Pesawat yang ditumpangi Sansan dan Zidan sudah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta dan sekarang keduanya bergegas mencari taksi unruk segera ke rumah sakit.
Sejak tadi Zidan senantiasa menggenggam tangan istrinya itu. Pikiran Sansan kalut, ia ingin sekarang cepat-cepat berada di rumah sakit. Ia ingin memastikan jika neneknya baik-baik saja. Tersenyum manis kepadanya.
"Zid," panggil Zidan, karena istrinya itu hanya menatap kosong.
"Zid, kamu baik-baik aja, kan?"
Sansan hanya mengangguk pelan. Ia tak sanggu menatap ke arah Zidan sekarang. Sansan daritadi hanya menatap lurus ke depan.
Taksi itu pun berhenti di parkiran rumah sakit. Sansan segera turun, tanpa menunggu Zidan yang menurunkan barang-barangnya.
"Saya bantu ya, Pak," ucap sebuah suara membuat Zidan menoleh.
"Saya Raqibta, salah satu karyawan Bapak."
"Oh, baik. Terima kasih."
Raqib memang sedang berada di luar t
Tempat bernuansa putih dengan angin yang berembus menerbangkan anak rambut Sansan. Senyum merekah terukir indah di wajahnya. Kikikan tawa yang terdengan mengalun indah berasal dari pria tampan di hadapannya.Sansan langsung memeluk pria yang memakai baju serba putih itu. "Papa," panggil Sansan.Darmawan tersenyum, lalu mengelus lembut rambut putrinya itu. "Putri kesayangan Papa sudah besar, ya, sekarang." Pria dengan wajah putih bersih itu mengelus pipi Sansan lembut."Sansan kangen sama Papa.""Papa juga kangen sama Sansan. Jaga diri baik-baik, ya, Nak.""Iya, Pa. Tapi aku mau nemenin Papa di sini, kasian Papa sendirian.""Papa udah nggak sendirian lagi, kok. Sudah ada nenek kamu yang nemenin Papa."Sansan mengerutkan kening. Matanya menoleh ke samping. Ia terkejut melihat Nuni yang sudah ada di sana dengan pakaian serba putih."Ne--nenek?""Nak, jaga diri baik-baik,
Sansan benar-benar tak menyangka jika kesedihan kembali menghampirinya. Apakah belum cukup selama ini? Apakah hidup Sansan hanya ada penderitaan?Onggokan tanah yang masih memerah itu ditaburi dengan bunga oleh Sansan. Papan makam yang tertancap di sana bertuliskan nama neneknya. Nuni pergi secepat ini. Nuni sudah meninggalkannya.Tangan Zidan mengusap bahu istrinya itu pelan, mencoba menguatkan. Sansan tak bergeming. Ia masih belum percaya."Zid, ayo pulang," ajak Zidan."Nggak," tolak Sansan cepat."Semuanya udah pulang, Zid. Kita nggak bisa di sini terus.""Kamu duluan aja.""Jangan begitu, Zid. Ayo, pulang. Nenek juga nggak suka kalau lihat kamu kayak gini."Sansan kembali terisak. Ia mengambil segenggam tanah di depannya dan meremasnya kesal. Hal yang paling ia sesali adalah tidak ada di saat Nuni hendak pergi untuk selamanya. Ke mana dirinya? Kenapa sampai tertidur, sehingga
Sansan segera menghampiri keduanya dan menengahi Zidan dan Alvian."Stop! Kalian kenapa berantem?" tanya Sansan. Ia lalu meletakkan nampan di atas meja."Kamu ngapain berduaan dengan orang ini di rumah?" tanya Zidan dengan nada ketus."Hah, ak--aku ....""Sebenarnya Anda tanya pada diri Anda sendiri Pak Zidan Terhormat. Masih tega ninggalin istri sendiri di rumah di saat ia masih berduka?" sahut Alvian yang membuat tangan Zidan terkepal yang ingin ia layangkan ke muka pria itu, tetapi segera ditahan oleh istrinya."Mas Zidan, udah," ucap Sansan pelan, memegangi lengan Zidan.Zidan menghela napas pelan. Netranya menatap ke bawah. Apa benar ia yang salah?Saat tiba di kantor tadi. Rifan langsung menyambutnya. Rifan dibuat heran, karena Zidan sudah masuk kerja, padahal nenek dari istrinya baru saja meninggal kemarin."Dia pasti sedang sedih, Bro. Harusnya lo lebih mentingin dia darip
Satu minggu sudah berlalu dengan cepat. Sansan masih merahasiakan kehamilannya. Ia tak ingin Zidan tahh atau siapa pun tahu dulu.Kemarin ia sudah memeriksa langsung ke dokter kandungan dan ternyata benar. Ia sudah hamil dan usia kandungannya dua bulan lebih. Waktu ia mengecek ke dokter dulu, mungkin saja belum tampak dan mungkin setelahnya baru ada.Entahlah, Sansan tak ingin memikirkan itu sekarang, yang jelas ia hamil anaknya Zidan dan bayi di kandungannya ini hasil dari kekhilafannya.Wanti sudah kembali. Mertuanya itu memberi Sansan oleh-oleh yang sangat banyak. Wanti tampak lebih cerah, setelah balik. Apakah Wanti sudah melepas rindu dengan suaminya? Lalu, kapan papanya Zidan pulang?"Emm, Ma," panggil Sansan pelan. Kebetulan sekarang ia sedang membantu Wanti memasak."Iya, Zid?""Papanya Zidan kenapa nggak pulang, Ma?" tanya Sansan hati-hati, takut menyinggung mertuanya itu."Papanya Zi
Untuk merayakan atas kehamilan cucu pertama. Wanti mengadakan syukuran yang dihadiri teman-teman sosialitanya. Wanti sangat senang, karena sebentar lagi akan menjadi nenek. Ya, itulah yang ia nanti-nantikan sejak dulu. Makanya ia sangat nyinyir menyuruh Zidan untuk menikah."Wan, menantumu cantik, ya.""Iya, Wan. Keliatannya juga sholeh, ya. Duh, beruntung anakmu.""Menantumu juga keliatan lebih muda, ya."Sansan hanya bisa tersenyum malu-malu saat teman-teman mertuanya itu memujinya terang-terangan. Tiba-tiba Wanti merangkul bahu Sansan."Iya, dong. Menantu siapa dulu," ujar Wanti dengan sombongnya, membuat teman-temannya tertawa. Sansan hanya bisa tersenyum kikuk. Apakah mertuanya itu akan tetap seperti ini, jika rahasia itu terbongkar?"Eh, iya. Sudah berapa bulan itu kandungannya?" tanya Meri menatap perut Sansan yang sudah sedikit menonjol."Emm ...." Sansan kebingungan menjawab. Tidak mu
Daritadi Zidan sudah berkeliling mencari tukang bakso. Ia mengacak rambut frustrasi. Sebenarnya sudah banyak penjual bakso yang ia temukan, tetapi penjualnya tidak ada yang botak. Sesulit inikah menjadi penjual bakso yang berkepala pelontos? Lagipula ngidam istrinya sangatlah aneh. Zidan menyesal menganggap ini hal yang mudah.Telepon Zidan berdering. Nama Zidny muncul di layar, buru-buru Zidan mengangkatnya."Halo, Zid?""Kamu ke mana aja, sih? Kok nggak pulang-pulang."Lah? Pertanyaan macam apa itu?"Aku lagi beliin bakso buat kamu.""Oh, iya. Terus, udah dapat belum, Mas?""Belum. Penjualnya berambut semua. Gapapa, ya, yang berambut?""Nggak mau!""Ya udah, aku keliling lagi, nih.""Oke, Mas."Telepon pun dimatikan. Zidan kembali memutar setir mobilnya. Ke mana lagi ia harus mencari penjual bakso yang tak berambut?Siapa pun t
Saat Zidan pulang, ia sudah melihat istrinya menangis. Buru-buru pria itu menghampiri Zidny dengan perasaan cemas."Zid, kamu kenapa?" tanya Zidan."Ngg--nggak pa-pa, kok, Mas.""Kamu ... ingat Nenek lagi, ya?"Walaupun bukan itu penyebab sebenarnya Sansan menangis, tetapi ia benarkan saja, agar Zidan tidak curiga."Ya udah, jangan sedih lagi, ya," ucap Zidan merengkuh badan istrinya itu ke pelukan."Baksonya mana?" tanya Sansan, karena Zidan masuk kamar tanpa membawa apa pun."Ada di dapur. Nggak mungkin aku bawa ke kamar. Ya udah, ayo makan dulu," ajak Zidan. Tangannya menyeka air mata istrinya yang masih berbekas di pipi."Penjualnya botak, kan?" tanya Sansan memastikan."Iya, botak. Nih, fotonya." Zidan memperlihatkan foto penjual bakso tadi yang sudah berkepala botak."Ih, kamu hebat!" Sansan berbinar-binar. Aneh sekali ngidam istrinya itu.
