“Nona, hari ini kita ada kunjungan keluar kota,” ujar Lisa pagi itu.
Arum hanya manggut-manggut tanpa menjawab ucapan Lisa. Belakangan ini, jadwalnya semakin padat. Dia semakin sering diundang hadir sebagai pembicara di acara fashion. Ada juga yang mengundang dirinya hadir sebagai juri.
Sejak Arum membuka maskernya dan menunjukkan jati dirinya, tawaran kerja sama semakin membludak. Lisa sampai kewalahan mengatur jadwal Arum. Apalagi menjelang pernikahan keduanya, Arum sudah mewanti Lisa untuk mengkosongkan jadwalnya seminggu sebelum dan sesudah pernikahan. Sama halnya dengan Danu.
“Oh ya, Nona. Untuk permintaan Anda menjadi juri acara fashion show yang diadakan bersamaan pesta pernikahan Anda sudah saya tolak. Anda sudah bilang kalau tidak mau diganggu, kan?”
Arum tersenyum sambil mengangguk.
“Iya, terima kasih, Lisa. Aku yakin mereka bisa mencari orang lain nantinya.”
Lisa tersenyum. “Namun, barusan
“HUSS, Citra!! Kamu jangan ngomong sembarangan!!” seru Nyonya Lani.Wanita paruh baya itu bahkan meminta Citra menutup mulutnya. Spontan Citra menutup mulut dengan kedua tangan. Mereka berjalan sedikit menjauh dari rumah mode Arum.“Aku gak bohong, Ma. Bukannya gara-gara dokter itu, Kak Danu cemburu. Mama masih ingat, kan?”Nyonya Lani terdiam, tersenyum sambil menganggukkan kepala berulang.“Apa kakakmu tahu jika Arum masih berhubungan dengan dokter tersebut?”Citra mengendikkan bahu. “Aku gak tahu, Ma. Yang jelas jika Kak Danu tahu, pasti dia marah. Lalu ujung-ujungnya mereka bertengkar dan batal menikah.”Mata Nyonya Lani sontak membola penuh seakan siap keluar.“JANGAN!! Jangan sampai itu terjadi, Citra. Kita yang rugi jika mereka tidak jadi menikah.”Citra menoleh ke arah Nyonya Lani dan menatap mamanya dengan aneh.“Jadi Mama sudah sepenuhnya berpiha
“HEI!!” seru Dokter Sandy.Pria tak dikenal itu menoleh dan tampak terkejut. Ia bergegas bangkit, lalu dengan terburu berlari pergi meninggalkan beberapa peralatan mekaniknya di sana. Dokter Sandy mendekat, matanya menyipit sambil merunduk memperhatikan peralatan yang tertinggal di sana.“Sialan!! Dia mau mengutak-atik mobil Arum.”“Siapa yang Anda maksud, Dok?” Sebuah suara terdengar di belakang Dokter Sandy.Dokter Sandy menoleh dan melihat Danu sedang berdiri di depannya. Pria tampan itu mengenakan setelan jas dan pesonanya memang begitu sempurna. Terang saja Arum lebih memilih Danu daripada dirinya.“Sepertinya ada yang ingin mencelakai Arum, Tuan.”Seketika Danu terperangah kaget. Matanya menuju ke peralatan yang tergeletak di dekat kaki Dokter Sandy.“Saya menemukan ini di sini bersama seorang pria. Sayangnya, pria itu keburu lari ketika saya datang,” jelas Dokter Sandy
“Apa katamu?? Gagal??” seru Nadia.Nadia tampak marah begitu tahu orang suruhannya batal menyabotase mobil Arum. Ia terdiam sesaat dengan bahu naik turun mengolah udara.“Kamu tidak bisa masuk ke apartemennya dan sekarang kamu gagal menyabotase mobilnya. Rugi aku sudah membayarmu mahal,” cercah Nadia.Di seberang sana seorang pria berpakaian serba hitam hanya diam sambil berulang menghela napas panjang.“Pokoknya aku gak mau tahu. Kamu harus membuat mereka batal menikah. Aku akan membayar tiga kali lipat upahmu kalau kamu berhasil!!!”“Iya, baik, Nona. Saya akan lakukan apa pun sesuai permintaan Nona.” Akhirnya pria berpakaian serba hitam di seberang sana itu menyahut.“Bagus!! Jangan telepon aku, jika tidak mendapat kabar baik.”Nadia langsung mengakhiri panggilannya dan terdiam sambil melipat tangan di depan dada.“Kenapa juga aku harus memperkerjakan orang bod
