Aku masih berpacu dalam tangisan sendu. Bukan Mas Fery yang aku tangisi saat ini, melainkan kegagalan yang kembali terjadi dalam rumah tanggaku. Aku mengusap dada ini, sementara air mata seakan tak mau berhenti mengalir."Apa aku adalah wanita yang banyak kekurangan? Dua lelaki telah berpaling dan mencari kesenangan dengan wanita lain. Dua lelaki telah mengkhianatiku tanpa perasaan." Aku berkata dengan suara isak tangis yang mengiringi.Mendengar ucapan sendu yang keluar dari mulut ini, gegas Siska memeluk guna menguatkan."Tidak seperti itu, Mia. Hanya saja kamu bertemu dengan lelaki yang salah untuk yang kedua kalinya," balas Siska membantah perkataanku.Pelukan sahabatku dilonggarkan. Gegas aku mengusap air mata yang membanjiri pipi. Mengatur napas yang berhembus tak beraturan."Aku akan meminta cerai," ucapku dengan yakin saat suasana hati sedikit tenang."Tapi, aku bingung harus pulang kemana. Rumah saudaraku belum tentu menerima raga ini," sambungku lesu."Rumahku cukup luas unt
"Ahh... aah... mch.."Suara Rani yang menjijikan bagaikan bom atom yang seketika menghancurkan hidupku. Tubuh yang masih terasa bergetar ini perlahan berjalan mundur dengan pelan. Aku tidak mau kalau sampai Rani dan Mas Fery menyadari keberadaanku.Tubuh telanjang Rani yang bergoyang di atas paha Mas Fery jelas terlihat oleh kedua bola mata ini. Anak gadisku nampak lihai memainkan hubungan intim. Mengapa anak gadisku setega ini terhadapku?Aku kemudian memutuskan untuk keluar lagi dari rumah. Mengunci kembali pintunya agar kehadiranku tak tercium oleh siapa pun.Aku segera memesan taksi online dan memutuskan akan kembali ke rumah Siska. Aku tak akan kuat berhadapan dengan mereka saat ini. Tubuh lemas ini seakan tak memiliki kekuatan.Di sepanjang perjalanan di dalam mobil, pasang manik ini tak mau berhenti mengeluarkan cairan beningnya. Driver taksi online itu bahkan terlihat iba saat aku terus saja berpacu dalam tangisan sendu sore ini.Aku tak pernah menyangka sama sekali kalau sore
Aku telah berdiri diantara Rani dan Fery yang tengah sarapan. Mereka menatapku gugup. Bagaimana tidak, mereka tengah asik sarapan bersama sambil bergurau, tiba-tiba aku datang dan mengganggu keduanya."Selamat pagi!" Aku menyapa berusaha mengukir senyum seolah tak terjadi apa-apa."Mia!" Mas Fery menghentikan sarapannya. Ia yang gugup segera beranjak dari tempat duduk lalu menghampiriku yang masih mematung.Sementara Rani, dia masih saja duduk dan tak perduli denganku. Aku tak habis pikir dengan anak itu. Entah terbuat dari apa isi hatinya sampai tega menghancurkan perasaan ibunya sendiri.Mas Fery kini telah berada tepat di hadapanku ia kemudian meraih tangan ini. Sebenarnya ingin ku hempaskan belaiannya yang menjijikan itu, akan tetapi aku tetap harus mengikuti alurnya saat ini."Mia, aku minta maaf. Aku sadar, aku khilaf. Tapi, aku akan berubah. Kita mulai semuanya dari awal." Mas Fery berbicara dengan meyakinkanku. Lelaki penghianat itu menatapku begitu dalam, tapi aku yakin itu s
Aku segera mengamankan perhiasan. Aku bukan mencuri karena benda ini adalah milikku. Setelah itu, aku melanjutkan penyisiran lemari Rani. Aku yakin masih ada benda mencurigakan di dalamnya.Di dalam sebuah laci yang terletak di dalam lemari Rani, aku kembali menemukan sebuah amplop uang berwarna coklat dengan ukuran besar. Aku yang penasaran segera membuka isi amplop itu. Sudah bisa diraba ketebalan isinya. Hanya saja aku masih belum tahu kertas apa yang berada di dalamnya.Lagi-lagi kepala ini dibuat menggeleng. Hal yang mengejutkan kembali aku dapatkan saat melihat isi amplopnya.Lembaran uang berwarna merah dengan jumlah yang banyak dan aku tak tahu berapa. Uang lembaran berwarna merah itu cukup tebal. Bisa diperkirakan jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah.Aku menelan saliva yang terasa berat. Batinku kembali lemas. Dari mana uang puluhan juta ini Rani dapatkan? Padahal yang aku tahu uang jajan sekolahnya saja hanya lima puluh ribu sehari. Apa ini termasuk pemberian Mas Fery?Ya
