Aku berdiri di ambang pintu kamar, sambil menyandar di kusen pintu dengan mata yang fokus menatap suamiku yang tak bosan-bosannya memainkan ponsel.
Aku melirik jam di dinding yang sudah menunjuk angka sepuluh, itu artinya sudah hampir tengah malam. Namun Bang Danu masih bergeming di depan TV yang sejak tadi siarannya tak dihiraukan olehnya.
Aku mengembuskan napas berat, seberat beban yang aku tanggung selama ini, tetapi tak pernah terasa sama sekali karena aku selalu berlapang dada.
Namun, kali ini dadaku rasanya sesak memikirkan kejanggalan yang terjadi belakangan ini.
Tanpa sadar, bulir bening menetes di pelupuk mata. Aku mengelapnya pelan lalu melangkah ke kamar Naifa untuk memastikan kalau putri kesayanganku sudah tidur.
Setelah memastikan, kalau Naifa sudah tidur.
Aku kembali melangkah ke ruang nonton TV dan menemui Bang Danu untuk mengabarkan kalau esok pagi aku akan mengantarnya ke rumah sakit untuk periksa kesehatan kakinya.
"Bang ... besok pagi jangan lupa awal bangun! Kita akan ke rumah sakit untuk cek kaki, Abang," kataku saat duduk di atas karpet berhadapan langsung dengan suamiku yang lebih tinggi karena duduk di kursi rodanya.
Bang Danu yang tadinya, fokus dengan game di ponsel pintarnya langsung menatapku dengan tatapan yang sulit aku pahami. Ada raut kaget di sana.
"Kok, dadakan banget, Dek? Aku belum ada persiapan apa-apa, loh," protesnya, yang langsung membuat alisku terangkat.
"Persiapan apaan sih, Bang? Kamu hanya perlu siapkan badan doang, itu aja, kok, dibikin ribet," omelku karena merasa aneh dengan ucapannya itu.
"Bu-bukan itu, maksudnya ... aku belum ngasih tau ke Ibu, kalau besok akan ke rumah sakit. Biasanya kan Ibu ...."
"Kan ada aku, Bang. Besok aku yang akan antar kamu periksa," potongku cepat karena aku tahu kalau suamiku itu mau bilang kalau ibunya yang selalu mengantarkan ia periksa.
"Tapi, Dek ...."
"Gak ada tapi-tapian, Bang. Besok aku akan minta cuti khusus untuk kamu, jadi gak usah khawatir!" tekanku.
"Tidak bisa gitu, dong, Dek. Masa cuman gara-gara aku, terus kamu main cuti aja. Nanti, gaji kamu akan berkurang, dong."
Aku tersentak mendengarkan ucapan Bang Danu. Apa tadi? Gaji? Setakut itu ia dengan gajiku jika berkurang daripada dengan keadaan dirinya sendiri? Atau ....
Pikiranku langsung teringat pada Nella yang menyuruhku untuk menaruh curiga pada Bang Danu. Lalu tadi siang, Nella juga memberi alasan yang sama kalau ia datang ke rumah untuk menginterogasi Bang Danu secara langsung untuk mengakui kalau ia adalah pria di restoran itu.
"Kamu, sih, keburu datang ... gagal deh rencanaku untuk tahu jawaban suamimu," omel Nella tadi siang saat aku mencurigainya.
"Emangnya kenapa kalau aku datang? Kan, malah bagus, aku bisa langsung tahu, juga," kataku lalu menoleh ke belakang, melihat situasi apakah suamiku menyusul ke mari atau tidak.
"Tapi, gak gitu, juga kali. Kalau kamu ada ... mana mau dia ngaku. Kalau dia mau kasi tahu kamu, ya udah dari kemarin-kemarin kali," imbuhnya
"Terus aku harus, apa?" tanyaku karena merasa buntu dan merasa ucapan Nella semuanya benar dan aku yang salah.
"Ya ... seperti perkataan aku sebelumnya, kamu selidiki diam-diam."
