"Salah!" Ardi berteriak tidak terima tindakan di tolak oleh Nora. Cetarr! "Aauuww." Teriakan kesakitan Nora kembali menggema di seluruh kamar tersebut. Ardi menyerigai gembira mendengar teriakan Nora. "Hmm kamu sangat seksi sayang, oohhh suaramu membuatku ingin segera memberikanmu kesenangan. "Aauuww.., tidak-aku tidak mau, lepaskan, Ardi kamu bajingan.." racauan kali ini sudah tidak ada sopan santun lagi. Nora berteriak dan mengumpat kepada Ardi. Rasa sakit yang dirasai tubuhnya sudah menghilangkan akal sehat Nora. "Salah sayang, kamu salah, aku sayang kamu." Ardi menarik lingerie merah Nora dengan kasar hingga robek. "Uuhh badanmu sangat menggairahkan sayang," racau Ardi kemudian menggigit paha Nora. "Gila! kamu sangat gila, lepaskan aku, aku tidak mau." "Ehh sayang jangan seperti ini, aku suka dengan rengekanmu lho." Cetarr!! Cetarr!! Cetarr!! Aauuwww, sakit." "Bilang enak sayanh, bukan sakit," bisik Ardi ketika dia mencium belakang telinga Nora. Wanita itu menggelinj
Nora yang merasa kaget dengan sikap dan tindakan dari Om Ardi pun sontak berusaha untuk berlari menjauh, namun sayangnya baru saja dia hendak berjalan mundur dan berbalik, adanya ranjang di sana menghalangi langkahnya sehingga membuat tubuhnya berakhir jatuh dan limbung di atas kumpulan busa empuk itu. Nora pun berusaha keras untuk membalikkan tubuh dan merangkak turun dari ranjang itu, namun Om Ardi yang melihat pergerakannya dengan sigap menarik salah satu kaki Nora kemudian membawa wanita itu kembali terkungkung di bawahnya. "Mau pergi ke mana, Sayang?" tanya Om Ardi dengan suara seperti desahan menggoda namun justru terdengar begitu mengerikan di telinga Nora. Terlebih saat dia melihat Om Ardi kian mendekatkan tali yang ada di genggaman dan mengarahkan tali itu pada area tubuhnya yang lain. "Om, apa yang akan Om Ardi lakukan? Tolong, lepaskan aku. Ini salah. Kita tidak bisa melakukannya dengan cara seperti ini." Nora terus menggeliat untuk berusaha terlepas dari cengkeraman tubu
Hari belum beranjak siang ketika terdengar suara keributan anak-anak dari taman belakang rumah Nania."Ini mainanku," ucap Lani lalu merebut mainan yang tengah di bawa oleh Cahaya."Lho bukan, itu mainanku sendiri," jawab Cahaya."Enak aja, ini milikku, kamu ambil aja mainanmu sendiri," Lani ngotot."Bukan, ini milikku." Cahaya sama-sama tidak mau mengalah karena dia merasa mainan itu memamg miliknya.Akhirnya kedua bocah kecil itu saling tarik menarik hingga karena kesal Cahaya melepaskan tarikannya , hal itu membuat Lani terjatuh seketika.Karena kesal Lani memukul Cahaya hingga bocah kecil tersebut menangis.Mengetahui Cahaya menangis, Lani akhirnya juga ikutan menangis, hal itu membuat Bik Sri tergopoh-gopoh mendatangi mereka.Cahaya dan Lani sama-sama menangis keras hingga membuat Bik Sri emosi karena merasa pekerjaannya jadi terbengkalai."Kenapa Nak?" tanya Bik Sri berusaha menenangkan Lani, tapi boca kecil itu tidak mengatakan apa-apa, dia hanya menangis cerita Isa dengan menu
Sebenarnya Raya meras jengah. Bagaimana tidak, perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah asisten rumah tangganya itu semakin berbuat semena-mena. Rasa-rasanya Bi Sri belum juga merasa puas dan terus menerus berusaha menjatuhkan Cahaya yang bahkan tidak tahu apapun.Untuk apa lagi jika bukan karena Lani? Sang buah hati yang merasa kehilangan perhatian dari keluarga majikannya. Bahkan bi Sri akan melakukan apapun demi kelangsungan hidupnya di keluarga tersebut, sekalipun melakukan hal di luar akal sehat.Kini bi Sri terus menatap Cahaya dengan sorotan tajam, amarah yang tengah berkecamuk dalam diri wanita itu terlihat dengan jelas."Ya ampun ... kasihan sekali anakku kalau terus menerus ditekan oleh bi Sri seperti ini," batin Raya.Raya tentu melihat sorot mata bi Sri yang penuh dengan kekesalan yang teramat dalam, tak ada henti-hentinya bi Sri mencari masalah dengan Cahaya.Lalu Raya mulai berjalan semakin dekat dengan sang puteri kecilnya kemudian ia sedikit menundukkan kepalanya.
