"Kamu suka, Mas?" tanya Nora yang sembari meletakkan kepalanya di atas dada bidang milik Dirga. Selimut putih nan tebal bertengger di atas tubuh keduanya sebatas bahu. Tentu untuk menutupi kulit mulus yang tak tertutupi oleh satu helai kain pun. Keringat masih terlihat di kening Dirga. Ia pun masih mengatur napasnya yang terasa ngos-ngosan akibat olahraga yang baru saja ia nikmati. "Masihkah kau bertanya saat melihatku sampai kelemasan seperti ini?" lirih Dirga yang membuat Nora tergelak tawa. Perempuan itu merasa bangga. Nora pun memainkan jemarinya yang lentik di atas dada yang sedikit basah karena keringat. "Hm ... apa kamu nggak risih lihat perutku yang membuncit, Mas?" tanya Nora dengan ragu. Karena memang faktanya perut yang sebelumnya terlihat rata, lambat laun mulai membuncit. Bagi Nora, itu adalah sesuatu yang mampu mengurangi daya tarik tubuhnya. "Enggak lah. Justru aku merasa bergairah karena perut itu. Ha ha ha."Tak berselang lama, ponsel milik Dirga yang ia letakka
Nora pun segera mengenakan pakaiannya satu per satu. Setelahnya, ia pun langsung melangkah keluar dari hotel seorang diri. Ya, Dirga memang sudah keluar terlebih dahulu. Di sepanjang jalan keluarnya, Nora menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak, pakaian yang terlalu terbuka dan wajahnya yang begitu cantik mampu menyita perhatian siapapun yang sedang berpapasan dengannya. Melihat menjadi pusat perhatian, tentu Nora merasa begitu bangga. Nora memesan taksi untuk pulang ke kost-an, meskipun jaraknya begitu dekat. ****"Huft ... akhirnya sampai juga. Penat sekali tubuhku hari ini." David yang baru saja tiba di tempatnya tinggal pun langsung turun dari kendaraannya. Diusapnya peluh yang membanjiri keningnya itu dengan handuk kecil yang menyampir di pundaknya. Meskipun rasa penat begitu terasa, akan tetapi David begitu senang hari ini. Sebab, semua dagangannya ludes tak bersisa. Bahkan, satu butir pun tak ada. David pun langsung membuka pintu kost-an yang tidak dalam keadaan terkun
Tok!Tok!Tok!Suara ketukan pintu itu membuat Raya yang fokus melihat hasil laporan keuangan dari cafenya itu terganggu. "Masuk!" ucap Raya tanpa menolehkan kepalanya ke arah pintu. Pandangan itu masih tertuju ke arah lembaran kertas yang terpampang di depannya saat ini. Derit pintu terdengar, seiring daun pintu yang terbuka. "Permisi, Bu Raya. Maaf mengganggu. Ada seseorang yang mencari Ibu," ucap salah satu karyawan yang ada di cafe milik Raya. Raya pun langsung mengalihkan pandangannya ke arah karyawannya itu. "Siapa? Ravi?" "Bukan, Bu. Sepertinya baru kali ini ia datang ke sini," sahut sang karyawan itu. "Laki-laki atau perempuan?" "Laki-laki, Bu.""Oh, ok. Nanti saya segera ke sana." Sang karyawan pun bergegas keluar dari ruangan Raya. Perempuan yang saat ini menyandang gelar seorang janda itu pun menumpuk berkas-berkas yang sejak tadi mampu menyita perhatiannya. Raya pun bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah menuju pintu dan keluar. Ia menemui seseorang yang k
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 112Raya pun menjelaskan dan mengutarakan sebuah terkaan yang saat ini bersarang di kepalanya. "Sudah aku jelasin semuanya. Jika kamu percaya sama aku ya Alhamdulillah, kalau enggak ya nggak masalah juga."Hening seketika, Raya pun tak mempersoalkan urusan itu. Raya terlalu lelah menghadapi orang-orang yang berniat menjahatinya. Padahal dia tidak pernah berniat sekali pun menjahati orang lain. Raya sudah menguatkan hati andaikan Ravi menjadi jodohnya maka ia akan percaya pada Raya apa pun yang akan terjadi nantinya. Akan tetapi, jika Ravi bukanlah jodohnya Raya juga sudah menguatkan hatinya sejak awal jika pertemuan mereka hanyalah sebatas pertemanan saja. "Bagaimana? Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi aku akan menutup sambungan telepon ini," ucap Raya sesaat setelah keheningan itu tercipta. "Ah, tidak-tidak, bukan begitu, Raya. Tentu saja aku mempercayaimu.""Lantas? Kenapa kau terdiam seolah-olah tak mempercayaiku?" "Aku hanya ber
