Benar saja, Mas Fery keluar dari kamar sambil membawa map yang berwarna hijau. Ah menyeringai senang karena sudah bisa dipastikan kalau isi map itu pasti surat rumah. Aku memperbaiki raut wajahku agar terlihat biasa."Ini!" Mas Fery meletakan map hijau itu di atas meja makan."Ini surat rumahnya?" Aku pura-pura bertanya dan Mas Fery tampak menganggukan kepalanya.'Ternyata tak begitu sulit membohongi kamu, Mas.' Aku bergumam dalam hati."Oke!""Setelah pembayaran pajak selesai, surat rumah serahkan kembali kepadaku karena aku harus menyimpannya kembali," kata Mas Fery seraya meneguk sisa teh hangat dalam gelasnya."Tentu saja, Mas." Aku mengiyakan.Mas Fery berlalu pergi menuju kantor. Sementara surat rumah sudah berada dalam genggaman tanganku. Aku harus gerak cepat karena Mas Fery tak memberiku banyak waktu.***Aku mengalihkan nama rumah menjadi atas namaku. Beruntung prosesnya berjalan lancar dan cepat. Aku tak mau kalau sampai Mas Fery keburu pulang menggagalkan rencana ini."Maa
"Lama sekali kamu, Mia?"Saat kaki ini baru saja tiba di rumah, Mas Fery langsung menyodorkan pertanyaan sambil memasang wajah ketus."Iya, Mas. Sedikit macet," jawabku beralasan."Mana surat rumahnya." Mas Fery menadahkan tangan. Suamiku ini sangat ketakutan rupanya."Oh iya, Mas." Aku memutar tangan guna mencari sesuatu yang harusnya tergantung di bahuku."Ya ampun tasku!" Aku menampilkan wajah panik saat mencari sesuatu yang harusnya tergantung di bahuku."Mana tasmu, Mia?" Mas Fery menimpali dengan pertanyaan. Ada ketegangan yang terlihat pada wajahnya."Sepertinya ketinggalan di mobil, Mas!" Sama halnya dengan Mas Fery, aku pun terkejut."Kamu ini apa-apaan sih, Mia! Lalu, surat rumahnya mana?" Mas Fery bertanya lagi dengan wajah cemasnya."Di dalam tas, Mas. Ketinggalan," jawabku seraya menepuk kening."Gila kamu, Mia! Ceroboh!" Mas Fery marah. Bola matanya juga tampak membulat."Ya aku tidak sadar, Mas." Aku mencoba membela diri."Coba kamu ingat-ingat. Dimana kamu meninggalkan
"Kapan Pak Dodi meninggal, Mba?" Mbo Sari malah berbalik tanya."Tadi pagi, Mbo. Akibat kecelakaan tunggal dengan luka pada bagian kepala," jawabku."Mas Dodi bilang, kalau dia punya dosa besar sama saya. Kemarin Mas Dodi kondisinya lemah. Dia tak bisa banyak bicara. Mas Dodi menyuruh saya menemui, Mbo Sari. Ada apa ini, Mbo?" Aku melanjutkan pertanyaan.Mbo Sari tampak membuang pandangan ke arah yang lain. Tampak gugup dan salah tingkah. Pemandangan yang membuatku semakin penasaran."Katakanlah, Mbo. Saya hanya merasa penasaran saja tak ada maksud apa-apa," pintaku saat Mbo Sari masih saja diam sambil menggigit bibir bagian bawahnya."Sebenarnya ini dosa Pak Dodi, Mba. Saya hanya menuruti permintaannya bliau saja," ungkap Mbo Sari yang membuatkan memperbaiki posisi duduk semakin dibuat penasaran."Apa itu, Mbo?" Lagi, aku tak mau menunda waktu."Sebenarnya ini sudah lama. Hari ini karena Pak Dodi yang meminta, maka akan saya katakan."Ungkapan Mbo Sari lagi-lagi membuatku semakin ant
"Kamu itu kerjaannya keluyuran melulu, Mia!" Mas Fery menyambut kedatanganku di rumah dengan wajah ketus. Padahal aku baru saja tiba dan belum sempat duduk atau pun istirahat."Aku bukan keluyuran, Mas. Aku kan baru pulang ngelayat dan kamu tahu itu," bantahku segera beralasan.Mas Fery tampak beranjak dari tempat duduknya kemudian berdiri menghadapku."Kamu mulai pandai berbohong ya, Mia!" Mas Fery berkacak pinggang sambil melayangkan tatapan nanarnya kepadaku."Bohong bagaimana sih, Mas. Kamu kan tahu kalau papahnya Rani meninggal." Aku masih bersi kukuh tak mau disalahkan."Lagi pula, tumben jam segini kamu sudah pulang," tambahku basa-basi saja."Kamu bohong, Mia! Rani berkata kalau kamu tak lama di kediaman duka. Kamu pergi sejak tadi pagi sementara Rani di rumah duka sendirian." Mas Fery mengungkapkan kekesalannya."Oh jadi, Rani. Dia mengadu sama kamu!" Aku tak mau kalah."Bukan Rani yang mengadu, tapi aku yang bertanya," elak suamiku. Aduh dia selalu saja membela Rani membuat
