Namaku Danu Jaya, Jaya adalah nama Bapak dan Farida--ibuku. Alhamdulillah kedua orang tuaku masih ada dan masih sehat.
Hanya saja, Bapak tidak terlalu suka padaku karena menurutnya aku anak pemalas. Hanya Ibu yang selalu menyayangi dan mendukung setiap langkahku.
"Kamu itu sudah menikah, sudah punya anak dan istri, tapi masih saja malas kerja! Kapan kamu dewasa, Danu? Mau kamu kasi makan apa anak orang, hah?" omel Bapak setiap aku datang ke rumahnya untuk minta uang buat beli rokok waktu itu.
"Makan nasi lah, Pak," balasku sambil mengisap rokok yang baru saja kuambil darinya dan berusaha tak ambil pusing dengan ocehannya yang sudah seperti buruh beo.
Bapak memukul kepalaku dengan pecinya sambil terus memarahiku. "Kamu pikir, nasi itu bisa datang dengan sendirinya ke rumahmu! Kamu pikir anak orang mau cuman dikasi makan nasi saja tanpa lauk dan sayur!"
"Sudah ... sudah, Pak. Jangan memarahi Danu terus-menerus, Pak, yang ada dia makin buntu nanti otaknya. Kasihan anak kita, Pak." Ibu datang melerai bapak yang hampir memukulku lagi.
Begitulah ibuku, selalu saja membelaku setiap bapak marah-marah tidak jelas begitu. Itulah bukti kasih sayang ibuku.
"Belain aja terus, Bu! Belain anak ibu yang manja itu. Udah berjanggut sana-sini, udah ngambil anak orang tapi gak ada inisiatif mau kerja. Malu aku, Bu sama besan kita. Anak kita sudah menggantikan tanggung jawab orang tuanya untuk menafkahi Ely, tapi anak kita malah begini. Rokok pun minta ke sini!"
Bapak selalu bawa-bawa mertuaku yang ada di kampung. Padahal keluarga Ely tidak pernah ikut campur masalah rumah tangga anaknya.
Cukup mereka tahu keadaan anaknya yang sehat dan masih bernapas, ya ... Alhamdulillah bagi mereka.
Kadang sesekali datang ke kota untuk menjenguk istriku, sambil membawa buah tangan dari kampung juga kadang amplop yang ia selipkan di tangan istriku tanpa banyak oceh kayak Bapak.
Ini kejadian saat putriku masih bayi dan memang saat itu aku gak dapat kerjaan sama sekali, karena cape mendengar Bapak marah-marah terus tiap hari, makanya aku kerja serabutan yang penting ada buat beli rokok.
Rokok yang penting lebih dulu, buat makan belakangan lagi pula istriku juga bekerja di rumah. Penghasilannya menjahit juga lumayan buat beli beras dan kawan-kawannya.
Sekarang aku sudah gak cape dan pusing lagi memikirkan itu semua, karena aku sudah bahagia sekali saat ini.
Aku akan menceritakan bagaimana definisi orang bahagia versiku. Punya istri cantik, baik, penurut, pekerja, keras dan berbakti itulah kunci kebahagiaanku, di tambah anak perempuan yang cantik dan juga bisa diandalkan adalah pelengkap kebahagiaan ini.
Setiap hari kerjaanku hanya duduk, baring, makan enak, dan main game OL. Aku tak perlu susah-susah memikirkan pekerjaan yang menurutku sangat susah dicari. Tak perlu memikirkan bagaimana caranya mencari uang agar bisa disulap jadi makanan.
Semua pekerjaan sudah di handle oleh Alyera--istriku, gadis manis yang kunikahi delapan tahun yang lalu.
Aku hanya perlu menikmati hasilnya dan ia yang akan panen pahalanya. Bukankah membantu suami mencari rezeki adalah ladang pahala untuk istri?
