Semuanya bersorak menggoda Gibran yang sudah salah tingkah dan juga malu karena ucapannya yang salah menyebut nama. "Maksud saya bukan itu, tapi Risma Utami Anastasya," jawab Gibran membenarkan ucapannya."Cie cie, Ehem, nama Umi Risma bukan seperti itu loh," sindir Fakih menyikut pelan bahu Gibran. Gibran hanya tersenyum dambilymenggaruh kepalanya yang tak gatal."Cie, Naila, wajahnya kok merah seperti itu," sindir Anggi juga menunjuk Naila yang sedari tadi menunduk semakin dalam.Semuanya bersorak menggoda Gibran dan juga Naila. Gibran kehabisan alasan, lalu Gibran melihat Naila yang juga sama saltingnya."Ah, udahlah bang, udah Ustadzah, lanjutin aja permainannya," kata Gibran tersenyum ramah. Fakih menarik nafas pelan. "Gimana, masih mau dilanjut?" tanya Fakih."Dah capek," jawab Ayra dan diangguku oleh Aulia dan juga Anggi. Ridho hanya mengedikkan kedua bahunya acuh. Tak menahu lagi."Ya sudah, permainan ini selesai," kata Fakih mengambil botolnya kembali. Sesekali sebelum beran
Siang ini semuanya sudah sampai di rumah masing-masing. Lima hari liburan di Villa Bogor dan berkumpul bersama keluarga untuk menambah ikatan silaturahim. Dan hari ini tgl 1 Januari di tahun baru. Kegiatan pesantren akan mulai kembali aktif mulai besok hari. Dan semua santri dan santriwati diutamakan untuk kembali sore hari nanti. Gibran pun setelah sampai rumah langsung menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya. Dibantu oleh umi Risma, Gibran dengan cepat menyiapkan barang-barangnya.Sementara Ashraf memilih untuk beristirahat bersama Balqis di kamarnya. Keduanya saling baring bersama. Setelah lelahnya perjalanan dari Bogor ke Jakarta Timur yang memakan beberapa jam untuk sampai. Apalagi keadaan macet di kota yang membuat perjalanan semakin lama."Besok sudah mulai ngajar lagi, kamu gak apa-apa disini sama Umi, kan? Soalnya saya gak bisa jaga kamu dua puluh empat jam," tanya Ashraf menoleh ke Balqis yang matanya belum terlelap.Balqis menggelengkan kepalanya agar Ashraf tak khawat
Gibran memilih untuk menunduk. Semua temannya bertanya-tanya kenapa Gibran malah tidak mau ikut lomba. Padahal perlombaan kemarin di pesantren Gibran malah menjuarai beberapa bidang perlombaan."Gibran ikut, data saja," kata Ashraf seolah mengetahui perasaan Gibran yang gengsi."Baik, semua santri yang sudah terdata. Harap nanti siang berkumpul di aula pusat," kata Naila sambil membacakan kembali nama-nama santri yang sudah di data.Lalu Naila dan temannya itu pamit kepada Ashraf. Karena sudah selesai mendata dan wkatunya juga habis. Sebab Ashraf memang tidak suka membuang-buang waktu apalagi mengganggu jam mata pelajarannya.Setelah itu pelajaran pun dilanjut. Sampai jam ketiga, lalu Ashraf meninggalkan kelas PK A dan melanjutkan mengajarnya di kelas lain dengan materi pembelajaran yang sama.***"Balqis," panggil Anggi saat melihat Balqis sedang berbelanja bulanan di market khusus pembelian sembako."Anggi," jawab Balqis. Keduanya sempat ragu untuk berpelukan. Seperti kembali asing
Anggi menoleh ke beberapa arah. Untung saja keadaan kedai kopi itu setiap sore tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung, itu pun sibuk dengan kegiatannya masing-masing."Apa sih, Ustadz Fakih ini, gak lucu bercandanya!" peringat Anggi memelototi Fakih yang senyam senyum dengan sikap Anggi yang terlihat grogi mendengar ajakan Fakih."Saya serius, jika kamu serius juga," ungkap Fakih dengan santainya. Padahal Anggi sudah mulai cenat cenut dengan ajakan Fakih yang berhasil membuat jantungnya berdetak kencang.Anggi memilih diam. Bingung harus mengatakan apa, sedangkan dirinya sadar kalau jauh dari kata orang baik. Dirinya terlalu egois dengan keinginannya yang jauh dari kebenaran.***Balqis sedang membereskan ruang tengah. Sementara Ashraf masih pergi mengajar dan di rumah hanya ada Balqis. Abi Lukman dan umi Risma sedang berada di pesantren untuk menjenguk Gibran. Karena pembelajaran telah berjalan selama satu Minggu dan setiap Minggu biasanya Gibran dijenguk. Sedangkan Ashraf