“TUNGGU!! KAMI BUKAN PENJAHAT!!” seru salah satu dari pria itu.Lisa menghentikan gerakannya dan menatap tak percaya. Mereka berdiri di depan lift dengan pintu yang terbuka. Arum yang bersiap lari, kini terdiam dan menoleh ke arah mereka.“Kami disuruh Tuan Danu, Nona,” lanjut salah satu pria tersebut.Arum dan Lisa sontak tercengang mendengarnya.“Kami bodyguard yang disewa Tuan Danu untuk menjaga Nona Anjani.”Arum dan Lisa makin terkejut. Mereka menatap tanpa kedip ke arah dua pria tersebut.“Kalau Anda tidak percaya, silakan hubungi Tuan Danu, Nona.” Lagi-lagi salah satu dari dua pria itu bersuara.Mereka kini sudah berada di luar lift dan masih berdiri menjaga jarak.“Baik, biar saya yang menelepon!!” putus Arum akhirnya.Beberapa saat kemudian …“Kenapa kamu gak bilang jika mengirim bodyguard untukku?” tanya Arum di panggilan.
“Tuan … ,” desis Budi.Danu tampak marah dan buru-buru mendorong tubuh Nadia menjauh. Danu sangat kesal dengan ulah Nadia, apalagi wanita itu sengaja menggigit bibirnya agar dia tidak bisa melepaskan ciumannya.“Sialan kamu, Nadia,” sergah Danu penuh amarah. Dia tampak menyeka bibirnya yang berlumuran darah dengan punggung tangan.“Tuan, Anda baik-baik saja?” Budi mendekat sambil membawakan tisu.Danu langsung menyahut tisu dari Budi dan mengusap bibirnya. Sementara Nadia terkekeh melihatnya. Hanya Arum yang masih bergeming di tempatnya melihat kejadian itu tanpa suara.Nadia kini mengalihkan pandangannya ke Arum. Ia tersenyum menyeringai sambil berjalan mendekat ke arah Arum.“Kenapa diam saja? Kaget melihat calon suamimu berciuman denganku?” Nadia bersuara dengan sinis dan tubuh gemulai ke arah Arum.“ARUM!!! Jangan dengarkan dia!! Dia yang kurang ajar!!” seru Danu.
“Papa merestui kami?” tanya Danu.Dia sangat terkejut saat Tuan Prada berkata seperti itu. Padahal sebelumnya, Tuan Prada tidak berkata apa-apa saat Danu meminta restu menikah lagi dengan Arum.“Iya. Maafkan Papa, Danu. Sebenarnya tujuan Papa mengundangmu makan malam kemarin untuk mengatakan hal ini. Sayangnya kamu tidak hadir.”Danu hanya diam menatap Tuan Prada tanpa kedip. Kemudian ia sudah berhambur memeluk Tuan Prada. Terang saja Tuan Prada terkejut, tapi pria paruh baya itu kini membalas pelukan Danu. Arum yang duduk di sebelah Danu hanya terdiam sambil tersenyum. Baru pertama ia melihat interaksi seperti ini dan Arum senang.Selang beberapa saat, Tuan Prada sudah mengurai pelukan mereka. Ia tersenyum sambil menatap Danu.“Datanglah akhir pekan ini bersama Arum!! Kita bahas tentang pernikahanmu.”Danu tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Iya, Pak. Namun, soal pernikahan. Aku sudah men
“NADIA!!!” seru Nyonya Lani.Wajah wanita paruh baya itu terkejut. Tidak ada rona merah di sana hanya warna pucat pasi yang mewarnai bersamaan dengan gestur gugup. Hal yang sama juga diperlihatkan Citra. Dua wanita beda generasi itu terlihat ketakutan saat melihat kehadiran Nadia.Nadia tersenyum sambil menatap tajam. Ia berjalan mendekat dan berhenti sangat dekat di depan Nyonya Lani.“Tante tidak mau menjawab pertanyaanku?” Nadia kembali bersuara.“Eng … emang kamu tanya apa, Nadia?” Nyonya Lani ketakutan setengah mati bahkan suaranya terdengar bergetar kali ini.Nadia berdecak, menjentikkan jarinya sambil menatap tajam Nyonya Lani.“Aku bertanya siapa orang yang tidak tenar itu? Apa dia aku?”Nyonya Lani melotot hal yang sama juga dilakukan Citra. Keduanya menoleh saling pandang lalu secara bersamaan mengangguk.“Bukan!! Bukan kamu, kok. Iya kan, Citra?” Nyonya Lani kembali gugup dengan suara gemetarnya.“Iya, benar.