Nah ... itu dia, aku sedang membantu istriku untuk mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya dengan cara berbakti pada suami.
Makanya selama 2 tahun lebih aku pura-pura lumpuh dan Ely percaya tanpa banyak curiga sama sekali.
Aku hanya perlu memberikan nafkah batin saja, itupun kadang dia yang harus bersusah payah melakukannya, aku hanya tinggal terima enaknya saja. 'Kan aku lumpuh, mana bisa bergerak bebas.
Istriku itu memang polos dan terlalu cinta padaku sehingga sanggup melakukan apa pun demi aku. Itulah cinta yang kadang beda tipis dengan kebodohan dan orang-orang menyebutnya bu-cin.
Pikiranku melanglang buana pada kejadian sebelum aku seperti ini. Awal mulanya aku frustrasi karena baru saja dipecat oleh mandor bangunan di tempat aku bekerja sebagai buruh.
"Kamu enak-enakan tidur di sini, sementara yang lain sibuk kerja. Kalau kamu masih ngantuk pulang sana dan tidur sepuasnya! Aku gak butuh pekerja malas kayak kamu!" hardik mandor padaku, bahkan ia tak memberikan gajiku karena aku belum cukup sehari bekerja.
Memang gajiku aku ambil setiap hari karena untuk membeli rokok dan sisanya baru kuberikan pada istriku, itupun kalau sisa.
Tapi hari itu, aku benar-benar mengantuk karena habis begadang semalaman sambil main game.
Bukan karena nganu ya.
Ide cemerlang muncul saat aku di perjalanan pulang. Sambil mengendarai motor dengan perlahan aku melihat seseibu sedang jalan dengan santai sambil bawa tas yang pasti isi di dalamnya ada dompet dan uang.
Daripada gak merokok lebih baik aku pakai ideku itu, sekali-sekali tidak apa-apa kali, pikirku saat itu.
Akan tetapi keberuntungan tidak berpihak padaku. Saat aku mengambil tasnya dan melajukan motor, Ibu itu teriak minta tolong sehingga pengendara lain menghadangku dan orang-orang langsung berkerumun saat aku terjatuh dari motor.
Setelah aku babak belur, mereka malah meninggalkan aku tanpa belas kasihan.
Terpaksa aku harus bangkit dan berusaha mengendarai motorku meski badan rasanya sakit semua dan motor terlihat oleng.
Nasib nahas kembali terjadi padaku, mungkin aku kurang fokus mengendarai motorku, sehingga di persimpangan saat hendak berbelok tiba-tiba ada mobil dan kecelakaan tak terelakkan lagi.
Aku pun teriak histeris saat terseret beberapa meter lalu jatuh dan tertimpa motor.
Sakit bukan main hingga aku dilarikan ke rumah sakit.
Di sana aku meraung-raung saat diperiksa. Kakiku terasa sakit dan luka-luka karena kata dokter ... tulang kakiku ada yang retak sedikit hingga harus diperban dua-duanya.
Kakiku masih bisa sembuh kata dokter, karena retaknya tak terlalu parah dan aku pun akhirnya bernapas lega. Hanya perlu bantuan kursi roda untuk sementara waktu.
Untung saja pemilik mobil yang menabrak mau bertanggung jawab membayar biaya berobat dan juga membelikan aku kursi roda yang harganya tidak murah itu.
"Dasar anak ceroboh! Sudah tahu bawa motor kenapa gak fokus liat jalanan!" omel Bapak saat menjengukku waktu itu.
"Bapak ini, bukannya menyemangati anak biar gak terpuruk malah dimarahin. Mending bapak pulang sana! Doain anak kita biar cepat sembuh!" sembur ibuku kala itu membuatku mencebik ke arah Bapak.
Bapak benar-benar pulang. Hanya Ibu dan istriku yang selalu gantian menjagaku di rumah sakit
Kadang Ely pulang karena anak kami masih kecil dan ia juga harus mengerjakan jahitannya di rumah. Kalau dia gak kerja mau makan apa kita.