Malam ini, Zidny benar-benar sudah berada di taman. Ia pun hanya menunggu kedatangan Zidan yang katanya sebentar lagi sampai.Sebenarnya Zidny begitu deg-degan, tetapi ia berusaha menyembunyikannya dan mencoba terlihat biasa saja. Zidny tak boleh lengah.Taman ini begitu ramai. Orang berlalu-lalang dan terdapat banyaknya yang menjual berbagai makanan. Tak dipungkiri jika Zidny tergoda untul mencicipinya. Akan tetapi, ia sudah membawa bekal. Zidny membawa kue yang ia buat siang tadi—spesial untuk Zidan."Hmm ... kue ini, kan, emang untuk Mas Zidan. Nggak-nggak, aku harus beliin satu lagi!"Zidny lalu melangkah membeli beberapa makanan yang tampak di depan matanya, ada sate, bakso, cilok, dan somay."Nah, lengkap!" ucapnya. Ia pun kembali duduk di kursi yang dilengkapi meja itu."Mana, sih, Mas Zidan. Katanya bentar lagi," ucap Zidny kesal."Ini udah datang," ucap Zidan tiba-tiba sudah ber
Zidan tak bisa membendung air matanya. Di depannya terdapat gundukan tanah yang masih bewarna kemerah-merahan, bersama papan nisan yang baru saja ditancapkan.Zidan mengusap air matanya. Penyesalan memang datangnya di akhir, jika datang di awal, mungkin Zidan tidak akan menangis di sini sekarang."Maaf," lirih Zidan mengusap papan nisan itu."Maafin aku, Zid," lirihnya. Gigi Zidan gemertak, tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.Seseorang yang sangat ia cintai, yang Zidan harapkan hidup bahagia bersamanya, ternyata dengan cepat meninggalkan Zidan.Isakan Zidan terdengar jelas. Air matanya berlinang deras. Hanya menangis yang mampu Zidan lakukan sekarang.Apakah ia sudah gagal? Zidan gagal sebagai ayah. Ia terlalu bodoh."Maafin aku, Zid. Maafin aku, nggak bisa nyelamatin anak kita. Gara-gara aku, anak kita tidak jadi lahir dengan selamat!"Bayi Zidan dan Sansan tak berhasil diselam
Sansan hanya bisa terbungkam, tak dapat berbicara. Benarkah seorang Raqibta, sepupu yang paling dekat dengannya ternyata membencinya selama ini?Apa salah Sansan? Apa yang sudah diperbuat Sansan sampai Raqib membencinya?Mobil Raqib menepi untuk berhenti. Keduanya sama-sama tak membuka suara, keheningan pun melanda."Kenapa lo bisa benci sama gue?" tanya Sansan.Raqib tertawa pelan. "Lo masih tanya kenapa?""Gue bahkan masih anggap omongan lo tadi bercanda, Ra. Lo nggak nge-prank gue, kan?" tanya Sansan yang masih setengah percaya."Buat apa gue buang-buang waktu nggak jelas gitu. Gue ulangi sekali lagi. Gue ... benci sama lo!" Nada bicara Raqib pun berubah dratis, tak seperti biasanya.Air mata Sansan lolos begitu saja. Ia menepuk-nepuk pipinya, memastikan sekali lagi apakah ini mimpi buruknya, akan tetapi Sansan harus menerima pahitnya kenyataan jika ini semua adalah nyata."Gue