“Sudah siap?” tanya Danu.Akhir pekan tiba dan malam ini Danu bersama Arum sudah sepakat untuk datang memenuhi undangan makan malam Tuan Prada. Arum tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah. Kebetulan aku sudah mengosongkan jadwal hari ini.”Danu tersenyum sambil menganggukkan kepala. Tangannya mengelus lembut tangan Arum.“Terima kasih, ya. Padahal selama ini keluargaku telah berlaku tidak baik padamu, tapi ---”Arum berdecak sambil menggelengkan kepala. “Kita janji memulainya dari awal, kan?”Danu tersenyum lagi sambil menganggukkan kepala.Tak berapa lama, mereka sudah tiba di rumah keluarga Danu. Ada Tuan Prada, Nyonya Lani dan Citra yang menyambut kedatangan mereka.“Mama senang akhirnya kamu mau datang bersama Arum, Danu,” sapa Nyonya Lani.Wanita paruh baya itu tersenyum lebar dan berpenampilan glamour kali ini. Citra yang berdiri di sebelah Nyo
“Tuan Burhan? Maksud Anda ayahnya Dokter Sandy?” tanya Arum.Tuan Simon mengangguk sambil tersenyum. Matanya tampak berkilatan saat Arum memberi jawaban yang memuaskan.“Iya, saya mengenalnya, Tuan. Dulu, saat masih tinggal di panti. Saya dan Anjani sering bermain ke rumahnya. Ibu Dokter Sandy tidak bisa punya anak lagi, makanya beliau senang saat ada anak panti bermain ke rumahnya. Itu juga sebabnya saya akrab dengan Dokter Sandy.”Kali ini Arum berkata sambil melihat Danu yang sedari tadi memperhatikannya. Sedangkan Tuan Simon hanya berulang menganggukkan kepala menatap Arum dengan seksama.“Apa kamu tahu keadaannya saat ini?” Kembali Tuan Simon mengajukan pertanyaan.“Setahu saya, Tuan Burhan sedang sakit. Sejak istrinya meninggal, kesehatannya menurun dan Dokter Sandy sengaja menempatkan beliau di rumah keluarga. Sayangnya, saya tidak pernah menjenguknya.”Tuan Simon hanya menganggukkan kepala sambil terus memperhatikan Arum.“Katamu, kamu sangat dekat dengan keluarga Dokter Sandy
“Apa maksudmu kamu berada di sana?” tanya Tuan Simon.Tuan Burhan tidak menjawab malah menunduk sambil menggelengkan kepala. Tidak hanya itu, tubuh Tuan Burhan kini tampak bergerak ke kanan dan kiri bergoyang-goyang. Tuan Simon hanya diam memperhatikan.“Tidak. Aku tidak akan bilang, nanti Sandy marah. Aku tidak mau jika Sandy marah. Aku takut kalau Sandy marah.”Kini malah Tuan Burhan tampak sedang bergumam sendiri. Entah mengapa ulahnya seperti anak kecil saja. Tuan Simon makin penasaran.“Apa yang menyebabkan Sandy marah? Apa Sandy tahu sesuatu juga?”Tuan Burhan tampak terkejut. Ia mengangkat kepala menatap Tuan Simon dengan senyum aneh kemudian menjentik hidung pria bermata sipit itu.“Kamu ingin tahu, ya? Kamu benar-benar ingin tahu, ya?”Tuan Simon berdecak. Ia menduga ada yang tidak beres dengan Tuan Burhan. Tuan Simon mengedarkan pandangan ke sekitar dan melihat bibi art sedang berdiri tak jauh dari tempat mereka duduk.Wanita paruh baya itu hanya mengangguk seakan sedang mem
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp