SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 107Selain itu, setiap hari Trias selalu memasak menu makanan tak hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk sang kakak madu. Akan tetapi, karena rasa sakit telah tertancap di hati Arita, perempuan itu pun enggan untuk sekedar menyentuh makanan yang sudah dihidangkan.***"kamu mau kemana Trias?" tanya Arita pada pagi itu saat melihat Trias sudah sedikit rapi."Aku mau ke tukang sayur depan, Mbak, mau belanja. Biar hari ini aku yang masak dan Mbak Arita istirahat saja. Aku tahu kalau Mbak Arita pasti lelah setiap harinya harus beberes-beres rumah dan lainnya," ucap Trias sembri mengulas senyum pada Arita. Namun, bukan kehangatan yang Trias dapat dari Arita melainkan ucapan ketus dari Arita. "Gak usah! Biar aku saja yang masak! Nanti makanan itu kamu racunin lagi! Kamu senang kan kalau lihat aku dn anak yang kukandung ini mati! Biar tak ada agi yang halangin kamu buat milikin Mas Rama dan harta nya semuanya?!" ketus Arita sembari menatap sinis Trias.
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 108"Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan selagi itu tidak mengusikku," ucap Arita lagi dan setelahnya ia pun pergi meninggalkan Trias yang semakin merasa bersalah menuju ke warung terdekat untuk berbelanja. Arita kembali menepuki dadanya kala ia tersadar dari lamunannya. Bahkan, suara desahan Trias dan Rama kala itu masih terus melekat di dalam ingatan Arita meski keduanya sudah berada di dalam liang lahat. Arita memasukkan kembali foto yang sudah usang termakan usia itu ke bawah tumpukan baju yang ada di dalam lemari. Arita menghembuskan napasnya guna melepaskan sesak di dalam dadanya yang kian sesak. "Ya Allah, mengapa cobaan yang Engkau berikan sejak dulu tak pernah usai. Aku lelah menghadapi ujianmu yang seolah tiada akhir ink. Apakah aku manusia yang tidak pantas mendapatkan bahagia? Baru bahagia sedikit saja Engkau sudah kembali mengambil kebahagiaan itu dari hidupku. Aku tahu aku salah, tapi aku melakukan itu semua karena ku pun ingin me
"Kamu suka, Mas?" tanya Nora yang sembari meletakkan kepalanya di atas dada bidang milik Dirga. Selimut putih nan tebal bertengger di atas tubuh keduanya sebatas bahu. Tentu untuk menutupi kulit mulus yang tak tertutupi oleh satu helai kain pun. Keringat masih terlihat di kening Dirga. Ia pun masih mengatur napasnya yang terasa ngos-ngosan akibat olahraga yang baru saja ia nikmati. "Masihkah kau bertanya saat melihatku sampai kelemasan seperti ini?" lirih Dirga yang membuat Nora tergelak tawa. Perempuan itu merasa bangga. Nora pun memainkan jemarinya yang lentik di atas dada yang sedikit basah karena keringat. "Hm ... apa kamu nggak risih lihat perutku yang membuncit, Mas?" tanya Nora dengan ragu. Karena memang faktanya perut yang sebelumnya terlihat rata, lambat laun mulai membuncit. Bagi Nora, itu adalah sesuatu yang mampu mengurangi daya tarik tubuhnya. "Enggak lah. Justru aku merasa bergairah karena perut itu. Ha ha ha."Tak berselang lama, ponsel milik Dirga yang ia letakka
Nora pun segera mengenakan pakaiannya satu per satu. Setelahnya, ia pun langsung melangkah keluar dari hotel seorang diri. Ya, Dirga memang sudah keluar terlebih dahulu. Di sepanjang jalan keluarnya, Nora menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak, pakaian yang terlalu terbuka dan wajahnya yang begitu cantik mampu menyita perhatian siapapun yang sedang berpapasan dengannya. Melihat menjadi pusat perhatian, tentu Nora merasa begitu bangga. Nora memesan taksi untuk pulang ke kost-an, meskipun jaraknya begitu dekat. ****"Huft ... akhirnya sampai juga. Penat sekali tubuhku hari ini." David yang baru saja tiba di tempatnya tinggal pun langsung turun dari kendaraannya. Diusapnya peluh yang membanjiri keningnya itu dengan handuk kecil yang menyampir di pundaknya. Meskipun rasa penat begitu terasa, akan tetapi David begitu senang hari ini. Sebab, semua dagangannya ludes tak bersisa. Bahkan, satu butir pun tak ada. David pun langsung membuka pintu kost-an yang tidak dalam keadaan terkun