Sementara itu, Bi Sri yang mendengar penuturan dari Cahaya pun sontak dilanda amarah, dia benar-benar tidak menyangka jika cahaya akan mengadukan hal seperti itu. Dia merasa sebal saat melihat Cahaya sudah berani banyak bicara seperti itu."Astaga, Cahaya! Kamu ini sudah salah bisa-bisanya masih mengelak bahkan berbohong seperti itu. Siapa yang mengajarimu begitu, Nak? Kamu tahu tidak, berbohong itu perbuatan yang tercela. Tidak baik apalagi umur kamu itu masih kecil. Kamu bisa saja akan di cap sebagai anak nakal kalau seperti itu terus." Bi Sri memberikan nasehat, namun tentu saja dengan nada bicara yang begitu ketus bahkan lebih seperti sedang membentak, Padahal jelas-jelas di sana ada Raya yang menjadi Ibu sambung Cahaya."Kalau kamu salah itu jangan sungkan untuk meminta maaf, bukannya malah berbohong terus seperti itu." Bi Sri masih terus mengumpat. Berharap dengan itu Raya akan menjadi berpihak kepada dirinya.Sementara itu, Cahaya yang melihat kilatan amarah di netra Bi Sri jus
Bi Sri mencibir begitu wanita itu mendengar bantahan dari Raya. Dia yakin betul bahwa Raya sebenarnya hanya berusaha mempercayai apa yang dia mau, bukan kenyataan yang sebenarnya.“Halah! Sok tau sama anak yang padahal hanya anak tiri!” cibir Bi Sri yang cemoohannya tidak dapat dihentikan. Wanita itu sengaja memelankan suaranya, ia pikir Raya tidak akan mendengar ucapannya. Lagi pula kalimat itu hanya spontanitas saja keluar dari mulutnya."Apa!” Tentu saja Raya mendengarnya. Dia bahkan mendengarnya dengan sangat jelas. Raya yang tadinya ingin menyudahi perdebatan tidak jelas ini dan kembali ke kamarnya harus kembali marah dan geram dengan kelancangan Bi Sri.Sambil mengepalkan kedua tangannya Raya bangkit dari duduknya dengan susah payah. Ponsel yang tadi dia pegang sampai dia banting pelan ke sofa karena kesal akan cemoohan dari Bi Sri. Kedua matanya melotot kesal sampai-sampai bagian putih pada bola matanya menjadi merah dan mengeluarkan urat-urat halus.Wajah Raya juga tampak frus
Dalam hati Bi Sri terasa sangat panas mendengar pengusiran yang sudah dilakukan oleh Raya barusan. Bagiamana bisa Raya terlihat begitu kurang ajar padanya. Hal ini tidak bisa dibiarkan saja, Bi Sri harus membela diri."Bibi gak dengar apa kata aku? Pergi dari rumah ini. Angkat kaki, kalau perlu pergi yang jauh dari sini!!!" gertak Raya sembari menghentakkan kakinya pada lantai rumah ini."Tidak bisa seperti ini, sampai kapanpun saya tidak akan pergi dari rumah ini. Saya masih ingin bekerja di rumah ini!" tolak Bi Sri mencoba melawan Raya.Cara Raya mengusirnya seperti ini benar-benar membuatnya marah. Tapi, sekarang Bi Sri tidak bisa berbuat banyak. Bi Sri hanya bisa membela diri."Idih, sok berani banget ya mau ngelawan aku? Bibi di sini bekerja siapa yang bayar kalau bukan dari orang rumah ini?" Raya terlihat sangat sombong ketika mengatakan hal itu di hadapan Bi Sri."Say-""Tidak usah banyak bicara lagi deh, Bi. Ikuti saja perintahku! Pergi dari sini sekarang dan coba sana cari pe
"Mana buktinya, kalau Cahaya nggak salah dan Non Raya begitu yakin kalau dia nggak melakukan kenakalan itu pada Lani!" seru Bi Sri sengaja untuk menantang Raya. Ia sangat geram karena Raya begitu ngotot untuk mengusirnya padahal jelas-jelas kalau Cahaya anak nakal dan suka bohong itu telah sengaja merusak mainan Lani. Sampai-sampai putri kecilnya itu menangis sesenggukan karena diduga oleh ulah Cahaya. Bi Sri semakin kesal saja karena sejak kehadiran Cahaya, hidupnya jadi tidak nyaman. Selalu Cahaya saja yang diperhatikan sementara Lani, putrinya tidak. Padahal, dulu Nania dan Guntur serta semua orang yang ada di rumah ini begitu menyayangi Lani. Hal itulah yang membuat Bi Sri terus memelihara kebencian di hatinya untuk bocah yang menjadi anak tiri Raya. Iri dan dengki telah mengotori hatinya hingga Bi Sri sanggup melakukan cara apa saja untuk membuat Cahaya diusir dari rumah ini. "Baik, Bi. Mari kita lihat siapa yang salah, dan siapa yang benar. Karena aku yakin Cahaya bukan anak