Itulah perbincangan terakhir Nella sebelum pulang, tadi siang.
Aku menghela napas pelan lalu berucap," Pokoknya besok pagi, Abang harus tetap pergi periksa," tegasku pada Bang Danu yang terdengar berdecak sebal. Namun aku mengabaikan itu.
Aku harus mulai dari pemeriksaan kaki Bang Danu untuk melihat hasilnya lebih jelas, daripada hanya menduga-duga saja, tetapi tak ada bukti.
Aku terbangun di jam tiga dini hari, untuk mengecek ponsel suamiku yang ia letakkan di atas nakas.
Bukankah, benda pertama yang seorang istri periksa saat mencurigai suaminya adalah telepon genggam? Maka itu pula yang kulakukan saat ini. Untungnya HP milik suamiku tak pernah ia kunci.
Aku menatap layar pipih milik suamiku dengan serius. Namun, aku sangat heran saat satu persatu aplikasinya aku periksa, termasuk aplikasi hijau, biru, pink dan segala penyimpanannya tak luput dari pemeriksaan.
Ini sangat aneh menurutku, karena HP Bang Danu benar-benar bersih seolah gak aktivitas di dalamnya. Padahal setiap mata ini menatap Bang Danu, pasti ia sedang bermain ponsel.
Lalu apa ini? Kuperiksa kembali pesan masuknya juga pesan WAnya guna memastikan kalau benar-benar gak ada isinya sama sekali.
Nihil.
Harusnya aku lega, karena gak ada pesan aneh dan nyeleneh yang bisa bikin seorang istri naik pitam.
Ini tidak berlaku denganku, justru aku malah semakin curiga. Jika aplikasi pesan sebersih ini berarti Bang Danu sengaja menghapus semuanya sebelum tidur dan bisa saja ada sesuatu di dalamnya sehingga ia hapus.
Mungkin itu alasannya gak mengunci ponselnya, karena ia yakin sudah dibersihkan semuanya.
Tapi, bukan Alyera namaku kalau aku putus asa.
Setiap rahasia pasti akan ketahuan. Tinggal tunggu waktu yang tepat saja.
Aku teringat kalau pesan yang kita hapus bisa dilihat lagi di kotak sampah. Aku coba otak-atik ponsel suamiku dengan harap cemas. Berharap ada sampah yang belum suamiku hapus, juga cemas karena takut Bang Danu tiba-tiba bangun.
Mataku memicing menatap sebuah obrolan yang belum suamiku bersihkan dari tempat sampah.
Aku membaca dengan seksama pesan dari sesenomor yang tak diberi nama olehnya.
Dadaku kembang-kempis setelah membaca beberapa pesan.
Aku menoleh ke arah pria yang sedang tidur pulas dan mendengkur. Ingin rasanya aku mencekik lehernya biar dia langsung koit.
Tapi urung kulakukan. Aku tak ingin masuk bui cuman gara-gara lelaki yang gak tahu diuntung ini.
Aku kembali membaca pesan selanjutnya dan hatiku rasanya memanas.
Kuremas ponsel suamiku hingga layarnya retak.
Rasanya aku ingin meremas jantungnya juga agar ia sadar kalau aku sedang murka. Tapi cepat aku kendalikan amarah ini, sebelum aku bertindak bar-bar.
Hati siapa yang tak sakit? Perasaan siapa yang tak hancur saat mendapatkan suami yang ia sayang, suami yang ia rawat selama ini ternyata main serong?
Aku jatuh terduduk di lantai. Butiran kristal yang sejak tadi berdesakan ingin keluar dari iris mata akhirnya lolos juga melewati pipiku. Sekuat tenaga aku menahan diri ini, jangan sampai aku tersedu-sedu dan membuat Bang Danu terbangun.
Ah ... aku memang payah. Bahkan aku masih memikirkan dirinya yang bisa-bisa tidurnya terganggu olehku. Padahal orang yang selalu kupikirkan belum tentu memikirkan perasaanku.
