"Ahh... aah... mch.."Suara Rani yang menjijikan bagaikan bom atom yang seketika menghancurkan hidupku. Tubuh yang masih terasa bergetar ini perlahan berjalan mundur dengan pelan. Aku tidak mau kalau sampai Rani dan Mas Fery menyadari keberadaanku.Tubuh telanjang Rani yang bergoyang di atas paha Mas Fery jelas terlihat oleh kedua bola mata ini. Anak gadisku nampak lihai memainkan hubungan intim. Mengapa anak gadisku setega ini terhadapku?Aku kemudian memutuskan untuk keluar lagi dari rumah. Mengunci kembali pintunya agar kehadiranku tak tercium oleh siapa pun.Aku segera memesan taksi online dan memutuskan akan kembali ke rumah Siska. Aku tak akan kuat berhadapan dengan mereka saat ini. Tubuh lemas ini seakan tak memiliki kekuatan.Di sepanjang perjalanan di dalam mobil, pasang manik ini tak mau berhenti mengeluarkan cairan beningnya. Driver taksi online itu bahkan terlihat iba saat aku terus saja berpacu dalam tangisan sendu sore ini.Aku tak pernah menyangka sama sekali kalau sore
Aku telah berdiri diantara Rani dan Fery yang tengah sarapan. Mereka menatapku gugup. Bagaimana tidak, mereka tengah asik sarapan bersama sambil bergurau, tiba-tiba aku datang dan mengganggu keduanya."Selamat pagi!" Aku menyapa berusaha mengukir senyum seolah tak terjadi apa-apa."Mia!" Mas Fery menghentikan sarapannya. Ia yang gugup segera beranjak dari tempat duduk lalu menghampiriku yang masih mematung.Sementara Rani, dia masih saja duduk dan tak perduli denganku. Aku tak habis pikir dengan anak itu. Entah terbuat dari apa isi hatinya sampai tega menghancurkan perasaan ibunya sendiri.Mas Fery kini telah berada tepat di hadapanku ia kemudian meraih tangan ini. Sebenarnya ingin ku hempaskan belaiannya yang menjijikan itu, akan tetapi aku tetap harus mengikuti alurnya saat ini."Mia, aku minta maaf. Aku sadar, aku khilaf. Tapi, aku akan berubah. Kita mulai semuanya dari awal." Mas Fery berbicara dengan meyakinkanku. Lelaki penghianat itu menatapku begitu dalam, tapi aku yakin itu s
Aku segera mengamankan perhiasan. Aku bukan mencuri karena benda ini adalah milikku. Setelah itu, aku melanjutkan penyisiran lemari Rani. Aku yakin masih ada benda mencurigakan di dalamnya.Di dalam sebuah laci yang terletak di dalam lemari Rani, aku kembali menemukan sebuah amplop uang berwarna coklat dengan ukuran besar. Aku yang penasaran segera membuka isi amplop itu. Sudah bisa diraba ketebalan isinya. Hanya saja aku masih belum tahu kertas apa yang berada di dalamnya.Lagi-lagi kepala ini dibuat menggeleng. Hal yang mengejutkan kembali aku dapatkan saat melihat isi amplopnya.Lembaran uang berwarna merah dengan jumlah yang banyak dan aku tak tahu berapa. Uang lembaran berwarna merah itu cukup tebal. Bisa diperkirakan jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah.Aku menelan saliva yang terasa berat. Batinku kembali lemas. Dari mana uang puluhan juta ini Rani dapatkan? Padahal yang aku tahu uang jajan sekolahnya saja hanya lima puluh ribu sehari. Apa ini termasuk pemberian Mas Fery?Ya
Usai makan malam aku melihat Mas Fery mengutak-atik leptop. Aku pura-pura bertanya sekedar basa-basi."Mau ngapain, Mas? Ini kan sudah malam. Masa masih mau kerja," tanyaku."Enggak kok. Aku hanya ingin melihat CCTV saja," jawab Mas Fery. Sementara pandangannya tetap fokus pada layar monitor."Untuk apa, Mas?" Lagi, aku bertanya agar Mas Fery yakin kalau aku memang tak tahu apa-apa."Aku penasaran saja. Aku ingin lihat siapa yang masuk ke kamar Rani dan mengambil perhiasannya," jelas Mas Fery."Ya ampun, Mas. Kok kamu sampai begitu repot-repot. Bukannya hanya perhiasan perak dan tak terlalu berharga," sindirku dengan enteng. Aku segera merebahkan tubuh di atas ranjang tak terlalu perduli saat Mas Fery sibuk dengan leptop rumah."Katanya hadiah dari pacarnya. Aku hanya kasian saja sama, Rani. Terlihat sedih," jawabnya.'Kamu tak akan menemukan apa-apa, Mas,' batinku sambil tersenyum getir merasa senang. Kemudian aku berpura-pura tidur duluan.Mas Fery terdengar berdesis kesal. Ah aku ta