Usai makan malam aku melihat Mas Fery mengutak-atik leptop. Aku pura-pura bertanya sekedar basa-basi."Mau ngapain, Mas? Ini kan sudah malam. Masa masih mau kerja," tanyaku."Enggak kok. Aku hanya ingin melihat CCTV saja," jawab Mas Fery. Sementara pandangannya tetap fokus pada layar monitor."Untuk apa, Mas?" Lagi, aku bertanya agar Mas Fery yakin kalau aku memang tak tahu apa-apa."Aku penasaran saja. Aku ingin lihat siapa yang masuk ke kamar Rani dan mengambil perhiasannya," jelas Mas Fery."Ya ampun, Mas. Kok kamu sampai begitu repot-repot. Bukannya hanya perhiasan perak dan tak terlalu berharga," sindirku dengan enteng. Aku segera merebahkan tubuh di atas ranjang tak terlalu perduli saat Mas Fery sibuk dengan leptop rumah."Katanya hadiah dari pacarnya. Aku hanya kasian saja sama, Rani. Terlihat sedih," jawabnya.'Kamu tak akan menemukan apa-apa, Mas,' batinku sambil tersenyum getir merasa senang. Kemudian aku berpura-pura tidur duluan.Mas Fery terdengar berdesis kesal. Ah aku ta
Benar saja, Mas Fery keluar dari kamar sambil membawa map yang berwarna hijau. Ah menyeringai senang karena sudah bisa dipastikan kalau isi map itu pasti surat rumah. Aku memperbaiki raut wajahku agar terlihat biasa."Ini!" Mas Fery meletakan map hijau itu di atas meja makan."Ini surat rumahnya?" Aku pura-pura bertanya dan Mas Fery tampak menganggukan kepalanya.'Ternyata tak begitu sulit membohongi kamu, Mas.' Aku bergumam dalam hati."Oke!""Setelah pembayaran pajak selesai, surat rumah serahkan kembali kepadaku karena aku harus menyimpannya kembali," kata Mas Fery seraya meneguk sisa teh hangat dalam gelasnya."Tentu saja, Mas." Aku mengiyakan.Mas Fery berlalu pergi menuju kantor. Sementara surat rumah sudah berada dalam genggaman tanganku. Aku harus gerak cepat karena Mas Fery tak memberiku banyak waktu.***Aku mengalihkan nama rumah menjadi atas namaku. Beruntung prosesnya berjalan lancar dan cepat. Aku tak mau kalau sampai Mas Fery keburu pulang menggagalkan rencana ini."Maa
"Lama sekali kamu, Mia?"Saat kaki ini baru saja tiba di rumah, Mas Fery langsung menyodorkan pertanyaan sambil memasang wajah ketus."Iya, Mas. Sedikit macet," jawabku beralasan."Mana surat rumahnya." Mas Fery menadahkan tangan. Suamiku ini sangat ketakutan rupanya."Oh iya, Mas." Aku memutar tangan guna mencari sesuatu yang harusnya tergantung di bahuku."Ya ampun tasku!" Aku menampilkan wajah panik saat mencari sesuatu yang harusnya tergantung di bahuku."Mana tasmu, Mia?" Mas Fery menimpali dengan pertanyaan. Ada ketegangan yang terlihat pada wajahnya."Sepertinya ketinggalan di mobil, Mas!" Sama halnya dengan Mas Fery, aku pun terkejut."Kamu ini apa-apaan sih, Mia! Lalu, surat rumahnya mana?" Mas Fery bertanya lagi dengan wajah cemasnya."Di dalam tas, Mas. Ketinggalan," jawabku seraya menepuk kening."Gila kamu, Mia! Ceroboh!" Mas Fery marah. Bola matanya juga tampak membulat."Ya aku tidak sadar, Mas." Aku mencoba membela diri."Coba kamu ingat-ingat. Dimana kamu meninggalkan
"Kapan Pak Dodi meninggal, Mba?" Mbo Sari malah berbalik tanya."Tadi pagi, Mbo. Akibat kecelakaan tunggal dengan luka pada bagian kepala," jawabku."Mas Dodi bilang, kalau dia punya dosa besar sama saya. Kemarin Mas Dodi kondisinya lemah. Dia tak bisa banyak bicara. Mas Dodi menyuruh saya menemui, Mbo Sari. Ada apa ini, Mbo?" Aku melanjutkan pertanyaan.Mbo Sari tampak membuang pandangan ke arah yang lain. Tampak gugup dan salah tingkah. Pemandangan yang membuatku semakin penasaran."Katakanlah, Mbo. Saya hanya merasa penasaran saja tak ada maksud apa-apa," pintaku saat Mbo Sari masih saja diam sambil menggigit bibir bagian bawahnya."Sebenarnya ini dosa Pak Dodi, Mba. Saya hanya menuruti permintaannya bliau saja," ungkap Mbo Sari yang membuatkan memperbaiki posisi duduk semakin dibuat penasaran."Apa itu, Mbo?" Lagi, aku tak mau menunda waktu."Sebenarnya ini sudah lama. Hari ini karena Pak Dodi yang meminta, maka akan saya katakan."Ungkapan Mbo Sari lagi-lagi membuatku semakin ant
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe