"Raya, aku boleh kembali bersilaturahmi dengan kedua orantuamu?" tanya Ravi yang saat ini sedang menemui Raya di cafenya, dan kali ini tanpa kehadiran Cahaya. Sebab, Ravi mampir ke cafe milik Raya sepulang dari tempatnya bekerja.Raya yang saat itu tengah duduk dengan posisi tegap langsung menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. Kedua sorot mata itu mengarah pada wajah milik Ravi."Lah ngapain minta izin segala? Bukankah kamu bisa ke sana sesuka hatimu?" ucap Raya sembari kedua alis yang saling bertautan."Bukan hanya bertamu, Ray. Aku ingin kembali meminta restu pada kedua orangtuamu ...." Ravi berucap dengan nada penuh keseriusan. Sejenak dua pasang iris hitam itu saling berpandangan hingga akhirnya Raya mengalihkan pusat pandangannya ke arah gelas yang berisi jus jeruk itu."Kan kemarin Papa udah bilang, perlu waktu untuk kita agar saling mengenal. Baru juga beberapa bulan kamu minta restu kemarin," ucap Raya.Ravi hanya diam, membiarkan Raya untuk menyelesaikan ucapannya."Apa ka
"Raya, bisa minta tolong?" tanya Ravi begitu panggilannya diangkat oleh Raya. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang terjadi dengan Cahaya?" tanya Raya beruntun. Sebab, jika Ravi sampai meminta pertolongannya, pasti ada sangkut pautnya dengan Cahaya. Sosok gadis kecil yang membuatnya jatuh cinta. "Ya, kamu benar." "Kenapa? Apa yang terjadi dengan Cahaya? Apa Cahaya baik-baik saja?" Dengan nada khawatir Raya melontarkan rentetan pertanyaannya. "Cahaya baik-baik saja, hanya saja aku ada keperluan ketemu dengan calon clien. Ada yang perlu dibahas dan ini sangat penting sekali. Akan tetapi Cahaya nggak mau ditinggal. Bingung aku Ray. Hm ... apa kamu sedang sibuk?" ucap Ravi ke pokok permasalahannya. "Kebetulan ini masih di rumah, tadi sih niatan siangan atau sorean mau ke cafe. Cek laporan," sahur Raya yang saat ini masih membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Sebab, sejak tadi pagi, rasanya ia malas sekali walau hanya untuk sekedar beranjak dari tempat tidurnya. "Yaudah kalau gitu, nggak ja
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 148Raya langsung menggendong tubuh Cahaya keluar dari rumah, lalu mendudukkan tubuh Cahaya di kursi bagian depan. Raya bergegas melajukan kendaraan roda empatnya menuju ke cafe miliknya dengan perasaan yang begitu khawatir.Raya sedikit melajukan kencang mobilnya. Ia benar-benar khawatir saat kembali menghubungi nomor karyawannya yang menghubunginya tadi twpi tidak diangkat-angkat juga. "Ck, kemana sih kok gak diangkat. Apa jangan-jangan sudah terjadi sesuatu di cafe?" gumam Raya resah. Ia benar-benar khawatir pada kondisi karyawannya bukan hanya pada cafenya saja. Yah, Raya adalah seorang bos yang sangat loyal terhadap karyawannya. Untuk itulah para karyawan Raya sangat betwh bekerja di bawah naungan Raya. Sebab Raya tak hanya memikirkan keuntungan Cafe semata tapi juga memikirkan kesejahteraan parq karyawannya. . Tidak berselang lama mobio yang Raya tumpangi pun akhirnya berhenti tepat di depan halaman parkiran cafenya. Akan tetapi, Raya mengern
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 149"Raya, malam ini aku melamarmu. Jadilah makmum sehidup sematiku dan ibu dari anak-anakku. Aku ingin dan sangat berharap bisa menghabiskan sisa hidupku bersamamu hingga usia kita menua kelak. Maukah kamu menerima lamaranku ini?""Astaga Ravi, jadi kamu yang menyiapkan semua ini?" tanya Raya dengan mata yang berbinar. Ravi mengangguk mantap dan ia kembali menjawab. "Ya ini juga berkat Om Guntur dan Tante Nania. Kalau gak ada mereka acara juga gak akan selancar ini," ucap Ravi dengan kedua sudut bibir yang ditarik ke atas. "Jadi, Mama dan Papa lama di luar dan gak bisa dihubungi karena ini? Terus Ravi yang ngakunya mau ketemu klien juga sebenarnya mau ketemu sama Mama dan Papa?" Nania dan Guntur mengangguk secara bersamaan dan tersenyum. "Maaf ya, kami memang sengaja menjalankan ide ini karena Ravi yang ingin melamarmu di depan keluarga besarnya dan sekalian kamu hari ini kan ulang tahun. Selamat ulang tahun ya Sayang, semoga panjang umur, sehat s
