~ 16 Juli 2019
Ana bergantian menatap jam dinding dan luar jendela menunggu Ibunya yang tidak kunjung pulang. Kecemasannya meninggkat saat nomor telepon yang ia hubungi tidak aktif. Doa dan harapan terus terucap. Sampai wanita di belakangnya ikut cemas dengan keadaan Ana sendiri yang belum makan sejak pagi.
“Nak, Ibumu pasti segera datang. Makan dulu ya? Mama juga sudah buatkan susu cokelat hangat untukmu.” Wanita yang menyebut dirinya Mama berusaha merangkul Ana.
Dengan kasar Ana menepis tangan Ibu tirinya, Nita. Tatapan tajam Ana lemparkan. Ana sadar, sikapnya sekarang sangat tidak sopan, terlebih lagi ia ingat pesan Ibunya untuk menjaga sikap kepada Ibu tirinya, walau Ana tidak menyukainya.
“Ma-maaf Ma ... Ana terkejut.”
Nita tersenyum kecut. Ia mengetahui jika itu adalah pertahanan Ana yang belum bisa membuka diri padanya. “Tidak masalah, sekarang kamu makan dulu ya? Ibumu juga bersama Ayahmu, jadi semuanya akan baik-baik saja ... percayalah,” ucap Nita lembut untuk menenangkan Ana.
Ana memang tidak suka dengan wanita di hadapannya sekarang, tapi tidak dengan Ayahnya. Ana menyayangi Ayahnya. Pernikahan memang didasari keinginan dua belah pihak, tapi entah mengapa Ana merasa Nita lah yang menggoda Ayahnya. Karena Ana yakin jika Ayahnya mencintai Ibunya.
15 Oktober 2020 (07.30 PM)
Kecanggungan menyelimuti anak dan Ayah ini. Ruang tamu yang luas hanya diisi kesunyian, tidak ada yang membuka pembicaraan selama 10 menit. Ana bertahan untuk itu, malah berharap Ayahnya untuk segera pergi.
Tapi tidak dengan Brian. Ia terus memikirkan kata-kata yang tepat untuk pembukaan topik yang sangat sensitif ingin dibicarakannya. Dipilihlah hal basa-basi yang umum digunakan, walau ia tahu Ana sama seperti dirinya yang lebih suka bicara dengan to the point.
“Bagaimana sekolahmu? Ayah dengar nilaimu sudah mulai membaik seperti semula. Lalu, bagaimana dengan teman-temanmu? Mereka sudah tidak membullymu, kan?”
Ana menatap mata Ayahnya tajam, “Sepertinya Ayah tahu lebih banyak dari aku sendiri. Tanyakan semua itu pada informan Ayah.” Dengan ketus Ana mengatakanya secara blak-blakan.
Ana mulai bosan dengan ayahnya yang memilih berbasa-basi. Hal yang Ana yakin, Ayahnya datang dengan maksud tertentu. Ana beranjak hendak ke kamarnya, namun ayahnya menegurnya.
“Ana! Siapa yang mengajarimu bicara sepeti itu pada Ayah? Kalau kamu tahu Ayah menyewa orang untuk mengikutimu, itu karena Ayah mengkhawatirkanmu. Tidakkah kamu berpikir untuk mengunjungi Ayah? Ayah sangat merindukanmu, Nak.” Brian sungguh merindukan Ana, andai jika Putrinya itu menyadarinya.
“Aku juga merindukan Ayah, tapi itu satu tahun yang lalu saat Ayah sibuk mengecar cinta Ayah yang lain. Dan tidak lagi untuk saat ini.” Ana kembali menghadap ayahnya. “Aku bahkan sudah menganggap diriku ini yatim piatu. Jadi pergilah setelah mengatakan apa yang ingin Ayah katakan.”
Bagai ditikam ribuan pisau. Apa yang Putrinya katakan? Menganggap dirinya telah tiada, sebesar itukah kesalahan dirinya hingga tanpa sadar menggores luka begitu dalam di hati Ana? Namun seorang anak tidak mungkin mengatakan hal sekejam itu jika tidak ada orang dewasa yang menghasutnya. “Apa mendiang Ibumu tidak mengajarkan cara bersikap pada Ayahmu sendiri? Apa yang Ibumu ajarkan selama hidupnya? Apa dia bilang aku yang berkhianat?!” Tanpa sadar Brian meninggikan suaranya dan membuat Ana takut. Bahkan Brian tidak sadar apa yang baru saja ia katakan.