Lima hari aku di rumah sakit, perasaanku sangat enak karena tak perlu memikirkan pekerjaan. Aku cuman makan, minum dan tidur saja kalau bosan ya ... main hape.
Ide cemerlang untuk pura-pura lumpuh itu akhirnya muncul di kepala ini dan aku paksa ibuku untuk membantu dalam sandiwara ini.
Tentu saja tanpa sepengetahuan Bapak. Kalau bapakku tahu bisa tamat riwayatku. Aku membayar petugas untuk memalsukan hasil pemeriksaan kakiku tanpa sepengetahuan dokternya.
Dari mana aku dapat uang untuk membayar petugas? Tentu dari orang yang sudah menabrak aku.
Terkadang ada benarnya kata orang tua, setiap kejadian pasti ada hikmahnya dan aku merasakan hikmah yang luar biasa ini.
Hasil yang asli aku simpan dan hasil yang palsu aku tunjukkan pada Bapak dan Ely dan mereka percaya karena melihat keadaan kakiku yang masih diperban
Setiap seminggu sekali, Ely akan menyuruhku untuk periksa kesehatan kakiku. Namun, aku menolak pergi dengannya. Aku selalu beralasan untuk diantar sama ibu saja karena ia sibuk bekerja. Ia setuju dan selalu percaya dengan apa yang aku ucapkan.
Hingga istriku itu selalu uring-uringan karena pelanggan jahitnya sedang sepi. Namun, ia tak patah semangat, ia pergi melamar pekerjaan sesuai saran dari salah satu pelanggannya.
Tentu, ia mau karena aku paksa ibuku untuk membujuknya, agar ia mau bekerja di luar sana yang gajinya lumayan. Daripada di rumah dapat capenya hasilnya receh.
Kurang apa coba aku jadi suami? Karena aku istriku bisa seperti sekarang ini, makanya kartu ATM-nya aku yang pegang, dia hanya mengambil sekedarnya saja untuk ongkos beli bensin ke tempat kerja, juga membeli kebutuhan dapur.
Awalnya dia menolak saat aku meminta ATM-nya untuk kupegang. Namun, aku beri alasan kalau biar gak boros dan untuk tabungan masa depan harus dipegang olehku. Akhirnya ia setuju tanpa banyak drama lagi dan ia sangat patuh padaku.
Akan tetapi, belakangan ini sikap istriku itu jauh berbeda dari sebelumnya. Dia tak lagi merespon ajakanku untuk nganu, bahkan tak sedih lagi saat aku mengucapkan kata-kata yang putus asa.
Perubahan sikap Ely terjadi setelah aku mengajak kekasih gelapku makan malam romantis di sebuah restoran mewah .
Hatiku bertanya-tanya, mungkinkah Ely curiga dan mengendusnya?
Akan tetapi, segera kutepis pikiranku ini. Karena tidak mungkin Ely curiga. Selama ini dia tidak sempat untuk ini itu karena kesibukannya di pabrik juga di rumah.
Bahkan badannya pun tak sempat ia urus saking sibuknya, tapi ia tetap cantik dan aku mengakui itu. Namun aku juga butuh suasana baru, orang baru yang lebih segar dipandang mata.
Makanya aku tertarik dengan seorang wanita cantik yang aku kenal di aplikasi game OL. Awalnya main bareng, lalu tukar nomor, saling kirim pesan yang awalnya basa-basi jadi lebih serius, dan akhirnya kami ketemu dan saling mengungkapkan perasaan.
Dia punya suami dan aku punya istri. Kita menjalani hubungan karena butuh sensasi baru yang tak ditemukan dari pasangan kita masing-masing.
Aku senyum-senyum saat melihat foto kekasihku itu sambil duduk di sofa, sesekali menghirup rokok lalu meniup asapnya kadang diselingi dengan menyesap kopi.
Ah ... nikmatnya hidup ini. Nikmat mana lagi yang aku dustakan.
Bersambung...
Siang itu sahabat istriku datang ke rumah dan menanyakan banyak hal padaku. Hanya saja, aku pura-pura bodoh dan tak mau menjawab sama sekali. Bahkan kata si Nella ini, dia pernah melihatku di restoran bersama kekasih gelapku, tetapi ia berjanji tidak akan memberitahu istriku kalau aku mau bekerja sama dengannya. Tentu saja aku menolak kerja sama dengannya, karena gak menguntungkan sama sekali buatku, bahkan bisa merugikan aku juga. Ibarat makan buah simalakama aku akan sama-sama dirugikan. Dia mengancam bahkan menyuruhku untuk jujur pada Ely bahwa aku hanya pura-pura lumpuh karena aku tak mau kerja sama dengannya. Pada saat itu hampir saja Ely mendengar ocehan si muka dua ini. Aku dan Nella sama-sama terkejut karena aku takut Ely curiga padaku dan Nella juga takut kalau Ely mendengar apa rencana kerja samanya sebenarnya. Rasanya jantungku bekerja begitu cepat saat itu juga dan hampir saja aku berpindah alam. Syukur aku gak ada riwayat penyakit jantungan. Aku berusaha menormalk
POV Alyera"Apa-apaan ini, Bang?!"Aku menghampiri Bang Danu yang terlihat kaget dengan kedatanganku. Apalagi dia melihat kali ini wajahku tampak tak bersahabat.Siapa yang tak marah, saat melihat anaknya di suruh angkat air dari rumah tetangga. Rasanya kepalaku sudah mengeluarkan asap saat ini juga.Bukan karena tak ingin anakku di suruh-suruh, tetapi ada alasan lain di balik kemarahanku ini."D-dek ... se-sejak kapan di situ?" tanya Bang Danu gugup.Aku mengabaikan pertanyaannya. Tatapanku beralih pada Naifa yang sudah ke luar dari WC. Aku mendekat ke arah putriku lalu mengusap kepalanya."Naifa main dulu, ya! Soalnya Mama dan Papa mau ngobrol sesuatu hal yang sangat penting!" titahku pada gadis kecilku
Hati siapa yang tak hancur saat mengetahui kebohongan demi kebohongan pria yang sangat dicintai, yang sangat disayangi dan sangat kita perjuangkan masa depannya.Sakit ... sungguh sakit dan sesak dada ini jika mengingat segala perjuangan dan kerja keras yang kulakukan selama ini, tetapi apa balasannya? Kebohongan dan pengkhianatan.Sekuat tenaga aku menahan diri ini agar tak tumbang saat ini juga."Dek ...."Bang Danu membuyarkan lamunanku saat ia meraih tanganku."Jangan menyentuhku!" bentakku saat lagi-lagi tangan Bang Danu, kutepis dengan kasar."Maafkan Abang, Dek!" mohonnya dengan wajah memelas."Ceraikan aku saat ini juga, Bang!" Pintaku dengan tegas.Hanya ini jalan satu-sat
Setelah kepergian Alyera, Danu merasa frustrasi sekali. Ia meremas rambutnya dengan kasar, meninju dinding, dan menendang apa saja yang menghalangi jalannya.Ia emosi bukan karena kehilangan cintanya. Akan tetapi ia emosi karena kehilangan ATM berjalan yang ia punya.Pria itu belum benar-benar menyesali perbuatannya. Bahkan ia merasa apa yang ia lakukan masih bisa di maafkan dan diberi kesempatan kedua.Ia melampiaskan amarahnya dengan mengacak-acak semua barang yang ada di rumah itu. Sekali menggeser barang yang ada di atas nakas dengan tangan maka berjatuhan semua barang-barang.Suara pecahan kaca pun bersahutan.Ia bingung bagaimana caranya agar membujuk istrinya untuk kembali.Terpaksa ia menghubungi ibunya untuk membantu membujuk menantunya yang telah pergi entah ke mana.Alyera, istri yang sangat patuh pada suami. Namun, dibohongi selama dua tahun lebih lamanya, itu bukanlah hal yang harus dianggap sepele.Ini menyangkut sebuah hati yang retak, kekecewaan terdalam akan sebuah ra
