"Lihat apa sih, sampai kaget dan tegang gitu, Dek?" tanya Bang Danu yang hendak mengulurkan tangannya ke lantai untuk mengambil ponselku.
Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah spontan mengambil ponselku yang jatuh tadi, sebelum keduluan olehnya. Entah kenapa, aku seolah belum siap menginterogasi Bang Danu soal foto itu.
Hati kecilku memilih mengikuti arahan Nella, untuk diam-diam mencari tahu kebenaran suamiku. Jika memang benar Bang Danu yang ada di foto itu, kenapa dia tidak pernah cerita denganku?
Dengan siapa dia pergi? Semua harus kucari tahu dengan benar dan akurat daripada aku terus saja berprasangka buruk dengan suamiku sendiri.
"Dek ... kok malah melamun?"
Aku terkesiap saat Bang Danu melambaikan tangan di depanku.
"Hmm ... Maaf, Bang. Aku kurang fokus," jawabku sedikit gugup, namun aku berusaha untuk bersikap santai agar tidak terlalu mencolok.
"Pertanyaanku belum dijawab loh, Dek! Lagi liat apa sih di ponsel sampai segitunya gak fokus?" tanyanya hendak melihat ponselku.
Aku segera menghindar darinya." Gak lihat apa-apa kok, Bang. Cuman, lagi banyak pikiran aja."
"Lagi mikirin apa sih, Dek?" Bang Danu urung melihat ponselku. Apalagi gerakannya sangat terbatas karena ia duduk di kursi roda. Tapi ia terus bertanya.
Kenapa malah aku yang diinterogasi. pikirku dalam hati.
Aku juga langsung mematikan ponselku sebelum Bang Danu memintanya lalu melihat foto itu.
"Biasalah Bang, kerjaan di pabrik lagi banyak banget, ditambah tadi dikagetin," kilahku berusaha cari aman dulu. Aku langsung mendaratkan bokong di tepi kasur.
Akhirnya suamiku itu percaya dan hanya ber-o ria saja tanpa bertanya lagi ini itu.
"Aku minta maaf, ya. Kamu pasti capek banget setiap hari kerja keras buat keluarga kita, balik kerja masih harus sibuk mengerjakan pekerjaan rumah, juga mengurusku dan Naifa." Bang Danu memutar roda kursinya, lalu mendekat ke arahku. Kemudian, ia memijat pundakku.
Aku hanya bergeming. Biasanya aku merasa nyaman saat dipijat suamiku dan akan selalu terbuai dengan kata-katanya yang menyentuh ke dasar hati yang paling dalam. Akan tetapi tidak untuk kali ini, entah kenapa denganku malam ini, aku seolah tak tersentuh dengan setiap kata yang terucap dari bibirnya.
"Maafkan aku, karena gak bisa jadi suami yang berguna. Aku hanya bisa menyusahkanmu saja," lanjutnya semakin membuat dramatis. Biasanya aku akan sedih dan meneteskan air mata saat ia sudah berkata demikian.
"Dek ... kamu dengarkan apa yang aku ucapkan?" tanyanya saat aku tidak merespon ucapannya. Mungkin ia heran kenapa ekspresiku kali ini berbeda.
"Dengarlah, Bang. Tapi kali ini aku benar-benar capek dan lagi gak enak badan," kataku sambil menahan tangannya yang pijatannya semakin tak tentu arah. Supaya tidak semakin jauh dan ujung-ujungnya minta itu aku harus segera bertindak.
Dulu, hal itu sangat kuinginkan dan kuharapkan agar bisa melepas hormon stres. Akan tetapi kali ini aku tidak berhasrat untuk itu. Rasanya di kepalaku sedang ada tali benang yang sangat kusut.
"Bagaimana kalau akhir pekan nanti, aku antar cek ke dokter. Mana tahu ada perkembangan soal kaki, Abang,” usulku lalu menoleh pada suamiku demi menatap reaksinya. Aku juga sengaja untuk mengalihkan fokusnya.
Bang Danu tampak kaget, wajahnya langsung pucat dan seketika salah tingkah.
"Eng-enggak usahlah, Dek. Buang-buang duit aja," selanya sedikit tergagap, "lagi pula kamu kan, tahu sendiri kalau aku gak akan bisa jalan lagi."