Segera kuhapus kasar air mata ini, agar tak berlarut-larut dalam kesedihan ini. Aku harus menyimpan bukti ini.
Aku mengambil ponselku, memotret bukti pesan para pengkhianat ini. Mana tahu aku membutuhkannya suatu saat nanti.
Setelah itu, aku ke layar utama, lalu menyimpan HP Bang Danu di bawah tepatnya di samping nakas. Seolah ponsel itu jatuh karena Bang Danu gak sengaja menyenggolnya dan layarnya retak.
Kemudian, aku keluar kamar dan menuju dapur.
Segelas
Dua gelas
Tiga gelas
Empat gelas
Lima gelas air putih tandas di tenggorokan.
Napas pun naik turun karena sesak rasanya, mengingat nasib ini yang mungkin kurang beruntung
Astaghfirullah Al-azim
Aku segera beristigfar. Takut Allah akan murka jika aku mengeluhkan nasib diriku.
Bukankah setiap ujian sesuai kemampuan hamba-Nya?
Berarti aku mampu melewati ujian ini, dan bukti kasih sayang-Nya padaku yaitu melalui petunjuk-Nya.
Saat kembali ke kamar, aku kesusahan untuk tidur. Daripada aku termenung seorang diri lebih baik aku segera salat Tahajud.
Selesai salat, aku lanjutkan dengan membaca surah pendek hingga waktu salat Subuh tiba.
Setelah salah Subuh, aku ke dapur dan segera menyibukkan diri dengan semua peralatan dapur.
Hingga waktu terus bergulir dan tanpa sadar kalau Bang Danu sudah bangun dan menghampiriku di dapur.
"Dek ..."
"Iya, Bang," sahutku lalu menoleh sekilas menatap suamiku yang setia duduk di kursi rodanya tapi cintanya yang tak setia.
Aku melempar senyum termanisku seperti biasa. Seolah-olah tak terjadi apa-apa dengan hatiku.
Padahal nyatanya, hatiku sedang menangis.
"Adek, tau gak kenapa HP-ku tiba-tiba retak begini." Bang Danu memperlihatkan ponselnya yang retak sedikit, tetapi wajah paniknya bukan main.
Bagaimana dengan hatiku, Bang? Hatiku retak seribu karenamu.
Ingin rasanya aku mengatakan isi hatiku padanya. Namun, urung kulakukan karena aku belum punya cukup bukti.
Aku pasang muka prihatin, lalu berucap," Loh, kok bisa sih, Hp-nya kayak gini, Bang. Aku baru tahu, loh."
"Entahlah, Dek." Bang Danu mengembuskan napas kasar.
"Kirain, kamu tau," lanjutnya menuduhku.
"Abang nuduh, aku. Mana mungkin aku bisa melakukannya. HP itu kan di atas nakas sebelahmu. Bisa saja, kamu yang tak sengaja menyenggolnya dengan tangan lalu jatuh," kelitku lalu memasang wajah merajuk
"Bukan nuduh kamu, Dek. Cuman nanya kirain kamu tau, gitu," elaknya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Kan, aku udah bilang. Kalau aku baru tau sekarang, tetapi kamu masih nanya. Seolah aku yang buat HP itu retak," omelku tak mau kalah.
Meski memang aku pelakunya. Tapi, aku tak mungkin sebodoh itu mau mengaku, karena aku tak mau dia curiga kalau aku habis otak-atik ponselnya.
"Maafkan aku, Dek! Abang gak ada maksud begitu." Bang Danu meraih kedua tanganku namun aku langsung meringis.
Ah ... sial.
Bang Danu menyentuh luka di tangan yang sudah kuplester.
"Dek ... tanganmu kenapa?"
"Ng-nggak kenapa-kenapa kok, Bang. Ta-tadi terkena ... pecahan piring ... ya, pecahan piring, " kataku terbata tapi berusaha meyakinkan.