“Ha ... hahaha,” tawa Ana sangat hambar dan datar. Beginikah sifat asli Ayahnya? Bahkan selama ini Ibu selalu mengatakan hal yang baik-baik, yang mana selama ini Ayahnya sibuk dengan pekerjaan dan juga istri keduanya. “Jaga ucapan Anda. Tidak pantas Anda mempertanyakan apa yang sudah Ibu saya ajarkan kepada saya. Bahkan tanpa diajarkan pun saya bisa melihat kalau Anda memang sudah berkhianat! Anda sudah membuat Ibu menagis di masa hidupnya dan setelah tiada Anda memfitnahnya. Apa Anda orang suci?” Dengan napasnya yang memburu, Ana sudah tidak bisa menahan emosinya. “Pergi entah kemana dan pulang membawa wanita jalang itu, bersama anak sialan-“
PLAK!
Wajah Ana berpaling merasakan nyeri yang menyebar pada setengah wajahnya. Ia merasa menelan darah saat meneguk salivanya. Panas, perih, air matanya berlinang dengan hati yang terluka. Kenyataan jika Ayahnya sudah berubah, tidak lagi selalu memanjakan Ana ... sekarang mulai bermain tangan menyakiti fisik dan hatinya juga.
Sambil menatap tangannya dan rasa bersalah menjalar keseluruh tubuhnya. Brian melebarkan langkahnya ingin membekap tubuh mungil Putrinya dan meminta maaf. Namun dengan kesiapan yang kurang, tubuhnya terhuyung ke belakang karena ditepis kuat oleh Ana.
“Ana, dengar ... Ayah tidak bermaksud melukaimu. Ayah salah, Ayah hanya tidak suka kamu menghina Mama Nita dan anaknya. Bagaimanapun dia juga Ibumu dan anaknya adalah anak kandung Ayah, saudaramu.” Brian menjelaskan dan berjalan mendekati Ana kembali secara perlahan.
Ana yang siaga menyadari jika ayahnya mulai mendekat, ia pun ikut mundur. “Jangan mendekat! Ibu? Ibuku sudah meninggal! Tidak ada Ibu yang bisa menggantikan Ibuku! See? Karena wanita yang Anda bilang Ibuku itu membuat Anda menampar Putri Anda sendiri!” Ana sudah muak. Rasa sakit di hatinya sudah tidak bisa ia tahan lagi, ia benci dengan perasaan lemah ini. Air mata yang sudah ia tahan sejak tadi akhirnya terjatuh juga, bahkan tidak bisa ia hentikan. “Saya tidak ingin bertemu Anda lagi setelah ini. Dan kita hanya akan bertemu di hari pembagaian warisan itu tiba. Itu yang akan menjadi yang terakhir.” Ana berlari menaiki tangga memasuki kamarnya.
Brian mengacak rambutnya frusatasi. Apa yang ingin ia katakan bahkan belum dikatakan. Dan sekarang dengan bodohnya ia menyakiti Putrinya sendiri. Sungguh bodoh dirinya itu. Brian tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri setelah apa yang ia lakukan pada Ana tadi. Bahkan hatinya begitu hancur melihat Ana yang selalu berusaha kuat.
16 Oktober 2020
Dengan tatapan kosong Ana menatap pepohonan yang begitu tenang. Tidak peduli sekarang jam berapa, sesekali membolos tidak masalah untuknya. Semua kilasan sanyum, canda, dan tawa, terus meledeknya untuk melihat kenyataan. Semua ingatan itu adalah masa lalu. Sudah kesekian kali Ana menghela napasnya seperti seseorang yang kehilangan arah.
Namun, tiba-tiba sentuhan dingin menyapu pipinya dan tidak lagi menyisakan jejak air mata di sana. Ia mendengak dan terkejut melihat siapa yang sudah di hadapannya.
“Kamu bolos kelas?” tanya Ana reflek.
Shoan bukannya menjawab, malah memposisikan dirinya duduk bersila di hadapan Ana. Meletakkan kotak berwarna putih dengan lambang plus merah di tengahnya.
