Beberapa hari menginap di rumah sakit, akhirnya Dirga sudah diperbolehkan pulang. Dan benar saja, selama tiga hari menginap di rumah sakit akibat pukulan bertubi-tubi menghantam wajahnya. Untung saja tak ada tulang di wajah atau bagian tubuhnya lain yang patah. Ada rasa sesak yang dirasakan oleh Dirga selama dirawat di rumah sakit. Sang istri sama sekali tak mengunjunginya. Dia benar-benar seorang diri, pun juga dengan Yessi. Semenjak Dirga sadar, ia pergi dan tak datang kembali. Berkali-kali Dirga menelepon sang istri, tapi tak ada jawaban. Jangankan sudi mengangkat teleponnya, sekedar membalas pesannya saja enggan. Pesan yang sejak dari kemarin dikirim oleh Dirga hanya centang dua biru, yang artinya hanya dibaca saja oleh Tiara. Sungguh ... selama dirawat, perasaan Dirga benar-benar tak tenang. Rasa takut menguasai dirinya. Takut jika sang istri akan mencampakkannya. Dirga sudah membayangkan, jika hal itu benar-benar terjadi, maka ia akan kehilangan segalanya. Istri yang sempurna
"Bagaimana pun Bapak pernah menjadi majikan saya, Bapak begitu saya hormati. Maka dari itu, jangan minta saya untuk memukuli Bapak lagi," lirih Tian saat Tiara sudah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat. "Kau tahu kalau aku ini majikan kamu, lalu kenapa kau mau mengusirku?! Lepaskan!" pekik Dirga saat tubuhnya digelandang oleh Tian menuju ke pintu gerbang. "Sekali lagi saya minta maaf, sebab saya bekerja dengan Bu Tiara."Tian melepaskan cekalan kedua tangannya di pundak Dirga begitu mereka sampai di depan pintu gerbang. Berkali-kali Dirga menghembuskan napas berat, sebab ia sudah memberi penawaran pada bodyguard istrinya itu, bahkan Dirga juga sudah mengiming-imingi uang jutaan rupiah pada Tian agar ia memperbolehkan dirinya untuk masuk. Akan tetapi, Tian benar-benar tak tertarik sama sekali. Lebih parahnya lagi, Tian benar-benar merampas apapun yang Dirga bawa. Ponsel, dompet beserta kartu-kartu lainnya. Dirga berusaha mempertahankan barangnya itu, akan tetapi san
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 142"Kau pikir aku anak Smp yang bisa kau rayu dengan ucapan sampah seperti itu?! Lebih baik aku dengan lelaki buruk rupa tapi kaya, dibandingkan dengan laki-laki tampan tapi miskin seperti dirimu itu!" Nora menatap sinis seraya tersenyum mengejek ke arah Dirga. Para pemuda yang menyaksikan perdebatan kedua insan berbeda jenis itu pun saling berpandangan sebab mereka sangat penasaran atas apa yang terjadi pada keduanya. Terutama si tonggos, dia yang paling semangat lihat pertikaian antara Nora dan pria yang mengaku kekasihnya yakni, Dirga. "Ayolah Nora, bukankah kemarin kau merengek-rengek agar aku menikahimu? Lantas kenapa sekarang kau malah berubah seperti ini? Katanya kamu cinta sama aku?" hiba Dirga pada Nora. Akan tetapi, hati Nora telah mati lebih tepatnya memang sejak awal Nora tidaklah tulis mencintai Dirha. Nora mau menyerahkan tubuh dan hidupnya pada pria itu karena pada awalnya Nora mengira jika Dirga adalah pria kaya. Namun, pada faktan
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 143Nora pun pergi meninggalkan Dirga, Bemo dan juga yang lainnya yang sejak tadi asik menonton drama kumenangis versi laki-laki. Setelah perdebatan yang cukup sengit antara dirinya dengan Dirga. Nora pun merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai yang terbilang tipis karena harganya yang murah. Nora tak mendengarkan lagi panggilan Dirga maupun Bemo yang memanggil namanya. Nora benar-benar malas melihat wajah kedua pria itu. Kini dirinya mendesah mencoba mengeluarkan sesak yang terasa menghimpit dada. "Kenapa sih sepertinya nasib baik gak pernah berada di pihakku. Kenapa susah sekali mendapatkan pria yang aku mau dan kehidupan yang aku inginkan. Apa aki salah kalau aku menginginkan kehidupan yang jauh lebih baik daripada kehidupanku yang dulu? Belum puaskah nasib mempermainkan jalan hidupku yang sudah susah sejak kecil? Selalu dipandang hina dan diremehkan hanya karena aku yatim piatu dan miskin. Hah, aku tidak boleh menyerah. Aku harus tetap mempert
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 144"Kevin, bisakah kita bicara sebentar? Aku ada perlu sama kamu.""Tentang apa?""Tentang kita ….""Maksudnya? Dalam hal apa?" tanya Kevin lahi. "Ya apa saja. Semuanya, semua yang pernah kita jalani dulu." Sebenarnya Kevin mengerti kemana arah ucapan Nora. Akan tetapi, Kevin sudah malas menanggapinya. Apa yang ia harapkan pada Nora? Sama sekali tidak ada. Sementara itu Arita yang melihat gelagat tak baik dari Norw hanya mencebik. Sebenarnya dia sudah sangat malas melihat wajah Nora. Akan tetapi, ia tidak bisa ikut campur dalam urusan pribadi Kevin. Arita pun sejatinya sangat tahu apa yang Nora inginkan. Terlebih lagi saat ini penampilan Kevin sangat jauh berbeda dengan yang dulu. Kevin sekarang lebih terlihat tampan dan mapan tentunya. "Maaf Noea sepertinya kalau kamu mau bicara silahkan saja bicarakan sekarang karena aku sedang makan bersama Ibuku apa kamu tidwk melihat?" jawab Kevin sedikit sinis pada Nora. Sungguh ia muak dengan perempuan itu.
