SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 102Kevin pun menelan saliva dengan begitu susah payah. Bagaimana bisa ia melewati syarat yang begitu berat itu? Jangankan hapal surah Ar-Rahman, sekedar membaca alqur'an pun tak pernah ia lakukan. Hanya sholat lima waktu yang Kevin kerjakan, itu pun yang ia baca hanya surah pendek yang terdiri dari beberapa ayat saja."S-surat Ar-rahman, Bah?" tanya Kevin lagi memastikan dengan raut wajah takut-takut. "Yah, kenapa? Kok sepertinya kamu terkrjut?" tanya sang Abah lagi. Kevin mebggaruk-garuk kepalanya yng tidak gatal. "Emm, anu, Bah, sebenarnya saya tidak bisa baca Al-qur'an." Mata Abah Yusuf seketika membelalak. "Jadi maksud kamu, kamu tidak pernah sholat?" "Tidak, tidak, Bah, bukan begiru maksud saya. Saya sholat bahkan setiap lima wakti saya sholat. Tak ada yang saya tinggalkan.""Lantas, bagaimana kau sholat jika al-qur'an saja kamu tidak bisa membacanya?" "Anu, Bah, saya hanya bisa membaca surat an-nas sama al-ikhlas dan al-falaq saja," uca
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 103Akhirnya Nora pun pasrah dengan apa yang David lakukan terhadapnya karena Nora takut jika David semakin curiga terhadapnya dan ia belum siap untuk semua itu. Nora masih belum bisa mendapatkan hati Dirga seluruhnya karena hingga detik ini Dirga masih belum juga menceraikan sang istri. ***"Terima kasih ya, Sayang, akhirnya kamu mau juga aku mintai hakku," ucap David sembari mencium pucuk kepala Nora setelah ia dan Nora menuntaskan hasrat yang telah terpendam beberapa hari belakangan ini. Nora tidak membalas ucapan David, ia hanya tersenyum kecil menanggapi perkataan David. Setelahnya Nora terlelap lantaran ia benar-benar merasa sangat lelah. Yah, tanpa David ketahui jika hampir setiap hari Nora dan juga Dirga bertemu di sebuah hotel yang biasa mereka pakai di setiap siang saat David sedang menjajakan jualannya. Oleh sebab itu Nora merasa tubuhnya sangat lelah sebab dirinya juga tengah mengandung. Nora rela menggadaikan tubuh hanya demi sebuah
Novita mengepalkan erat tangannya karena ucapan Ravi benar-benar telah menjatuhkan harga dirinya sebagai manusia.Rasa gemuruh di dalam dadanya semakin membuncah dan siap diledakkan. "Rav! Aku ke sini hanya ingin bertemu dengan anakku! Kenapa kamu malah menghalangiku?!" pekik Novita yang semakin terlihat murka. Ravi pun memperlihatkan senyum sinisnya. "Sudahlah, sampai kapan pun tak akan kubuka pintu gerbang ini. Pulanglah," ucap Ravi dengan nada suara yang melemah. Brok!Brok!Brok!"Buka gerbangnya, Rav! Ayah macam apa kamu ini yang tega memisahkan ibu dan juga anaknya," teriak Novita dengan suara yang begitu menggelegar. "Buka!" Novita semakin kencang berteriak, hingga membuat otot-otot yang ada di sekitar leher itu menyembul. Ravi yang semakin merasa muak pun langsung langkah pergi begitu saja.Meninggalkan Novita yang terus berteriak agar ia sudi untuk membukakan pintu gerbang. Novita pun terus menggebrak pintu gerbang itu hingga akhirnya ia pun merasa nyeri pada telapak t
"Halo, selamat siang juga. Pak, bisa datang ke rumah saya? Ada orang gila yang berusaha masuk ke dalam rumah saya, membuat anak saya ketakutan." Ravi pun menyebutkan nomor rumah miliknya."Baik, Pak. Saya segera ke sana," ucap sang security. "Oh ya, Pak. Nanti kalau di lain waktu orang itu ingin masuk ke dalam komplek ini, langsung larang saja ya, Pak. Kalau perlu, nanti saya kasih fotonya lalu bapak tempelkan di kantor pos. Jadi Bapak tidak lupa dengan wajah orang gila tersebut jika sewaktu-waktu datang kembali," ucap Ravi. "Baik, Pak," sahut sang security sembari menganggukkan kepalanya meskipun lawan bicara tak mengetahui gerakan kepalanya. Ravi pun bergegas menutup telepon. Pun juga yang dilakukan oleh sang security ia meletakkan kembali gagang telepon tersebut lalu secepatnya ia bangkit dan berjalan menuju ke luar pos. Karena jarak yang tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu kira-kira 5 menit saja sang security lebih memilih untuk berjalan kaki menuju ke alamat yang tadi