“Lain kali, kalau lari-lari ikat sepatu yang benar, agar tidak jatuh dan sampai seperti ini.” Shoan memberi antibiotik pada luka kering di sudut bibir Ana, lalu mengompres pipi Ana yang bengkak dengan es batu yang sudah dilapisi handuk.
“A-aw... pelan-pelan.” Suara Ana begitu kecil karena Ana tidak bisa membuka mulutnya dengan benar.
Shoan yang mengerti, dengan hati-hati menyentuh pipi Ana dengan es yang ia pegang. Tanpa banyak bertanya, Shoan hanya sibuk dengan kegiatannya. Ana jadi bisa memperhatikan wajah serius Shoan dari jarak yang sangat dekat. Ternyata Shoan sangat cantik jika dilihat dari wajah sampingnya. Wajah yang kecil, dengan kerangka wajah yang sangat tegas, sangat cocok dengan ramput pirangnya yang berwarna putih keemasan, paduan yang sangat pas.
“Ehm! Jangan melihatku seperti itu, nanti kalau naksir bilang, aku akan terima dengan senang hati,” ucap Shoan menyadarkan Ana yang terhanyut sambil menatap wajahnya.
Ana yang terkejut menjauhkan dirinya. “Sudah, aku bisa sendiri.” Ana mengambil es di tangan Shoan dan mengompresnya sendiri. Ia sebenarnya bertanya-tanya dengan kesimpulan Shoan jika dirinya terjatuh. “Kamu tidak bertanya lukaku ini dapat dari mana? Walau tanpa ditanya, ini keliatan jelas kalau sebuah tam-“
“Jangan beri tahu!” Dengan cepat Shoan memotong ucapan Ana.
“Kenapa?”
“Aku bisa saja membunuh orang yang melakukan ini padamu. Jika kamu tidak ingin itu terjadi, maka diam saja.”
Deg! Entah kenapa suasana menjadi mencekam. Perkataan Shoan terdenger begitu serius sampai Ana meneguk salivanya saja serat. “Kata-kata itu manis kalau di dengar dalam drama, tapi sangat menyeramkan jika mendengarnya langsung. Kamu psikopat ya?”
“Iya, kalau aku melihat gadis yang aku suka terluka," gumam Shoan merapikan kembali kotak P3K.
“Apa?” Ana seperti mendengar jika Shoan mengatakan sesuatu, tapi tidak terdengar jelas.
Shoan tersenyum manis pada Ana, ia ngusap pucuk kepala gadis itu dengan gemas. "Tidak. Aku akan mengembalikan ini terlebih dahulu, lalu kembali ke sini. Jangan kemana-mana!"
Seketika Ana memukul kepalanya sendiri, bagaiamana bisa ia menganggap ucapan Shoan dengan serius? Mau lelaki itu lembali atau tidak, bukan urusannya.
16 Oktober 2020Mencatat pelajaran yang tertinggal. Ana tidak tahu siapa yang berbaik hati meminjamkan bukunya padanya. Ia hanya diberikan Shoan untuk mencatat yang ketertinggalan, karena bolos pelajaran pertama. Mungkin salah satu fans Shoan? Entahlah. Yang pasti Ana akan mengembalikan bukunya dengan cepat dan berterima kasih pada Shoan.Brak!Ana mendongak melihat siapa yang mengganggunya. Perempuan berambut panjang dengan ombre violet sudah duduk di atas mejanya."Heh! Jalang!" ketus perempuan itu.Ana yang melihat kelauan itu menegakkan dan menyenderkan punggungnya pada kursi, melipat tangannya di depan dada, menatap malas tepat pada mata perempuan itu."Berani banget ya pake catetan si culun! Oh ... Selain jalang, kamu juga tukang bully, ya?" tuduhnya.Kali ini Ana menghelakan napasnya merasa bosan dengan ocehan perempuan itu."Samalah kayak Ibumu! Sama-sama jalang!" lanjutnya.Brak!