Bang Danu seolah kurang percaya karena aku terlihat gugup. Namun, aku terselamatkan oleh suara salam seseorang.
Tapi siapa yang bertamu pagi-pagi begini?
Dari suaranya sangat tak asing buatku.
Sebelum ke luar, ku tatap Bang Danu meminta penjelasannya.
Bersambung ...
Namaku Danu Jaya, Jaya adalah nama Bapak dan Farida--ibuku. Alhamdulillah kedua orang tuaku masih ada dan masih sehat.Hanya saja, Bapak tidak terlalu suka padaku karena menurutnya aku anak pemalas. Hanya Ibu yang selalu menyayangi dan mendukung setiap langkahku."Kamu itu sudah menikah, sudah punya anak dan istri, tapi masih saja malas kerja! Kapan kamu dewasa, Danu? Mau kamu kasi makan apa anak orang, hah?" omel Bapak setiap aku datang ke rumahnya untuk minta uang buat beli rokok waktu itu."Makan nasi lah, Pak," balasku sambil mengisap rokok yang baru saja kuambil darinya dan berusaha tak ambil pusing dengan ocehannya yang sudah seperti buruh beo.Bapak memukul kepalaku dengan pecinya sambil terus memarahiku. "Kamu pikir, nasi itu bisa datang dengan sendirinya ke rumahmu! Kamu pikir anak orang mau cuman dikasi makan nasi saja tanpa lauk dan sayur!""Sudah ... sudah, Pak. Jangan memarahi Danu terus-menerus, Pak, yang ada dia makin buntu nanti otaknya. Kasihan anak kita, Pak." Ibu da
Siang itu sahabat istriku datang ke rumah dan menanyakan banyak hal padaku. Hanya saja, aku pura-pura bodoh dan tak mau menjawab sama sekali. Bahkan kata si Nella ini, dia pernah melihatku di restoran bersama kekasih gelapku, tetapi ia berjanji tidak akan memberitahu istriku kalau aku mau bekerja sama dengannya. Tentu saja aku menolak kerja sama dengannya, karena gak menguntungkan sama sekali buatku, bahkan bisa merugikan aku juga. Ibarat makan buah simalakama aku akan sama-sama dirugikan. Dia mengancam bahkan menyuruhku untuk jujur pada Ely bahwa aku hanya pura-pura lumpuh karena aku tak mau kerja sama dengannya. Pada saat itu hampir saja Ely mendengar ocehan si muka dua ini. Aku dan Nella sama-sama terkejut karena aku takut Ely curiga padaku dan Nella juga takut kalau Ely mendengar apa rencana kerja samanya sebenarnya. Rasanya jantungku bekerja begitu cepat saat itu juga dan hampir saja aku berpindah alam. Syukur aku gak ada riwayat penyakit jantungan. Aku berusaha menormalk
POV Alyera"Apa-apaan ini, Bang?!"Aku menghampiri Bang Danu yang terlihat kaget dengan kedatanganku. Apalagi dia melihat kali ini wajahku tampak tak bersahabat.Siapa yang tak marah, saat melihat anaknya di suruh angkat air dari rumah tetangga. Rasanya kepalaku sudah mengeluarkan asap saat ini juga.Bukan karena tak ingin anakku di suruh-suruh, tetapi ada alasan lain di balik kemarahanku ini."D-dek ... se-sejak kapan di situ?" tanya Bang Danu gugup.Aku mengabaikan pertanyaannya. Tatapanku beralih pada Naifa yang sudah ke luar dari WC. Aku mendekat ke arah putriku lalu mengusap kepalanya."Naifa main dulu, ya! Soalnya Mama dan Papa mau ngobrol sesuatu hal yang sangat penting!" titahku pada gadis kecilku