Aku membuang napas kasar.
"Gak ada salahnya kita coba untuk periksa. Kakimu sudah lama sekali gak diperiksa. Siapa tahu ada keajaiban dari-Nya," terangku berusaha meyakinkannya.
Dari dulu, ia selalu tidak mau diajak periksa. Selalu ada saja alasan yang membuat aku urung mengajaknya cek Up. Kali ini aku harus memaksanya sampai ia mau apa pun caranya.
Lagi pula, aku penasaran dengan hasil pemeriksaan Bang Danu. Se-ingatku terakhir dia pergi periksa, tiga minggu setelah ia kecelakaan dan ia pergi tidak bersamaku. Melainkan, bersama ibu mertua. Bahkan aku hanya melihat sekilas hasil lab atau hasil CT scan kakinya yang ia bilang patah tulang. Lalu, hasil pemeriksaan ia simpan di rumah mertua dan aku yang percaya penuh pada suami dan ibu mertuaku tidak pernah mempermasalahkan itu.
“Demi aku dan Naifa, anak kita ... kamu mau ya, periksa!" Aku menggenggam tangannya sambil memohon padanya yang wajahnya tampak pias dan salah tingkah.
"Kita lihat nanti ya, Dek. Sekarang kita ...." bisik Bang Danu sambil mengedipkan mata dengan nakal. Mungkin ingin mengalihkan pikiranku agar tidak terus-menerus mendesaknya.
"Aduh ... aku lupa kalau masih ada kerjaan yang belum terselesaikan," kilahku lalu beranjak meninggalkan suamiku yang garuk kepalanya yang tak gatal.
Maafkan aku Bang, aku durhaka karena menolakmu malam ini. Kali ini aku belum siap. Ada yang mengganjal di hatiku. Aku harus cari tahu kebenaran dirimu, Bang.
Demi Menghindari Bang Danu, aku langsung saja menuju ruangan lain di rumahku, yaitu ruang setrikaan. Di ruangan ini, masih ada tumpukan kain yang sudah kucuci tadi.
Aku langsung saja mencari pakaian Bang Danu yang sama persis dengan pakaian yang dikenakan pria dalam foto itu.
Tak butuh waktu lama untuk mencarinya. Akhirnya baju itu kutemukan juga.
"Nah, kan .... " Aku meninggikan baju itu dan menatap dengan serius guna mencocokkanya.
"Sama persis," gumamku.
Aku langsung memperbesar foto itu, agar bisa melihat siapa orang dalam foto itu selain pria itu.
Tapi nihil. Seseorang yang di hadapan pria itu tak dapat aku lihat karena terhalang olehnya.
"Sepertinya, besok aku harus bicara serius dengan Nella. Hanya dia yang bisa aku percaya saat ini," gumamku.
Bukan tidak percaya dengan suamiku. Hanya saja tidak ada salahnya kalau aku menyelidiki.
"Arrrrgggghhh .... " Aku memegang pelipisku yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Rasanya semuanya seperti misteri yang harus kupecahkan.
"Dek ... kamu lagi di mana? Dek?" samar-samar kudengar suara Bang Danu yang tengah memanggil, juga derit kursi roda yang beradu dengan lantai keramik.
Aku langsung menyimpan baju itu di sela-sela tumpukan kain lainnya dan bergegas keluar dari ruangan ini.
"Ada apa, Bang?" sahutku sambil berjalan menghampirinya yang terlihat kepayahan memutar roda kursinya.
"Aku tungguin dari tadi, kok gak muncul-muncul sih, Dek? Makanya aku cariin," ucapnya dengan suara lembutnya.
Inilah alasan kenapa aku tidak pernah berpikiran buruk dengan suamiku. Ia suami yang baik, lemah lembut dan pengertian. Tapi tidak ada salahnya aku mengikuti ucapan Nella agar lebih meyakinkan ia kalau ia salah menilai suamiku
"Kenapa dicariin sih, Bang? Kan, tadi aku sudah bilang ada kerjaan. Aku lagi melipat kain," ucapku berbohong, "Sebaiknya Abang tidur!"