Memang suamiku ini sudah jauh berubah. Padahal ini baru saja pernikahan yang ke dua tahun. Tapi, seperti sudah berumah tangga selama dua puluh tahun saja perubahannya. Sikapnya berbanding terbalik dengan awal-awal pernikahan. Aku yakin kalau itu semua hanya topeng saja.Beralih dari lamunan singkat, aku segera bersiap dengan rencanaku. Bukan tentang surat rumah, melainkan pergi ke pusat pemeriksaan DNA agar kebenaran ini segera jelas.Aku berdiri di depan kamar seraya menatap Rani yang tengah memakai sepatu di ruang tengah. Paras cantik serta kelopak mata yang sipit memang jauh berbeda dengan diriku mau pun mantan suamiku. Tapi, dia sudah aku besarkan sepenuh hati. Dengan kasih sayang yang tulus. Aku bahkan rela bekerja saat menjanda hanya demi Rani. Walau pun kini balasannya sungguh menyakitkan.Saat langkah ini telah sampai di depan pintu, tiba-tiba aku mengingat sesuatu. Sepertinya aku harus menunda rencana dalam beberapa jam.Aku membiarkan Mas Fery dan Rani berangkat lebih dulu d
Aku tak pernah menyangka kalau mereka akan melakukan perbuatan zina saat jam kerja seperti ini. Harusnya Rani kan ke sekolah. Ya Tuhan, pantas saja rekaman CCTV yang ada di rumah tak ada lagi yang aneh. Nyatanya mereka melakukan perbuatan itu di rumah yang terlihat masih baru. Rumah yang disinyalir milik Rani."Apa benar laki-laki yang ada di dalam adalah suami, Mba?" Ibu RT bertanya kepadaku. Aku yang tengah merekam aktivitas kezi di dalam segera mengakhirinya disaat sudah cukup sebagai bukti.Aku segera mengganggukan kepala guna menjawab pertanyaan Bu RT. Air mata yang sedari tadi aku bendung akhirnya luruh di pipi. Aku sudah tak kuat dengan tingkah mereka yang menjijikan. Itu semua tak bisa dibiarkan berlarut-larut."Lalu, Mba kenal dengan wanitanya? Itu gadis yang bernama Rani, pemilik rumah ini. Apa mereka sudah menikah?" Bu RT bertanya lagi tentu dengan suara berbisik. Kami tak mau dua sejoli yang tengah asik bercinta di dalam, mendengar suara kami di luar."Rani adalah anak say
"Apa!" Pak RT dan warga nampak terkejut."Ya saya dan Rani adalah pasangan suami istri. Kami tidak berzina. Kalian akan saya tuntut!" Mas Fery dengan ancaman yang tegas. Dia pikir aku tak berada di lokasi."Bohong!" Aku segera mendekat sambil membantah ucapan Mas Fery.Semua warga melihat langkahku yang mendekat. Termasuk Mas Fery dan Rani yang nampak terkejut."Mia! Sedang apa kamu di sini?" Mas Fery dengan wajah terkejutnya. Ia tak mengalihkan pandangannya ke arah yang lain, pun dengan Rani.Aku kini telah berada diantara keduanya, diantara kerumunan warga yang nampak emosi."Tuhan telah menuntunku ke rumah ini. Rumah yang ternyata milik Rani. Kalian sungguh pasangan yang luar biasa!" Aku bertepuk tangan seraya mengukir senyuman palsu. Senyuman yang hanya untuk menutupi kepedihan di dalam dada."Mamah, ini bukan rumahku, Mah. Ini-" Belum sempat Rani menyelesaikan pembelaan, aku segera memotongnya."Saya tidak butuh penjelasanmu, Rani. Anak durkaha!" potongku segera. Aku melayangkan
Mas Fery bersi kukuh tak mau mengakui kesalahannya bahkan di hadapan polisi sekali pun."Halah! Maling mana mau ngaku! Ayo, Pak Polisi. Kurung saja mereka di dalam sel tahanan." Salah satu warga berteriak. Teriakannya bahkan diikuti oleh warga yang lain yang tampak emosi saat Mas Fery terus saja mengelak dari kesalahan."Sudah diam! Akan saya urus." Petugas kepolisian segera melerai."Apa ada bukti dari perbuatan mereka?" Polisi bertanya pada Pak RT. Aku pun segera maju untuk bersuara."Saya memiliki buktinya, Pak," tegasku.Mas Fery tampak semakin ambisi, "Bukti apa kamu, Mia? Jangan menambah keruh suasana.""Saya tidak menambah keruh. Saya akan memperjelas masalah yang terjadi siang ini," tegasku lagi.Seberapa besar pun usaha Mas Fery membela diri, aku yakin dia akan tetap kalah siang ini. Permainan liciknya selama ini harus segera diakhiri dan aku tak akan membiarkannya terus menerus."Silahkan duduk, Mba." Petugas berseragam coklat mempersilahkan aku untuk duduk. Aku mengikuti pe