16 Oktober 2020 “Kita bisa menggunakan waktu itu untuk ke rumah Om ku sebagai alibi, kamu mengertikan maksudku?” Alfin melingkari tanggal di kalender buku harian barunya. Waktu yang tidak lagi banyak dengan kesempatan yang besar, namun peluang mereka untuk mendapatkan hasil yang diinginkan sangat sedikit. “Acara puncaknya kapan?” “Tanggal 26.” Ana memikirkan apa saja yang mungkin terjadi nantinya. Dengan adanya acara ini, ia bisa bergerak bebas dan fokus untuk penyelidikan. Bahkan sampai tanggal yang harus dipersiapkan itu tiba ... setelahnya tidak akan berpengaruh besar pada dirinya, apapun yang terjadi nanti. Alfin menutup buku merasa pembicaraan sudah selesai. Di tempat yang banyak makanan dan minuman ini bisa mengotori benda pentingnya itu sewaktu-waktu. “Nanti akan ada perwakilan OSIS yang mengumumkan event tahunan SMA Horizon, jadi pastikan kamu bisa bergerak bebas selama waktu yang aku berikan,” lanjut perjelas
17 Oktober 2020Bukan Ana yang terlalu sabar, tapi ia sudah mati rasa dan terbiasa dengan omongan-omongan yang dilewatinya. Masa paling sulit sudah Ana lalui, hanya sebatas dirinya dipanggil wanita murahan dan penjilat bukan apa-apa untuknya.Kabar mengenai Ana yang akan menjadi pemeran utama dalam pertunjukan kelasnya menyebar sangat cepat. Benar saja perhitungan ketua kelas, hal itu menarik perhatian seluruh warga SMA Horizon karena mengetahui pemeran utama lainnya adalah Shoan. Sampai-sampai jendela kelas tidak sepi hanya untuk mempertontonkan Ana dan Shoan yang menjadi teman sebangku.“Kamu tidak risih?” tanya Shoan berbisik pada Ana. Ia merasa ngeri mendapat tatapan lapar dari fansnya.“Untuk apa?” Ana merespon tanpa beralih dan masih fokus dengan buku yang sedang ia baca.“Ini lebih menakutkan dari yang kubayangkan. Ada yang menatap sinis dan juga berbinar secara bersamaan, apa akan berbahaya ked
17 Oktober 2020 “Berekspresi Ana! Berekspresi ... Ulang-ulang-ulang!” Bagian Ana terus diulang. Gadis itu sudah menghafal naskah dengan sangat baik, lebih cepat dibanding yang lain. Yang diperankannya pun tidak membutuhkan akting berlebih, karena karakter Christine Day adalah gadis polos apa adanya, penuh dengan kesederhanaan, namun menawan. Ana mengucapkan dialog dengan ekspresinya yang datar, lagu yang di-dubbling-nya sudah pas dengan gerak bibir, lagi-lagi tidak ada emosi yang terkesan. "Apa kamu robot Ana!" bentak ketua kelas tidak tahan lagi. “Ketua kelas! Sampai kapan kita seperti ini. Aku harus segera pulang karena ada urusan lain.” “Benar! Aku pun harus kerja paruh waktu.” “Kita juga sudah terlalu lama di sekolah, perjanjiannyakan tidak selama ini!” Protes dari pemeran lain yang sudah bosan menunggu giliran perannya. “Ah! Iya-iya.” Ketua kelas mengusap kepalanya sendiri dengan k
28 Februari 2019“ALFIN DI SANA! ADEKMU NANTI NYEBUR!”Teriakan Ana sontak membuat yang dipanggil menoleh dan langsung berlari ke kolam ikan tempat adiknya berada. Bahkan Ana tidak tinggal diam dan ikut berlari.Silla yang baru keluar membawa nampan berisi minuman melihat Ana dan Alfin berlari. Saat melihat ke arah yang dituju, adik Alfin bermain air di kolam ikan yang begitu menepi. “Ana! Itu cepet nanti Rizki jatuh!”Keadaan menjadi tegang saat Ana yang ceroboh tersandung kakinya sendiri hingga tersungkur. Sedangkan Rizki yang menoleh ke belakang melihat Ana terjatuh, membuat balita itu melangkah mundur dan satu kakinya sudah menapak pada permukaan kaki yang tidak dapat menopang tubuh kecil itu.Semua mata terbelalak melihat Rizki terjatuh kalau saja Alfin tidak menukar posisinya. Alfin terjebur ke dalam kolam ikan yang hanya sedalam pergelangan kaki dengan