Aku mendorong kursi roda suamiku menuju kamar, lalu membantunya untuk naik ke tempat tidur.
Setelah memasang selimutnya, aku hendak pergi namun ditahan olehnya.
"Sudah malam, sebaiknya kamu tidur juga! Jangan terlalu diforsir kerjaannya!" titahnya dengan wajah memelas.
Aku mengangguk pelan, lalu ikut berbaring di sampingnya. Tapi kali ini aku membelakanginya karena takut ada kegiatan yang lainnya.
Bang Danu melingkarkan tangannya di pinggangku, tapi aku tak merespons sama sekali. Aku memilih memejamkan mata dan pura-pura tidur hingga tidur benaran.
Malam berganti pagi, aku akan melakukan rutinitas seperti biasa. Setelah yakin bahwa semua sudah selesai maka aku dan Naifa akan berpamitan pada Bang Danu.
"Kami berangkat dulu, Bang. Makan siang sudah siap di meja makan seperti biasa, jangan lupa dimakan!" pesanku padanya sebelum berangkat.
Aku dan Naifa bergantian mencium tangan Bang Danu dengan takzim. Lalu, aku menggandeng tangan putriku ke arah motor sambil sesekali memperbaiki jilbabnya lalu memperbaiki jilbabku.
Sebelum ke pabrik, aku lebih dulu mengantar Naifa ke sekolah. Setelah itu baru ke pabrik.
“Belajar yang sungguh-sungguh, Nak,” kataku saat Naifa menyalami tanganku dan menciuminya. Aku mencium pucuk kepala anakku dengan lembut lalu melambaikan tangan saat ia berlari memasuki gerbang sekolahnya.
Setiap hari aku mengantar putriku itu ke sekolah tapi aku tidak bisa menjemputnya, jadilah ia ikut pulang dengan teman yang satu arah dengannya.
Setelah sampai di pabrik, aku langsung mencari Nella. Tak sabar rasanya ingin cerita dengannya. Mana tahu, ia bisa memberi aku sedikit ide atau solusi atau sedikit langkah agar aku tidak salah langka dalam keputusan ini.
Hampir dua puluh menit aku berkeliling di ruang produksi, namun tak juga kutemukan temanku itu.
"Kalian lihat, Nella, gak?" tanyaku pada pekerja yang datang sejak tadi. Mana tahu mereka melihat gadis itu.
"Belum datang, Kak," sahut Anggi dan diikuti anggukan yang lainnya.
"O .... " Aku membuang napas kasar.
"Kayaknya Kak Nella, hari ini cuti, Kak. Soalnya kemarin aku gak sengaja dengar dia izin sama Pak Kabir," sahut Ani yang muncul di belakangku.
Pak Kabir adalah mandor/ leader yang tugasnya mengawasi para pekerja di ruangan ini. Sedangkan aku, Nella, dan beberapa pekerja yang udah senior, punya kerjaan yang sama, yaitu QC dan mengawasi para operator mesin jahit.
Kami juga mengawasi para penjahit, kadang juga bertugas mengajari para pekerja yang baru bergabung di pabrik ini.
[Kamu tega banget sih, libur tapi gak ngasih tau.]
Aku mengirim pesan WA pada Nella, yang tak lama kemudian centang dua biru.
[Sorry ... lupa] balasannya dan ia akhiri dengan emoji ketawa.
[Gitu amat, sama teman sendiri] kukirim emot cemberut.
Nella memanggil ....
Aku segera mengangkat telpon, mumpung belum masuk jam kerja jadi masih bisa buat mengobrol sebentar.
"Sorry banget. Aku gak sempat kasih tau kamu karena aku lagi sibuk banget," ucap Nella di seberang sana.
"Oke, gak masalah. Tapi aku jadi gak ada teman curhat, nih," rengekku.
"Emangnya mau curhat apaan sih, Ly?"
"Entar aja, deh. Kalau ketemu," balasku, "BTW, kamu ada acara apa sih sampai sesibuk itu?" tanyaku penasaran.
"Aku lagi ada acara sama calon suami. Hari ini mau jalan-jalan sekalian ke butik buat cari baju buat acara pertunangan kami," katanya membuatku spontan mengucapkan selamat padanya juga mengingatkan agar jangan sampai tak mengundangku.