Hati siapa yang tak hancur saat mengetahui kebohongan demi kebohongan pria yang sangat dicintai, yang sangat disayangi dan sangat kita perjuangkan masa depannya.Sakit ... sungguh sakit dan sesak dada ini jika mengingat segala perjuangan dan kerja keras yang kulakukan selama ini, tetapi apa balasannya? Kebohongan dan pengkhianatan.Sekuat tenaga aku menahan diri ini agar tak tumbang saat ini juga."Dek ...."Bang Danu membuyarkan lamunanku saat ia meraih tanganku."Jangan menyentuhku!" bentakku saat lagi-lagi tangan Bang Danu, kutepis dengan kasar."Maafkan Abang, Dek!" mohonnya dengan wajah memelas."Ceraikan aku saat ini juga, Bang!" Pintaku dengan tegas.Hanya ini jalan satu-sat
Setelah kepergian Alyera, Danu merasa frustrasi sekali. Ia meremas rambutnya dengan kasar, meninju dinding, dan menendang apa saja yang menghalangi jalannya.Ia emosi bukan karena kehilangan cintanya. Akan tetapi ia emosi karena kehilangan ATM berjalan yang ia punya.Pria itu belum benar-benar menyesali perbuatannya. Bahkan ia merasa apa yang ia lakukan masih bisa di maafkan dan diberi kesempatan kedua.Ia melampiaskan amarahnya dengan mengacak-acak semua barang yang ada di rumah itu. Sekali menggeser barang yang ada di atas nakas dengan tangan maka berjatuhan semua barang-barang.Suara pecahan kaca pun bersahutan.Ia bingung bagaimana caranya agar membujuk istrinya untuk kembali.Terpaksa ia menghubungi ibunya untuk membantu membujuk menantunya yang telah pergi entah ke mana.Alyera, istri yang sangat patuh pada suami. Namun, dibohongi selama dua tahun lebih lamanya, itu bukanlah hal yang harus dianggap sepele.Ini menyangkut sebuah hati yang retak, kekecewaan terdalam akan sebuah ra
POV AlyeraAku mundur perlahan sambil membekap mulut ini agar tak mengeluarkan suara agar tak ketahuan oleh sepasang insan yang tengah memadu kasih dalam ikatan tanpa pernikahan.Aku menggeleng tak menyangka kalau sahabatku yang selalu jadi tempat curhatku kelakuannya seperti ini.Bahkan di tengah-tengah rintihan kenikmatan yang ia lakukan, masih sempat ia menyebut-nyebut namaku.Aku tak menyangka kalau gadis berambut sebahu itu adalah wanita hina dan murahan. Rela melakukan apapun demi mencapai tujuannya.Setelah berhasil keluar dari rumah Nella, aku segera menghampiri putriku."Maafkan, Mama Nak, kalau tadi kelamaan di dalam. Yuk berangkat," kataku sambil memperbaiki tempat duduk Naifa lalu aku pun naik di motor dan menghidupkannya.
11.Aku menatap pria itu dari bawah sampai atas, pakaian yang ia kenakan termasuk pakaian termahal karena aku tahu jenis bahannya meski kuliat dari kejauhan.Tatapan matanya sangat tajam seolah ia ingin menelanku hidup-hidup.Ya Allah cobaan apalagi ini, kenapa aku harus mendapatkan musibah di saat-saat seperti ini.Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga pula, mengesedih.Di saat pikiran sedang kacau karena urusan rumah tangga, sekarang aku harus berhadapan dengan manusia arogan karena tak sengaja menabrak mobilnya.Aku yakin sekali, kalau biaya perbaikan mobilnya pasti sangat mahal. Gajiku sebulan pun pasti tidak akan cukup.Aku menghela napas panjang karena harus dipertemukan dengan pria berwajah bengis seperti dia.Eh ... ngomong-ngomong soal wajah dan suara sepertinya saya pernah melihat dan mendengar suaranya.Tapi di mana? Aku memutar-mutar bola mata agar bisa mengingat pria itu.Astaga ... lidahku langsung k