Kejujuran itu menyakitkan jika diungkapkan, tetapi juga pahit jika disembunyikan. ~Lanlia***Beberapa bulan kemudian ....Kini, kandungan Sansan sudah memasuki bulan ke-9. Ia sudah sering marathon dan memperbanyak gerak, agar nanti proses persalinan lebih lancar.Rumah tangga yang dijalani Sansan dan Zidan tentunya tidak selalu berjalan mulus. Apalagi saat Sansan baru mengetahui, jika suaminya itu sangatlah pencemburu.Saat itu, Sansan tak sengaja bertemu dengan teman SD-nya yang laki-laki dan dilihat oleh Zidan, suaminya itu langsung cemburu dan mendiamkannya selama dua hari. Padahal teman cowok Sansan itu hanya mengundangnya ke acara pernikahannya.Sansan kadang tertawa melihat Zidan yang sangat posesif, akan tetapi jika terlalu cemburuan jugalah tak baik. Harusnya mereka saling percaya saja, kan?"Zid, kandungan kamu sudah besar, ya, udah kayak sembilan bulan aja. Padahal tiga bulan lagi b
Sansan tersentak dari tidurnya. Entah kenapa suasana tampak mengusiknya yang sedang terlelap. Mata Sansan mengerjap. Gelap! Pantas saja. Dirinya, kan, tak bisa tertidur jika mati lampu.Sansan meraba ke samping. Kosong! Ke mana Zidan? Kenapa suaminya itu tak berada si sebelahnya? Namun, Sansan tak sengaja menyentuh sesuatu di bantal Zidan. Tiba-tiba ada cahaya yang menerangi kamar. Lampu kelap-kelip pun tampak mengelilingi seisi kamar. Sansan pun terduduk di atas kasurnya.Apa yang terjadi? Sansan masih terheran-heran. Ia pun terkejut menatap lantai kamar yang sudah berserakan kelopak mawar merah. Sansan pun berniat turun. Ia juga terkejut, karena melihat pintu balkon kamarnya terbuka.Kaki Sansan pun tergerak untuk melangkah ke arah balkon. Ia seperti menatap bayangan seseorang di sana. Jangan-jangan maling, pikir buruk Sansan.Saat dirinya sampai di balkon. Tidak ada siapa-siapa. Sansan menatap ke langit malam yang bertabur binta
Apa yang terjadi semalam? Kenapa bisa ada Sansan palsu? Ini semua ternyata sudah menjadi rencana dari Sansan sendiri.Setelah Zidan selesai menelepon kemarin. Sansan sangat panik. Ia tak tahu harus berbuat apa dan memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam jika Zidan tahu rahasianya.Namun, selang beberapa menit, ketukan pintu memecahkan lamunan Sansan. Ia pun segera ke ruang depan untuk melihat siapa tamu yang tak diundang itu datang.Mata Sansan melebar saat mengetahui siapa yang datang. Refleks Sansan pun memeluk seseorang itu."Raqib," lirih Sansan pelan.Ya, yang datang ke rumahnya tiba-tiba itu adalah Raqibta. Ada apa Raqib datang kemari? Bukannya ia sudah kecewa dan tak ingin bertemu Sansan lagi? Setelah pernyataan yang diungkapkan Sansan dulu, Raqib sama sekali tak menghubungi Sansan lagi, bahkan nomor Sansan dibloknya. Mereka putus kontak.Maka dari itu, melihat Raqib datang kemari, membuat Sans
Malam ini, Zidny benar-benar sudah berada di taman. Ia pun hanya menunggu kedatangan Zidan yang katanya sebentar lagi sampai.Sebenarnya Zidny begitu deg-degan, tetapi ia berusaha menyembunyikannya dan mencoba terlihat biasa saja. Zidny tak boleh lengah.Taman ini begitu ramai. Orang berlalu-lalang dan terdapat banyaknya yang menjual berbagai makanan. Tak dipungkiri jika Zidny tergoda untul mencicipinya. Akan tetapi, ia sudah membawa bekal. Zidny membawa kue yang ia buat siang tadi—spesial untuk Zidan."Hmm ... kue ini, kan, emang untuk Mas Zidan. Nggak-nggak, aku harus beliin satu lagi!"Zidny lalu melangkah membeli beberapa makanan yang tampak di depan matanya, ada sate, bakso, cilok, dan somay."Nah, lengkap!" ucapnya. Ia pun kembali duduk di kursi yang dilengkapi meja itu."Mana, sih, Mas Zidan. Katanya bentar lagi," ucap Zidny kesal."Ini udah datang," ucap Zidan tiba-tiba sudah ber