Setelah ngobrol ngalur-ngidul dengan Nella, aku langsung siap-siap untuk kembali fokus bekerja.
Siangnya aku izin pulang pada Pak Kabir karena perasaanku kurang enak dan terus saja kepikiran Bang Danu. Untungnya Pak Kabir langsung beri izin karena memang aku jarang atau bahkan nyaris tak pernah libur.
Dari kejauhan aku bisa melihat motor Nella parkir di depan rumahku dan membuatku bertanya-tanya pada diri sendiri, “Ada perlu apa Nella ke rumah? Sedangkan ia tahu jelas kalau aku sedang tak ada.”
“Bukankah Nella tadi bilang kalau ia ada acara dengan calon suaminya? Apakah Bang Danu ...,“ gumamku sambil terus memelankan motor.
“Apakah Nella ada keperluan dengan Bang Danu? Bukankah ia sendiri yang menyuruhku untuk mencurigai suamiku?” aku terus saja membatin.
Bersambung...
"Jangan main-main, sebaiknya kamu jujur ... atau aku ...," ucapan Nella yang samar terdengar di telingaku tiba-tiba menggantung.Aku yang memang memarkirkan motor agak jauh dari rumah, perlahan berjalan ke rumah dengan segala tanya di kepala.Otakku yang tiba-tiba traveling membuatku buntu. Yang ada dalam pikiranku saat ini, aku ingin tahu tujuan Nella tiba-tiba datang ke rumah tanpa memberitahukan kepadaku lebih dulu.Bukankah ia yang menyuruhku untuk mencurigai suamiku sendiri?Pertanyaan itu terus saja berputar di kepalaku.Bukankah ia pergi dengan calon suaminya?Aku menggelengkan kepala untuk menepis pikiran burukku terhadap suami dan sahabatku.Meski itu sangat mengganggu, apalagi banyak kejadian-kejadian nyata yang berseliweran tentang kasus suami dan sahabat yang selingkuh, terus sahabatnya jadi adik madu lalu istri pertama akan terbuang tanpa belas kasih.Aku menggeleng pelan saat pikiranku menjadi paranoid. "Tidak ... ini tidak mungkin, aku harus memastikannya sendiri," gum
Aku berdiri di ambang pintu kamar, sambil menyandar di kusen pintu dengan mata yang fokus menatap suamiku yang tak bosan-bosannya memainkan ponsel. Aku melirik jam di dinding yang sudah menunjuk angka sepuluh, itu artinya sudah hampir tengah malam. Namun Bang Danu masih bergeming di depan TV yang sejak tadi siarannya tak dihiraukan olehnya. Aku mengembuskan napas berat, seberat beban yang aku tanggung selama ini, tetapi tak pernah terasa sama sekali karena aku selalu berlapang dada. Namun, kali ini dadaku rasanya sesak memikirkan kejanggalan yang terjadi belakangan ini. Tanpa sadar, bulir bening menetes di pelupuk mata. Aku mengelapnya pelan lalu melangkah ke kamar Naifa untuk memastikan kalau putri kesayanganku sudah tidur. Setelah memastikan, kalau Naifa sudah tidur. Aku kembali melangkah ke ruang nonton TV dan menemui Bang Danu untuk mengabarkan kalau esok pagi aku akan mengantarnya ke rumah sakit untuk periksa kesehatan kakinya. "Bang ... besok pagi jangan lupa awal bangu
Namaku Danu Jaya, Jaya adalah nama Bapak dan Farida--ibuku. Alhamdulillah kedua orang tuaku masih ada dan masih sehat.Hanya saja, Bapak tidak terlalu suka padaku karena menurutnya aku anak pemalas. Hanya Ibu yang selalu menyayangi dan mendukung setiap langkahku."Kamu itu sudah menikah, sudah punya anak dan istri, tapi masih saja malas kerja! Kapan kamu dewasa, Danu? Mau kamu kasi makan apa anak orang, hah?" omel Bapak setiap aku datang ke rumahnya untuk minta uang buat beli rokok waktu itu."Makan nasi lah, Pak," balasku sambil mengisap rokok yang baru saja kuambil darinya dan berusaha tak ambil pusing dengan ocehannya yang sudah seperti buruh beo.Bapak memukul kepalaku dengan pecinya sambil terus memarahiku. "Kamu pikir, nasi itu bisa datang dengan sendirinya ke rumahmu! Kamu pikir anak orang mau cuman dikasi makan nasi saja tanpa lauk dan sayur!""Sudah ... sudah, Pak. Jangan memarahi Danu terus-menerus, Pak, yang ada dia makin buntu nanti otaknya. Kasihan anak kita, Pak." Ibu da
