salah satu objek wisata yang tak boleh dilewatkan di Padang adalah Jembatan Siti Nurbaya.Objek Wisata Gunung Padang yang terkenal dengan kisah Siti Nurbaya itu, selain memiliki pesona alam yang elok, di satu sisi pemandangan alam laut lepas dan suara debur ombak, di sisi lain pesona alam Kota Padang dilihat dari ketinggian bukit Padang. Konon, dikisahkan di sana ada sebuah ceruk yang diyakini sebagai makam Siti Nurbaya .Selain objek wisata Gunung Padang dengan icon kisah Siti Nurbaya itu, pemerintah Kota Padang mengabadikan nama Siti Nurbaya pada sebuah jembatan yang membentang di atas Muara Batang (sungai) Arau dan Gunung Padang yang sekarang terkenal dengan jembatan Siti Nurbaya.Jembatan Siti Nurbaya ternyata tidak hanya berfungsi sebagai sarana penghubung dari Kota Tua Kota Padang ke objek Wisata
Pesawat yang ditumpangi Sansan dan Zidan sudah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta dan sekarang keduanya bergegas mencari taksi unruk segera ke rumah sakit.Sejak tadi Zidan senantiasa menggenggam tangan istrinya itu. Pikiran Sansan kalut, ia ingin sekarang cepat-cepat berada di rumah sakit. Ia ingin memastikan jika neneknya baik-baik saja. Tersenyum manis kepadanya."Zid," panggil Zidan, karena istrinya itu hanya menatap kosong."Zid, kamu baik-baik aja, kan?"Sansan hanya mengangguk pelan. Ia tak sanggu menatap ke arah Zidan sekarang. Sansan daritadi hanya menatap lurus ke depan.Taksi itu pun berhenti di parkiran rumah sakit. Sansan segera turun, tanpa menunggu Zidan yang menurunkan barang-barangnya."Saya bantu ya, Pak," ucap sebuah suara membuat Zidan menoleh."Saya Raqibta, salah satu karyawan Bapak.""Oh, baik. Terima kasih."Raqib memang sedang berada di luar t
Tempat bernuansa putih dengan angin yang berembus menerbangkan anak rambut Sansan. Senyum merekah terukir indah di wajahnya. Kikikan tawa yang terdengan mengalun indah berasal dari pria tampan di hadapannya.Sansan langsung memeluk pria yang memakai baju serba putih itu. "Papa," panggil Sansan.Darmawan tersenyum, lalu mengelus lembut rambut putrinya itu. "Putri kesayangan Papa sudah besar, ya, sekarang." Pria dengan wajah putih bersih itu mengelus pipi Sansan lembut."Sansan kangen sama Papa.""Papa juga kangen sama Sansan. Jaga diri baik-baik, ya, Nak.""Iya, Pa. Tapi aku mau nemenin Papa di sini, kasian Papa sendirian.""Papa udah nggak sendirian lagi, kok. Sudah ada nenek kamu yang nemenin Papa."Sansan mengerutkan kening. Matanya menoleh ke samping. Ia terkejut melihat Nuni yang sudah ada di sana dengan pakaian serba putih."Ne--nenek?""Nak, jaga diri baik-baik,