18 Oktober 2020 Menatap layar ponsel tertera nama ‘Ana’ beserta nomor teleponnya. Ada tiga pilihan fitur dari kontak tersebut, pesan, panggilan vidio, atau telepon. Pilihan terakhir yang ingin sekali jembol Shoan tekan, namun ia ragu- apa lagi Ana sudah mengatakan dirinya akan sibuk hari ini. Matanya beralih pada naskah drama yang akan mereka mainkan, membuatnya mengambil dan membaca kembali keseluruhan naskah. Sebuah kisah perjuangan cinta yang bertepuk sebelah tangan, pengorbanan, kepedihan, kehampaan, dan kekejaman. Cinta dalam arti yang gelap dan berbeda dari happy ending kisah cinta yang sering didengar. The Panthom of the Opera. “Dari sudut pandang Christine Day dan Viscount Raoul, ini memang kisah cinta yang sempurna bagaikan di negeri dongeng.” Di lain sisi. “Bagaimanapun Panthom lah pemeran utama The Panthom of the Opera yang sebenarnya.” Ana menitikan air matanya,
~ 7 Juli 2019Sinar matahari senja menghalangi pandangan gadis bermata cokelat gelap yang sedang menatap jenuh ke luar jendela mobil. Sudah 5 jam waktu tempuh perjalanan dari Bandung ke Jakarta, adanya pembangunan proyek jalan membuat kemacetan tidak dapat dihindari. Terdengar hanya pada telinga gadis itu yang terselip earphone mengalun musik favorite-nya.“Na…”“Ana!”Samar mendengar namanya dipanggil, Ana melepas sebelah earphone yang ia kenakan. “Kenapa, Bu?” tanya Ana dingin, matanya masih setia memandang luar jendela.“Besok kamu sudah mulai masuk sekolah, Ibu harap kamu sudah bisa berinteraksi normal dengan teman-temanmu.” Wanita dewasa yang dipanggil Ibu itu menyetir sambil mengamati Ana dari kaca spion dalam.“Ibu pikir selama ini aku tidak normal?” celetuk Ana tajam.“Ah
14 Oktober 2020Setelah bel istirahat berbunyi Ana beranjak pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku pelajaran yang ia butuhkan. Entah kenapa pikirannya terus terbayang kata ‘I miss you’ yang diucapkan siswa pindahan itu. Ia menjadi pura-pura tidak pernah mendengarnya dan tampak cuek saja, walau tidak peduli Ana juga mendengar gombalan yang diselipkan lelaki itu saat memperkenalkan diri di depan kelas.Melihat buku paket ‘Doppler’ materi yang baru saja di jelaskan Bu Retno tadi, Ana mengambilnya. Tiba-tiba sebuah tangan juga menjulur mengambil buku yang sama. Saat memutar tubuhnya, siswa pindahan itu memberikan buku yang ingin Ana ambil.“Seharusnya kamu meminta bantuan kalau kesulitan mengambilnya.”Ana mengedipkan matanya tiga kali mencerna perkataan itu, namun ia langsung mengambil buku yang diberikan siswa pindahan. "Terima kasih," ucapnya sebelum melangkahkan kakinya mencari buku yang lai
18 Oktober 2020 Menatap layar ponsel tertera nama ‘Ana’ beserta nomor teleponnya. Ada tiga pilihan fitur dari kontak tersebut, pesan, panggilan vidio, atau telepon. Pilihan terakhir yang ingin sekali jembol Shoan tekan, namun ia ragu- apa lagi Ana sudah mengatakan dirinya akan sibuk hari ini. Matanya beralih pada naskah drama yang akan mereka mainkan, membuatnya mengambil dan membaca kembali keseluruhan naskah. Sebuah kisah perjuangan cinta yang bertepuk sebelah tangan, pengorbanan, kepedihan, kehampaan, dan kekejaman. Cinta dalam arti yang gelap dan berbeda dari happy ending kisah cinta yang sering didengar. The Panthom of the Opera. “Dari sudut pandang Christine Day dan Viscount Raoul, ini memang kisah cinta yang sempurna bagaikan di negeri dongeng.” Di lain sisi. “Bagaimanapun Panthom lah pemeran utama The Panthom of the Opera yang sebenarnya.” Ana menitikan air matanya,
28 Februari 2019“ALFIN DI SANA! ADEKMU NANTI NYEBUR!”Teriakan Ana sontak membuat yang dipanggil menoleh dan langsung berlari ke kolam ikan tempat adiknya berada. Bahkan Ana tidak tinggal diam dan ikut berlari.Silla yang baru keluar membawa nampan berisi minuman melihat Ana dan Alfin berlari. Saat melihat ke arah yang dituju, adik Alfin bermain air di kolam ikan yang begitu menepi. “Ana! Itu cepet nanti Rizki jatuh!”Keadaan menjadi tegang saat Ana yang ceroboh tersandung kakinya sendiri hingga tersungkur. Sedangkan Rizki yang menoleh ke belakang melihat Ana terjatuh, membuat balita itu melangkah mundur dan satu kakinya sudah menapak pada permukaan kaki yang tidak dapat menopang tubuh kecil itu.Semua mata terbelalak melihat Rizki terjatuh kalau saja Alfin tidak menukar posisinya. Alfin terjebur ke dalam kolam ikan yang hanya sedalam pergelangan kaki dengan