Malam mulai menyapa. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Hampir seluruh penduduk yang tinggal di pinggiran kota itu pun sudah tertidur nyenyak di bawa selimut yang melindungi dari hawa dingin yang terasa hingga menusuk sampai ke tulang. Jika siapa pun sudah terlelap, berbeda dengan Arita. Perempuan yang masa tuanya merasakan kesepian yang luar biasa itu mulai menutup toko sumber penghasilannya saat ini. Perempuan yang saat ini sedang mengenakan jaket tebal itu pun mengambil lembaran rupiah hasil penjualan tokonya hari ini. Senyum Arita terkembang saat penghasilannya meningkat setiap harinya. Arita pun mulai mengeluarkannya lalu menghitung serta merapikannya satu per satu. Lagi-lagi Arita merasa puas dengan hasil kerja kerasnya. Keuntungan yang ia dapatkan lebih dari cukup walau hanya untuk sekedar mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Kini Arita sudah berada di dalam kamar. Ia pun lantas membuka pintu lemari lalu mengeluarkan dompet usang yang ia simpang di bawah
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 107Selain itu, setiap hari Trias selalu memasak menu makanan tak hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk sang kakak madu. Akan tetapi, karena rasa sakit telah tertancap di hati Arita, perempuan itu pun enggan untuk sekedar menyentuh makanan yang sudah dihidangkan.***"kamu mau kemana Trias?" tanya Arita pada pagi itu saat melihat Trias sudah sedikit rapi."Aku mau ke tukang sayur depan, Mbak, mau belanja. Biar hari ini aku yang masak dan Mbak Arita istirahat saja. Aku tahu kalau Mbak Arita pasti lelah setiap harinya harus beberes-beres rumah dan lainnya," ucap Trias sembri mengulas senyum pada Arita. Namun, bukan kehangatan yang Trias dapat dari Arita melainkan ucapan ketus dari Arita. "Gak usah! Biar aku saja yang masak! Nanti makanan itu kamu racunin lagi! Kamu senang kan kalau lihat aku dn anak yang kukandung ini mati! Biar tak ada agi yang halangin kamu buat milikin Mas Rama dan harta nya semuanya?!" ketus Arita sembari menatap sinis Trias.
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 108"Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan selagi itu tidak mengusikku," ucap Arita lagi dan setelahnya ia pun pergi meninggalkan Trias yang semakin merasa bersalah menuju ke warung terdekat untuk berbelanja. Arita kembali menepuki dadanya kala ia tersadar dari lamunannya. Bahkan, suara desahan Trias dan Rama kala itu masih terus melekat di dalam ingatan Arita meski keduanya sudah berada di dalam liang lahat. Arita memasukkan kembali foto yang sudah usang termakan usia itu ke bawah tumpukan baju yang ada di dalam lemari. Arita menghembuskan napasnya guna melepaskan sesak di dalam dadanya yang kian sesak. "Ya Allah, mengapa cobaan yang Engkau berikan sejak dulu tak pernah usai. Aku lelah menghadapi ujianmu yang seolah tiada akhir ink. Apakah aku manusia yang tidak pantas mendapatkan bahagia? Baru bahagia sedikit saja Engkau sudah kembali mengambil kebahagiaan itu dari hidupku. Aku tahu aku salah, tapi aku melakukan itu semua karena ku pun ingin me
"Kamu suka, Mas?" tanya Nora yang sembari meletakkan kepalanya di atas dada bidang milik Dirga. Selimut putih nan tebal bertengger di atas tubuh keduanya sebatas bahu. Tentu untuk menutupi kulit mulus yang tak tertutupi oleh satu helai kain pun. Keringat masih terlihat di kening Dirga. Ia pun masih mengatur napasnya yang terasa ngos-ngosan akibat olahraga yang baru saja ia nikmati. "Masihkah kau bertanya saat melihatku sampai kelemasan seperti ini?" lirih Dirga yang membuat Nora tergelak tawa. Perempuan itu merasa bangga. Nora pun memainkan jemarinya yang lentik di atas dada yang sedikit basah karena keringat. "Hm ... apa kamu nggak risih lihat perutku yang membuncit, Mas?" tanya Nora dengan ragu. Karena memang faktanya perut yang sebelumnya terlihat rata, lambat laun mulai membuncit. Bagi Nora, itu adalah sesuatu yang mampu mengurangi daya tarik tubuhnya. "Enggak lah. Justru aku merasa bergairah karena perut itu. Ha ha ha."Tak berselang lama, ponsel milik Dirga yang ia letakka