Siang itu sahabat istriku datang ke rumah dan menanyakan banyak hal padaku. Hanya saja, aku pura-pura bodoh dan tak mau menjawab sama sekali. Bahkan kata si Nella ini, dia pernah melihatku di restoran bersama kekasih gelapku, tetapi ia berjanji tidak akan memberitahu istriku kalau aku mau bekerja sama dengannya. Tentu saja aku menolak kerja sama dengannya, karena gak menguntungkan sama sekali buatku, bahkan bisa merugikan aku juga. Ibarat makan buah simalakama aku akan sama-sama dirugikan. Dia mengancam bahkan menyuruhku untuk jujur pada Ely bahwa aku hanya pura-pura lumpuh karena aku tak mau kerja sama dengannya. Pada saat itu hampir saja Ely mendengar ocehan si muka dua ini. Aku dan Nella sama-sama terkejut karena aku takut Ely curiga padaku dan Nella juga takut kalau Ely mendengar apa rencana kerja samanya sebenarnya. Rasanya jantungku bekerja begitu cepat saat itu juga dan hampir saja aku berpindah alam. Syukur aku gak ada riwayat penyakit jantungan. Aku berusaha menormalk
POV Alyera"Apa-apaan ini, Bang?!"Aku menghampiri Bang Danu yang terlihat kaget dengan kedatanganku. Apalagi dia melihat kali ini wajahku tampak tak bersahabat.Siapa yang tak marah, saat melihat anaknya di suruh angkat air dari rumah tetangga. Rasanya kepalaku sudah mengeluarkan asap saat ini juga.Bukan karena tak ingin anakku di suruh-suruh, tetapi ada alasan lain di balik kemarahanku ini."D-dek ... se-sejak kapan di situ?" tanya Bang Danu gugup.Aku mengabaikan pertanyaannya. Tatapanku beralih pada Naifa yang sudah ke luar dari WC. Aku mendekat ke arah putriku lalu mengusap kepalanya."Naifa main dulu, ya! Soalnya Mama dan Papa mau ngobrol sesuatu hal yang sangat penting!" titahku pada gadis kecilku
Hati siapa yang tak hancur saat mengetahui kebohongan demi kebohongan pria yang sangat dicintai, yang sangat disayangi dan sangat kita perjuangkan masa depannya.Sakit ... sungguh sakit dan sesak dada ini jika mengingat segala perjuangan dan kerja keras yang kulakukan selama ini, tetapi apa balasannya? Kebohongan dan pengkhianatan.Sekuat tenaga aku menahan diri ini agar tak tumbang saat ini juga."Dek ...."Bang Danu membuyarkan lamunanku saat ia meraih tanganku."Jangan menyentuhku!" bentakku saat lagi-lagi tangan Bang Danu, kutepis dengan kasar."Maafkan Abang, Dek!" mohonnya dengan wajah memelas."Ceraikan aku saat ini juga, Bang!" Pintaku dengan tegas.Hanya ini jalan satu-sat
Setelah kepergian Alyera, Danu merasa frustrasi sekali. Ia meremas rambutnya dengan kasar, meninju dinding, dan menendang apa saja yang menghalangi jalannya.Ia emosi bukan karena kehilangan cintanya. Akan tetapi ia emosi karena kehilangan ATM berjalan yang ia punya.Pria itu belum benar-benar menyesali perbuatannya. Bahkan ia merasa apa yang ia lakukan masih bisa di maafkan dan diberi kesempatan kedua.Ia melampiaskan amarahnya dengan mengacak-acak semua barang yang ada di rumah itu. Sekali menggeser barang yang ada di atas nakas dengan tangan maka berjatuhan semua barang-barang.Suara pecahan kaca pun bersahutan.Ia bingung bagaimana caranya agar membujuk istrinya untuk kembali.Terpaksa ia menghubungi ibunya untuk membantu membujuk menantunya yang telah pergi entah ke mana.Alyera, istri yang sangat patuh pada suami. Namun, dibohongi selama dua tahun lebih lamanya, itu bukanlah hal yang harus dianggap sepele.Ini menyangkut sebuah hati yang retak, kekecewaan terdalam akan sebuah ra