17 Oktober 2020 “Berekspresi Ana! Berekspresi ... Ulang-ulang-ulang!” Bagian Ana terus diulang. Gadis itu sudah menghafal naskah dengan sangat baik, lebih cepat dibanding yang lain. Yang diperankannya pun tidak membutuhkan akting berlebih, karena karakter Christine Day adalah gadis polos apa adanya, penuh dengan kesederhanaan, namun menawan. Ana mengucapkan dialog dengan ekspresinya yang datar, lagu yang di-dubbling-nya sudah pas dengan gerak bibir, lagi-lagi tidak ada emosi yang terkesan. "Apa kamu robot Ana!" bentak ketua kelas tidak tahan lagi. “Ketua kelas! Sampai kapan kita seperti ini. Aku harus segera pulang karena ada urusan lain.” “Benar! Aku pun harus kerja paruh waktu.” “Kita juga sudah terlalu lama di sekolah, perjanjiannyakan tidak selama ini!” Protes dari pemeran lain yang sudah bosan menunggu giliran perannya. “Ah! Iya-iya.” Ketua kelas mengusap kepalanya sendiri dengan k
17 Oktober 2020Bukan Ana yang terlalu sabar, tapi ia sudah mati rasa dan terbiasa dengan omongan-omongan yang dilewatinya. Masa paling sulit sudah Ana lalui, hanya sebatas dirinya dipanggil wanita murahan dan penjilat bukan apa-apa untuknya.Kabar mengenai Ana yang akan menjadi pemeran utama dalam pertunjukan kelasnya menyebar sangat cepat. Benar saja perhitungan ketua kelas, hal itu menarik perhatian seluruh warga SMA Horizon karena mengetahui pemeran utama lainnya adalah Shoan. Sampai-sampai jendela kelas tidak sepi hanya untuk mempertontonkan Ana dan Shoan yang menjadi teman sebangku.“Kamu tidak risih?” tanya Shoan berbisik pada Ana. Ia merasa ngeri mendapat tatapan lapar dari fansnya.“Untuk apa?” Ana merespon tanpa beralih dan masih fokus dengan buku yang sedang ia baca.“Ini lebih menakutkan dari yang kubayangkan. Ada yang menatap sinis dan juga berbinar secara bersamaan, apa akan berbahaya ked
16 Oktober 2020 “Kita bisa menggunakan waktu itu untuk ke rumah Om ku sebagai alibi, kamu mengertikan maksudku?” Alfin melingkari tanggal di kalender buku harian barunya. Waktu yang tidak lagi banyak dengan kesempatan yang besar, namun peluang mereka untuk mendapatkan hasil yang diinginkan sangat sedikit. “Acara puncaknya kapan?” “Tanggal 26.” Ana memikirkan apa saja yang mungkin terjadi nantinya. Dengan adanya acara ini, ia bisa bergerak bebas dan fokus untuk penyelidikan. Bahkan sampai tanggal yang harus dipersiapkan itu tiba ... setelahnya tidak akan berpengaruh besar pada dirinya, apapun yang terjadi nanti. Alfin menutup buku merasa pembicaraan sudah selesai. Di tempat yang banyak makanan dan minuman ini bisa mengotori benda pentingnya itu sewaktu-waktu. “Nanti akan ada perwakilan OSIS yang mengumumkan event tahunan SMA Horizon, jadi pastikan kamu bisa bergerak bebas selama waktu yang aku berikan,” lanjut perjelas
16 Oktober 2020Mencatat pelajaran yang tertinggal. Ana tidak tahu siapa yang berbaik hati meminjamkan bukunya padanya. Ia hanya diberikan Shoan untuk mencatat yang ketertinggalan, karena bolos pelajaran pertama. Mungkin salah satu fans Shoan? Entahlah. Yang pasti Ana akan mengembalikan bukunya dengan cepat dan berterima kasih pada Shoan.Brak!Ana mendongak melihat siapa yang mengganggunya. Perempuan berambut panjang dengan ombre violet sudah duduk di atas mejanya."Heh! Jalang!" ketus perempuan itu.Ana yang melihat kelauan itu menegakkan dan menyenderkan punggungnya pada kursi, melipat tangannya di depan dada, menatap malas tepat pada mata perempuan itu."Berani banget ya pake catetan si culun! Oh ... Selain jalang, kamu juga tukang bully, ya?" tuduhnya.Kali ini Ana menghelakan napasnya merasa bosan dengan ocehan perempuan itu."Samalah kayak Ibumu! Sama-sama jalang!" lanjutnya.Brak!
