SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 148Raya langsung menggendong tubuh Cahaya keluar dari rumah, lalu mendudukkan tubuh Cahaya di kursi bagian depan. Raya bergegas melajukan kendaraan roda empatnya menuju ke cafe miliknya dengan perasaan yang begitu khawatir.Raya sedikit melajukan kencang mobilnya. Ia benar-benar khawatir saat kembali menghubungi nomor karyawannya yang menghubunginya tadi twpi tidak diangkat-angkat juga. "Ck, kemana sih kok gak diangkat. Apa jangan-jangan sudah terjadi sesuatu di cafe?" gumam Raya resah. Ia benar-benar khawatir pada kondisi karyawannya bukan hanya pada cafenya saja. Yah, Raya adalah seorang bos yang sangat loyal terhadap karyawannya. Untuk itulah para karyawan Raya sangat betwh bekerja di bawah naungan Raya. Sebab Raya tak hanya memikirkan keuntungan Cafe semata tapi juga memikirkan kesejahteraan parq karyawannya. . Tidak berselang lama mobio yang Raya tumpangi pun akhirnya berhenti tepat di depan halaman parkiran cafenya. Akan tetapi, Raya mengern
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 149"Raya, malam ini aku melamarmu. Jadilah makmum sehidup sematiku dan ibu dari anak-anakku. Aku ingin dan sangat berharap bisa menghabiskan sisa hidupku bersamamu hingga usia kita menua kelak. Maukah kamu menerima lamaranku ini?""Astaga Ravi, jadi kamu yang menyiapkan semua ini?" tanya Raya dengan mata yang berbinar. Ravi mengangguk mantap dan ia kembali menjawab. "Ya ini juga berkat Om Guntur dan Tante Nania. Kalau gak ada mereka acara juga gak akan selancar ini," ucap Ravi dengan kedua sudut bibir yang ditarik ke atas. "Jadi, Mama dan Papa lama di luar dan gak bisa dihubungi karena ini? Terus Ravi yang ngakunya mau ketemu klien juga sebenarnya mau ketemu sama Mama dan Papa?" Nania dan Guntur mengangguk secara bersamaan dan tersenyum. "Maaf ya, kami memang sengaja menjalankan ide ini karena Ravi yang ingin melamarmu di depan keluarga besarnya dan sekalian kamu hari ini kan ulang tahun. Selamat ulang tahun ya Sayang, semoga panjang umur, sehat s
"Hey? Ada yang salah dengan penampilanku?" Mendengar ucapan lelaki itu seketika Nora terkesiap. Ia terkejut. Setelahnya, Nora mengerjapkan matanya beberapa kali lantas panggandangannya tertuju ke arah tangan lelaki yang terulur. Nora membalas uluran tangan sosok lelaki yang sangat begitu asing di ingatannya. "Perkenalkan, saya Nora ...." Nora tersenyum, membuat lelaki yang memperkenalkan dirinya dengan nama Erik itu ikut kembali tersenyum. Sesaat pandangan mereka saling beradu dengan kedua tangan yang masih dalam keadaan bersalaman. "Boleh aku duduk?" tanya Erik begitu Nora melepaskan tangannya. "Oh, boleh. Silahkan ...."Erik lantas menghenyakkan tubuhnya di kursi yang ada di hadapan Nora. Hanya ada meja yang ukurannya tak begitu besar yang memisahkan di antara keduanya. Erik berdehem, ia pun lantas menyandarkan tubuhku di sandaran kursi dengan pandangan yang tak lepas dari perempuan cantik yang berada di hadapannya itu. "Ehm, ini minuman kamu," ucap Nora begitu ia teringat dan
"Gimana kalau aku maunya kamu? Apa kamu akan menolakku?" Nora menelan saliva dengan susah payah. Bagaimana tidak, ia terkejut saat sosok lelaki yang terlihat begitu sempurna di matanya itu memilihnya sebagai tambatan hati. Batin Nora begitu kegirangan. Apalagi saat ini ia memang benar-benar sedang mencari sosok lelaki yang sempurna di depannya. Ternyata Tuhan begitu menyayanginya, terbukti, ia tak perlu bersusah payah untuk mencari sosok lelaki yang ia inginkan. Dan semakin bahagia Nora, saat ia tak perlu menunggu terlalu lama. "Loh, kok diem? Nggak mau, ya?" tanya Erik sembari mengerucutkan bibirnya ke depan. "Bukannya nggak mau. Aneh saja sih, masa iya jatuh cinta denganku, padahal kita baru pertama kali bertemu. Aneh banget kan rasanya. Kalau bercanda jangan kelewatan, nanti kalau aku baper beneran kayak gimana? Kamu mau tanggung jawab?" "Dengan senang hati, Nona ...," tandas Erik."Ish! Apa-apaan sih, nggak lucu!""Ucapan kamu nggak bener kan? Jadi kamu harus menuruti apa ya