POV AlyeraAku mundur perlahan sambil membekap mulut ini agar tak mengeluarkan suara agar tak ketahuan oleh sepasang insan yang tengah memadu kasih dalam ikatan tanpa pernikahan.Aku menggeleng tak menyangka kalau sahabatku yang selalu jadi tempat curhatku kelakuannya seperti ini.Bahkan di tengah-tengah rintihan kenikmatan yang ia lakukan, masih sempat ia menyebut-nyebut namaku.Aku tak menyangka kalau gadis berambut sebahu itu adalah wanita hina dan murahan. Rela melakukan apapun demi mencapai tujuannya.Setelah berhasil keluar dari rumah Nella, aku segera menghampiri putriku."Maafkan, Mama Nak, kalau tadi kelamaan di dalam. Yuk berangkat," kataku sambil memperbaiki tempat duduk Naifa lalu aku pun naik di motor dan menghidupkannya.
11.Aku menatap pria itu dari bawah sampai atas, pakaian yang ia kenakan termasuk pakaian termahal karena aku tahu jenis bahannya meski kuliat dari kejauhan.Tatapan matanya sangat tajam seolah ia ingin menelanku hidup-hidup.Ya Allah cobaan apalagi ini, kenapa aku harus mendapatkan musibah di saat-saat seperti ini.Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga pula, mengesedih.Di saat pikiran sedang kacau karena urusan rumah tangga, sekarang aku harus berhadapan dengan manusia arogan karena tak sengaja menabrak mobilnya.Aku yakin sekali, kalau biaya perbaikan mobilnya pasti sangat mahal. Gajiku sebulan pun pasti tidak akan cukup.Aku menghela napas panjang karena harus dipertemukan dengan pria berwajah bengis seperti dia.Eh ... ngomong-ngomong soal wajah dan suara sepertinya saya pernah melihat dan mendengar suaranya.Tapi di mana? Aku memutar-mutar bola mata agar bisa mengingat pria itu.Astaga ... lidahku langsung k
Aku langsung berbalik meninggalkan pria arogan itu dengan wajah masam dan beribu tanya.Kira-kira imbalan apa yang akan dia minta padaku. Awas aja kalau dia minta aneh-aneh dan melampaui batas.Aku terus ngedumel sepanjang jalan menuju ruang kerjaku setelah menekan ID di mesin pendeteksi kehadiran yang ada di depan. Aku mengabaikan tatapan aneh para pekerja lain yang sudah mulai bekerja di tempat masing-masing, sedangkan aku baru saja tiba di jam segini.Aku melangkah masuk ke ruang kerja sambil mengembuskan napas panjang dan mempersiapkan diri untuk kena teguran atasan."Kak Ely, Supervisor memanggil kakak ke ruangannya!" kata Ani menyampaikan pesan dari Pak Heri."Sekarang banget, An?""Iya, Kak.""Tolong sampaikan sama Pak Heri ya, tunggu sebentar soalnya aku mau ke toilet dulu," kataku pada Ani yang mengangguk pelan.&nbs
"Bolehkah, saya masuk Pak Heri?" tanya pria yang baru saja menyahuti supervisor dan membuat tubuh ini menegang tiba-tiba.Benar-benar tidak sabar pria ini. Kenapa ia harus datang ke sini dan menemui atasanku? Aku kan sudah berjanji akan menyicil uang ganti rugi secara bertahap.Bagaimana kalau ia akan melaporkan aku pada atasan dan meminta jaminan pada Pak Heri. Bisa-bisa aku dipecat karena dianggap membawa-bawa nama pabrik dalam masalah.Aku mengelap keringat di dahi dengan ujung jilbabku."Silakan Pak Adnan, mari masuk! Saya memang sedang menunggu Anda," ucapan Pak Heri membuatku tambah terkejut dan jantung ini kembali memompa lebih cepat dari sebelumnya.Apa tadi katanya? Sedang menunggu? Bukankah yang Pak Heri tunggu adalah anak dari Pak Syam Erlangga, apa pria ini ...
