SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 18Hari terus berganti. Hingga pada suatu ketika, Ibu mengirimkan pesan padaku agar aku pulang seperti biasanya. Tentu bukan karena tanpa sebab, akan tetapi agar Raya tak pernah mencurigai hubunganku dengan Nora. Akhirnya aku kembali menuruti permintaan Ibu. Tentu dengan penuh rasa keterpaksaan***Pov author"Apa maksud Mbak melakukan ini semua? Apakah Mbak tidak malu jika seluruh tetangga mengetahui kehidupan atau aib rumah tangga, Mbak?" tanya Kevin dengan tatapan bengisnya pada Raya. Raya tampak mengerutkan dahinya karena merasa sedikit aneh dengan ucapan Kevin. "Malu? Aib? Untuk apa menutupi aib karena yang aku lakukan memanglah yang seharusnya aku lakukan sejak lama, Kevin. Justru yang aku pertanyakan kenapa kamu seolah-olah tidak terima jika istri dan kakakmu yang pezina itu diperlakukan seperti ini? Aku curiga jangan-jangan kamu ini kaum hombreng? Kamu menikah dengan Nora untuk menutupi kelainan seksualmu gitu?" cibir Raya pada Kevin sembari
Pov Raya**"Bisakah kamu mengembalikan kasih sayang dan perjuanganku membesarkanmu selama ini Kevin? Kalau tidak bisa maka jangan pernah kamu menawar apa yang Ibu pinta padamu. Jika tidak? Terkutuklah kamu sebagai anak yang tidak tahu diri! Mati saja kamu menyusul ibumu yang pelacur murahan itu!"Aku terkejut bukan kepalang saat mendengar kalimat yang baru saja dikeluarkan oleh Ibu mertua. Keningku berkerut tajam saat berusaha kembali mencerna apa yang dikatakan oleh Ibu mertua itu. Tak ingin aku salah menyimpulkan. Akan tetapi, berkali-kali aku mengulangi kalimat itu kesimpulan yang kuambil pun tetap sama. Yaitu, Kevin bukan lah adik kandung dari Mas David. Ya, Tuhan ... betapa sempurnanya mereka dalam memainkan bersandiwara. Bahkan, selama satu tahun aku hidup di sini, aku tak pernah tahu soal itu. Sungguh ... aku dibuat terkejut untuk ke sekian kalinya. "Apa yang bisa Kevin lakukan, Bu." Suara Kevin kali ini terdengar begitu lirih. "Bebaskan David dari penjara, entah dengan
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 20Setelah semua barang-barang pribadiku sudah masuk ke dalam koper, bergegas aku menghempaskan tubuhku di ranjang. Aku menoleh ke arah jam yang ada di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku memejamkan kedua netraku, rasanya sudah tak sabar sekali menanti hari esok tiba. Hari di mana pertunjukkan akan terjadi lagi.Belum sempat aku terlelap tiba-tiba saja ponsel milikku kembali bergetar. Aku kembali mengambil ponsel yang kuletakkan di atas nakas persis sebelah ranjang king size yang aku tiduri ini. Aku melihat layar ponsel milikku dan tertera nama mama di sana. Aku mengernyitkan dahi karena heran mama yang kembali menghubungiku entah ada apa. Aku takut ini penting dan aku pun segera mengangkat telepon itu. "Ya halo, Ma? Ada apa?" ucapku langsung pada intinya. "Raya, Mama lupa bilang, apa kamu gak ada rekaman gitu tentang kejadian yang ada di sana? Misalnya percakapan gitu di antara mereka," jawab mama yang membuatku
Kehadiranmu ... bagai gerimis yang membasahi ladang hati yang gersang .... Sementara kepergianmu ... menciptakan kebencian dan rasa penyesalan yang tak berkesudahan ....****"Nania, aku mohon maafkan aku Nania, aku khilaf Nania." tiba-tiba saja ibu mertua bersimpuh di kaki mama tapi dengan cepat mana menepis tangan itu dengan menendangnya hingga membuat ibu terjengkang. "Lepaskan tanganmu yang najis itu dari tubuhku Arita!"Terlihat dengan jelas kedua sudut mata Ibu mengucurkan air mata dengan begitu derasnya. Aku tersenyum sinis. Jahatkah aku jika melihat ibu mertua semenyedihkan ini? Kupikir tidak, sebab semua adalah konsekwensi yang memang harus ia terima. "Makanya jadi orang yang lurus-lurus aja. Penampilan terlihat sempurna, kalau bicara sama orang lain lembutnya minta ampun. Eh, sama anak tirinya malah kayak gitu. Kami ya, Jeng, sama pembantu nggak pernah loh bicara sekasar itu," ucap Tante Monik. Mama mencebikkan bibirnya sembari melipat kedua tangannya didepan dada. "Ma