"Hey? Ada yang salah dengan penampilanku?" Mendengar ucapan lelaki itu seketika Nora terkesiap. Ia terkejut. Setelahnya, Nora mengerjapkan matanya beberapa kali lantas panggandangannya tertuju ke arah tangan lelaki yang terulur. Nora membalas uluran tangan sosok lelaki yang sangat begitu asing di ingatannya. "Perkenalkan, saya Nora ...." Nora tersenyum, membuat lelaki yang memperkenalkan dirinya dengan nama Erik itu ikut kembali tersenyum. Sesaat pandangan mereka saling beradu dengan kedua tangan yang masih dalam keadaan bersalaman. "Boleh aku duduk?" tanya Erik begitu Nora melepaskan tangannya. "Oh, boleh. Silahkan ...."Erik lantas menghenyakkan tubuhnya di kursi yang ada di hadapan Nora. Hanya ada meja yang ukurannya tak begitu besar yang memisahkan di antara keduanya. Erik berdehem, ia pun lantas menyandarkan tubuhku di sandaran kursi dengan pandangan yang tak lepas dari perempuan cantik yang berada di hadapannya itu. "Ehm, ini minuman kamu," ucap Nora begitu ia teringat dan
"Gimana kalau aku maunya kamu? Apa kamu akan menolakku?" Nora menelan saliva dengan susah payah. Bagaimana tidak, ia terkejut saat sosok lelaki yang terlihat begitu sempurna di matanya itu memilihnya sebagai tambatan hati. Batin Nora begitu kegirangan. Apalagi saat ini ia memang benar-benar sedang mencari sosok lelaki yang sempurna di depannya. Ternyata Tuhan begitu menyayanginya, terbukti, ia tak perlu bersusah payah untuk mencari sosok lelaki yang ia inginkan. Dan semakin bahagia Nora, saat ia tak perlu menunggu terlalu lama. "Loh, kok diem? Nggak mau, ya?" tanya Erik sembari mengerucutkan bibirnya ke depan. "Bukannya nggak mau. Aneh saja sih, masa iya jatuh cinta denganku, padahal kita baru pertama kali bertemu. Aneh banget kan rasanya. Kalau bercanda jangan kelewatan, nanti kalau aku baper beneran kayak gimana? Kamu mau tanggung jawab?" "Dengan senang hati, Nona ...," tandas Erik."Ish! Apa-apaan sih, nggak lucu!""Ucapan kamu nggak bener kan? Jadi kamu harus menuruti apa ya
Beberapa hari mereka menjalin hubungan hanya melalui sambungan telepon. Sejak pertemuan di hari itu, belum pernah ia kembali bertatap muka. Hingga, hari ini mereka kembali melangsungkan pertemuannya yang kedua kalinya. Jika kemarin mereka bertemu di sebuah cafe, namun tidak dengan saat ini. Sore ini, Nora meminta Erik untuk langsung datang saja ke tempat tinggalnya, yaitu kos yang hanya sepetak yang dulu ia tinggali bersama David. Dret ... Dret .... Ponsel yang ada di genggaman Nora bergetar, ada panggilan masuk. Tersenyum lah Nora saat melihat nama Erik terpampang sebagai pemanggilnya. Cepat Nora mengusap layar datar itu ke atas lalu menempelkan benda pipih ke telinga kanannya. "Halo, Mas. Ada apa?" "Aku udah ada di depan alamat yang tadi kamu sebutkan. Tapi aku takut kalau salah. Keluarlah dulu, gih. Daripada nanti aku nyelonong masuk tapi digebukin orang," ucap Erik yang saat itu masih duduk di dalam mobil dengan pandangan menatap ke arah dalam kos yang saat itu dalam keadaan
Nora bersama Erik lantas keluar dari kosan dan langsung berjalan menuju ke arah mobilnya yang terparkir. Nora duduk di samping Erik yang berada di balik kemudi. Meskipun baru beberapa hari kenal, tak ada kecanggungan sama sekali di antara mereka. Apalagi, sejatinya Nora memanglah sosok perempuan yang mudah sekali didapatkan terlebih jika lelaki itu adalah orang kaya. Selama mereka menjalin komunikasi via telepon. Erik selalu mengatakan jika dirinya adalah seorang pengusaha batubara yang terbilang sukses. Padahal jelas-jelas ia hanyalah seorang pemuda pengangguran yang doyan sekali melakukan perjudian. Hanya saja, selama ini keberuntungan masih berpihak padanya. Bagaimana tidak? Setiap ia melakukan perjudian Erik selalu menjadi pemenangnya. Kalau hanya sekedar mendapatkan uang 10 juta sampai 20 juta dalam semalam, itu mudah sekali Erik dapatkan. Semalam, Erik mendapatkan kemenangan yang tak main-main dia meraup uang senilai 100 juta rupiah! Itulah sebabnya kenapa Erik mudah sekali m