Umi Risma terlewat khawatir karena dia tau jika kedua orang tua Balqis sangat terlihat tak peduli dan selalu menganggap Balqis rendah."Umi, tolong tenang dulu, setelah ini kami ceritakan," ucap Ashraf memegang bahu uminya untuk tenang. Sementara Abi Lukman langsung menyapa keduanya dan saling bersalaman.Umi Risma baru tersadar dengan sikapnya yang berlebihan lalu ikut menyapa kedua orang tua Balqis juga. Lalu Balqis dan Ashraf menceritakan semuanya yang telah terjadi. Kedua orang tua Balqis merasa tak enak dengan kehadirannya takut menganggu ketentraman keluarga Ashraf."Astaghfirullah, saya turut bersedih. Insya Allah. Saya akan membantu kalian, karena kita kan juga keluarga," kata Abi Lukman dengan tersenyum hangat."Iya, Bu, Pak. Maafkan saya juga yang tadinya sempat curiga dengan kalian berdua. Semnajk Balqis hamil, saya sedikit sensitif dengan beberapa orang yang dulunya bermasalah dengan Balqis," ucap Umi Risma sungkan mwrada tak enak hati."Sudahlah, bapak, Ibu. Kami yang seh
Fakih melihat jam di tangan kanannya. "Pengurus pusat masih ada di aula pusat atau sudah di ruang pengurus?" tanya Fakih mengubah topik pembicaraannya.Anggi yang masih mencoba berpikir keras sedikit kesal dengan Fakih yang malah mengubah topiknya. "Saya gak tau, ini saya juga mencari pengurus pusat," kata Anggi cemberut. Fakih tersenyum samar melihat tingkah laku Anggi. Lalu segera masuk ke dalam. Diikuti Anggi yang masih sebal dengan Fakih yang malah tak menggubris jawabannya.'nyebelin Ustadz Fakih, padahal kan udah mau jawab. Malah cari topik yang lain.' gumam Anggi dalam hati. Sesampainya di dalam mereka mengurus urusan masing-masing. Setelah selesai Anggi keluar dulu berniat ingin cepat-cepat menghindari Fakih. Namun masih sampai di di depan pintu uatama. Fakih memanggil Anggi kembali."Anggi, berkas kamu ada yang ketinggalan," panggil Fakih. Anggipun lalu membalikkan badan lagi sebab masih kesal."Udah, lanjut nanti sore mengenai pembahasan itu. Di kedai kopi, jam empat. Jangan
Fakih sudah datang terlebih dahulu sebelum pukul empat. Dia sengaja datang lebih awal dari Anggi. Sementara Anggi masih berada di jalan. Dengan keadaan jalan yang cukup ramai, masih sangat macet karena ini jam pulang kerja.Sementara faqih sudah menyiapkan tempat duduk khusus untuk dirinya dan juga anggi. Faqih juga sudah memesan minuman kopi kesukaan anggi yang di mana minumannya juga sama dengan kesukaan dirinya. Faqih menunggu anggi dengan duduk bersantai di ruang pojok kedai kopi di mana ini sudah tiga kali pertemuan mereka dan saat ini pertemuan yang direncanakan.Anggi datang dengan pakaian yang begitu sopan dan tidak seperti biasanya kali ini dirinya terlihat cukup pendiam dan sedikit berbicara. “Maaf ustad Faqih, sudah lama yah menunggu, maaf barusan di jalan macet banget jadi waktunya keteteran,” ungkap Anggi namun Fakih hanya menampilkan senyuman khasnya.“Tidak apa-apa, saya paham kok, ya sudah kamu duduk saja. Ini sudah saya pesankan minuman kesukaan kamu,” ungkap Fakih me
Dengan malu-malu Anggi langsung memasuki mobilnya, dia meninggalkan Fakih yang berada di luar. Namun Fakih tak tinggal diam, dia juga ikut masuk ke dalam mobil Anggi.“Kesepakatannya kemarin, kamu kalau serius berubah, saya akan menseriusi kamu, sanggup?” sindir Fakih menagan lengan Anggi yang mau menghidupkan monilnya.Anggi tak jadi melajukan mobilnya gara-gara ucapan Fakih. “Kan udah dijawab, barusan, Ustadz Fakih,” kata Anggi dengan wajah cemberut. Masih terlihat jelas wajah Anggi yang memerah sebab menahan malu. Anggi salting brutal gara-gara sikap Fakih itu.“Ouhh, okelah, awas aja masih macem-macem, tak nikahin langsung nanti!” ancam Fakih lalu mencolek dagu Anggi pelan hingga wajah Anggi menghadap tepat ke Fakih. Namun Fakih malah menoleh ke tempat lain. “Ya sudah sana pulang, hati-hati,” peringat Fakih lalu langsung turun dari mobil Anggi. Anggi pun geregetan dengan sikap Fakih yang terkadang aneh. Sering berubah-ubah. Sebelum melajukan mobilnya, Anggi masih memperbaiki deg