POV Alyera "Kamu ngapain, jalan sambil nunduk? Mikirin apa? Kamu beruntung karena aku datang tepat waktu kalau tidak ... mungkin jidatmu sudah selebar tiang tadi," katanya sambil bertanya, disertai dengan sindiran serta kekehan.Aku memilih memalingkan wajah ke luar jendela menatap pohon yang masih terkena cahaya langit yang mulai redup berganti cahaya malam.Ucapan pria cambang ini benar-benar bikin jengkel, asli."Kok, gak dijawab?" tanyanya lagi membuatku menarik napas dalam."Saum," jawabku singkat."Apa hubungannya, puasa dengan bicara?""Saum bicara," balasku lagi dengan memutar bola mata."Emang ada saum bicara, tapi ngebalas terus dari tadi," kekehnya sembari menatap lurus ke depan. Aku memilih diam tak menjawab lagi."Biar aku tebak," katanya antusias."Gak lagi pengen main tebak-tebakan," protesku"Kamu pas jalan tadi pasti sambil mikirin suami kamu," ujarnya sok tahu banget."Calon mantan suami," ujarku penuh penekanan."Sama aja, kan baru calon berarti masih.""Terserah T
Hari-hariku semakin kacau, kala pulang ke rumah untuk makan siang. Akan tetapi, Nella belum masak sama sekali.Bahkan istriku itu masih betah berlabuh di pulau mimpi dan melukis pulau Kalimantan di sarung bantal.Aku hanya bisa membuang napas kasar, mau marah juga tidak bisa karena sudah bisa ditebak kalau aku akan kalah berdebat sama Nella."Yank! Bangun!" Aku menggoyangkan tubuh Nella yang masih terbungkus selimut itu."Ini udah tengah hari, loh. Udah mau masuk waktu salat Zuhur," ujarku lagi, tetapi Nella tetap bergeming.Saat menyebut salat Zuhur ada yang bergetar di dalam hati. Entah sejak kapan terakhir kali aku melakukan salat. Sudah sangat lama sekali aku tidak melaksanakan kewajibanku sebagai umat yang mengaku beragama muslim.Mungkin aku bisa bisa dinobatkan jadi duta Islam KTP, karena mengaku Islam, tetapi tidak melaksanakan kewajiban.Aku mendadak ingat, Ely. Dia selalu mengingatkan aku untuk salat sambil duduk. Meski aku lebih memilih berbohong dan mengaku sudah mengerjak
"Minggu depan aku akan menikah dengan kekasihku," ucap Nella sambil menatap langit-langit kamar, seolah ada yang membuatnya resah.Lain halnya denganku, aku senang mendengar dia akan menikah. Setidaknya dia tidak memintaku lagi datang kemari, sekedar memuaskan hasratnya.Malam ini aku hanya terpaksa melakukannya karena dia memintaku. Hanya sebagai balas budi ... itu saja. Semenjak mengetahui kalau asetnya juga dipakai oleh bandot tua, aku jadi jijik padanya.Meski kuakui, kalau dia pernah membuatku melayang tinggi ke langit ke tujuh. Tapi, malam ini tidak sama sekali.Aku hanya berusaha membuatnya puas dengan permainanku karena lagi-lagi aku ingin membalas jasanya yang telah membelikanku motor. Meski ngutang, tetapi wanita ini tidak pernah menagih seperti para wanita rentenir."Pakai aja uangnya buat kamu makan sama beli kuota!" ucap Nella menolak setiap aku menyetor upah ngojekku. Itulah yang membuat aku ingin membalas jasanya. Kalau bukan karenanya, mungkin aku sudah hidup gembel di