Aku tersenyum kecut saat melihat wajah itu begitu menyedihkan. Bahkan, kedua netra itu terlihat sembab karena terlalu lama menangis. Jujur ... aku bahagia melihat Ibu semenderita ini. Aku dan Mama kembali menuruni anak tangga hingga sampai pada anak tangga terakhir. Tanpa berpamitan, kami langsung melenggang pergi. Peduli setan jika dianggap tak punya sontan. "Raya, kamu mau ke mana, Nak?" Tiba-tiba Ibu menghadang langkah kami. "Aku mau pulang, Bu," ucapku dengan nada ketus. Mama menarik pergelangan tanganku hingga akhirnya kami pun kembali melangkah. Tak kami pedulikan Ibu yang terus membuntuti dan berusaha menghentikan langkah kami. "Raya, semua bisa dibicarakan, Nak. Jangan pergi, jangan tinggalkan Ibu, Nak. Bagaimana dengan David. Raya ... jangan gegabah, Nak. Kamu hanya sedang emosi sesaat." Seketika langkahku dan juga Mama berhenti di teras rumah. Mendengar penuturan perempuan yang sempat kuhormati karena menyandang gelar sebagai ibu mertua itu emosi serasa naik ke puncak
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 23Setelah melempar amplop berwarna coklat tersebut, Mama langsung berjalan kembali. Sedangkan Ibu Mertua bergetar tangannya membuka amplop tersebut. Air mata itu bertambah deras saat membaca isi dalam amplop itu. "Nikmatilah penderitaan yang kalian ciptakan," ucapku dalam hati sembari tersenyum sinis."Raya tunggu Raya! Tolong maafkan Ibu dan David, Raya! Berikan kami satu kesempatan lagi!" pekik ibu mertuaku yang terakhir dapat kudengar sebelum akhirnya aku mengemudikan mobil milikku dan meninggalkan kediaman ibu mertuaku itu. "Ma, ini kita mau langsung pulang ke rumah atau gimana? Kita mau ngapain selanjutnya, Ma?" tanyaku di sela aku yang tengah fokus ke jalan yang cukup padat itu. "Kemana lagi? Ya tentu saja ke kantor polisi. Kalau mau membalas itu yang tuntas sekalian jangan nanggung-nanggung," ucap mama padaku. "Mau balas yang bagaimana? Jujur kalau soal beginian aku memang rada-rada lemot, Ma, heheheh," selorohku sembari menggaruk kepala
Pov Author**"Aku minta kamu menukar kebebasan anakmu dengan rumah yang kamu tinggali saat ini untuk berubah nama menjadi nama Raya dan setelahnya kalian tinggalkan rumah itu. Gimana? Deal?" Sempat Raya terkejut saat mendengar apa yang dikatakan oleh Nania, sebab persyaratan itu sebelumnya tak pernah ada dalam perbincangan mereka. Raya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak terasa gatal. Entah kenapa sang mama malah memberikan persyaratan untuk kebebasan David. Padahal saat berangkat tadi sang Mama begitu mengharapkan David agar mendekam dibalik jeruji besi. "Kamu mau mengambil rumahku, Nania? Apa kamu lupa jika aku ini sahabat kamu?" Dengan tak tahu malunya Arita berucap. Mendengar Arita berucap dengan demikian, sontak saja membuat Nania meradang. Tak tahu bagaimana jalan pikiran Arita– sahabatnya itu. "Sahabat macam apa kamu yang berbuat sedemikian rupa? Sahabat macam apa kamu ini, Arita, hanya demi memuaskan napis?!" ucap Nania dengan nada suara yang menggelegar. Tak ada j
"Lalu giliran akhirnya seperti ini, Mama malah menyalahkan Nora!" lanjut David yang tak terima saat orang yang ia kasihi dihina sedemikian rupa. "David nggak mau tau, Ma. Gimana pum caranya David haru keluar dari penjara ini. Secepatnya!"Cepat David bangkit dari tempat duduknya lalu melenggang pergi begitu saja meninggalkan sang Mama yang terus memanggil namanya. Arita berkali-kali menghembuskan napas berat. Kali ini dadanya terasa begitu sesak. Beban yang berada di pundaknya semakin terasa begitu berat. Apalagi melihat putranya menyalahkan semua yamg terjadi pada dirinya. Arita bangkit dari kursi plastik yang beberapa menit ia duduki. Perempuan paruh baya itu berjalan keluar kantor polisi menuju ke arah jalan raya guna menghentikan taksi. Beberapa menit menunggu, Arita berhasil mendapatkan taksi yang ia minta untuk antarkan pulang. Di sepanjang perjalanan, Arita terus memutar otaknya untuk mencari cara agar bisa membebaskan putra kesayangannya. Tiba-tiba terlintas satu nama. K