POV AlyeraAku mundur perlahan sambil membekap mulut ini agar tak mengeluarkan suara agar tak ketahuan oleh sepasang insan yang tengah memadu kasih dalam ikatan tanpa pernikahan.Aku menggeleng tak menyangka kalau sahabatku yang selalu jadi tempat curhatku kelakuannya seperti ini.Bahkan di tengah-tengah rintihan kenikmatan yang ia lakukan, masih sempat ia menyebut-nyebut namaku.Aku tak menyangka kalau gadis berambut sebahu itu adalah wanita hina dan murahan. Rela melakukan apapun demi mencapai tujuannya.Setelah berhasil keluar dari rumah Nella, aku segera menghampiri putriku."Maafkan, Mama Nak, kalau tadi kelamaan di dalam. Yuk berangkat," kataku sambil memperbaiki tempat duduk Naifa lalu aku pun naik di motor dan menghidupkannya.
POV Alyera "Kamu ngapain, jalan sambil nunduk? Mikirin apa? Kamu beruntung karena aku datang tepat waktu kalau tidak ... mungkin jidatmu sudah selebar tiang tadi," katanya sambil bertanya, disertai dengan sindiran serta kekehan.Aku memilih memalingkan wajah ke luar jendela menatap pohon yang masih terkena cahaya langit yang mulai redup berganti cahaya malam.Ucapan pria cambang ini benar-benar bikin jengkel, asli."Kok, gak dijawab?" tanyanya lagi membuatku menarik napas dalam."Saum," jawabku singkat."Apa hubungannya, puasa dengan bicara?""Saum bicara," balasku lagi dengan memutar bola mata."Emang ada saum bicara, tapi ngebalas terus dari tadi," kekehnya sembari menatap lurus ke depan. Aku memilih diam tak menjawab lagi."Biar aku tebak," katanya antusias."Gak lagi pengen main tebak-tebakan," protesku"Kamu pas jalan tadi pasti sambil mikirin suami kamu," ujarnya sok tahu banget."Calon mantan suami," ujarku penuh penekanan."Sama aja, kan baru calon berarti masih.""Terserah T
Hari-hariku semakin kacau, kala pulang ke rumah untuk makan siang. Akan tetapi, Nella belum masak sama sekali.Bahkan istriku itu masih betah berlabuh di pulau mimpi dan melukis pulau Kalimantan di sarung bantal.Aku hanya bisa membuang napas kasar, mau marah juga tidak bisa karena sudah bisa ditebak kalau aku akan kalah berdebat sama Nella."Yank! Bangun!" Aku menggoyangkan tubuh Nella yang masih terbungkus selimut itu."Ini udah tengah hari, loh. Udah mau masuk waktu salat Zuhur," ujarku lagi, tetapi Nella tetap bergeming.Saat menyebut salat Zuhur ada yang bergetar di dalam hati. Entah sejak kapan terakhir kali aku melakukan salat. Sudah sangat lama sekali aku tidak melaksanakan kewajibanku sebagai umat yang mengaku beragama muslim.Mungkin aku bisa bisa dinobatkan jadi duta Islam KTP, karena mengaku Islam, tetapi tidak melaksanakan kewajiban.Aku mendadak ingat, Ely. Dia selalu mengingatkan aku untuk salat sambil duduk. Meski aku lebih memilih berbohong dan mengaku sudah mengerjak