Tok!Tok!Tok!Suara ketukan pintu itu membuat Raya yang fokus melihat hasil laporan keuangan dari cafenya itu terganggu. "Masuk!" ucap Raya tanpa menolehkan kepalanya ke arah pintu. Pandangan itu masih tertuju ke arah lembaran kertas yang terpampang di depannya saat ini. Derit pintu terdengar, seiring daun pintu yang terbuka. "Permisi, Bu Raya. Maaf mengganggu. Ada seseorang yang mencari Ibu," ucap salah satu karyawan yang ada di cafe milik Raya. Raya pun langsung mengalihkan pandangannya ke arah karyawannya itu. "Siapa? Ravi?" "Bukan, Bu. Sepertinya baru kali ini ia datang ke sini," sahut sang karyawan itu. "Laki-laki atau perempuan?" "Laki-laki, Bu.""Oh, ok. Nanti saya segera ke sana." Sang karyawan pun bergegas keluar dari ruangan Raya. Perempuan yang saat ini menyandang gelar seorang janda itu pun menumpuk berkas-berkas yang sejak tadi mampu menyita perhatiannya. Raya pun bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah menuju pintu dan keluar. Ia menemui seseorang yang k
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 112Raya pun menjelaskan dan mengutarakan sebuah terkaan yang saat ini bersarang di kepalanya. "Sudah aku jelasin semuanya. Jika kamu percaya sama aku ya Alhamdulillah, kalau enggak ya nggak masalah juga."Hening seketika, Raya pun tak mempersoalkan urusan itu. Raya terlalu lelah menghadapi orang-orang yang berniat menjahatinya. Padahal dia tidak pernah berniat sekali pun menjahati orang lain. Raya sudah menguatkan hati andaikan Ravi menjadi jodohnya maka ia akan percaya pada Raya apa pun yang akan terjadi nantinya. Akan tetapi, jika Ravi bukanlah jodohnya Raya juga sudah menguatkan hatinya sejak awal jika pertemuan mereka hanyalah sebatas pertemanan saja. "Bagaimana? Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi aku akan menutup sambungan telepon ini," ucap Raya sesaat setelah keheningan itu tercipta. "Ah, tidak-tidak, bukan begitu, Raya. Tentu saja aku mempercayaimu.""Lantas? Kenapa kau terdiam seolah-olah tak mempercayaiku?" "Aku hanya ber
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 113"M-Mas jangan bercanda.""Lakukan saja sekarang!" pekik David sembari tangannya menghantam lemari yang ada di depannya hingga membuat lemari itu pecah di bagian pintunya. Wajah Nora memucat, sumpah demi apa? Nora belum pernah melihat kemarahan David yang seperti itu. Nora takut dan sangat benci dengan situasi seperti sekaeang ini. Baginya ini bukanlah David yang ia kenal. "Ayo lakukan kalau memang ucapanmu itu benar, kenapa diam?" tajya David lagi. Kali ini wajahnya datar dan suaranya terkesan dingin. "M-Mas, aku, aku tidak bisa membuang ini," uca Nora pada akhirnya. David tersenyum sinis sangat sinis. "Kenapa? Bukankah tadi kau sendiri yang menawarkan untuk membuang benda itu ke kloset? Lantas kenapa tidak bisa? Ayo lakukan. Aku ingin melihat kesungguhanmu." Tiba-tiba saja kedua manik mata yang caNtik itu mengeluarkan air mata buayanya. Cih! Dasar miss drama, begitulah kira-kira isi pikiran david. Sungguh kali ini entah kenapa Davi tidak me
"Halo, Nona? Masihkah kau di sana?" ucap Ravi karena tak kunjung dapat jawaban dari sang kekasih. "Ish, Nona Nona. Aku itu janda. Jangan ngejek gitu, ah." Raya berusaha mengalihkan pembicaraan. Bibir berpoles lipstik berwarna nude itu mengerucut, padahal Raya tahu, jika bibirnya yang manyun itu tak akan dilihat oleh lawan bicaranya. "Ha ha ha. Jangan ngalihkan pembicaraan. Tinggal jawab gitu aja susah ya?""Memang kamu tanya apa?" Raya kembali menggoda Ravi. Bibir itu kembali menunjukkan seulas senyum. Rasa hangat masih ia rasakan di kedua belah pipinya. "Apa kamu mencintaiku?" Raya mengatur napasnya, setelahnya ia mulai merangkai kata hingga keheningan kembali tercipta. Hingga beberapa saat kemudian, suara Ravi pun kembali menelusup ke gendang telinga Raya. "Apa kamu mencintaiku?" Ravi mengulang pertanyaannya. "Hey, apa pertanyaanmu itu membutuhkan jawaban, Tuan?" celetuk Raya sembari bibir tersenyum. "Tentu saja." "Apa aku yang menerimamu beserta kehadiran Cahaya tak cukup s