"Bang Danu! Bangun!" samar kudengar suara seseorang memanggil. Lebih tepatnya membangunkan karena terasa tubuhku terguncang."Hem ... Apaan sih, Ly. Aku masih ngantuk ini!" balasku dengan malas dan kembali merapatkan selimut, dan meringkuk sembari memeluk guling."Kok, Ely sih, Bang! Ini aku Nella," protes seseorang yang langsung membuatku terperanjat karena baru sadar kalau aku sedang di rumah Nella, sahabat istriku yang sudah kunikmati keindahan tubuhnya."Eh ... maaf Nella Sayang. Aku lupa kalau sekarang aku ada di rumahmu. Biasanya kan aku dibangunkan sama Ely," balasku sambil menatap wanita yang kini memasang muka cemberut karena merajuk."Apa kejadian yang semalam kamu juga lupa, Bang?" tanyanya membuat aku kembali panas dingin."Oh, jelas tidaklah. Masa lupa sih, sama permainanmu yang sungguh sangat agresif, tapi aku suka," balasku sambil mengecup pipinya yang memerah dan Nella langsung senyum malu-malu.Ah, wanita. Hanya modal rayuan maut saja, sudah luluh mau diapain juga. It
"Pergi kamu dari sini! Jangan pernah nampakkan wajahmu di depanku. Sekarang aku sudah tidak punya anak sama sekali." Bapak melempar tas berisi pakaian ke hadapanku sembari menyuruhku pergi dari rumahku sendiri.Rumah itu memang dibangun memakai dana dari Bapak, tetapi aku berhak tinggal karena aku anaknya satu-satunya. Eh ... malah mau dijual rumah itu, terus diberikan sama Ely. Padahal yang anaknya itu aku, bukan Ely. Ely itu hanya menantu, menantu itu orang luar yang tidak berhak sama sekali.Aku meraih tas itu, lalu bangkit dan pergi tanpa berpamitan pada Bapak dan Ibu. Kulihat Ibu menangis pilu menatap kepergianku, tetapi tak dapat mencegah karena mungkin tidak berani melawan suaminya yang tua bangka itu.Para tetangga masih saja sibuk menonton drama yang sebenarnya sudah selesai. Begitulah parah tetangga, selalu penasaran dengan masalah orang. Bukan untuk simpatik, melainkan ingin menertawakan.Aku yakin seratus persen kalau mereka sedang menertawakan diriku, bahkan mungkin ada
"Sekarang kamu tidak bisa berbuat apa-apa, Sayang. Karena apa? Karena kamu memang masih begitu sangat sangat mencintaiku." Bang Danu semakin mendekat dan menyeringai menjijikkan."Bismillah." Kuangkat kakiku tinggi-tinggi hingga lututku mendarat di selangkangannya."Auw ... Auw ... Arggggg." Bang Danu spontan memegang benda pusakanya dan menjerit-jerit."Syukurin." Kini giliran aku yang menyeringai sinis padanya."Kalau kamu berpikir aku sangat ingin kembali dengan pria sepertimu, kamu salah. Tidak pernah terlintas dipikiranku sama sekali untuk mengambil apa yang sudah aku muntahkan." Aku berpangku tangan di depan Bang Danu yang masih meringis."Kamu jangan besar kepala dan mengkhayal setinggi langit! Karena, kalau itu jatuh sakit. Aku tekankan sekali lagi, aku tidak butuh suami benalu sepertimu.""Ely, Sayang. Kenapa kamu jadi ganas dan bar-bar begini?" tanyanya dengan sekuat tenaga menahan sakitnya.""Aku benar-benar ingin kembali padamu, Sayang.""Ya, ampun. Siapa yang mau lelaki b