Pertengkaran itu menyita perhatian siapapun yang ada di sana. Sebagian ada yang melihat, dan sebagian lagi ada yang mengabadikan momen kegaduhan itu. Nora menghela napas dalam-dalam, menetralkan kondisi batinnya saat ini. Nora bertekad, tak akan kehilangan tambang emas untuk ke sekian kali. Kali ini Nora harus berhasil mendapatkan Kevin kembali. Begitulah tekad pada diri Nora."K-Kevin, kenapa kamu jadi seperti ini? Apa yang dikatakan oleh ibu angkatmu yang kejam, padamu? Apa wanita tua itu mengatakan yang tidak tidak tentangku? Kevin ... jangan percaya semua apa yang dikatakannya? Bukankah kamu tau sendiri, betapa kejamnya mereka? Bukankah kamu tau sendiri kalau selama ini mereka selalu menghinamu?" lirih Nora. Sesaat Kevin membiarkan Nora untuk mengucapkan kalimat-kalimat sampah yang ada di benaknya itu. "Vin, Percayalah padaku, mereka hanya bersandiwara. Mereka sedang hidup susah, makanya sedang berpura-pura baik dan bersikap seolah-olah menerima kamu. Vin, potong lidahku kalau
"Raya, aku boleh kembali bersilaturahmi dengan kedua orantuamu?" tanya Ravi yang saat ini sedang menemui Raya di cafenya, dan kali ini tanpa kehadiran Cahaya. Sebab, Ravi mampir ke cafe milik Raya sepulang dari tempatnya bekerja.Raya yang saat itu tengah duduk dengan posisi tegap langsung menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. Kedua sorot mata itu mengarah pada wajah milik Ravi."Lah ngapain minta izin segala? Bukankah kamu bisa ke sana sesuka hatimu?" ucap Raya sembari kedua alis yang saling bertautan."Bukan hanya bertamu, Ray. Aku ingin kembali meminta restu pada kedua orangtuamu ...." Ravi berucap dengan nada penuh keseriusan. Sejenak dua pasang iris hitam itu saling berpandangan hingga akhirnya Raya mengalihkan pusat pandangannya ke arah gelas yang berisi jus jeruk itu."Kan kemarin Papa udah bilang, perlu waktu untuk kita agar saling mengenal. Baru juga beberapa bulan kamu minta restu kemarin," ucap Raya.Ravi hanya diam, membiarkan Raya untuk menyelesaikan ucapannya."Apa ka
"Raya, bisa minta tolong?" tanya Ravi begitu panggilannya diangkat oleh Raya. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang terjadi dengan Cahaya?" tanya Raya beruntun. Sebab, jika Ravi sampai meminta pertolongannya, pasti ada sangkut pautnya dengan Cahaya. Sosok gadis kecil yang membuatnya jatuh cinta. "Ya, kamu benar." "Kenapa? Apa yang terjadi dengan Cahaya? Apa Cahaya baik-baik saja?" Dengan nada khawatir Raya melontarkan rentetan pertanyaannya. "Cahaya baik-baik saja, hanya saja aku ada keperluan ketemu dengan calon clien. Ada yang perlu dibahas dan ini sangat penting sekali. Akan tetapi Cahaya nggak mau ditinggal. Bingung aku Ray. Hm ... apa kamu sedang sibuk?" ucap Ravi ke pokok permasalahannya. "Kebetulan ini masih di rumah, tadi sih niatan siangan atau sorean mau ke cafe. Cek laporan," sahur Raya yang saat ini masih membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Sebab, sejak tadi pagi, rasanya ia malas sekali walau hanya untuk sekedar beranjak dari tempat tidurnya. "Yaudah kalau gitu, nggak ja