Beberapa hari mereka menjalin hubungan hanya melalui sambungan telepon. Sejak pertemuan di hari itu, belum pernah ia kembali bertatap muka. Hingga, hari ini mereka kembali melangsungkan pertemuannya yang kedua kalinya. Jika kemarin mereka bertemu di sebuah cafe, namun tidak dengan saat ini. Sore ini, Nora meminta Erik untuk langsung datang saja ke tempat tinggalnya, yaitu kos yang hanya sepetak yang dulu ia tinggali bersama David. Dret ... Dret .... Ponsel yang ada di genggaman Nora bergetar, ada panggilan masuk. Tersenyum lah Nora saat melihat nama Erik terpampang sebagai pemanggilnya. Cepat Nora mengusap layar datar itu ke atas lalu menempelkan benda pipih ke telinga kanannya. "Halo, Mas. Ada apa?" "Aku udah ada di depan alamat yang tadi kamu sebutkan. Tapi aku takut kalau salah. Keluarlah dulu, gih. Daripada nanti aku nyelonong masuk tapi digebukin orang," ucap Erik yang saat itu masih duduk di dalam mobil dengan pandangan menatap ke arah dalam kos yang saat itu dalam keadaan
Nora bersama Erik lantas keluar dari kosan dan langsung berjalan menuju ke arah mobilnya yang terparkir. Nora duduk di samping Erik yang berada di balik kemudi. Meskipun baru beberapa hari kenal, tak ada kecanggungan sama sekali di antara mereka. Apalagi, sejatinya Nora memanglah sosok perempuan yang mudah sekali didapatkan terlebih jika lelaki itu adalah orang kaya. Selama mereka menjalin komunikasi via telepon. Erik selalu mengatakan jika dirinya adalah seorang pengusaha batubara yang terbilang sukses. Padahal jelas-jelas ia hanyalah seorang pemuda pengangguran yang doyan sekali melakukan perjudian. Hanya saja, selama ini keberuntungan masih berpihak padanya. Bagaimana tidak? Setiap ia melakukan perjudian Erik selalu menjadi pemenangnya. Kalau hanya sekedar mendapatkan uang 10 juta sampai 20 juta dalam semalam, itu mudah sekali Erik dapatkan. Semalam, Erik mendapatkan kemenangan yang tak main-main dia meraup uang senilai 100 juta rupiah! Itulah sebabnya kenapa Erik mudah sekali m
Pletak!Suara itu berasal dari tangan Erik yang saat ini masih berada di atas kepala temannya. Nora hanya mengerutkan keningnya, ia tak mendengar sedikit pun kalimat apa yang keluar dari mulut sosok lelaki yang baru ia temui itu. "Maaf bro... bercanda...." Sambil terkikik lelaki itu bercanda. Setelah membayar tagihan makanan, Nora bersama Erik masuk kembali ke dalam mobilnya, ikuti laju kendaraan yang dikendarai oleh teman lelaki Erik. Belasan menit, mobil yang sedari tadi dibuntuti Erik berhenti tepat di depan pintu gerbang berwarna coklat dan menjulang tinggi itu. Lelaki itu keluar, membuka pintu gerbang setelah ia mengeluarkan anak kunci dari kantong celananya. Pintu gerbang dibuka dengan lebar, hingga membuat laju kendaraan yang sempat terhenti itu memasuki halaman rumah. Setelah mobil benar-benar terhenti, semuanya langsung keluar dan berjalan mendekat ke arah rumah. Nora mengungkapkan saat melihat rumah yang ada di hadapannya itu. Bahkan bibir itu melongo membentuk hurup
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 155Melepas kepergian Erik, Nora tak hentinya mengucap rasa terima kasihnya itu karena telah memberikan ia semua kemewahan. Kemewahan yang selama ini hanya mampu ia impikan saja.***Hari ini rumah Nania sedang ramai dan juga sibuk. Hari itu adalah acara pertunangan beserta lamaran secara resmi antara Ravi dan juga Raya. Yah, sesuai kesepakatan kedua keluarga jika di hari itu acara resmi itu akan dilaksanakan. "Mama kenapa?" tanya Raya pada Nania yang tengah melamun di ruang keluarga sembari matanya menerawang jauh ke atas. Sepertinya ada beban tersendiri yang sedang Nania pikirkan.Nania sedikit tersentak karena suara Raya secara tiba-tiba di belakangnya. Nania menoleh ke arah Raya dan setelahnya ia menepuk pelan tempat kosong di sebelahnya yang mengartikan jika Raya harus duduk di sebelahnya. Raya berjalan sedikit dan menghampiri di mana Najia duduk dan Raya mendaratkan bokongnya di atas sana. Lantas Raya menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa yan