Aku langsung berbalik meninggalkan pria arogan itu dengan wajah masam dan beribu tanya.Kira-kira imbalan apa yang akan dia minta padaku. Awas aja kalau dia minta aneh-aneh dan melampaui batas.Aku terus ngedumel sepanjang jalan menuju ruang kerjaku setelah menekan ID di mesin pendeteksi kehadiran yang ada di depan. Aku mengabaikan tatapan aneh para pekerja lain yang sudah mulai bekerja di tempat masing-masing, sedangkan aku baru saja tiba di jam segini.Aku melangkah masuk ke ruang kerja sambil mengembuskan napas panjang dan mempersiapkan diri untuk kena teguran atasan."Kak Ely, Supervisor memanggil kakak ke ruangannya!" kata Ani menyampaikan pesan dari Pak Heri."Sekarang banget, An?""Iya, Kak.""Tolong sampaikan sama Pak Heri ya, tunggu sebentar soalnya aku mau ke toilet dulu," kataku pada Ani yang mengangguk pelan.&nbs
POV Alyera "Kamu ngapain, jalan sambil nunduk? Mikirin apa? Kamu beruntung karena aku datang tepat waktu kalau tidak ... mungkin jidatmu sudah selebar tiang tadi," katanya sambil bertanya, disertai dengan sindiran serta kekehan.Aku memilih memalingkan wajah ke luar jendela menatap pohon yang masih terkena cahaya langit yang mulai redup berganti cahaya malam.Ucapan pria cambang ini benar-benar bikin jengkel, asli."Kok, gak dijawab?" tanyanya lagi membuatku menarik napas dalam."Saum," jawabku singkat."Apa hubungannya, puasa dengan bicara?""Saum bicara," balasku lagi dengan memutar bola mata."Emang ada saum bicara, tapi ngebalas terus dari tadi," kekehnya sembari menatap lurus ke depan. Aku memilih diam tak menjawab lagi."Biar aku tebak," katanya antusias."Gak lagi pengen main tebak-tebakan," protesku"Kamu pas jalan tadi pasti sambil mikirin suami kamu," ujarnya sok tahu banget."Calon mantan suami," ujarku penuh penekanan."Sama aja, kan baru calon berarti masih.""Terserah T
Hari-hariku semakin kacau, kala pulang ke rumah untuk makan siang. Akan tetapi, Nella belum masak sama sekali.Bahkan istriku itu masih betah berlabuh di pulau mimpi dan melukis pulau Kalimantan di sarung bantal.Aku hanya bisa membuang napas kasar, mau marah juga tidak bisa karena sudah bisa ditebak kalau aku akan kalah berdebat sama Nella."Yank! Bangun!" Aku menggoyangkan tubuh Nella yang masih terbungkus selimut itu."Ini udah tengah hari, loh. Udah mau masuk waktu salat Zuhur," ujarku lagi, tetapi Nella tetap bergeming.Saat menyebut salat Zuhur ada yang bergetar di dalam hati. Entah sejak kapan terakhir kali aku melakukan salat. Sudah sangat lama sekali aku tidak melaksanakan kewajibanku sebagai umat yang mengaku beragama muslim.Mungkin aku bisa bisa dinobatkan jadi duta Islam KTP, karena mengaku Islam, tetapi tidak melaksanakan kewajiban.Aku mendadak ingat, Ely. Dia selalu mengingatkan aku untuk salat sambil duduk. Meski aku lebih memilih berbohong dan mengaku sudah mengerjak
"Minggu depan aku akan menikah dengan kekasihku," ucap Nella sambil menatap langit-langit kamar, seolah ada yang membuatnya resah.Lain halnya denganku, aku senang mendengar dia akan menikah. Setidaknya dia tidak memintaku lagi datang kemari, sekedar memuaskan hasratnya.Malam ini aku hanya terpaksa melakukannya karena dia memintaku. Hanya sebagai balas budi ... itu saja. Semenjak mengetahui kalau asetnya juga dipakai oleh bandot tua, aku jadi jijik padanya.Meski kuakui, kalau dia pernah membuatku melayang tinggi ke langit ke tujuh. Tapi, malam ini tidak sama sekali.Aku hanya berusaha membuatnya puas dengan permainanku karena lagi-lagi aku ingin membalas jasanya yang telah membelikanku motor. Meski ngutang, tetapi wanita ini tidak pernah menagih seperti para wanita rentenir."Pakai aja uangnya buat kamu makan sama beli kuota!" ucap Nella menolak setiap aku menyetor upah ngojekku. Itulah yang membuat aku ingin membalas jasanya. Kalau bukan karenanya, mungkin aku sudah hidup gembel di