"Minggu depan aku akan menikah dengan kekasihku," ucap Nella sambil menatap langit-langit kamar, seolah ada yang membuatnya resah.Lain halnya denganku, aku senang mendengar dia akan menikah. Setidaknya dia tidak memintaku lagi datang kemari, sekedar memuaskan hasratnya.Malam ini aku hanya terpaksa melakukannya karena dia memintaku. Hanya sebagai balas budi ... itu saja. Semenjak mengetahui kalau asetnya juga dipakai oleh bandot tua, aku jadi jijik padanya.Meski kuakui, kalau dia pernah membuatku melayang tinggi ke langit ke tujuh. Tapi, malam ini tidak sama sekali.Aku hanya berusaha membuatnya puas dengan permainanku karena lagi-lagi aku ingin membalas jasanya yang telah membelikanku motor. Meski ngutang, tetapi wanita ini tidak pernah menagih seperti para wanita rentenir."Pakai aja uangnya buat kamu makan sama beli kuota!" ucap Nella menolak setiap aku menyetor upah ngojekku. Itulah yang membuat aku ingin membalas jasanya. Kalau bukan karenanya, mungkin aku sudah hidup gembel di
"Bang Danu! Bangun!" samar kudengar suara seseorang memanggil. Lebih tepatnya membangunkan karena terasa tubuhku terguncang."Hem ... Apaan sih, Ly. Aku masih ngantuk ini!" balasku dengan malas dan kembali merapatkan selimut, dan meringkuk sembari memeluk guling."Kok, Ely sih, Bang! Ini aku Nella," protes seseorang yang langsung membuatku terperanjat karena baru sadar kalau aku sedang di rumah Nella, sahabat istriku yang sudah kunikmati keindahan tubuhnya."Eh ... maaf Nella Sayang. Aku lupa kalau sekarang aku ada di rumahmu. Biasanya kan aku dibangunkan sama Ely," balasku sambil menatap wanita yang kini memasang muka cemberut karena merajuk."Apa kejadian yang semalam kamu juga lupa, Bang?" tanyanya membuat aku kembali panas dingin."Oh, jelas tidaklah. Masa lupa sih, sama permainanmu yang sungguh sangat agresif, tapi aku suka," balasku sambil mengecup pipinya yang memerah dan Nella langsung senyum malu-malu.Ah, wanita. Hanya modal rayuan maut saja, sudah luluh mau diapain juga. It
"Pergi kamu dari sini! Jangan pernah nampakkan wajahmu di depanku. Sekarang aku sudah tidak punya anak sama sekali." Bapak melempar tas berisi pakaian ke hadapanku sembari menyuruhku pergi dari rumahku sendiri.Rumah itu memang dibangun memakai dana dari Bapak, tetapi aku berhak tinggal karena aku anaknya satu-satunya. Eh ... malah mau dijual rumah itu, terus diberikan sama Ely. Padahal yang anaknya itu aku, bukan Ely. Ely itu hanya menantu, menantu itu orang luar yang tidak berhak sama sekali.Aku meraih tas itu, lalu bangkit dan pergi tanpa berpamitan pada Bapak dan Ibu. Kulihat Ibu menangis pilu menatap kepergianku, tetapi tak dapat mencegah karena mungkin tidak berani melawan suaminya yang tua bangka itu.Para tetangga masih saja sibuk menonton drama yang sebenarnya sudah selesai. Begitulah parah tetangga, selalu penasaran dengan masalah orang. Bukan untuk simpatik, melainkan ingin menertawakan.Aku yakin seratus persen kalau mereka sedang menertawakan diriku, bahkan mungkin ada
"Sekarang kamu tidak bisa berbuat apa-apa, Sayang. Karena apa? Karena kamu memang masih begitu sangat sangat mencintaiku." Bang Danu semakin mendekat dan menyeringai menjijikkan."Bismillah." Kuangkat kakiku tinggi-tinggi hingga lututku mendarat di selangkangannya."Auw ... Auw ... Arggggg." Bang Danu spontan memegang benda pusakanya dan menjerit-jerit."Syukurin." Kini giliran aku yang menyeringai sinis padanya."Kalau kamu berpikir aku sangat ingin kembali dengan pria sepertimu, kamu salah. Tidak pernah terlintas dipikiranku sama sekali untuk mengambil apa yang sudah aku muntahkan." Aku berpangku tangan di depan Bang Danu yang masih meringis."Kamu jangan besar kepala dan mengkhayal setinggi langit! Karena, kalau itu jatuh sakit. Aku tekankan sekali lagi, aku tidak butuh suami benalu sepertimu.""Ely, Sayang. Kenapa kamu jadi ganas dan bar-bar begini?" tanyanya dengan sekuat tenaga menahan sakitnya.""Aku benar-benar ingin kembali padamu, Sayang.""Ya, ampun. Siapa yang mau lelaki b