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 113"M-Mas jangan bercanda.""Lakukan saja sekarang!" pekik David sembari tangannya menghantam lemari yang ada di depannya hingga membuat lemari itu pecah di bagian pintunya. Wajah Nora memucat, sumpah demi apa? Nora belum pernah melihat kemarahan David yang seperti itu. Nora takut dan sangat benci dengan situasi seperti sekaeang ini. Baginya ini bukanlah David yang ia kenal. "Ayo lakukan kalau memang ucapanmu itu benar, kenapa diam?" tajya David lagi. Kali ini wajahnya datar dan suaranya terkesan dingin. "M-Mas, aku, aku tidak bisa membuang ini," uca Nora pada akhirnya. David tersenyum sinis sangat sinis. "Kenapa? Bukankah tadi kau sendiri yang menawarkan untuk membuang benda itu ke kloset? Lantas kenapa tidak bisa? Ayo lakukan. Aku ingin melihat kesungguhanmu." Tiba-tiba saja kedua manik mata yang caNtik itu mengeluarkan air mata buayanya. Cih! Dasar miss drama, begitulah kira-kira isi pikiran david. Sungguh kali ini entah kenapa Davi tidak me
"Halo, Nona? Masihkah kau di sana?" ucap Ravi karena tak kunjung dapat jawaban dari sang kekasih. "Ish, Nona Nona. Aku itu janda. Jangan ngejek gitu, ah." Raya berusaha mengalihkan pembicaraan. Bibir berpoles lipstik berwarna nude itu mengerucut, padahal Raya tahu, jika bibirnya yang manyun itu tak akan dilihat oleh lawan bicaranya. "Ha ha ha. Jangan ngalihkan pembicaraan. Tinggal jawab gitu aja susah ya?""Memang kamu tanya apa?" Raya kembali menggoda Ravi. Bibir itu kembali menunjukkan seulas senyum. Rasa hangat masih ia rasakan di kedua belah pipinya. "Apa kamu mencintaiku?" Raya mengatur napasnya, setelahnya ia mulai merangkai kata hingga keheningan kembali tercipta. Hingga beberapa saat kemudian, suara Ravi pun kembali menelusup ke gendang telinga Raya. "Apa kamu mencintaiku?" Ravi mengulang pertanyaannya. "Hey, apa pertanyaanmu itu membutuhkan jawaban, Tuan?" celetuk Raya sembari bibir tersenyum. "Tentu saja." "Apa aku yang menerimamu beserta kehadiran Cahaya tak cukup s
"Halo, Sayang ...," sapa Nora saat melihat Dirga sedang duduk di kursi tunggu.Dirga yang menyadari kehadiran sosok wanita yang sudah ia tunggu-tunggu, ia pun langsung bangkit dari tempat duduknya.emasukkan benda pipih yang sedari tadi menemaninya lalu membuka kedua tangannya lebar-lebar. Tanpa rasa canggung sama sekali Nora pun langsung masuk ke dalam pelukan sosok lelaki yang menawarkan kenikmatan dunia pada dirinya itu. Kecupan demi kecupan mendarat di wajah perempuan berparas ayu hingga membuat bibir itu mengeluarkan gelak tawa. Sedangkan di sisi lain, David yang saat ini bersembunyi di belakang sebuah patung yang keberadaannya tak jauh dari kedua insan yang siap meneguk kembali kenikmatan itu mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Hingga kuku-kuku itu menjadi memutih. Tak dipedulikannya rasa nyeri yang menjalar di kedua telapak tangannya. Emosi sudah berasa di ubun-ubun. Jika orang memiliki kekuatan super, ia bisa melihat kepulan asap yang keluar dari kedua lubang telinga m
Dengan langkah panjang, David berjalan menuju ke arah kamar dengan kedua tangan yang terkepal dan deru napas yang memburu. Dengan tangan gemetar karena emosi yang benar-benar terasa meluap, David memasukkan anak kunci ke dalam lubangnya. Bahkan, gerakan itu menimbulkan bunyi, hanya saja sepasang lelaki dan perempuan yang saat ini tubuhnya saling menyatu tengah begitu menikmati pergumulan, mereka tak menyadarinya adanya seseorang yang akan merangsek ke dalam kamar. Dirga pun terus memainkan permainannya, hingga suara desahan dan erangan terdengar beriringan. Perlahan David membuka daun pintu. Saat pintu terbuka selebar jengkal tangannya, suara desahan itu menelusup ke kedua gendang telinganya. David membuka pintu lebih lebar. Hingga kedua bola matanya itu mampu melihat dengan jelas tubuh sang istri sedang bersatu dengan lelaki lain di atas ranjang peraduan Tubuh David membeku. Otot-otot di kedua tungkainya terasa melemah. David ingin melangkah, hanya saja, kedua telapak kakinya te