Benar saja, Mas Fery keluar dari kamar sambil membawa map yang berwarna hijau. Ah menyeringai senang karena sudah bisa dipastikan kalau isi map itu pasti surat rumah. Aku memperbaiki raut wajahku agar terlihat biasa."Ini!" Mas Fery meletakan map hijau itu di atas meja makan."Ini surat rumahnya?" Aku pura-pura bertanya dan Mas Fery tampak menganggukan kepalanya.'Ternyata tak begitu sulit membohongi kamu, Mas.' Aku bergumam dalam hati."Oke!""Setelah pembayaran pajak selesai, surat rumah serahkan kembali kepadaku karena aku harus menyimpannya kembali," kata Mas Fery seraya meneguk sisa teh hangat dalam gelasnya."Tentu saja, Mas." Aku mengiyakan.Mas Fery berlalu pergi menuju kantor. Sementara surat rumah sudah berada dalam genggaman tanganku. Aku harus gerak cepat karena Mas Fery tak memberiku banyak waktu.***Aku mengalihkan nama rumah menjadi atas namaku. Beruntung prosesnya berjalan lancar dan cepat. Aku tak mau kalau sampai Mas Fery keburu pulang menggagalkan rencana ini."Maa
"Lama sekali kamu, Mia?"Saat kaki ini baru saja tiba di rumah, Mas Fery langsung menyodorkan pertanyaan sambil memasang wajah ketus."Iya, Mas. Sedikit macet," jawabku beralasan."Mana surat rumahnya." Mas Fery menadahkan tangan. Suamiku ini sangat ketakutan rupanya."Oh iya, Mas." Aku memutar tangan guna mencari sesuatu yang harusnya tergantung di bahuku."Ya ampun tasku!" Aku menampilkan wajah panik saat mencari sesuatu yang harusnya tergantung di bahuku."Mana tasmu, Mia?" Mas Fery menimpali dengan pertanyaan. Ada ketegangan yang terlihat pada wajahnya."Sepertinya ketinggalan di mobil, Mas!" Sama halnya dengan Mas Fery, aku pun terkejut."Kamu ini apa-apaan sih, Mia! Lalu, surat rumahnya mana?" Mas Fery bertanya lagi dengan wajah cemasnya."Di dalam tas, Mas. Ketinggalan," jawabku seraya menepuk kening."Gila kamu, Mia! Ceroboh!" Mas Fery marah. Bola matanya juga tampak membulat."Ya aku tidak sadar, Mas." Aku mencoba membela diri."Coba kamu ingat-ingat. Dimana kamu meninggalkan
"Kapan Pak Dodi meninggal, Mba?" Mbo Sari malah berbalik tanya."Tadi pagi, Mbo. Akibat kecelakaan tunggal dengan luka pada bagian kepala," jawabku."Mas Dodi bilang, kalau dia punya dosa besar sama saya. Kemarin Mas Dodi kondisinya lemah. Dia tak bisa banyak bicara. Mas Dodi menyuruh saya menemui, Mbo Sari. Ada apa ini, Mbo?" Aku melanjutkan pertanyaan.Mbo Sari tampak membuang pandangan ke arah yang lain. Tampak gugup dan salah tingkah. Pemandangan yang membuatku semakin penasaran."Katakanlah, Mbo. Saya hanya merasa penasaran saja tak ada maksud apa-apa," pintaku saat Mbo Sari masih saja diam sambil menggigit bibir bagian bawahnya."Sebenarnya ini dosa Pak Dodi, Mba. Saya hanya menuruti permintaannya bliau saja," ungkap Mbo Sari yang membuatkan memperbaiki posisi duduk semakin dibuat penasaran."Apa itu, Mbo?" Lagi, aku tak mau menunda waktu."Sebenarnya ini sudah lama. Hari ini karena Pak Dodi yang meminta, maka akan saya katakan."Ungkapan Mbo Sari lagi-lagi membuatku semakin ant
"Kamu itu kerjaannya keluyuran melulu, Mia!" Mas Fery menyambut kedatanganku di rumah dengan wajah ketus. Padahal aku baru saja tiba dan belum sempat duduk atau pun istirahat."Aku bukan keluyuran, Mas. Aku kan baru pulang ngelayat dan kamu tahu itu," bantahku segera beralasan.Mas Fery tampak beranjak dari tempat duduknya kemudian berdiri menghadapku."Kamu mulai pandai berbohong ya, Mia!" Mas Fery berkacak pinggang sambil melayangkan tatapan nanarnya kepadaku."Bohong bagaimana sih, Mas. Kamu kan tahu kalau papahnya Rani meninggal." Aku masih bersi kukuh tak mau disalahkan."Lagi pula, tumben jam segini kamu sudah pulang," tambahku basa-basi saja."Kamu bohong, Mia! Rani berkata kalau kamu tak lama di kediaman duka. Kamu pergi sejak tadi pagi sementara Rani di rumah duka sendirian." Mas Fery mengungkapkan kekesalannya."Oh jadi, Rani. Dia mengadu sama kamu!" Aku tak mau kalah."Bukan Rani yang mengadu, tapi aku yang bertanya," elak suamiku. Aduh dia selalu saja membela Rani membuat