"Maaf ... aku tidak bisa," ucapku pada Nella yang terus saja membujuk agar aku meminta bos untuk menerimanya kembali.Padahal dia tau benar siapa aku, apa posisiku di kantor tidaklah penting. Siapa aku yang harus meminta dengan Tuan Adnan ini dan itu.Beliau sudah banyak membantu dan rasanya aku tidak punya muka lagi jika harus meminta bantuan lagi.Bukan aku egois, bukan pula aku marah pada Nella, bukan. Hanya saja, aku benar-benar tidak bisa membantu untuk saat ini."Jadi kamu betul-betul tidak mau membantuku?" tanya Nella dengan tatapan tajam.Aku mengangguk perlahan. "Maaf, Nella.""Ternyata aku salah memanggilmu ke sini. Aku salah karena menganggap kamu itu baik, aku pikir kamu masih Ely yang dulu, sahabatku yang selalu peduli sama semua orang. Sahabat yang selalu menolong orang tanpa pamrih," ujar Nella tampak geram."Aku masih Ely yang dulu, Nel," balasku menatapnya dengan senyuman."Bukan! Kamu bukan Ely yang dulu. Kamu sudah berubah El," ujarnya sengit."Bukan aku yang beruba
"Dek! Gak usah jemput Kakak ya! Soalnya kakak lagi ada urusan dulu sama teman. Kak Ely titip Naifa ya!" pintaku pada Amran melalui percakapan di ponsel sambil berjalan ke luar dari kantor.Hari ini adalah hari pertamanya kerja sebagai mandor di pabrik yang pernah menjadi tempatku berkerja sehari-hari.Karena motor hanya satu terpaksa Amran yang membawa motor itu dan demi alasan keamanan, adikku dengan senang hati mengantar jemput aku setiap hari.Karena semalam, Nella terus memohon untuk ditemui, dengan terpaksa juga aku harus menemuinya.Hati nurani telah mengalahkan logikaku. Harusnya aku menolak tegas karena sudah jelas, Nella selalu ingin memanfaatkan aku saja.Selama ini dia baik dan memperingatkanku untuk menyelidiki suamiku, hanya untuk kepentingannya sendiri. Bukan demi kebaikanku.Sepulang dari kantor baru sempat mengabarkan pada adikku itu karena aku terlalu sibuk dalam kerjaan seharian ini. Tuan Adnan banyak jadwal meeting dan aku tidak boleh lengah dan salah saat bekerja.
"Alyera! Kamu tidak kenapa-kenapa?" tanya pria itu mendadak panik dan hendak menyentuhku, tetapi mungkin ia mengingat teguranku selama ini agar tidak ada kontak fisik membuat ia urung melakukan dan menarik kembali tangannya."Kamu baik-baik saja?" tanyanya sekali lagi membuatku menggeleng pelan tanpa membalas ucapannya. Aku sangat sok dengan kejadian ini sehingga aku mendadak bungkam."Ada yang sakit? Atau Daffa berbuat apa sama kamu?" Lagi-lagi pria cambang ini bertanya.Baru hendak membuka mulut untuk menjawab tiba-tiba aku menangkap dari ekor mataku kalau Daffa hendak melayangkan tendangan pada Tuan Adnan."Awas Tuan," teriakku lantang dan langsung memeluk Tuan Adnan sambil memutar tubuhnya, sehingga tendangan Daffa langsung mendarat di tubuhku."ALYERA ...," pekik Tuan Adnan saat kami berjatuhan di lantai karena aku menjadi tameng untuknya.Sesaat aku melupakan sakit yang diterima tubuhku karena pukulan pria brengsek itu. Aku malah terpana pada sorot mata elang Tuan Adnan yang tib