Saat Zidan pulang, ia sudah melihat istrinya menangis. Buru-buru pria itu menghampiri Zidny dengan perasaan cemas."Zid, kamu kenapa?" tanya Zidan."Ngg--nggak pa-pa, kok, Mas.""Kamu ... ingat Nenek lagi, ya?"Walaupun bukan itu penyebab sebenarnya Sansan menangis, tetapi ia benarkan saja, agar Zidan tidak curiga."Ya udah, jangan sedih lagi, ya," ucap Zidan merengkuh badan istrinya itu ke pelukan."Baksonya mana?" tanya Sansan, karena Zidan masuk kamar tanpa membawa apa pun."Ada di dapur. Nggak mungkin aku bawa ke kamar. Ya udah, ayo makan dulu," ajak Zidan. Tangannya menyeka air mata istrinya yang masih berbekas di pipi."Penjualnya botak, kan?" tanya Sansan memastikan."Iya, botak. Nih, fotonya." Zidan memperlihatkan foto penjual bakso tadi yang sudah berkepala botak."Ih, kamu hebat!" Sansan berbinar-binar. Aneh sekali ngidam istrinya itu.
Daritadi Zidan sudah berkeliling mencari tukang bakso. Ia mengacak rambut frustrasi. Sebenarnya sudah banyak penjual bakso yang ia temukan, tetapi penjualnya tidak ada yang botak. Sesulit inikah menjadi penjual bakso yang berkepala pelontos? Lagipula ngidam istrinya sangatlah aneh. Zidan menyesal menganggap ini hal yang mudah.Telepon Zidan berdering. Nama Zidny muncul di layar, buru-buru Zidan mengangkatnya."Halo, Zid?""Kamu ke mana aja, sih? Kok nggak pulang-pulang."Lah? Pertanyaan macam apa itu?"Aku lagi beliin bakso buat kamu.""Oh, iya. Terus, udah dapat belum, Mas?""Belum. Penjualnya berambut semua. Gapapa, ya, yang berambut?""Nggak mau!""Ya udah, aku keliling lagi, nih.""Oke, Mas."Telepon pun dimatikan. Zidan kembali memutar setir mobilnya. Ke mana lagi ia harus mencari penjual bakso yang tak berambut?Siapa pun t
Untuk merayakan atas kehamilan cucu pertama. Wanti mengadakan syukuran yang dihadiri teman-teman sosialitanya. Wanti sangat senang, karena sebentar lagi akan menjadi nenek. Ya, itulah yang ia nanti-nantikan sejak dulu. Makanya ia sangat nyinyir menyuruh Zidan untuk menikah."Wan, menantumu cantik, ya.""Iya, Wan. Keliatannya juga sholeh, ya. Duh, beruntung anakmu.""Menantumu juga keliatan lebih muda, ya."Sansan hanya bisa tersenyum malu-malu saat teman-teman mertuanya itu memujinya terang-terangan. Tiba-tiba Wanti merangkul bahu Sansan."Iya, dong. Menantu siapa dulu," ujar Wanti dengan sombongnya, membuat teman-temannya tertawa. Sansan hanya bisa tersenyum kikuk. Apakah mertuanya itu akan tetap seperti ini, jika rahasia itu terbongkar?"Eh, iya. Sudah berapa bulan itu kandungannya?" tanya Meri menatap perut Sansan yang sudah sedikit menonjol."Emm ...." Sansan kebingungan menjawab. Tidak mu