"Bang Danu! Bangun!" samar kudengar suara seseorang memanggil. Lebih tepatnya membangunkan karena terasa tubuhku terguncang."Hem ... Apaan sih, Ly. Aku masih ngantuk ini!" balasku dengan malas dan kembali merapatkan selimut, dan meringkuk sembari memeluk guling."Kok, Ely sih, Bang! Ini aku Nella," protes seseorang yang langsung membuatku terperanjat karena baru sadar kalau aku sedang di rumah Nella, sahabat istriku yang sudah kunikmati keindahan tubuhnya."Eh ... maaf Nella Sayang. Aku lupa kalau sekarang aku ada di rumahmu. Biasanya kan aku dibangunkan sama Ely," balasku sambil menatap wanita yang kini memasang muka cemberut karena merajuk."Apa kejadian yang semalam kamu juga lupa, Bang?" tanyanya membuat aku kembali panas dingin."Oh, jelas tidaklah. Masa lupa sih, sama permainanmu yang sungguh sangat agresif, tapi aku suka," balasku sambil mengecup pipinya yang memerah dan Nella langsung senyum malu-malu.Ah, wanita. Hanya modal rayuan maut saja, sudah luluh mau diapain juga. It
"Pergi kamu dari sini! Jangan pernah nampakkan wajahmu di depanku. Sekarang aku sudah tidak punya anak sama sekali." Bapak melempar tas berisi pakaian ke hadapanku sembari menyuruhku pergi dari rumahku sendiri.Rumah itu memang dibangun memakai dana dari Bapak, tetapi aku berhak tinggal karena aku anaknya satu-satunya. Eh ... malah mau dijual rumah itu, terus diberikan sama Ely. Padahal yang anaknya itu aku, bukan Ely. Ely itu hanya menantu, menantu itu orang luar yang tidak berhak sama sekali.Aku meraih tas itu, lalu bangkit dan pergi tanpa berpamitan pada Bapak dan Ibu. Kulihat Ibu menangis pilu menatap kepergianku, tetapi tak dapat mencegah karena mungkin tidak berani melawan suaminya yang tua bangka itu.Para tetangga masih saja sibuk menonton drama yang sebenarnya sudah selesai. Begitulah parah tetangga, selalu penasaran dengan masalah orang. Bukan untuk simpatik, melainkan ingin menertawakan.Aku yakin seratus persen kalau mereka sedang menertawakan diriku, bahkan mungkin ada
"Sekarang kamu tidak bisa berbuat apa-apa, Sayang. Karena apa? Karena kamu memang masih begitu sangat sangat mencintaiku." Bang Danu semakin mendekat dan menyeringai menjijikkan."Bismillah." Kuangkat kakiku tinggi-tinggi hingga lututku mendarat di selangkangannya."Auw ... Auw ... Arggggg." Bang Danu spontan memegang benda pusakanya dan menjerit-jerit."Syukurin." Kini giliran aku yang menyeringai sinis padanya."Kalau kamu berpikir aku sangat ingin kembali dengan pria sepertimu, kamu salah. Tidak pernah terlintas dipikiranku sama sekali untuk mengambil apa yang sudah aku muntahkan." Aku berpangku tangan di depan Bang Danu yang masih meringis."Kamu jangan besar kepala dan mengkhayal setinggi langit! Karena, kalau itu jatuh sakit. Aku tekankan sekali lagi, aku tidak butuh suami benalu sepertimu.""Ely, Sayang. Kenapa kamu jadi ganas dan bar-bar begini?" tanyanya dengan sekuat tenaga menahan sakitnya.""Aku benar-benar ingin kembali padamu, Sayang.""Ya, ampun. Siapa yang mau lelaki b