~ 16 Juli 2019Ana bergantian menatap jam dinding dan luar jendela menunggu Ibunya yang tidak kunjung pulang. Kecemasannya meninggkat saat nomor telepon yang ia hubungi tidak aktif. Doa dan harapan terus terucap. Sampai wanita di belakangnya ikut cemas dengan keadaan Ana sendiri yang belum makan sejak pagi.“Nak, Ibumu pasti segera datang. Makan dulu ya? Mama juga sudah buatkan susu cokelat hangat untukmu.” Wanita yang menyebut dirinya Mama berusaha merangkul Ana.Dengan kasar Ana menepis tangan Ibu tirinya, Nita. Tatapan tajam Ana lemparkan. Ana sadar, sikapnya sekarang sangat tidak sopan, terlebih lagi ia ingat pesan Ibunya untuk menjaga sikap kepada Ibu tirinya, walau Ana tidak menyukainya.“Ma-maaf Ma ... Ana terkejut.”Nita tersenyum kecut. Ia mengetahui jika itu adalah pertahanan Ana yang belum bisa membuka diri padanya. “Tidak masalah,
15 Oktober 2020Kebun belakang perpustakaan, tempat paling sepi dibanding perpustakaan itu sendiri. Kebun yang lengkap dengan rumput liar dan pohon buah, namun jarang sekali berbuah. Banyak nyamuk yang menghuninya, gelap, dan juga lembab. Kebun ini juga tempat yang digosipkan angker, banyak sekali cerita berantai yang tercipta hanya dari atmosfer misterius tempat itu. Namun, ini adalah tempat favorit Ana.Bermodal buku novel. Ana berbaring di kursi kayu panjang yang sudah lapuk, menutupi wajahnya menghalangi sinar matihari dari celah-celah daun di atas pepohonan. Tiba-tiba Ana menegakkan tubuhnya. Pendengarannya menajam menangkap gelombang suara yang familiar dan menarik rasa penasarannya.So beautiful beautifulgeu nugu boda areumdaul neonikkaapeuji ma ulji ma neol hyanghan noraegadeullindamyeon dasi dorawaAna mencari asal suara itu, lagu yang sudah lama tidak pernah ia dengar di tempat umum.
~ 9 Juli 2019“Belum tidur, Nak?”Silla mengintip kamar Ana yang tampak gelap dengan suhu AC yang cukup rendah ia rasakan. Ana tidur dengan membelakangi pintu masuk kamar. Silla menaiki kasur, duduk di sebelah Ana yang tampak tertidur itu tangannya memebelai kepala Putri tercintanya. Gumaman yang membentuk alunan lagu Silla suarakan sambil bernostalgia Ana-nya yang dirasa baru kemarin ia timang, sekarang sudah besar, dan memiliki pemikiran sendiri yang sangat tajam. Ana tumbuh menjadi anak yang cerdas.“Nak, apa yang kamu tidak suka dari Mama Nita?” tanya Silla membuka suara, berbicara sendiri. Ia tidak tahu pasti Ana sudah tertidur atau tidak, ia berharap Ana mendengarnya.“Apa Ibu boleh meminta sesuatu? Tolong jangan membenci Mama Nita. Kalau kamu mau tahu, dia wanita yang sangat baik. Ibu percaya dia bisa menjadi Ibu yang baik juga untukmu.” Silla mengatakannya