"Maaf ... aku tidak bisa," ucapku pada Nella yang terus saja membujuk agar aku meminta bos untuk menerimanya kembali.Padahal dia tau benar siapa aku, apa posisiku di kantor tidaklah penting. Siapa aku yang harus meminta dengan Tuan Adnan ini dan itu.Beliau sudah banyak membantu dan rasanya aku tidak punya muka lagi jika harus meminta bantuan lagi.Bukan aku egois, bukan pula aku marah pada Nella, bukan. Hanya saja, aku benar-benar tidak bisa membantu untuk saat ini."Jadi kamu betul-betul tidak mau membantuku?" tanya Nella dengan tatapan tajam.Aku mengangguk perlahan. "Maaf, Nella.""Ternyata aku salah memanggilmu ke sini. Aku salah karena menganggap kamu itu baik, aku pikir kamu masih Ely yang dulu, sahabatku yang selalu peduli sama semua orang. Sahabat yang selalu menolong orang tanpa pamrih," ujar Nella tampak geram."Aku masih Ely yang dulu, Nel," balasku menatapnya dengan senyuman."Bukan! Kamu bukan Ely yang dulu. Kamu sudah berubah El," ujarnya sengit."Bukan aku yang beruba
"Dek! Gak usah jemput Kakak ya! Soalnya kakak lagi ada urusan dulu sama teman. Kak Ely titip Naifa ya!" pintaku pada Amran melalui percakapan di ponsel sambil berjalan ke luar dari kantor.Hari ini adalah hari pertamanya kerja sebagai mandor di pabrik yang pernah menjadi tempatku berkerja sehari-hari.Karena motor hanya satu terpaksa Amran yang membawa motor itu dan demi alasan keamanan, adikku dengan senang hati mengantar jemput aku setiap hari.Karena semalam, Nella terus memohon untuk ditemui, dengan terpaksa juga aku harus menemuinya.Hati nurani telah mengalahkan logikaku. Harusnya aku menolak tegas karena sudah jelas, Nella selalu ingin memanfaatkan aku saja.Selama ini dia baik dan memperingatkanku untuk menyelidiki suamiku, hanya untuk kepentingannya sendiri. Bukan demi kebaikanku.Sepulang dari kantor baru sempat mengabarkan pada adikku itu karena aku terlalu sibuk dalam kerjaan seharian ini. Tuan Adnan banyak jadwal meeting dan aku tidak boleh lengah dan salah saat bekerja.
"Alyera! Kamu tidak kenapa-kenapa?" tanya pria itu mendadak panik dan hendak menyentuhku, tetapi mungkin ia mengingat teguranku selama ini agar tidak ada kontak fisik membuat ia urung melakukan dan menarik kembali tangannya."Kamu baik-baik saja?" tanyanya sekali lagi membuatku menggeleng pelan tanpa membalas ucapannya. Aku sangat sok dengan kejadian ini sehingga aku mendadak bungkam."Ada yang sakit? Atau Daffa berbuat apa sama kamu?" Lagi-lagi pria cambang ini bertanya.Baru hendak membuka mulut untuk menjawab tiba-tiba aku menangkap dari ekor mataku kalau Daffa hendak melayangkan tendangan pada Tuan Adnan."Awas Tuan," teriakku lantang dan langsung memeluk Tuan Adnan sambil memutar tubuhnya, sehingga tendangan Daffa langsung mendarat di tubuhku."ALYERA ...," pekik Tuan Adnan saat kami berjatuhan di lantai karena aku menjadi tameng untuknya.Sesaat aku melupakan sakit yang diterima tubuhku karena pukulan pria brengsek itu. Aku malah terpana pada sorot mata elang Tuan Adnan yang tib