"Maaf ... aku tidak bisa," ucapku pada Nella yang terus saja membujuk agar aku meminta bos untuk menerimanya kembali.Padahal dia tau benar siapa aku, apa posisiku di kantor tidaklah penting. Siapa aku yang harus meminta dengan Tuan Adnan ini dan itu.Beliau sudah banyak membantu dan rasanya aku tidak punya muka lagi jika harus meminta bantuan lagi.Bukan aku egois, bukan pula aku marah pada Nella, bukan. Hanya saja, aku benar-benar tidak bisa membantu untuk saat ini."Jadi kamu betul-betul tidak mau membantuku?" tanya Nella dengan tatapan tajam.Aku mengangguk perlahan. "Maaf, Nella.""Ternyata aku salah memanggilmu ke sini. Aku salah karena menganggap kamu itu baik, aku pikir kamu masih Ely yang dulu, sahabatku yang selalu peduli sama semua orang. Sahabat yang selalu menolong orang tanpa pamrih," ujar Nella tampak geram."Aku masih Ely yang dulu, Nel," balasku menatapnya dengan senyuman."Bukan! Kamu bukan Ely yang dulu. Kamu sudah berubah El," ujarnya sengit."Bukan aku yang beruba
"Dek! Gak usah jemput Kakak ya! Soalnya kakak lagi ada urusan dulu sama teman. Kak Ely titip Naifa ya!" pintaku pada Amran melalui percakapan di ponsel sambil berjalan ke luar dari kantor.Hari ini adalah hari pertamanya kerja sebagai mandor di pabrik yang pernah menjadi tempatku berkerja sehari-hari.Karena motor hanya satu terpaksa Amran yang membawa motor itu dan demi alasan keamanan, adikku dengan senang hati mengantar jemput aku setiap hari.Karena semalam, Nella terus memohon untuk ditemui, dengan terpaksa juga aku harus menemuinya.Hati nurani telah mengalahkan logikaku. Harusnya aku menolak tegas karena sudah jelas, Nella selalu ingin memanfaatkan aku saja.Selama ini dia baik dan memperingatkanku untuk menyelidiki suamiku, hanya untuk kepentingannya sendiri. Bukan demi kebaikanku.Sepulang dari kantor baru sempat mengabarkan pada adikku itu karena aku terlalu sibuk dalam kerjaan seharian ini. Tuan Adnan banyak jadwal meeting dan aku tidak boleh lengah dan salah saat bekerja.
"Alyera! Kamu tidak kenapa-kenapa?" tanya pria itu mendadak panik dan hendak menyentuhku, tetapi mungkin ia mengingat teguranku selama ini agar tidak ada kontak fisik membuat ia urung melakukan dan menarik kembali tangannya."Kamu baik-baik saja?" tanyanya sekali lagi membuatku menggeleng pelan tanpa membalas ucapannya. Aku sangat sok dengan kejadian ini sehingga aku mendadak bungkam."Ada yang sakit? Atau Daffa berbuat apa sama kamu?" Lagi-lagi pria cambang ini bertanya.Baru hendak membuka mulut untuk menjawab tiba-tiba aku menangkap dari ekor mataku kalau Daffa hendak melayangkan tendangan pada Tuan Adnan."Awas Tuan," teriakku lantang dan langsung memeluk Tuan Adnan sambil memutar tubuhnya, sehingga tendangan Daffa langsung mendarat di tubuhku."ALYERA ...," pekik Tuan Adnan saat kami berjatuhan di lantai karena aku menjadi tameng untuknya.Sesaat aku melupakan sakit yang diterima tubuhku karena pukulan pria brengsek itu. Aku malah terpana pada sorot mata elang Tuan Adnan yang tib